8 minute read

RANCAK BUDAYA

Next Article
WISATA

WISATA

Rancak Budaya Api dan Nasib

oleh Naufal Yuan Nabila

Advertisement

Ilustrasi oleh : Alfan Khoirul Huda

Rintik sendu menghujani hati ibu Sakinah, seorang janda paruh baya yang hidup sebatang kara dengan segala kemuraman di masa lalu membuat hidupnya jauh dari kata layak untuk menjadi seorang manusia dari segi kelayakan hidup. Ia tinggal bersama suara-suara alam di tengah hutan belantara, seperti desiran tanah berpasir, siulan burung, dan suara-suara nyaring hewan hutan lainnya sebagai penghibur relungnya. Jarang sekali orang lalu lalang di sekitar kediaman ibu Sakinah, karena apa yang kini dialami oleh ibu Sakinah pasti ada sebab musabab bagaimana ibu Sakinah bisa hidup seperti ini yang mungkin hanya dialah yang bisa melewati fase kehidupan seperti ini di tengah gempuran kecanggihan teknologi.

Kesunyian belantara hutan sudah bersahabat dengannya, walaupun setidaknya hidup beliau jauh lebih tentram dari yang sebelumnya. Suara-suara alam sudah cukup mengobati rasa duka di masa lalunya, entah apa yang membuat ibu Sakinah berubah seratus delapan puluh derajat dari kehidupan masa lalunya hingga kini tak ada yang mengetahuinya.

Hingga suatu ketika datanglah tiga orang mahasiswa dari Universitas Kehidupan yang bernama Tuti ,Wuri, dan Yani menyambangi keberadaan ibu Sakinah setelah banyak mencari informasi tentang keberadaannya karena tertarik menyelisik kesanggupan beliau bertahan hidup di tengah belantarnya hutan, hingga akhirnya mereka menemukan kediaman ibu Sakinah. Mereka datang bukan tanpa tujuan, mereka datang karena rasa penasaran mereka dengan wanita tangguh seperti ibu Sakinah ini. Masyarakat yang pernah lalu lalang di depan rumah ibu Sakinah menganggapnya aneh dan diduga menjadi anggota salah satu ekstremis Islam yang tinggal di tengah hutan hanya untuk kedok persembunyiannya karena penampilan Islam syar’i yang dipakainya, tetapi anggapan-anggapan itu sirna seiring awal pertemuan ketiga mahasiswa itu dengannya karena sambutan hangat ibu Sakinah sewaktu ketiga mahasiswa tersebut berdiri di depan gubuknya dan mengucap salam kepada ibu Sakinah.

“Assalamu’alaikum, apakah benar ini rumah Ibu Sakinah?” Tanya Tuti kepada ibu Sakinah tengah duduk bersandar di depan gubuk reyotnya sambil memandangi birunya bentangan langit terik cerah.

“Wa’alaikum salam ta’ala warahmatullahi wabarakatuh, iya Nak, benar dengan saya sendiri,” begitu lembut dan santun jawaban ibu paruh baya ini, seolah menandakan beliau sangat tulus menerima kedatangan ketiga mahasiswa yang tengah berkunjung.

“ Alhamdulillah, ternyata kami tidak salah menyapa dan Allah menuntun kami sampai di depan kediaman Ibu,” tandas Tuti dengan senyuman tipis dan penuh rasa gembira.

“Oh iya Nak, silakan masuk di gubuk Ibu. Yah...walaupun sederhana, tetapi Alhamdulillah Ibu nyaman tinggal di sini,” sambutan hangat ibu Sakinah kepada tamunya.

“Baik Ibu, terima kasih. Kami sangat berterima kasih Ibu mau menyilakan kami memasuki kediaman Ibu,” jawab Tuti mewakili teman-temannya.

Ibu Sakinah menyambut ketiga mahasiswa tersebut dengan ramah, sorot mata yang tulus, serta bahasanya pun sangat santun, membuat ketiga mahasiswa ini memiliki kesan pertama yang mengesankan. Di benak mereka mungkin ibu Sakinah seperti ini tidak hanya kepada mereka saja tetapi kepada semua orang yang pernah ia temui. Tiga tamu mahasiswa itu lantas dipersilakan masuk ke dalam gubuk ibu Sakinah, sontak ketiga mahasiswa ini kaget dan merasa iba terhadap apa yang mereka lihat di depan mata mereka. Gubuk yang beralaskan tanah merah bata, beratapkan jerami, berdinding bilah-bilah bambu usang, dan berhiaskan tempelan koran. Tidak ada sofa mewah tetapi terdapat kursi yang terbuat dari kayu yang sudah mulai lapuk, tidak ada ranjang kasur yang empuk tetapi terdapat tempat merebahkan diri yang terbuat dari anyaman daun kelapa kering. Salutnya, semua perabotan yang ada di rumah ibu Sakinah dibuat sendiri. Walaupun tidak cukup nyaman bagi orang lain, tetapi membuat dirinya merasa tentram dengan kesederhanaan hidup saat ini. Ibu Sakinah lantas mempersilakan Tuti, Wuri, dan Yani untuk duduk di kursi reyot miliknya.

Dalam hati Wuri seolah bergejolak ingin menyampaikan maksud kedatangan mereka berkunjung ke kediaman ibu Sakinah, namun dirinya bimbang saat harus merangkai kata-kata yang sebisa mungkin tidak merusak suasana hati ibu Sakinah. Obrolan mereka cukup terbilang lama, hingga semua berubah ketika Yani yang terkadang terkenal sering ngomong ceplasceplos membuat ibu Sakinah mengusir ketiga tamunya dari kediamannya. Seolah ia tak ingin ada seorang pun yang mengusik masa lalunya.

“Pergi kalian semua! jangan kembali kesini lagi, Ibu sudah hidup tentram! Jadi Ibu mohon, jangan usik masa lalu Ibu lagi! “ tegas ibu Sakinah dengan suara keras mengguntur, mata berkaca-kaca karena menahan tangis saat Yani keceplosan menanyakan bagaimana masa lalu ibu Sakinah dahulu yang membuat hatinya hancur berkepingkeping.

“Sebelumnya saya mohon maaf ya Ibu, kami tidak bermaksud untuk mengulik luka lama Ibu, tetapi kami ingin mengenal Ibu lebih jauh lagi,” lontaran ucap permintaan maaf Yani kepada ibu Sakinah dengan rasa canggung dan kecewa karena merusak suasana perbincangan ibu Sakinah dan teman-temannya yang sudah mulai menghangat. Yani dengan rasa bersalahnya meminta maaf kepada Tuti dan Wuri karena telah merusak rencana mereka dan berjanji akan lebih menjaga omongan serta mencari jalan keluar agar ibu Sakinah mau menerima kedatangan ketiga mahasiswa ini kembali. Tuti dan Wuri menerima maaf Yani tetapi dengan syarat apabila ia mengulangi kesalahan yang sama, atau kalau Yani melanggar syarat tersebut maka Yani tidak berhak melanjutkan ekspedisi bersama Tuti dan Wuri lagi.

Keesokan harinya, Tuti, Wuri, dan Yani pun berkumpul di rumah Yani dan siap untuk berdiskusi. Tak lama kemudian ayah Yani, Pak Rudi, datang dari kantor tempat beliau bekerja dan membawakan berbagai macam oleh-oleh sesuai pesanan Yani karena hari ini kediamannya akan didatangi tamu. Yani hanya tinggal serumah dengan ayahnya saja, ibunya telah pergi meninggalkan Yani sejak umurnya masih satu tahun. Yani hanya bercerita seperti itu saja kepada kedua temannya, ia pun juga tidak tahu alasan ibunya meninggalkan Yani dan ayahnya karena apa dan masih hidup atau sudah meninggal. Semakin Yani berusaha mencari tahu ibunya, semakin ia merasa sedih melihat ayahnya harus banting tulang dalam mengurus Yani. Oleh karena itu, Yani memutuskan untuk berhenti mencari ibunya dan membantu ayah dalam mengurus rumah mereka.

Pak Rudi pernah berkata kepada Yani bahwa dahulu, ibu Yani suka sekali dengan bunga mawar merah yang menurutnya bunga mawar merah itu sebagai perlambang cinta, kasih, dan sayang yang membara seperti rasa ibu Yani kepada keluarga kecilnya. Jadi, setiap Yani rindu kepada ibunya, Pak Rudi selalu memetikkan setangkai bunga mawar merah itu kepada Yani.

“Ibu ada di sini, Nak,” bisik ayah ke telinga Yani sembari menodongkan setangkai bunga mawar merah kepada Yani dan setiap Yani mendengar bersitan kata itu selalu memejamkan matanya, menggoreskan senyum manis di pipinya.

“Iya Ibu, Yani dan ayah sehat baik kok disini,” balas Yani lalu memeluk ayah sambil berbisik di telinga ayahnya.

“Terima kasih ya, Yah. Yani sayang Ayah,” tambah Yani masih tetap dalam pelukan ayahnya dan setiap Yani mengatakan itu, air mata ayah tak dapat dibendung. Mereka selalu melakukan itu hampir setiap minggu.

Tiga dara tersebut mulai menyusun rencana yang dipikirkan secara matang dan terstruktur.

“Oke teman-teman, ayo kita mulai diskusi ini, siapa dulu yang ingin mengungkapkan idenya?” tanya Tuti membuka diskusi bersama dengan Wuri dan Yani.

“Menurut pendapatku, gimana kalau kita bawakan nasi goreng buatan ayahku dan seikat bunga mawar merah karena itu kesukaan ibuku, kali aja Ibu Sakinah juga menyukainya,” saran Yani kepada Tuti dan Wuri.

“Oke kita setuju Yan!” jawab kompak Tuti dan Wuri dengan senyum lebar dan semangat. “Nasi goreng ayahmu memang terbaik Yan, aku saja bisa nambah sampai lima piring saat pesta ulang tahunmu kemarin hahaha,” tambah Wuri memuji masakan ayah Yani.

Mereka membulatkan tekad untuk berkunjung ke rumah ibu Sakinah dengan membawa satu ikat bunga mawar merah dan nasi goreng untuk dimakan bersamasama dengan ibu Sakinah. Akhirnya Tuti, Wuri, dan Yani sampai di depan rumah ibu Sakinah. Dengan rasa takut, Wuri mengetuk gubuk ibu Sakinah. Saat ibu Sakinah membukakan pintu, ternyata tidak sesuai ekspektasi karena beliau tidak mengingat kita. Beliau menyilakan kami untuk masuk dan duduk di kursi reyot yang masih sama seperti pertama kali mereka berkunjung di gubuk ibu Sakinah. Yani mulai memberikan satu ikat rangkaian bunga mawar merah dan menyuguhkan nasi goreng buatan ayah Rudi kepada ibu Sakinah. Saat satu suapan nasi goreng spesial sembari memandangi bunga mawar merah itu ibu Sakinah tak sadar mengungkapkan kisah masa lalunya kepada tiga mahasiswa dari Universitas Kehidupan tersebut.

“Saat Ibu melihat kalian membawa bunga mawar merah itu, Ibu tiba-tiba mengingat masa lalu bahagia Ibu bersama suami dan anak-anak Ibu. Menurut Ibu, bunga mawar merah itu melambangkan cinta, kasih, dan sayang yang membara kepada keluarga kita. Dan saat Ibu memakan satu suap nasi goreng ini, Ibu tiba-tiba ingat dulu suami Ibu suka memasakkan Ibu nasi goreng persis seperti ini ketika beliau libur dari pekerjaannya. Terima kasih ya, Nak, kalian bisa mengobati rasa rindu Ibu kepada keluarga dahulu. Sebelum Ibu diculik oleh berandal-berandal laknat itu! Saat itu Ibu sedang berlibur bersama keluarga Ibu, sedang ada penjarahan di salah satu daerah di Madura. Yang mengakibatkan Ibu terpisah dengan suami dan anak Ibu. Ibu disiksa dan dilecehkan oleh brandal-brandal laknat, sampai akhirnya Ibu merusak wajah dan area kewanitaan dengan batu-batu tajam dan kasar sehingga berandal-berandal itu merasa jijik kepada Ibu.

Sampai akhirnya, Ibu dibuang di tengah hutan ini dan Ibu berusaha untuk bertahan hidup di tengah belantara hutan ini dan memaksa ibu untuk mengenakan cadar ini agar masyarakat tidak jijik melihat wajah Ibu yang sudah rusak seperti ini,“ ucap tulus ibu Sakinah dengan tatapan mata berkaca-kaca kala mengingat masa lalunya, mungkin sisa-sisa kenangan bersama keluarga kecilnya yang dapat beliau kenang sampai saat ini karena keluarga adalah segalanya bagi beliau.

Perjuangan ketiga dara ini berbuah manis karena telah mengetahui seluk beluk masa lalu ibu Sakinah tanpa ada paksaan. Setelah mendengar cerita ibu Sakinah, Yani sempat menanyakan nama lengkap suami Ibu Sakinah yang ternyata mirip sekali dengan nama lengkap suami dan anaknya yakni Rudi Budiani dan Yani Mawarni. Sekelompok mahasiswa sekali lagi memastikan apakah benar Ibu Sakinah ini adalah sosok seorang ibu yang Yani cari selama ini, Yani menunjukkan foto masa lalu ayah Yani saat ia masih dalam ayunan tangan ayahnya.

Ibu Sakinah mengaku bahwa ia mengalami traumatik ketika berada di tengah keramaian, yang mengingatkan beliau kepada gerombolan brandalbrandal biadab yang telah menyiksa bahkan melecehkan ibu Sakinah seperti binatang jalang. Berkaca dari kisah ibu Sakinah tentang masa lalunya yang kelam membuat Yani spontan memeluk ibu Sakinah yang ternyata adalah ibunya yang hilang sejak ia berusia satu tahun lalu dengan rasa syukur, tangis, haru, bahagia semua campur aduk dibenak si gadis manis tersebut. Kemudian Yani berusaha meminta izin kepada ibu Sakinah untuk membawanya kembali bersama ayah Rudi, tanpa berpikir berulangkali ibu Sakinah pun menyetujui permohonan Yani. Sampai akhirnya Yani memutuskan untuk membawa ibu Sakinah bertemu kembali dengan ayah Rudi, dan berharap agar mereka bisa hidup bahagia bersama kembali seperti sedia kala hingga maut memisahkan.

Selesai

Penulis adalah kontributor Majalah Komunikasi UM

This article is from: