10 minute read

RANCAK BUDAYA

Next Article
WISATA

WISATA

ilustrasi oleh : Alfan Khoirul Huda

Ilustrasi oleh Alfan Khoirul Huda

Advertisement

Menua Bersama Luka

oleh Zeen Mou

Dulu, senja di ufuk timur nampak begitu menawan dengan dia yang duduk di sebelahku sembari tersenyum hangat. Tapi kini, hanya ada aku yang duduk di kursi kayu menatap sinar matahari yang perlahan lenyap. Rasanya, jarak antara pertemuan dan perpisahan kami layaknya arunika dan swastamita.

Aku Rukmini, calon mempelai wanita sang kapten, Pierre Tendean. Banyak wanita di luar sana menyebut diriku sebagai wanita paling beruntung. Namun, asumsi hanyalah asumsi belaka. Kalau saja mereka tahu jika hubungan kami tak mendapat jalan mulus dari orang tua Pierre. Kenyataan jika kami menganut agama berbeda menjadi sekat pilu yang harus kita berdua telan bersama. Rasanya begitu menyakitkan.

“Dek!”

Seketika aku menoleh pada pemilik suara itu, tepat di pekarangan rumah dia nampak terengah-engah menghampiriku dengan kantong plastik hitam. Sudah tertebak isi kantong itu, pasti buah mangga. Dasar, laki-laki itu selalu tahu cara untuk merayu orang yang tengah merajuk. Aku tak menjawab panggilannya, melainkan hanya duduk di bangku kayu depan rumah dengan raut merengut.

“Ini buah mangga untukmu.”

Lagi-lagi aku memilih diam sembari memperhatikannya yang masih setia berdiri dengan seragam kebanggaan. Nampak beberapa bulir peluh menghiasi wajah berahang tegas itu. Sebenarnya, aku kasihan. Tapi, sikapnya yang selalu selurus dengan ayah membuat hati kesal. “Dek, sudahlah ... jangan marah lagi.”

Dia menduduki sisa bangku, badan tegap itu menghadapku. “Mas bukan melarang kamu untuk ikut pindah, Dek. Kita belum sah menikah.” Suaranya begitu lembut hingga membuat diriku merasa bersalah karena telah bersikap kekanakkanakan.

“Makanya, Mas segera nikahi Rukmini.” Aku berseru kesal.

Bukannya marah, kulihat dirinya melukis senyum manis, seperti tengah melihat sesuatu hal yang lucu. Perlahan, tangan kekar nan hangat itu mengusap lembut jemariku, menyalurkan ketenangan yang Tahun 43 Maret-April 2022 | 33

menjadi candu selama tiga tahun menjalin hubungan dengannya.

“Sepertinya, kamu sudah tidak sabar lagi, ya?”

Apa? Tidak sabar katanya? Candaan macam apa itu? Aku bisa melihat senyum menggoda terbit dari wajah blasteran Indonesia-Perancis itu. Bukannya tidak memperbolehkan pindah, jujur saja firasat buruk itu nyata adanya. Bukan tanpa alasan, pemberontakan PKI yang tengah marak berlangsung membuat rasa khawatir semakin merajai. Siapapun yang berada di posisiku akan merasakan hal sama, takut kehilangan.

“Mas, jangan bercanda!”

Senyum menggoda itu lenyap seiring dengan rautnya yang berubah serius, ada gurat sedih yang menyelubung di wajah berahang tegas miliknya.

“Mas janji akan segera kembali.”

Entah mengapa, aku ragu. Tak seperti biasa ketika laki-laki ini berjanji, maka aku akan sepenuhnya percaya. Namun, janjinya kali ini terdengar seperti kebohongan yang coba disuguhkan agar rasa khawatir itu tak semakin menjadi. Netraku meredup, “Andai, Mas tidak dipindah tugaskan menjadi ajudan Kapten Nasution, Rukmini tidak akan seperti ini.”

Dia masih diam, menanti kelanjutan kalimatku.

“Mas juga selalu menuruti ayah, lalu Mas anggap Rukmini ini apa? Kalau memang Mas tidak ingin Rukmini ikut pindah karena kita belum menikah, ya Mas tinggal nikahi Rukmini besok. Gampang, kan?”

Aku melihat dia tersenyum tipis, seperti ada beban yang berusaha disingkirkan. Kendati ingin mengetahui beban itu, diriku sendiri masih kesal dengan sikapnya yang tak memperbolehkan ikut pindah. “Dek, tidak segampang itu. Ada keluarga Mas yang harus datang ke pernikahan kita, untuk meminta restu mama dan papa saja Mas kemarin hanya menulis surat. Lalu, kamu ingin di hari pernikahan kita mereka juga hanya mengetahuinya lewat surat? Jarak Medan dan Semarang itu jauh, Dek. Lagipula kita belum menyiapkan apapun.”

Ada amarah yang menyelubung di kalimatnya kali ini, namun tak begitu kentara karena nadanya yang begitu lembut ketika mengutarakan. Lagi-lagi jarak Medan dan Semarang itu membuatku merasa bersalah, mengapa aku tidak lahir di Semarang saja agar semua bisa menjadi mudah?

Aku bergeming, lidah rasanya begitu kelu untuk membalas kalimat barusan. Akhirnya, tetap diam adalah jalan yang kupilih.

“Mas mohon, jangan egois, Dek. Kamu tahu sendiri, jika mama begitu ingin menyaksikan pernikahan kita. Lagipula, pernikahan kita sebentar lagi, kamu tidak perlu khawatir.”

Kali ini egoku kalah dengan kelembutannya, selalu seperti ini. “Tapi, Mas janji akan kembali untuk pernikahan kita?” tanyaku dengan suara bergetar menahan tangis.

Dia tersenyum manis seraya menangkup pipiku, “Mas akan kembali untuk kamu.”

Andai saja, mulut ini bisa berteriak betapa tidak percaya hati dengan semua yang dirinya katakan kali ini. Firasat itu begitu pekat menghalangi kepercayaanku, seolah ingin memberi pertanda yang tak diinginkan. Jujur, aku sangat takut. Dalam getir akan rasa khawatir, harapku adalah keselamatannya.

Dua hari setelah pertengkaran kecil di pekarangan rumah, kini tiba saat melepasnya pergi untuk kesekian kali. Aku sudah terbiasa, menahan tangis ketika dirinya pamit dan mengeluarkan semua air mata di tengah keheningan malam dengan rontaan rindu menggebu. Walau begitu, aku hanya diam.

Sebuah mobil gaya tahun 60-an sudah terparkir di pekarangan ketika aku dan Ibu baru saja sampai di rumah, kami baru saja belanja dari pasar. Nampak di teras rumah, dia dengan Ali, teman seangkatan sedang berbincang bersama Ayah. Sudah tertebak pula maksud mengapa dirinya datang kemari mengenakan seragam kebanggaan. Tanpa sadar, netraku mengurai sorot sendu.

“Lha, itu Rukmini!” Ayah berseru menghampiri kami, disusul dia dan Ali.

Meski tahu jika dia sudah berdiri tepat di hadapanku, namun rasanya enggan sekali untuk sekadar mengangkat kepala dan melihat wajah itu. Terlalu berat melepasnya pergi kali ini, aku tidak tahu alasan apa yang mendasari.

“Ibu, saya pamit ingin berangkat,” ujarnya pada ibuk sembari menyalami tangan berkeriput wanita di sebelahku.

Ibu tersenyum sendu, nampak sedikit tak rela atau memang ada firasat yang sama denganku. “Iya, Nak. Jaga diri baik-baik, sebentar lagi kalian akan menikah.”

Dia tersenyum manis, namun tetap saja gurat sedih itu terpampang begitu jelas di mataku. Sekuat apapun dirinya mencoba membohongi semua mata hanya agar mengira jika dirinya kuat, hal itu tak berlaku untukku.

“Yasudah, kalau begitu Ibu masuk ke dalam, ya?”

Aku mengangguk, membiarkan ibu dan ayah masuk ke rumah, sedangkan Ali memilih lebih dulu masuk ke mobil. Sepertinya, semua orang memang sengaja memberi waktu hanya untuk kami berdua.

“Dek?”

Kuangkat kepala ini perlahan dan nampaklah mata berair yang coba disembunyikan melalui gelagat. Tangan kekar itu terangkat untuk mengusap bulir raga yang sudah jatuh mengaliri pipiku. Tangannya begitu hangat kali ini. “Mas janji akan kembali, kan?” Rasanya tak bisa ditahan untuk menanyakan hal itu padanya. Ketakutan begitu lihai mempermainkan perasaan ini.

Kulihat dia mengangguk, namun tak setegas biasanya. Hal itu semakin memperkecil asaku untuk tak khawatir lagi. “Mas kelihatan ragu.”

Dia terdiam, nampak tengah mencoba menyembunyikan sesuatu. Sejurus kemudian kedua tangan itu menyentuh lembut pundakku. “Dek, kalau kamu seperti ini. Bagaimana bisa Mas yakin untuk berangkat?”

“Tapi, firasat ini nyata, Mas. Rukmini tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu dengan Mas.”

Aku jadi teringat bagaimana Ali bercerita tentang Madam Cornet, Ibu Pierre yang tengah berada di Semarang. Beberapa hari lalu mencoba membujuk Kapten Nasution agar membatalkan keputusannya untuk menjadikan Pierre sebagai ajudan. Namun, hasilnya nihil. Hal itulah yang kemudian membuatku memaksa ingin ikut pindah, dan giliran dia yang tidak memperbolehkan.

“Itu hanya firasat, Mas janji akan menjaga diri baik-baik.”

Aku masih tidak yakin dengannya,”Mas janji tidak akan mati? Berjanjilah pada Rukmini.”

Nampak sekali dari raut wajah dia tak bisa memenuhi permintaanku, sudah terduga. Bukan hanya aku saja yang merasakan ini, dia pun merasakan, namun diam dengan alasan tak ingin membuat khawatir adalah alasannya. Aku tahu.

“Mas tid-”

“Mas berangkat sekarang saja, hati-hati di jalan.”

Tak ingin mendengar kalimatnya, segera kupotong lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Membiarkan laki-laki berperawakan gagah itu termenung di pekarangan rumah. Aku mengintip melalui celah jendela, tangan kekar itu nampak mengusap wajah, putus asa. Perlahan namun pasti, dia mulai berjalan menuju mobil. Dan sebelum benar-benar masuk ke mobil, aku segera mengambil syal dari atas meja, lalu berlari

keluar. “Mas!”

Laki-laki itu berbalik dan tersenyum, langkah menuntunnya untuk menghampiriku.

“Pakai ini kalau Mas rindu sama Rukmini,” ujarku setelah sampai di hadapannya seraya mengulurkan syal itu.

Dia tersenyum manis, “Mas akan memakainya setiap hari,” jawabnya sembari mengambil syal dari tanganku.

“Mas berangkat, ya?”

Mata itu menatapku penuh harap akan persetujuan, di sisi lain ada pula kesedihan yang begitu mendalam menyelubung di netra tajamnya. Tak langsung menjawab, aku diam cukup lama ditemani buliran air raga yang mulai meluap dari tempat bermuara. Dan pada akhirnya, kepala ini mengangguk pelan. Membuat dia tersenyum seraya memegang pelan pundakku, lalu mendekat. Bibir tipisnya memberi kecupan hangat di keningku, begitu lembut dan lama. Seakan ada beban yang teringin disingkirkan dalam kesendirian. Firasat apa ini, Tuhan?

Mata yang semula terpejam ini kembali terbuka ketika bibir itu perlahan menjauh dari kening, aku melihat dia tersenyum sendu. Tangannya mengusap pipi ini sesaat, untuk akhirnya pergi menjauh. Tubuh itu mulai menjauh.

“Mas!”

Dia berhenti dan kembali berbalik menatapku.

“Rukmini akan selalu menunggu Mas pulang.”

Tidak menjawab kalimatku, laki-laki itu hanya tersenyum sembari melambaikan tangan dan bergegas masuk ke mobil. Deru mesin mobil perlahan terdengar seiring dengan baja berjalan itu pergi meninggalkan pekarangan rumah. Bayangnya semakin menjauh dan akhirnya menghilang tertelan jarak. Tinggallah aku sendiri, berdiri dalam bayang kekhawatiran. Kenyataan jika dirinya nanti tak lagi berada di Medan bersamaku semakin membuat sebak merajai hati yang tengah gundah. ***

“Lho, bajunya longgar?” Pertanyaan ini terlontar dari mulut ibu, wanita paruh baya yang tengah berdiri di sampingku dengan ekspresi heran.

Mbok Nah nampak meneliti, “Nduk, bajumu kok bisa longgar?”

Aku tak bisa menjawab apapun, melainkan hanya diam dengan angan yang menerawang. Sudah seminggu ini tak ada surat darinya, padahal hampir dua hari sekali tukang pos datang ke rumah hanya untuk mengantarkan surat.

“Rukmini?” Kali ini ibu menepuk bahuku, membuat lamunan seketika buyar.

Aku menoleh, tanpa sadar sorot sendu netra ini terbaca oleh ibu. Wanita itu memegang kedua pundak lemah ini, menekannya lembut lalu memeluk erat. Ibu mengerti perasaanku.

“Dia akan baik-baik saja, Rukmini ....”

“Tapi semalam kata ayah ada kegaduhan di sana, Bu ....”

“Sudah, tidak usah berpikir macammacam.” Ibu melepas pelukan, “hari ini ulang tahun calon mama mertuamu, kan?” tanyanya mencoba memperbaiki suasana hatiku. Aku mengangguk.

“Yasudah, kita sekarang pulang terus masak semur ayam buat mama, ya?”

Aku kembali mengangguk.

Akhirnya kita berdua pulang setelah ibu meminta Mbok Nah mengecilkan gaun pengantin. Jika biasanya mempelai wanita akan ditemani sang mempelai pria untuk memilih gaun pengantin, maka hal itu tak berlaku bagiku. Pengabdiannya pada negara membuat kisah kita penuh dengan drama pilu yang aku sendiri tak menginginkannya.

Tiga buah mobil polisi sudah terparkir di pekarangan rumah ketika aku dan ibu baru saja turun dari becak. Kita segera bergegas menghampiri ayah yang nampak berbincang serius dengan Ali, keduanya terlihat sedih. Firasatku memburuk.

“Ayah!” panggilku pada pria paruh baya berkacamata itu. Ali menoleh bersama dengan jejeran polisi yang berdiri mengitar. Ayah berjalan mendekat, namun tatapanku terfokus pada syal yang dipegang oleh Ali. Syal itu milik Pierreku. Ada darah di sana.

Tak bisa menahan firasat buruk yang mencuat meracuni pikir, aku segera berlari pada Ali dan merebut syal itu darinya. Bau anyir seketika memenuhi indera, darah itu masih baru. Amarah mulai merajai, tangan kanan ini menarik kerah seragam Ali dengan mata yang mulai basah. “Ada apa dengannya?!”

Ali nampak tak tega, bahkan laki-laki itu mulai menangis tanpa suara. Aku semakin marah, tak tanggung tangan ini memukul dada bidangnya dengan cukup keras. “Dimana Pierre? Dimana?!”

Ali menggeleng lemah, membuat tubuhku lemas seketika. Belum sampai tubuh ini jatuh, ayah segera menahannya dari belakang. Didekapnya tubuhku erat, suara tangis ayah suarakan tepat di telingaku.

Aku meronta dengan tangis liar, “Dimana dia?!”

Ali berjongkok di hadapanku, wajahnya begitu hancur. “PKI, Rukmini ....”

Akhirnya, maksud laki-laki itu tertangkap olehku.

“TIDAK!”

Ayah semakin mempererat pelukannya, sementara ibu mencoba menenangkan dengan kalimat. Raunganku semakin keras terdengar. Semua tak berhasil. Tuhan sudah berhasil menghabisi kebahagiaanku, Tuhan sudah berhasil menjatuhkan diriku sedalam-dalamnya. Aku hancur.

Mendung hari ini seakan ingin menggambarkan dirinya untuk mengucap selamat tinggal, burung yang tak lagi berkicau ria seolah ingin menemani kepedihanku. Pekatnya awan hitam itu adalah tanda betapa semesta sudah begitu tega melukai diriku. Tangis ini adalah bukti betapa terlukanya hati oleh kepergiannya, raungan keras ini adalah bukti betapa aku mengutuk semua PKI itu, dan kepedihan ini adalah awal betapa mengerikan hidupku tanpa kehadirannya kelak. Kehancuran telah melanda hidupku, tak ada yang tersisa darinya selain syal dan segala kenangan tentangnya. Aku telah hancur sepenuhnya.

Andai aku tahu semenyedihkan ini akhir dari kisah kami tak akan aku memilih untuk mencintainya sedalam ini. Kini, biarkan diriku larut dalam pahitnya luka akan perpisahan. Inilah kisahku, perjalanan tragis penantianku untuk Sang Kapten, Pierre Tendean. Biarkan aku dan luka ini, menua bersama.

Penulis adalah kontributor Majalah Komunikasi UM

This article is from: