4 minute read

RANCAK BUDAYA

ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah

Jasad Kekasihku yang Mati di Bawah Kolong Jembatan

Advertisement

oleh Mochamad Ogi Sandria

D

i bawah kolong jembatan, semua terasa gelap. Hanya ada aku dan kekasihku yang terkapar tak berdaya. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan. Dia sama sekali tak bergerak. Aku tahu, dia sudah mati. Namun, tetap saja, aku tidak bisa meninggalkan dia sendirian di sini.

Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana manusia keparat itu melukai kekasihku. Hanya ada dendam serta sumpah serapah yang menyesaki dadaku saat itu. Ketika itu, kekasihku hendak menyeberang jalan. Ia sudah sangat berhati-hati. Sayangnya, ia terserempet oleh pengendara motor yang ugalugalan. Suasana saat itu masih sangat sepi sehingga tak banyak orang yang tahu insiden tersebut. Kekasihku mengalami luka yang cukup serius. Dengan langkah tertatih-tatih, ia berjalan menuju ke tempat yang sepi dan mengasingkan diri dari keramaian. Dia tahu bahwa ajalnya sudah dekat dan itupun dia lakukan juga demi aku. Aku yakin, dia tidak ingin membuatku bersedih jika aku kehilangan dia.

Sepanjang hari itu, aku sangat khawatir karena aku tidak dapat menemukan kekasihku. Padahal, biasanya kita selalu berdua. Kita biasa bermain-main di taman. Juga menelusuri jalanan di kota bersamasama. Semua tempat sudah kucari. Namun, tak ada satupun petunjuk di mana kekasihku berada. Berbekal insting sekaligus indera penciumanku yang cukup tajam, aku pun mengikuti sisa-sisa bau kekasihku. Awalnya, aku heran karena semakin aku mengikuti bau itu, aku malah semakin jauh dari keramaian. Firasatku sangat buruk. Aku takut terjadi apa-apa.

Ternyata benar, aku akhirnya menemukan dia. Kondisi kekasihku sangat mengenaskan, seperti yang kuceritakan tadi. Dia berada dalam kondisi yang kritis. Luka bekas kecelakaan tadi mungkin sudah terinfeksi parah. Kekasihku tak banyak bicara. Dia hanya diam dan sedikit tersenyum kepadaku seolah berpesan bahwa semua akan baikbaik saja. Meski berat untuk diterima, aku harus tegar setelah mengetahui hidup kekasihku tidak lama lagi. Dia sudah berada di ambang pintu kematian. Pada detik-detik terakhir itulah, aku menenaminya dan memeluk tubuhnya dengan hangat agar dia tidak takut menghadapi dinginnya kematian. Hari itu adalah hari paling menyakitkan dalam hidupku. Aku kehilangan kekasih yang sangat aku cintai.

34

| Komunikasi Edisi 332

ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah

Sekitar tiga hari telah berlalu, aku masih setia menemani kekasihku yang telah terbaring mati di bawah kolong jembatan ini. Aku tak ingin meninggalkannya terdiam sendiri, meskipun bau busuk sudah mulai tercium dari jasad kekasihku. Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh kehadiran beberapa manusia asing yang berjalan pelan menghampiri kami berdua. Jauh dari lubuk hatiku yang terdalam, aku masih membenci mereka. Merekalah yang telah membuat kekasihku tiada.

Perlahan, mereka menjulurkan tangan mereka ke arah kekasihku yang sudah mati. Dengan susah payah, aku berteriak kencang dan melawan mereka. Aku ingin menjaga kekasihku. Paling tidak, itu adalah tugas terakhirku saat ini. Aku berteriak kepada mereka dengan sangat kencang, “Jangan bawa kekasihku!”

Mereka tidak menggubris perkataanku. Sepertinya, kata-kataku tidak sampai kepada mereka. Justru, mereka membicarakan hal yang tidak aku mengerti. Aku masih keras kepala dengan keputusanku. Namun, rasanya sangat mustahil melawan mereka, sementara aku hanya sendirian di tempat ini. Aku tak kuasa lagi melawan dan terpaksa membiarkan kekasihku dibawa oleh mereka. Karena iba, mereka juga ikut membawaku pergi.

Aku masih terisak dengan tangisku dan hanya terdiam menatap kekasihku. Kami berdua lalu dibawa masuk ke sebuah mobil hitam misterius. Dan aku hanya bisa pasrah. Kami pun sampai di sebuah tempat. Sebuah tanah kosong di dekat pekarangan rumah. Mungkin, rumah itu adalah milik salah satu dari para manusia itu. Mereka lalu menggali lubang dengan sebuah sekop. Sementara itu, aku terus merengek sambil dan berteriak kencang, “Jangan bawa pergi kekasihku!”

Tetapi, mereka mendekapku dengan sangat erat sehingga pemberontakanku terasa sia-sia saja. Rasanya sangat pahit, ketika mereka mengubur jasad kekasihku di sana. Itu artinya, aku tidak dapat melihat dia lagi. Prosesi pemakaman itu pun akhirnya selesai. Tak lupa juga, mereka memberikan tanda pada makam itu dengan sebuah ranting kayu tua yang gugur berjatuhan di sekitar pekarangan itu. Lalu, mereka pun melepaskanku.

Tentu saja, aku langsung berlari dan memeluk tanah pemakaman tersebut. Tangisku pecah tak keruan. Aku berusaha mengais tanah pemakaman itu dengan tangan mungilku yang lemah tak bertenaga. Hal itu mungkin akibat dari kesedihanku yang membuatku tidak bernafsu makan selama beberapa hari ini.

Sayangnya, usahaku sia-sia. Semua percuma karena yang kuperlukan saat ini hanyalah keikhlasan untuk melepas kekasihku pergi untuk selamanya. Satu hal yang bisa kulakukan saat ini adalah mengunjungi makam kekasihku setiap sore menjelang petang. Hanya itulah caraku mengobati rasa rinduku kepada kekasihku.

Pada suatu sore yang mulai menua, seorang anak kecil tengah bercanda ria bersama keluarganya di pekarangan rumah. Perhatian anak kecil itu tiba-tiba tertuju ke sebuah ranting kayu dan juga hewan mungil yang mengelus-elus tanah di sekitar ranting kayu tersebut.

“Ayah, mengapa kucing itu selalu kemari dan duduk di samping ranting kecil itu?” tanya anak kecil itu polos.

“Kucing itu baru kehilangan pasangannya beberapa hari yang lalu. Ayah sangat sedih waktu membawanya kemari,” jawab ayah anak kecil itu.

Perlahan, aku mendekat ke arah mereka berdua setelah aku melakukan ritual rutinku. Mereka mengelus-elus kepalaku dengan lembut.

“Meow…Meow..” kataku mengharap seekor ikan asin yang biasa mereka berikan kepadaku setiap aku kemari.

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Jerman sekaligus Juara 3 Kompetisi Penulisan Cerpen majalah Komunikasi

Tahun 42 Januari - Februari 2021 | | 35

This article is from: