Rancak Budaya
ilustrasi oleh : Alfan Khoirul Huda
Ilustrasi oleh Alfan Khoirul Huda
Menua Bersama Luka oleh Zeen Mou
D
ulu, senja di ufuk timur nampak begitu menawan dengan dia yang duduk di sebelahku sembari tersenyum hangat. Tapi kini, hanya ada aku yang duduk di kursi kayu menatap sinar matahari yang perlahan lenyap. Rasanya, jarak antara pertemuan dan perpisahan kami layaknya arunika dan swastamita.
Aku Rukmini, calon mempelai wanita sang kapten, Pierre Tendean. Banyak wanita di luar sana menyebut diriku sebagai wanita paling beruntung. Namun, asumsi hanyalah asumsi belaka. Kalau saja mereka tahu jika hubungan kami tak mendapat jalan mulus dari orang tua Pierre. Kenyataan jika kami menganut agama berbeda menjadi sekat pilu yang harus kita berdua telan bersama. Rasanya begitu menyakitkan. “Dek!” Seketika aku menoleh pada pemilik suara itu, tepat di pekarangan rumah dia nampak terengah-engah menghampiriku dengan
kantong plastik hitam. Sudah tertebak isi kantong itu, pasti buah mangga. Dasar, laki-laki itu selalu tahu cara untuk merayu orang yang tengah merajuk. Aku tak menjawab panggilannya, melainkan hanya duduk di bangku kayu depan rumah dengan raut merengut. “Ini buah mangga untukmu.” Lagi-lagi aku memilih diam sembari memperhatikannya yang masih setia berdiri dengan seragam kebanggaan. Nampak beberapa bulir peluh menghiasi wajah berahang tegas itu. Sebenarnya, aku kasihan. Tapi, sikapnya yang selalu selurus dengan ayah membuat hati kesal.
“Dek, sudahlah ... jangan marah lagi.” Dia menduduki sisa bangku, badan tegap itu menghadapku. “Mas bukan melarang kamu untuk ikut pindah, Dek. Kita belum sah menikah.” Suaranya begitu lembut hingga membuat diriku merasa bersalah karena telah bersikap kekanakkanakan. “Makanya, Mas segera nikahi Rukmini.” Aku berseru kesal. Bukannya marah, kulihat dirinya melukis senyum manis, seperti tengah melihat sesuatu hal yang lucu. Perlahan, tangan kekar nan hangat itu mengusap lembut jemariku, menyalurkan ketenangan yang Tahun 43 Maret-April 2022 |
33