i
i
Volume 1, Nomor 1, Juni 2022
Penanggung Jawab Redaksi Muhammad Firman
Pemimpin Umum Nafila Andriana Putri
Wakil Pemimpin Umum Melody Akita Jessica Santoso
Pemimpin Redaksi Angelica Catherine Edelweis
Redaktur Pelaksana Nindya Amaris Minar
ii
Reviewer Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H. Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Patricia Rinwigati, S.H., M.I.L., Ph.D. Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Nathalina Naibaho, S.H., M.H. Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Ahmad Ghozi, S.H., LL.M. Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
iii
KATA PENGANTAR TIM REDAKSI Memasuki era percepatan informasi dan teknologi yang sangat pesat mendorong Indonesia untuk terus berkembang. Dalam perkembangan ini, timbul beragam permasalahan dan isu Hukum Pidana yang menimbulkan sebuah kekosongan hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia tidak bisa membiarkan terjadi sebuah kekosongan hukum, terlebih lagi kekosongan Hukum Pidana yang menyangkut lingkup hidup masyarakat umum. Mengingat pembuatan peraturan formil untuk mengisi kekosongan hukum yang terjadi membutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan isu-isu yang ada dapat terjadi dalam semalam, maka diperlukan pemikiran-pemikiran Hukum Pidana yang baru untuk mengisi kerangka berpikir hukum secara cepat dan tepat. Dalam menjawab tantangan dan kekosongan hukum, khususnya pada Hukum Pidana di Indonesia, Bidang Literasi dan Penulisan Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2022 (LK2 FHUI 2022) mencoba mewadahi pemikiran dan ide kreatif mahasiswa. Jurnal Hukum Pidana dari Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 bernama Corpus Law Journal merupakan bentuk kontribusi dan partisipasi aktif para mahasiswa dalam perkembangan Hukum Pidana di Indonesia berbentuk jurnal ilmiah. Jurnal perdana Corpus Law Journal juga menjadi salah satu inisiasi gerakan menulis ilmiah di kalangan mahasiswa guna memberikan pengembangan sumber daya manusia yang berdaya cipta dan berkreasi tinggi. Hadirnya Corpus Law Journal diharapkan membawa dampak dan manfaat yang baik bagi perkembangan Hukum Pidana di Indonesia. Akhir kata, kami segenap Tim Redaksi mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada seluruh pihak yang sudah membimbing dan membantu proses penyusunan jurnal perdana Corpus Law Journal ini. Kritik dan saran yang membangun akan selalu kami terima demi perkembangan Corpus Law Journal yang lebih baik dan bermanfaat bagi para pembaca. Kami sangat berharap Corpus Law Journal dapat menjadi acuan dan memberikan manfaat bagi para penulis, pembaca, negara, dan insan-insan yang senantiasa haus akan ilmu.
Selamat Membaca, Tim Redaksi Corpus Law Journal
Volume 1, Nomor 1, Juni 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI
iv
SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2022 “The Virtue of Justice Consist in Moderation, As Regulated by Wisdom” – Aristoteles Hubungan panjang keadilan dengan Hukum Pidana merupakan sebuah bentuk sinergi dalam pemenuhan dan penertiban kehidupan manusia dalam berbangsa dan bernegara.
Hukum
menjadi
sebuah
alat
untuk
memberikan check and balances dalam kehidupan manusia yang dilindungi oleh Hak Asasi Manusia yang menunjukkan bahwa Hukum mengatur sikap tindak manusia agar tidak dan menjaga kebebasan yang berlebihan. Ronal Dworkin menyatakan bahwa untuk mengukur yang dinamakan Political Morality harus menjamin kepada tiga hal yaitu justice, fairness, and procedural due process. Ketiga hal ini berpusat ke dalam sebuah tujuan yaitu Keadilan yang bermoral. Ketiga hal tersebut, tentu berkaitan dengan Hak Asasi Manusia terutama terkait pemidanaan. Terdapat sebuah prinsip yang menjadi acuan dalam Hukum Pidana “nullum delictum nulla poena lege poenali.” Prinsip ini menjadi bentuk konkrit dalam bagaimana Hukum Pidana berlaku untuk menjadi alat penertiban dan ketentraman masyarakat dalam bersikap tindak di kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada dewasa ini, telah terjadi pergeseran paradigma dalam Hukum Pidana yang telah tercermin dalam praktiknya di lapangan. Secara materiil banyak terjadi penyimpangan secara teori Hukum Pidana, namun secara kebiasaan merupakan hal yang lumrah. Globalisasi dan perubahan situasi kondisi Negara Indonesia pada saat ini menjadi sebuah hal yang mempengaruhi perubahan Hukum Pidana. Hukum Pidana Indonesia yang masih memakai aturan straafbaar feit zaman Kolonialisasi Belanda membuat praktik Hukum Pidana di Indonesia stagnan. Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana disinyalir menjadi jawaban dalam perubahan tersebut, namun pengaruh politik hukum membuat moral dan keadilan berpengaruh besar dan menjadi sebuah diskursus. Hal ini memang baik untuk menjadi warna dalam demokrasi Indonesia dan diskursus dalam perubahan hukum nasional Indonesia. Karena itu, Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia selalu menjadi garda terdepan di dalam membahas dan mengkaji secara keilmuan permasalahan yang ada khususnya dalam Hukum Pidana Indonesia. Kami ucapkan terima
Volume 1, Nomor 1, Juni 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI
v
kasih kepada segenap Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 atas sebuah mahakarya yang menjadi bentuk sumbangsih mahasiswa hukum terhadap perkembangan hukum nasional. Tulisan ini diharapkan dapat menjawab dan membahas studi kasus riil yang terjadi di lapangan terkait praktik Hukum Pidana. Terakhir dari kami, semoga tulisan dan manfaat dalam proses serta setelah menulis di jurnal ini dapat dinikmati di kemudian hari. Sekian dari saya mewakili kepengurusan LK2 FHUI 2022.
Selamat Membaca. LK2 FHUI Get Friends, Gain Knowledge
Volume 1, Nomor 1, Juni 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI
vi
DAFTAR ISI
Reviewer.................................................................................................................................... ii KATA PENGANTAR TIM REDAKSI ................................................................................... iii SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2022 .................................................... iv KEKOSONGAN HUKUM UNDANG-UNDANG PERIKANAN DALAM MENINDAKLANJUTI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI ASING SEBAGAI PELAKSANA ILLEGAL FISHING DI PERAIRAN INDONESIA ..................... 1 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KASUS KERANGKENG MANUSIA OLEH BUPATI LANGKAT: INDIKASI PERBUDAKAN MODERN BERUPA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG .................................................................................................. 26 PIDANA MATI HERRY WIRAWAN SEBAGAI SUATU PENCEGAHAN UMUM “GENERAL DETERRENCE” KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA ........................ 66 PROSEDUR DAN PENERAPAN PERADILAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL: SUATU KAJIAN PERBANDINGAN ANTARA KUHAP DAN UU TPKS ... 91 “KLITIH” DAN RESPONS PERADILAN PIDANA ANAK INDONESIA ...................... 113
Volume 1, Nomor 1, Juni 2022 Corpus Law Journal LK2 FHUI
1
KEKOSONGAN HUKUM UNDANG-UNDANG PERIKANAN DALAM MENINDAKLANJUTI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI ASING SEBAGAI PELAKSANA ILLEGAL FISHING DI PERAIRAN INDONESIA
Chelsea Raphael Rajagukguk Fakultas Hukum Universitas Indonesia chelsea.raphael@ui.ac.id Fadli Nur Iman Hasbullah Fakultas Hukum Universitas Indonesia fadli.nur11@ui.ac.id Venitta Yuubina Fakultas Hukum Universitas Indonesia venitta.yuubina@ui.ac.id Abstrak Sebagai negara maritim yang memiliki hamparan laut luas, Indonesia dikenal sebagai negara yang berlimpah akan sumber daya perikanan. Akan tetapi, sejumlah perusahaan luar negeri mengeksploitasinya secara ilegal melalui pelaksanaan illegal fishing. Tingginya angka kasus kejahatan tersebut memberikan dampak destruktif bagi perekonomian dan tidak sejalan dengan cita-cita negara. Oleh sebab itu, kajian ini akan meninjau kembali mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan untuk menanggulangi illegal fishing di Indonesia. Kajian ini pun akan membandingkan upaya Indonesia dengan negara asing, yaitu Australia dan Cina. Tulisan ini menerapkan metode penelitian normatif sehingga menitikberatkan pada celah dalam perundang-undangan yang tengah berlaku. Kata Kunci: Illegal Fishing, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Indonesia.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
2
LEGAL GAP IN FISHERIES LAW FOR FOLLOWING UP FOREIGN CORPORATES’ CRIMINAL LIABILITY AS THE PERPETRATORS OF ILLEGAL FISHING IN INDONESIAN WATERS
Abstract Indonesia is renowned as a country with significant fishing resources since it is a maritime country with a large expanse of water. However, a number of foreign corporations unlawfully exploit it through illicit fishing. The large number of criminal cases has a negative influence on the economy and is contrary to the state's goals. As a result, in order to combat illicit fishing in Indonesia, this research will examine the criminal liability of corporations in Act of the Republic of Indonesia Number 45 of 2009. This article will also compare Indonesia's efforts with foreign countries, such as Australia and China. This article employs a normative research strategy, focusing on loopholes in the present legislation. Keywords: Illegal Fishing, Corporate Criminal Liabilities, Indonesia.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
3
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Memiliki lebih dari 17.000 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.1 Berdasarkan Rujukan Nasional Data Kewilayahan Republik Indonesia pada tahun 2018, luas Republik Indonesia secara keseluruhan adalah 8.300.000 km2, dengan 6.400.000 km2 di antaranya merupakan luas total perairan yang terbagi menjadi perairan pedalaman dan kepulauan yang terbentang seluas 3.110.000 km2, laut teritorial seluas 290.000 km2, zona tambahan seluas 270.000 km2, serta Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 3.000.000 km2.2 Mengetahui hal tersebut, dapat dipastikan bahwa laut Indonesia tidak hanya dipandang sebagai media juang negara, tetapi juga sebagai ruang penghidupan rakyat yang mengacu pada sumber daya ekonomi.3 Pernyataan tersebut tentu didukung oleh data Food and Agriculture Organization di tahun 2020 yang menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga untuk perikanan tangkap laut terbesar di dunia, membuatnya menyumbang 8% dari produksi dunia.4 Akan tetapi, jika pernyataan tersebut memang benar adanya, masyarakat Indonesia—terlebih yang bertempat tinggal di pesisir pantai—sudah sepantasnya tidak dilanda oleh kemiskinan. Namun, dari 147 kabupaten/kota di wilayah pesisir Indonesia, terdapat sekitar 1,3 juta penduduk yang masuk dalam kategori miskin ekstrem.5 Kemiskinan tersebut tentu akan membawa permasalahan baru, yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia. Padahal, maksimalisasi pemberdayaan sumber daya alam di pesisir bergantung pada tinggi atau rendahnya sumber daya Konsulat Jenderal Republik Indonesia Frankfurt, “Sekilas tentang Indonesia,” https://www.indonesia-frankfurt.de/pendidikan-budaya/sekilas-tentang-budaya-indonesia/, diakses 8 Mei 2022. 2 Kominfo, “Pemerintah Targetkan Hapus Kemiskinan Ekstrem di Wilayah Pesisir,” https://kominfo.go.id/content/detail/38902/pemerintah-targetkan-hapus-kemiskinan-ekstrem-diwilayah-pesisir/0/berita, diakses 8 Mei 2022. 3 Oksimana Darmawan, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia,” Jurnal Yudisial, Vol. 11, No. 2, (2018), hlm. 172. 4 Dasuki Raswadi, “Indonesia Peringkat Ketiga Bidang Perikanan Tangkap Laut Terbesar Di Dunia,” https://kabartegal.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-93908234/indonesia-peringkatketiga-bidang-perikanan-tangkap-laut-terbesar-didunia#:~:text=Data%20Food%20and%20 Agriculture%20Organization, menyumbang%208%25%20dari%20produksi%20dunia, diakses 8 Mei 2022. 5 Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, “Pemerintah Targetkan Hapus Kemiskinan Ekstrem di 147 Kabupaten/Kota Wilayah Pesisir di Tahun 2022,” https://setkab.go.id/pemerintah-targetkan-hapus-kemiskinan-ekstrem-di-147-kabupaten-kotawilayah-pesisir-di-tahun-2022/, diakses 8 Mei 2022. 1
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
4
manusia di area bersangkutan, yang dalam hal ini berkaitan erat dengan kemampuan untuk melestarikan alam. Kesempatan tersebut dipandang sebagai suatu peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk meraup dan menguntungkan diri masing-masing dengan melaksanakan tindakan illegal fishing. Sepanjang Oktober 2019 hingga Juli 2020, pemerintah berhasil mencatat 49 kasus penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal asing.6 Mirisnya pada tahun 2021 sendiri, pemerintah telah melakukan penangkapan 53 kapal ikan asing yang mencuri ikan.7 Padahal, hingga tahun 2018 sendiri, kerugian yang dialami Indonesia akibat illegal fishing telah mencapai dua ribu triliun Rupiah.8 Meningkatnya angka tersebut seakan-akan belum membuat pemerintah merasa terdorong untuk menanggulangi kasus ini dengan tanggap sehingga para pelaku pun tidak kunjung jera. Walaupun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang diperuntukkan untuk mengatur tentang sanksi administratif yang dapat dikenakan kepada para pelaku illegal fishing, penegakan hukum di Indonesia cenderung dianggap lemah.9 Proses hukum di Indonesia yang cenderung memberikan sanksi kepada kaum kapal awak semata tanpa melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang korporasi yang sebenarnya membenahi aktivitas tersebut.10 Oleh karena itu, sudah sepantasnya pemerintah melakukan peninjauan ulang terhadap perundang-undangan negara yang bersinggungan erat dengan perikanan demi menemukan celah yang dapat direvisi agar penegakan hukum pidana bagi korporasi asing sebagai pelaku illegal fishing dapat terakomodasi.
Fika Nurul Ulya, “Sejak Oktober 2019, KKP Sudah Menjaring 66 Kapal Illegal Fishing,” https://money.kompas.com/read/2020/07/22/110000126/sejak-oktober-2019-kkp-sudahmenjaring-66-kapal-illegal-fishing, diakses 8 Mei 2022. 7 Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Refleksi 2021, KKP Buktikan Zero Tolerance Terhadap Illegal Fishing dan Jaga Ketat Pemanfaatan Laut Indonesia,” https://kkp.go.id/djpsdkp/artikel/36926-refleksi-2021-kkp-buktikan-zero-toleranceterhadap-illegal-fishing-dan-jaga-ketat-pemanfaatan-laut-indonesia, diakses 8 Mei 2022. 8 CNBC Indonesia, “Susi Akui RI Pernah Rugi Rp 2.000 T Akibat Illegal Fishing,” https://www.cnbcindonesia.com/news/20180626075822-4-20458/susi-akui-ri-pernah-rugi-rp2000-t-akibat-illegal-fishing, diakses 8 Mei 2022. 9 MG Noviarizal Fernandez, “Sanksi Pelaku Illegal Fishing Dinilai terlalu Ringan,” https://kabar24.bisnis.com/read/20190321/16/902959/sanksi-pelaku-illegal-fishing-dinilai-terlaluringan, diakses 8 Mei 2022. 10 Oksimana Darmawan, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia,” Jurnal Yudisial, Vol. 11, No. 2, (2018), hlm. 173. 6
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
5
Dalam artikel ini, Penulis akan membahas masalah mengenai penegakan hukum pidana bagi korporasi asing sebagai pelaku illegal fishing melalui beberapa rumusan masalah. Artikel ini akan mencoba mengupas mengenai kondisi atau status quo dari hukum perikanan di Indonesia, langkah penegakan hukum dan peraturan pertanggungjawaban korporasi yang ada di negara lain sebagai pembanding. Terakhir, artikel ini akan mendalami mengenai efektivitas peraturan perundang-undangan terhadap korporasi asing yang melakukan tindak pidana illegal fishing.
II.
PEMBAHASAN
2.1. Tinjauan Pustaka A. Illegal Fishing Tindakan illegal fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku, termasuk ketentuan yang diterapkan di tingkat regional maupun internasional.11 Berdasarkan isi International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUU), illegal fishing didefinisikan sebagai berikut:12 a. Kegiatan yang dilakukan oleh kapal nasional atau asing di perairan di bawah yurisdiksi suatu negara, tanpa izin negara tersebut, atau bertentangan dengan undang-undang dan peraturannya; b. Kegiatan yang dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara yang merupakan pihak pada organisasi pengelolaan perikanan regional yang relevan, tetapi beroperasi bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi tersebut dan yang mengikat negara tersebut, atau ketentuan yang relevan dari hukum internasional yang berlaku; atau
National Oceanic and Atmospheric Administration's Fisheries, “Understanding Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing,” https://www.fisheries.noaa.gov/insight/understandingillegal-unreported-and-unregulated-fishing#what-is-illegal,-unreported,-and-unregulated-fishing?, diakses 27 April 2022. 12 Food and Agriculture Organization, International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, (Rome: FAO, 2001), hlm. 2. 11
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
6
c. Kegiatan yang melanggar hukum nasional atau kewajiban internasional, termasuk yang dilakukan oleh negara-negara yang bekerja sama dengan organisasi pengelolaan perikanan regional yang relevan. Tidak hanya di tingkat internasional, di tingkat nasional terdapat peraturan yang mengatur terkait illegal fishing. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2017, Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing) merupakan kegiatan perikanan yang tidak sah atau yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.13 Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, penangkapan ikan didefinisikan sebagai kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.14 Dari ketentuan pasal ini terlihat bahwa jika ada seorang individu atau badan (korporasi) melanggar ketentuan Pasal 1 UU Nomor 45 Tahun 2009 maka orang atau korporasi tersebut telah melakukan illegal fishing. Illegal fishing ini berdampak pada ekonomi, sumber daya alam, hingga pertahanan dan keamanan banyak negara. Oleh karena Indonesia merupakan negara maritim, tentunya illegal fishing menjadi suatu isu yang terjadi di perairan Indonesia. Tindakan illegal fishing yang biasa terjadi di perairan Indonesia, adalah sebagai berikut:15 a. Penangkapan ikan tanpa izin; b. Penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu; c. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang; dan d. Penangkapan ikan dengan jenis yang tidak sesuai dengan izin.
13
Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tentang Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing), Nomor PM 37 Tahun 2017, Ps. 1. 14 Indonesia, Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009, TLN No. 3073, Ps. 1. 15 Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Kebijakan Pengawasan dalam Penanggulangan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing, (Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006), hlm. 8.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
7
Tindakan illegal fishing belum menjadi isu transnasional yang dirumuskan secara jelas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”). United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 sebagai ketentuan hukum internasional, mengatur secara umum mengenai penegakan hukum di laut teritorial maupun ZEE suatu negara, isinya tidak mengatur tentang illegal fishing secara khusus. Namun pada kenyataannya, isu ini kerap menjadi perhatian organisasi-organisasi internasional dan regional sebagai salah satu kejahatan terorganisir yang merugikan negara dan mengancam kelestarian sumber daya perikanan. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan khusus dalam rangka menanggulangi tindakan ilegal ini. Salah satu organisasi internasional yang mengatur isu ini adalah Food and Agriculture Organization (FAO). FAO telah mengatur dan merumuskan tindakan illegal fishing ke dalam ketentuan-ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries (Code of Conduct).16 Pada ketentuan tersebut dicantumkan mengenai aspek keberlangsungan ekosistem laut dan sumber daya perikanan yang terkandung didalamnya.
B. Pertanggungjawaban Korporasi Menurut Utrecht, korporasi adalah badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.17 Terdapat tiga model teoritis dalam menafsirkan pertanggungjawaban pidana korupsi menurut Nico Keijzer. Pertama, suatu tindakan korporasi dianggap bukan tindakannya sendiri, melainkan tindakan orang yang secara alamiah melakukannya sebagai bentuk perwakilan tersebut. Model kedua adalah suatu tindakan korporasi memang dilakukannya sendiri namun tindakannya itu adalah tindakan suatu organ, misalnya dewan komisaris korporasi tersebut. Model yang terakhir adalah model yang melihat suatu tindakan korporasi adalah memang benar tindakannya sendiri, bukan dilihat tindakan pihak lain.18
16
Food and Agriculture Organization, Code of Conduct for Responsible Fisheries, (1995),
Ps. 8. Yudi Krismen, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4, No.1, (2018), hlm.142. 18 Tim Pokja Penyusunan Pedoman Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Tata Cara Penanganan Perkara Pidana Korporasi (Jakarta: Mahkamah Agung RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, 2017), hal. 23. 17
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
8
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menganut asas universitas delinquere non potest, yang bermakna bahwa korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana karena korporasi dipandang sebagai suatu fiksi hukum dalam lingkungan keperdataan dan tidak cocok diambil alih dalam hukum pidana.19 Dalam KUHP tidak terdapat aturan yang secara eksplisit menyebutkan bahwa korporasi sebagai pelaku tindak pidana, hal ini dikarenakan KUHP hanya mengenal perseorangan sebagai pelaku tindak pidana. Selain itu, korporasi juga dianggap bukan sebagai subjek dalam hukum pidana karena korporasi dianggap tidak mempunyai jiwa atau keinsyafan untuk melakukan tindak pidana. Subjek korporasi atau badan hukum (rechtspersoon) pada mulanya hanya dikenal dalam lingkup hukum perdata. Namun, dalam perkembangannya pembuat undang-undang ketika merumuskan mempertimbangkan bahwa manusia juga terkadang melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi dalam hukum keperdataan ataupun di luar hal tersebut sehingga muncul pengaturan terhadap korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana.20 Dengan diakomodasinya kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana umum dalam perubahan KUHP Belanda tahun 1976 membuat korporasi dapat dianggap sebagai pelaku tindak pidana seperti manusia sebagai subjek hukum.21 Namun, karena korporasi tidak dapat dikenakan pidana pemenjaraan, maka pidana pokok bagi korporasi adalah pidana denda dengan pidana pengganti denda (subsidair) berupa penyitaan aset korporasi yang kemudian dilelang dan dipergunakan untuk membayar pidana denda tersebut.
2.2. Status Quo Praktik Illegal Fishing di Indonesia Pada hakikatnya, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (UU Nomor 45 Tahun 2009) ditetapkan untuk melindungi potensi sumber daya H. Santhos Wachjoe, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi,” Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5, No. 2, (2016), hlm. 162. 20 Suhariyanto, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Corporate Culture Model dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan Masyarakat,” Jurnal Rechtsvinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol. 6, No.3, (2017), hlm. 441-458. 21 Institute For Criminal Justice, “Pertanggungjawaban Korporasi dalam Rancangan KUHP,” https://icjr.or.id/pertanggungjawaban-korporasi-dalam-rancangan-kuhp/, diakses 8 Mei 2022. 19
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
9
perikanan nasional dari segala tindakan eksplorasi yang merugikan negara. Selain itu, UU Nomor 45 Tahun 2009 juga dibentuk sebagai langkah antisipasi atas segala bentuk kemungkinan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kapal asing maupun perusahaan asing, salah satu contohnya adalah pencurian ikan dan jual beli ikan di atas kapal (transhipment). Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 45 Tahun 2009, perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya, dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, hingga pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.22 Para pelaku tindak pidana dalam hukum pidana Indonesia khususnya dalam tindak pidana di bidang perikanan adalah orang perorangan dan korporasi. Ketentuan subjek hukum tersebut sudah ada sejak tahun 1985, yakni dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (UU Nomor 9 Tahun 1985). Selain itu, terdapat pada UU Nomor 45 Tahun 2009 mencantumkan pula bahwa korporasi juga tetap diakui keberadaannya sebagai subjek hukum.23 Akan tetapi, dari keseluruhan peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana di bidang perikanan yang telah ada hingga saat ini, tidak terdapat satu aturan pun yang menyebutkan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, baik itu berupa sanksi pidana pokok maupun sanksi pidana tambahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 101 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Nomor 31 Tahun 2004). Terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai berikut:24 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat atau pelaku tindak pidana, dan penguruslah yang bertanggung jawab; 2. Korporasi sebagai pembuat atau pelaku tindak pidana dan pengurus yang bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut;
Ambarini, “Perlindungan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil Bidang Perikanan sebagai Upaya Pengendalian Pencemaran Wilayah Pesisir dan Laut,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 3 No. 1, (2017), hlm. 31-50. 23 Ireine Rilanita Korengkeng, “Kewenangan Kejaksaan Dalam Penanganan Jual Beli Hasil Perikanan Ilegal Oleh Pelaku Usaha,” Jurnal Lex et Societatis, Vol. 4, No. 6, (2016), hlm. 44. 24 Moeh Roem Soetrisno, Ilham Abbas dan Baharuddin Badaru, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Di Bidang Perikanan,” Jurnal of Lex Generalis, Vol. 1, No. 7, (2020), hlm. 1050. 22
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
10
3. Korporasi sebagai pembuat atau pelaku tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut. Mengetahui bahwa korporasi tidak dimintakan pertanggungjawaban pidana ketika, di saat yang bersamaan, diakui sebagai pelaku suatu tindak pidana, timbullah banyak kelemahan dan celah hukum. Oleh karena itu, penjatuhan pidana penjara atau denda yang hanya diberikan kepada pengurus korporasi akan menjadi tidak sebanding. Selain itu, penjatuhan pidana kepada pengurus korporasi juga tidak cukup dengan memberikan jaminan bahwa korporasi tersebut tidak akan melakukan tindakan serupa dikemudian hari. Pada praktiknya, pihak korporasi juga tidak sedikit yang berlindung dibalik korporasi boneka yang sengaja mereka bentuk untuk melindungi korporasi induknya.25 Dalam berbagai contoh kasus, mereka yang sampai di pengadilan hanya pelaku yang bekerja di lapangan seperti nakhoda kapal, kepala kamar mesin, dan anak buah kapal sedangkan pihak-pihak yang berada di belakang mereka, yaitu korporasi itu sendiri nyaris tidak pernah tersentuh. Hal tersebut dapat terjadi akibat tidak diaturnya korporasi sebagai subjek yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana di bidang perikanan sehingga menyebabkan undangundang perikanan tidak dapat memastikan penjatuhan sanksi pidana untuk memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, korporasi sebagai pelaku tindak pidana harus dapat dikenai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukannya karena apabila yang dapat dipidana hanya pengurus saja maka tidaklah cukup. Salah satu kasus illegal fishing yang melibatkan korporasi sebagai dalang terdapat pada kasus Kapal Viking yang tertangkap di perairan Tanjung Berakit, Kepulauan Riau pada 25 Februari 2016 silam. Pada kapal tersebut ditemukan dokumen yang menunjukan terdapat keterkaitan antara kapal tersebut dengan perusahaan perikanan di Spanyol. Perusahaan tersebut diduga sebagai sumber yang membiayai operasional kapal dan mengatur tempat penjualan ikan hasil dari illegal fishing tersebut. Namun, vonis Pengadilan Negeri Tanjung Pinang hanya memvonis Nahkoda kapal dan teknisi mesin dengan membayar denda Rp 2 miliar dan subsider 25 Marianus Tefi, “Analisis Hukum Terkait Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Illegal Fishing,” https://jdih.kkp.go.id/uploads/posts/21363-analisis-hukum-terkait-pertanggungjawabankorporasi-dalam-illegal-fishing.pdf, diakses 7 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
11
empat bulan kurungan.26 Kasus illegal fishing yang melibatkan korporasi selanjutnya adalah pada Kapal M.V. Hai Fa yang terjadi di Pelabuhan Wanam Merauke pada tahun 2014. Dalam kasus tersebut, diketahui bahwa Kapal M.V. Hai Fa merupakan kapal milik korporasi bernama Hai YI Shipping Limited yang dicarter oleh PT. Dwikarya Reksa Abadi dan PT. Avona Mina Lestari. Namun, vonis Pengadilan Perikanan Negeri Ambon hanya menjatuhkan denda sebesar Rp200 juta dengan subsider enam bulan penjara kepada nahkoda kapal.27 Jika melihat track record Susi Pudjiastuti selama menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sudah lebih dari 500 kapal asing berhasil beliau tenggelamkan, tetapi tidak satu pun dari kasus tersebut yang dapat menjerat korporasi sebagai pemilik dari kapal-kapal tersebut dan hanya menjerat nahkoda dan awak kapal saja.28 Oleh karena itu, sudah sepatutnya aturan hukum pidana Indonesia khususnya dalam mengatur tindak pidana di bidang perikanan mengakomodasi pertanggungjawaban korporasi atas tindak pidana yang dilakukannya ke dalam pasal-pasal dalam undang-undang perikanan agar kiranya korporasi dapat dijatuhi sanksi pidana. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir tindak pidana di bidang perikanan serta menjangkau subjek tindak pidana termasuk korporasi agar seluruhnya dapat dijatuhi sanksi pidana untuk memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana. Menurut data Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan, kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana perikanan tersebut sangat besar, hal tersebut mengimplementasikan bahwa Indonesia masih belum maksimal menangani tindak pidana illegal fishing.29 Dalam membuat suatu dasar hukum pertanggungjawaban korporasi pada tindak pidana diperlukan upaya pemerintah untuk mengkaji lebih mendalam terkait peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memasukan substansi sistem 26 Issha Haruma, “Kasus-kasus Illegal Fishing di Indonesia,” https://nasional.kompas.com/read/2022/05/19/00300031/kasus-kasus-illegal-fishing-diindonesia?page=all, diakses 29 Mei 2022. 27 I Kadek Andi Pramana Putra, I Dewa Gede Dana Sagama, “Urgensi Pengaturan Perampasan Aset Korporasi Hasil Tindak Pidana Illegal Fishing di Indonesia,” Jurnal Kertha Negara, Vol. 9, No. 9, (2021), hlm. 300. 28 Lani Diana Wijaya, “Susi Minta Revisi UU Perikanan Bisa Jerat Korporasi Pencuri Ikan,” https://bisnis.tempo.co/read/1257024/susi-minta-revisi-uu-perikanan-bisa-jerat-korporasipencuri-ikan, diakses 30 Mei 2022. 29 Moeh Roem Sutrisno, Ilham Abbas dan Baharuddin Badaru, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Di Bidang Perikanan,” Jurnal of Lex Generalis, Vol. 1, No. 7, (2020), hlm. 1047.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
12
pertanggungjawaban pidana yang memungkinkan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Hal ini penting mengingat sulitnya penanganan dan penjatuhan pidana illegal fishing yang dilakukan oleh korporasi sehingga pemerintah harus membuat suatu formulasi hukum yang dapat mendudukan korporasi dalam pemberian sanksi pidana.
2.3. Studi Komparasi: Upaya Negara Lain dalam Menindaklanjuti Korporasi yang Melakukan Illegal Fishing Tidak hanya di Indonesia, illegal fishing pun menjadi salah satu isu di berbagai negara. Sekitar 22% ikan ditangkap secara ilegal dan kerugian ekonomi dari praktik illegal fishing ini mencapai sekitar 26-50 miliar USD.30 Oleh karena itu, beberapa negara mengambil langkah untuk mencegahnya dengan membuat lembaga khusus serta peraturan perundang-undangan. Namun, diantara negara yang memiliki peraturan perundang-undangan terkait illegal fishing, belum ada satu pun yang mengatur bagaimana pertanggung jawaban korporasinya secara khusus. Tabel 1.0 Perbandingan Negara Negara
Lembaga untuk Menanggul angi Illegal Fishing
Peraturan Definisi Illegal Fishing
Definisi Korporasi sebagai Pelaku Illegal Fishing Secara Spesifik
Pertanggung Berisi jawaban Surat Izin Korporasi Penangkap sebagai an Ikan Pelaku Illegal Fishing
Australia
Australian Fisheries Management Authority
🗸
-
-
🗸
Indonesia
Kementerian Kelautan dan Perikanan
🗸
Tidak secara spesifik
-
🗸
30 Jessica Aldred, “Explainer: Illegal, unreported and unregulated fishing,” https://chinadialogueocean.net/en/conservation/11813-explainer-illegal-unreported-andunregulated-fishing/, diakses 23 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
13
Republik Indonesia Cina
The Chinese Ministry of Agriculture
-
-
-
🗸
Meskipun masih ditemukan kekosongan hukum pertanggungjawaban korporasi pada ketiga negara di atas, upaya-upaya menindaklanjuti korporasi yang melakukan illegal fishing terus dilakukan. 2.3.1. Australia Dalam upaya menindaklanjuti praktik illegal fishing, Australia telah mempersiapkan beberapa hal seperti mengerahkan lembaga untuk memantau dan meneliti praktik perikanan dan illegal fishing yang kian memarak, menjalankan program perikanan nasional, hingga membuat serta menegakan peraturan perundang-undangan khusus perikanannya. Lembaga yang membantu mengatasi illegal fishing di Australia adalah Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) dan Australian Fisheries Management Authority (AFMA). CSIRO menyediakan alat perikanan yang murah dan inovatif untuk melakukan pemantauan dan pengawasan laut untuk memerangi illegal fishing dan memastikan ketahanan pangan dan mata pencaharian bagi populasi dunia yang terus bertambah jumlahnya. Selain itu, CSIRO memanfaatkan data yang ada dengan lebih baik dan mengidentifikasi sumber informasi baru yang murah dengan menciptakan teknologi pengawasan untuk membantu perikanan dengan identifikasi dan pengawasan, menciptakan alat analisis untuk mengekstrak informasi dari kumpulan data yang ada, serta bekerja sama dengan mitra kolaboratif tingkat nasional dan internasional untuk meningkatkan pengembangan kapasitas dan pelatihan.31 Tidak berbeda jauh, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia memiliki tugas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan serta berfungsi untuk merumuskan dan melaksanakan 31 Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation, “Marine monitoring and surveillance,” https://www.csiro.au/en/research/animals/fisheries/marine-monitoring-andsurveillance, diakses 23 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
14
kebijakan pengelolaan kelautan dan perikanan, melaksanakan bimbingan teknis dan mengawasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan kelautan dan perikanan. Tidak hanya itu, KKP juga melakukan penelitian serta menjalankan program-program untuk memberdayakan masyarakat untuk memajukan bidang kelautan dan perikanan di Indonesia. 32 Agar hukum perikanan di Australia dapat berjalan dengan efektif, pemerintah Australia mendukung adanya compliance (kepatuhan) secara sadar dan sukarela, deterrence (pencegahan), dan enforcement (penegakan) yang berbasis resiko33 serta membedakan antara kepatuhan di tingkat domestik (domestic compliance) dan kepatuhan di tingkat internasional (international compliance).34 Hal ini tergambarkan dari peraturan perikanan yang telah dirumuskan oleh pemerintah Australia. Peraturan yang menjadi dasar dari peraturan perikanan di Australia adalah Fisheries Management Act 1991 dan Fisheries Administration Act 1992.35 Fisheries Management Act 1991 mengatur mengenai perizinan terkait penangkapan ikan, hak-hak penangkapan ikan menurut undang-undang (statutory fishing rights), pendaftaran kapal yang berwenang menangkap ikan di laut lepas, serta penahanan nelayan asing terduga melakukan penangkapan ikan secara ilegal (provisions relating to detention of suspected illegal foreign fishers). Tidak ada satupun pasal yang menyebutkan definisi korporasi maupun bagaimana pertanggungjawabannya. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjelaskan definisi korporasi dan juga mengatur lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat menjadi pelaku illegal fishing. Antara lain, setiap orang; nakhoda atau pemimpin kapal perikanan; ahli penangkapan ikan; anak buah kapal; pemilik kapal perikanan; pemilik perusahaan perikanan; penanggung jawab perusahaan perikanan; operator kapal perikanan; pemilik perusahaan pembudidayaan ikan; kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan; penanggung jawab pembudidayaan ikan di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, “Tugas dan Fungsi,” https://kkp.go.id/page/139-tugas-dan-fungsi, diakses 26 Mei 2022. 33 Australian Fisheries Management Authority, 2020 National Compliance and Enforcement Policy, (Australia: AFMA, 2020), hlm. 6-9. 34 Australian Fisheries Management Authority, “Rules and Regulations,” https://www.afma.gov.au/rules-and-regulations, diakses 25 April 2022. 35 Australian Fisheries Management Authority, “Legislation and regulation,” https://www.afma.gov.au/about/legislation-regulation, diakses 25 April 2022. 32
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
15
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.36 Meskipun korporasi diakui sebagai pelaku illegal fishing, di dalamnya belum menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban korporasi, terkhususnya bagi korporasi asing. Terkait perizinan penangkapan ikan juga telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004. Di dalamnya mendefinisikan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) sebagai izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan. Oleh karena SIPI ini wajib dimiliki oleh “setiap kapal yang melakukan penangkapan ikan”, maka SIPI ini pun berlaku bagi kapal asing yang akan melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia. Pada Pasal 27 dijelaskan bahwa setiap orang yang menggunakan kapal penangkap ikan berbendera asing untuk melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia wajib memiliki SIPI.37 Dengan adanya keharusan memiliki SIPI menunjukkan bahwa setiap kapal, termasuk kapal asing, tidak bisa sembarangan menangkap ikan di laut Indonesia.
2.3.2. Cina Di negara Cina sudah terdapat peraturan perikanannya yang telah direvisi beberapa kali, namun masih dinilai belum jelas dan spesifik. Untuk menanggulangi illegal fishing, Cina telah membuat persyaratan bagi kapal untuk menangkap ikan di laut lepas, yaitu harus mengajukan izin penangkapan ikan di laut lepas tertentu sesuai dengan peraturan, yang berisi daerah penangkapan ikan, spesies target utama dan waktu penangkapan ikan yang diizinkan untuk ditangkap serta karakteristik kapal penangkap ikan. Kapal yang akan digunakan harus beroperasi sesuai dengan syarat lisensi penangkapan ikan. Selain itu, Cina menerapkan beberapa praktik untuk mencegah terjadinya illegal fishing, yakni Pertama dengan instalasi wajib sistem pemantauan kapal untuk memudahkan pemantauan kegiatan penangkapan ikan perairan jauh yang dilakukan kapal perusahaan; Kedua dengan sistem blacklisting dimana sertifikat izin penangkapan ikan perairan jauh para pelaksana dan pelaku illegal fishing (kepala pelaksana proyek penangkapan ikan perairan jauh beserta awak kapalnya) 36 Indonesia, Undang-Undang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, LN No. 118 Tahun 2004, TLN No. 4433. Ps. 84-100. 37 Ibid., Ps. 27.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
16
ditarik; Ketiga dengan pengurangan subsidi dari pemerintah; Keempat dengan peningkatan pengumpulan dan pelaporan data penangkapan ikan; Kelima dengan peningkatan jumlah pengamat kegiatan perikanan dari akademisi; serta Keenam dengan mengadakan pelatihan nakhoda dan awak kapal.38 Pada tahun 2018, terdapat tiga perusahaan Cina yang tertangkap melakukan illegal fishing di perairan Afrika Barat. Kementerian Agrikultur Cina kemudian menindaklanjuti praktik illegal fishing tersebut dengan mencabut izin penangkapan ikan perairan jauh yang dimiliki oleh Lian Run Pelagic Fishery Company Ltd. serta menghentikan pemberian subsidi bahan bakar kapal untuk dua perusahaan lainnya.39
3.4. Evaluasi Peraturan Perundang-undangan Indonesia dengan Australia dan Cina secara Komparatif dalam Menanggulangi Korporasi Asing yang Melakukan Tindak Pidana Illegal Fishing Mengingat lemahnya usaha pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana illegal fishing, upaya yang dilakukan oleh Australia dan Cina dapat dijadikan sebagai objek berkaca dalam membenahi perundang-undangan negara. Memang, beberapa tahun kebelakang, pemerintah berupaya menanggulangi tindak pidana illegal fishing melalui alternatif cara yang cukup menarik perhatian masyarakat, yaitu peledakan dan penenggelaman kapal perikanan pelaku illegal fishing. Tindakan tersebut terbukti efektif dalam memberikan efek jera kepada pelaku illegal fishing meskipun masih terdapat pro dan kontra dalam penerapan kebijakan tersebut. Penenggelaman dan peledakan puluhan kapal asing yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tanpa melalui persidangan ini memang merupakan kewenangan negara dan diatur dalam Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang menyatakan bahwa,
Huihui Shen dan Shuolin Huang, “China's policies and practice on combating IUU in distant water fisheries,” Aquaculture and Fisheries, Vol. 6, No.1, 2021, hlm. 27-34. 39 Greenpeace Africa, “Chinese companies see subsidies cancelled and permits removed for illegal fishing in West Africa,” https://www.greenpeace.org/africa/en/press/472/chinesecompanies-see-subsidies-cancelled-and-permits-removed-for-illegal-fishing-in-west-africa/, diakses 5 Juni 2022. 38
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
17
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.40 Akan tetapi, Indonesia pun memerlukan upaya yang dapat menguatkan pertahanan dari dalam negara yang dapat mendukung pelaksanaan tindakan penenggelaman dan peledakan kapal. Mengacu pada metode yang dilakukan di Australia, sudah sepantasnya pula Indonesia memiliki lembaga khusus yang dinaungi langsung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dapat meningkatkan produktivitas masyarakat pantai agar mampu meningkatkan kapasitas produksi dan memaksimalkan potensi sumber daya ikan yang tersedia. Jika berkaca dengan metode yang dilakukan oleh Cina, menjatuhkan pidana kepada korporasi akan lebih efektif karena secara tidak langsung akan berimbas juga pada pengurusnya. Hal ini dapat terjadi karena ketika korporasi sebagai wadah dan alat dibiarkan, bukan tidak mungkin orang lain masih bisa dapat menjalankan korporasi tersebut. Namun, ketika korporasi sebagai wadah dan alat dibekukan, maka orang-orang yang ada di dalamnya secara otomatis akan terdampak. Faktor lainnya adalah masih terdapat kelemahan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya Undang-Undang Perikanan yang tidak mengatur lebih lanjut kapan suatu badan hukum dikatakan melakukan tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan pidana tersebut.41 Hal ini perlu segera ditinjau berdasarkan pertimbangan pemerintah dan bagaimana hal tersebut sudah sepantasnya diperuntukkan untuk menjamin kemakmuran dan keamanan bangsa.
3.5. Upaya Pemberian Sanksi oleh Center for Advanced Defense Studies (C4ADS) terhadap Illegal Fishing oleh Korporasi Mengetahui bahwa illegal fishing pun tidak hanya dipermasalahkan oleh Indonesia, C4ADS pun melaporkan bahwa perusahaan Spanyol Sea Group SL, Sajo 40
Indonesia, Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009, TLN No. 3073, Ps. 69 ayat (4). 41 Kadek Intan Rahayu, Dewa Gede Sudika Mangku dan Ni Putu Rai Yuliartini, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penangkapan Ikan Secara Ilegal (ILLEGAL FISHING) Ditinjau Dari Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan,” e-Journal Komunitas Yustitia Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, (2019), hlm. 145.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
18
Systems Korea Selatan, dan beberapa konglomerat China, termasuk Beijing StateOwned Capital Operation and Management Center dan Pingtan Marine Enterprise Limited yang terdaftar di NASDAQ Stock Market diduga melaksanakan praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur.42 Permasalahan yang dialami sesungguhnya diakibatkan oleh kelemahan yang tidak jauh berbeda dari Indonesia, yaitu kurang kuatnya hukum dalam mengatur dan melacak para kapal serta korporasi yang terlibat sehingga sulit untuk mencari tahu dalang di balik maraknya praktik tersebut. Oleh sebab itu, C4ADS menawarkan beberapa solusi yang dianggap mampu menanggulangi dan mengurangi angka illegal fishing, baik dari segi hukum maupun tindakan yang kemudian dapat dimuat dalam produk hukum bersangkutan. Pertama, pemilik kapal sudah seharusnya diwajibkan untuk melaporkan kepemilikan dan tujuan berlayarnya kapal ketika mendaftar dengan negara bendera atau meminta otorisasi untuk menangkap ikan.43 Upaya ini nantinya akan diperkuat dengan pengembangan pengidentifikasi kapal, sehingga dapat mengonfirmasi identitas kapal dari titik konstruksi, termasuk perubahan nama, bendera, dan kepemilikan.44 Melalui cara ini, lembaga terkait akan lebih mudah mengakses informasi dari beneficial ownership kapal terkait dan mampu melaksanakan pendeteksian, pelacakan, dan intervensi terhadap investasi kapal bersangkutan apabila terbukti melakukan illegal fishing di area yang telah ia daftarkan sebelumnya. Tidak hanya itu, pengumpulan dan agregasi data yang lebih lengkap dan terstruktur dianggap ampuh untuk mengurangi tindakan kriminal tersebut, mengingat bahwa mayoritas kapal yang terlibat dalam illegal fishing seringkali mengulangi kesalahan yang sama. Kedua, memahami bahwa tindakan illegal fishing pun seringkali berkaitan dengan kejahatan lain, seperti penipuan dokumen dan bea cukai, perdagangan manusia, kerja paksa, pencucian uang, dan lain sebagainya, diperlukanlah pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kerja sama antarlembaga, termasuk petugas
Cliff White, “C4ADS report names companies involved in global IUU fishing trade,” https://www.seafoodsource.com/news/environment-sustainability/c4ads-report-names-companiesinvolved-in-global-iuu-fishing-trade, diakses 8 Juni 2022. 43 Ibid. 44 Ibid. 42
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
19
perikanan.45 Hal ini dapat diikuti oleh pembaharuan undang-undang perikanan agar mampu lebih terang dalam mendefinisikan illegal fishing, meningkatkan hukuman, dan meminta korporasi pemilik kapal bertanggung jawab atas tindakan bersangkutan. Hukuman yang dianggap pantas pun adalah yang sebanding dengan nilai tangkapan atau pendapatan agar tidak merugikan yang berarti bagi nelayan kecil yang sesekali telibat dalam kejahatan tersebut. Ketiga, negara-negara pun harus mempublikasikan catatan kapal terdaftar dan mewajibkan para pemilik kapal untuk melaporkan informasi beneficial ownership akhir dari kapal-kapal tersebut.46 Bersamaan dengan itu, negara pun harus mempublikasikan tindakan hukum atau administratif yang akan dijatuhkan kepada kapal atau korporasi yang terbukti melakukan illegal fishing agar meningkatkan kesadaran para korporasi untuk tunduk pada hukum di negara dimana mereka mendaftarkan diri. Selain itu, pemerintah pun sudah seharusnya lebih tanggap dalam menyediakan sumber daya dan pelatihan untuk membangun kapasitas pemantauan dan inspeksi yang lebih baik oleh petugas bea cukai, pelabuhan, dan manajemen perikanan. Melalui cara-cara ini, negara tidak akan hanya dikuatkan dari segi yuridis, tetapi juga didukung oleh kemampuan memperoleh informasi dan penjatuhan sanksi yang lebih strategis dalam menangkal illegal fishing yang dilakukan oleh korporasi.
III.
PENUTUP 3.1. Kesimpulan Kekayaan alam Indonesia, terlebih dari segi maritim, tidak hanya membawa
keuntungan ekonomi bagi negara, tetapi juga ancaman. Salah satu tindakan yang seringkali dilaksanakan oleh kapal asing adalah illegal fishing, yaitu kegiatan penangkapan ikan yang pelaksanaannya tidak sejalan dengan hukum yang berlaku di negara di mana zona laut tersebut dikuasai sehingga dianggap sebagai pelanggaran karena dilarang secara hukum. Tindak pidana tersebut di Indonesia kerap kali mengalami peningkatan dan sangat merugikan negara. Hal tersebut diakibatkan oleh ketidaktepatan hukum Indonesia dalam membidik pelaku sebagai
45 46
Ibid. Ibid.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
20
sasaran sehingga sanksi yang diberikan pun lemah dan kurang memberikan efek jera. Oleh karena itu, diperlukanlah suatu revisi terhadap UU Perikanan agar sanksi yang dikenakan kepada para korporasi sebagai pelaku dapat memberikan efek jera dan masyarakat lokal pun dapat memanfaatkan kekayaan alam maritim dengan baik. Apabila dibandingkan dengan Australia, Indonesia masih belum memiliki lembaga khusus yang dapat mempertahankan keamanan laut negara dari segi non-militer. Di sisi lain, jika dibandingkan dengan Cina, dapat dilihat bahwa Indonesia memang belum memberikan sanksi ke pelaku yang tepat. Maka dari itu, setelah berkaca dari negara lain, diperlukanlah suatu revisi dalam UU Perikanan. Kedua perspektif tersebut perlu kembali dipertimbangkan oleh pemerintah untuk dirumuskan dan kemudian menjadi bagian dari revisi UU Perikanan. 3.2. Saran Adapun saran yang dapat kami sampaikan kepada pihak-pihak terlibat adalah sebagai berikut: a. Pemerintah 1. Meninjau ulang celah hukum dalam UU Perikanan 2. Membentuk lembaga khusus di bawah KKP yang mampu memberikan
penyuluhan,
pendidikan,
dan
pelatihan
bagi
masyarakat pinggiran pantai untuk memaksimalkan potensi sumber daya perikanan 3. Menjadikan korporasi sebagai fokus pelaku tindak pidana dan bukan semata-mata awak kapal b. Masyarakat 1. Mendukung upaya pemerintah dalam menegakkan dan merevisi UU Perikanan 2. Memiliki keinginan untuk memaksimalkan potensi sumber daya perikanan
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
21
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Australian Fisheries Management Authority. 2020 National Compliance and Enforcement Policy. Australia: AFMA, 2020. Australian Fisheries Management Authority. 2021-2022 National Compliance and Enforcement Program. Australia: AMFA, 2020. Australian Fisheries Management Authority. Corporate Plan 2020-2021. Australia: AFMA, 2020. Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Kebijakan Pengawasan dalam Penanggulangan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006. Food and Agriculture Organization. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Rome: FAO, 2001. Tim Pokja Penyusunan Pedoman Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Tata Cara Penanganan Perkara Pidana Korporasi. Jakarta: Mahkamah Agung RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, 2017.
JURNAL Ambarini. “Perlindungan dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil Bidang Perikanan sebagai Upaya Pengendalian Pencemaran Wilayah Pesisir dan Laut.” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 3 No. 1, (2017). Hlm 31-50. Darmawan, Oksimana. “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia.” Jurnal Yudisial, Vol. 11, No. 2, (2018). Hlm. 172-192. Krismen, Yudi. “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi.” Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4, No.1, (2018). Hlm. 133-160. Korengkeng, Ireine Rilanita. “Kewenangan Kejaksaan Dalam Penanganan Jual Beli Hasil Perikanan Ilegal Oleh Pelaku Usaha.” Jurnal Lex et Societatis, Vol. 4, No. 6, (2016). Hlm. 44-52. Putra, I Kadek Andi Pramana Putra, I Dewa Gede Dana Sagama. “Urgensi Pengaturan Perampasan Aset Korporasi Hasil Tindak Pidana Illegal Fishing di Indonesia.” Jurnal Kertha Negara. Vol. 9, No. 9, (2021). Hlm. 294-304.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
22
Rahayu, Kadek Intan, Dewa Gede Sudika Mangku dan Ni Putu Rai Yuliartini. “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penangkapan Ikan Secara Ilegal (ILLEGAL FISHING) Ditinjau Dari Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.” e-Journal Komunitas Yustitia Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, (2019). Hlm.145-155. Shen, Huihui dan Shuolin Huang. “China's policies and practice on combating IUU in distant water fisheries.” Aquaculture and Fisheries, Vol. 6, No.1, (2021). Hlm. 27-34. Soetrisno, Moeh Roem, Ilham Abbas dan Baharuddin Badaru. “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Di Bidang Perikanan.” Jurnal of Lex Generalis, Vol. 1, No. 7, (2020). Hlm. 1044-1059. Suhariyanto. “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Corporate Culture Model dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan Masyarakat.” Jurnal Rechtsvinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol. 6, No.3, (2017). Hlm. 441-458. Wachjoe, H. Santhos. “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi.” Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5, No. 2, (2016). Hlm. 155-180.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Food and Agriculture Organization, Code of Conduct for Responsible Fisheries, 1995. Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tentang Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing). Nomor PM 37 Tahun 2017. Indonesia. Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009, TLN No. 3073. Indonesia. Undang-Undang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, LN No. 118 Tahun 2004, TLN No. 4433.
INTERNET Aldred,
Jessica.
“Explainer:
Illegal,
unreported
and
unregulated
fishing.”
https://chinadialogueocean.net/en/conservation/11813-explainer-illegal-unreportedand-unregulated-fishing/. Diakses 23 April 2022. Australian
Fisheries
Management
Authority.
“Legislation
and
regulation.”
https://www.afma.gov.au/about/legislation-regulation. Diakses 25 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
23
Australian
Fisheries
Management
Authority.
“Rules
and
Regulations.”
https://www.afma.gov.au/rules-and-regulations. Diakses 25 April 2022. CNBC Indonesia. “Susi Akui RI Pernah Rugi Rp 2.000 T Akibat Illegal Fishing.” https://www.cnbcindonesia.com/news/20180626075822-4-20458/susi-akui-ri-pernahrugi-rp-2000-t-akibat-illegal-fishing. Diakses 8 Mei 2022. Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation. “Marine monitoring and surveillance.” https://www.csiro.au/en/research/animals/fisheries/marine-monitoringand-surveillance. Diakses 23 April 2022. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. “Refleksi 2021, KKP Buktikan Zero Tolerance Terhadap Illegal Fishing dan Jaga Ketat Pemanfaatan Laut Indonesia.” https://kkp.go.id/djpsdkp/artikel/36926-refleksi-2021-kkp-buktikan-zerotolerance-terhadap-illegal-fishing-dan-jaga-ketat-pemanfaatan-laut-indonesia. Diakses 8 Mei 2022. Fernandez, MG Noviarizal. “Sanksi Pelaku Illegal Fishing Dinilai terlalu Ringan.” https://kabar24.bisnis.com/read/20190321/16/902959/sanksi-pelaku-illegal-fishingdinilai-terlalu-ringan. Diakses 8 Mei 2022. Greenpeace Africa. “Chinese companies see subsidies cancelled and permits removed for fishing
illegal
in
West
Africa.”
https://www.greenpeace.org/africa/en/press/472/chinese-companies-see-subsidiescancelled-and-permits-removed-for-illegal-fishing-in-west-africa/. Diakses 5 Juni 2022. Haruma,
Issha.
“Kasus-kasus
Illegal
Fishing
di
Indonesia.”
https://nasional.kompas.com/read/2022/05/19/00300031/kasus-kasus-illegal-fishingdi-indonesia?page=all. Diakses 29 Mei 2022. Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. “Pemerintah Targetkan Hapus Kemiskinan Ekstrem
di
147
Kabupaten/Kota
Wilayah
Pesisir
di
Tahun
2022.”
https://setkab.go.id/pemerintah-targetkan-hapus-kemiskinan-ekstrem-di-147kabupaten-kota-wilayah-pesisir-di-tahun-2022/. Diakses 8 Mei 2022. Institute For Criminal Justice. “Pertanggungjawaban Korporasi dalam Rancangan KUHP.” https://icjr.or.id/pertanggungjawaban-korporasi-dalam-rancangan-kuhp/.
Diakses 8
Mei 2022. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. “Tugas dan Fungsi.” https://kkp.go.id/page/139-tugas-dan-fungsi. Diakses 26 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
24
Kominfo. “Pemerintah Targetkan Hapus Kemiskinan Ekstrem di Wilayah Pesisir.” https://kominfo.go.id/content/detail/38902/pemerintah-targetkan-hapus-kemiskinanekstrem-di-wilayah-pesisir/0/berita. Diakses 8 Mei 2022 Konsulat
Jendral
Republik
Indonesia
Frankfrut.
“Sekilas
tentang
Indonesia.”
https://www.indonesia-frankfurt.de/pendidikan-budaya/sekilas-tentang-budayaindonesia/. Diakses 8 Mei 2022. National Oceanic and Atmospheric Administrations Fisheries. “Understanding Illegal, Unreported,
and
Unregulated
Fishing.”
https://www.fisheries.noaa.gov/insight/understanding-illegal-unreported-andunregulated-fishing#what-is-illegal,-unreported,-and-unregulated-fishing? Diakses 27 April 2022. Raswadi, Dasuki. “Indonesia Peringkat Ketiga Bidang Perikanan Tangkap Laut Terbesar Didunia.” https://kabartegal.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-93908234/indonesiaperingkat-ketiga-bidang-perikanan-tangkap-laut-terbesardidunia#:~:text=Data%20Food%20and%20Agriculture%20Organization,menyumban g%208%25%20dari%20produksi%20dunia. Diakses 8 Mei 2022. Tefi, Marianus. “Analisis Hukum Terkait Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Illegal Fishing.”
https://jdih.kkp.go.id/uploads/posts/21363-analisis-hukum-terkait-
pertanggungjawaban-korporasi-dalam-illegal-fishing.pdf. Diakses 7 Mei 2022. Ulya, Fika Nurul. “Sejak Oktober 2019, KKP Sudah Menjaring 66 Kapal Illegal Fishing.” https://money.kompas.com/read/2020/07/22/110000126/sejak-oktober-2019-kkpsudah-menjaring-66-kapal-illegal-fishing. Diakses 8 Mei 2022. White, Cliff. “C4ADS report names companies involved in global IUU fishing trade.” https://www.seafoodsource.com/news/environment-sustainability/c4ads-reportnames-companies-involved-in-global-iuu-fishing-trade. Diakses 8 Juni 2022. Wijaya, Lani Diana. “Susi Minta Revisi UU Perikanan Bisa Jerat Korporasi Pencuri Ikan.” https://bisnis.tempo.co/read/1257024/susi-minta-revisi-uu-perikanan-bisa-jeratkorporasi-pencuri-ikan. Diakses 30 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
25
BIODATA PENULIS
Chelsea Raphael Rajagukguk merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia kelahiran Jakarta, 8 September 2003. Chelsea juga menjabat sebagai staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan staf Departemen Advokasi BEM FHUI 2022.
Vennita Yuubina atau yang akrab disapa Vennita merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus menjabat sebagai staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022. Perempuan kelahiran Singapura, 16 April 2005 ini juga aktif dalam perlombaan seperti pernah menjuarai Lomba Karya Tulis Ilmiah Veteran Law Competition 2022. Fadli Nur Iman Hasbullah lahir di Jakarta pada tanggal 19 Februai 2022. Fadli sekarang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia aktif dalam berbagai organisasi seperti menjadi staf di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan staf Entrepreneurship di BLS FHUI 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
26
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KASUS KERANGKENG MANUSIA OLEH BUPATI LANGKAT: INDIKASI PERBUDAKAN MODERN BERUPA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Angelica Catherine Edelweis Fakultas Hukum Universitas Indonesia angelica.catherine@ui.ac.id Cornellia Desy Natallina Fakultas Hukum Universitas Indonesia cornellia.desy@ui.ac.id Nindya Amaris Minar Fakultas Hukum Universitas Indonesia nindya.amaris@ui.ac.id
Abstrak Pada pembukaan awal tahun 2022, Indonesia digemparkan dengan penemuan kerangkeng manusia oleh KPK di rumah Bupati Langkat. Penelusuran kasus kerangkeng manusia yang kemudian dilakukan oleh Komnas HAM dan Kepolisian mendapatkan berbagai macam fakta yang menimbulkan beragam pertanyaan. Artikel ini mencoba mengulas pelanggaran ketentuan hukum pidana Indonesia seperti perbudakan modern, tindak pidana perdagangan orang, dsb. yang dilakukan oleh Bupati Langkat dan oknum yang terlibat dalam kasus kerangkeng manusia berdasarkan fakta-fakta yang ada dari Komnas HAM.
Kata Kunci: Perbudakan Modern, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kasus Bupati Langkat, Kejahatan Kemanusiaan, Kerangkeng Manusia, Komnas HAM
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
27
JUDICIAL REVIEW OF THE CASE OF HUMAN CAGE BY THE REGENT OF LANGKAT: INDICATIONS OF MODERN SLAVERY IN THE FORM OF HUMAN TRAFFICKING
Abstract At the beginning of 2022, Indonesia was surprised by the discovery of a human cage by KPK at the house of the Regent of Langkat. The investigation into the human cage case, which was then carried out by Komnas HAM and the Police, discovered various facts that raised several questions. This article attempts to review the violations of the provisions of Indonesian criminal law such as modern slavery, human trafficking, etc. by the Regent of Langkat and the perpetrators involved in the human cage case based on the known facts from Komnas HAM. Keywords: Modern Slavery, Human Trafficking, the Regent of Langkat’s case, Crime Against Humanity, Human Cage, Komnas HAM
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
28
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melaksanakan tugasnya
sebagai lembaga yang berwenang menyidik dugaan kasus korupsi dapat melakukan operasi tangkap tangan (OTT).1 Dalam rangka pemenuhan tugasnya, KPK melakukan OTT atas dugaan kasus suap yang dilakukan oleh Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin–angin (TRP) di kediamannya pada awal Januari 2022.2 OTT yang dilakukan oleh KPK dapat dikatakan operasi yang berhasil. Namun, tak disangka OTT yang dilakukan KPK juga berhasil menguak sebuah kejahatan yang mendegradasi kemanusiaan dalam bentuk sebuah kerangkeng manusia.3 Kasus ini menimbulkan isu yang sangat serius berkaitan dengan keberadaan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Sebagai lembaga yang berwenang, bersamaan dengan adanya aduan dari Lembaga Swadaya Masyarakat Migrant Care, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) berkoordinasi dengan Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) serta bantuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membentuk tim penyelidikan terhadap kasus ini. Melalui Keterangan Pers Komnas HAM, kerangkeng yang berukuran 6 x 6 meter ini telah dibangun pada tahun 2010 diniatkan untuk menjadi tempat pembinaan anggota ormas.4 Terminologi pembinaan menjadikan kerangkeng manusia ini terdengar sangat mulia, bahkan pada kenyataannya, keberadaan para korban di kerangkeng manusia ini bukan karena paksaan tetapi tipuan terminologi pembinaan. Hal ini yang mendorong pihak keluarga korban yang mayoritas berada dari kalangan ekonomi lemah, mengalami keputusasaan keluarga akhirnya mendorong bahkan 1
Indonesia, Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 19 Tahun 2019, LN No. 197 Tahun 2019, TLN No. 6409, Ps. 8a jo. Indonesia, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, Ps. 1 ayat 19. 2 Sasmito Madrim, “KPK Tetapkan Bupati Langkat Sebagai Tersangka Korupsi,” https://www.voaindonesia.com/a/kpk-tetapkan-bupati-langkat-sebagai-tersangkakorupsi/6404046.html, diakses 22 Mei. 3 Dany Darjito, “Kronologi Dugaan Adanya Perbudakan Modern di Rumah Bupati Langkat,” https://www.suara.com/news/2022/03/22/185009/kronologi-dugaan-adanya-perbudakan -modern-di-rumah-bupati-langkat, diakses 18 April. 4 Fakta mengenai keberadaan, hasil pemantauan dan wawancara dengan korban, serta beragam informasi lainnya dapat ditemukan secara lengkap melalui Keterangan Pers Nomor 007/HM.00/III/2022. Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 6.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
29
memaksa anggota keluarganya biasanya merupakan mantan pecandu narkoba, mantan pelaku kriminal, melakukan kenakalan remaja, hingga yang terlibat masalah dengan TRP untuk masuk kerangkeng ini.5 Terminologi pembinaan ini juga nyatanya berhasil memberikan stigma baik sehingga korban maupun keluarga korban memberikan persetujuan dalam bentuk surat yang tertulis. Pembinaan yang dikatakan oleh TRP tidak lain adalah pekerjaan paksa dengan kekerasan. Para penghuni kerangkeng dipekerjakan di pabrik dan kebun kelapa sawit sebagai buruh kebun, tukang bersih-bersih, buruh bangunan, pengeruk tanah, juru parkir, dan sebagainya secara gratis, atau dapat dikatakan upah dibayarkan dalam bentuk fasilitas hidup di kerangkeng.6 Kekejaman yang dilakukan di kerangkeng manusia ini tidak berhenti sampai fakta tersebut, setidaknya terdapat 26 bentuk kekerasan yang dilakukan, seperti dipukul, dicambuk, pencopotan kuku jari dengan tang, disundut dengan besi panas, dan masih banyak lainnya.7 Di sekitar kerangkeng manusia tersebut bahkan terdapat dua makam korban meninggal yang tidak dapat disimpulkan penyebab pasti kematian korban. Terkait dengan tindakan keji ini, Komnas HAM memberikan informasi mengenai terlibatnya oknum anggota tentara nasional Indonesia (TNI) dan Polisi dalam melakukan kekerasan. Selain terdapat beberapa instansi yang turut terlibat, seperti KPK sebagai lembaga pertama yang menemukan keberadaan kerangkeng ini. Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Langkat yang telah mengetahui keberadaan kerangkeng manusia ini dan telah merekomendasikan untuk mengurus izin sebagai panti rehabilitasi yang legal. Selain itu, beberapa instansi pemerintah seperti dinas tenaga kerja, dinas sosial, dan dinas kesehatan yang telah mengetahui keberadaan kerangkeng manusia tersebut, telah menerima laporan lisan, dan tidak melakukan asistensi apapun terhadap keberadaan kerangkeng manusia tersebut.8 Melihat fakta yang ada secara sekilas, sudah jelas dan dengan tegas dapat disimpulkan tindakan di atas bukan merupakan sebuah pembinaan melainkan sebuah bentuk pelanggaran HAM. HAM adalah seperangkat hak yang dimiliki
5
Ibid., hlm. 3-4. Ibid., hlm. 9. 7 Ibid., hlm. 8. 8 Ibid., hlm. 5. 6
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
30
manusia yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan wajib dihormati, dijunjung tinggi, serta dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang.9 Lebih lagi, HAM juga diakui dan diatur oleh konstitusi negara Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA dari pasal 28A sampai dengan pasal 28J yang secara spesifik mengenai hak-hak asasi setiap warga negara yang dilindungi negara. Melihat fakta-fakta mengenai kasus kerangkeng manusia oleh Bupati Langkat, timbul berbagai pertanyaan. Pelanggaran HAM apa yang dilakukan, ketentuan hukum pidana Indonesia apa yang telah dilanggar, apakah kerangkeng ini termasuk dalam perbudakan modern atau termasuk dalam kasus perdagangan orang. Apakah kasus ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak. Artikel ini ingin memberikan sebuah diskursus mengenai penyelesaian kasus kerangkeng manusia oleh Bupati Langkat berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, artikel ini mencoba membahas kasus kerangkeng oleh Bupati Langkat dari sisi perbudakan modern, perdagangan orang sebagai bentuk perbudakan modern, dan mencoba menjawab apakah kasus ini dapat dikategorikan kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk dari pelanggaran ham berat
II.
PEMBAHASAN 2.1. Tinjauan Pustaka A. Pelanggaran HAM Berat Dalam pelanggaran HAM berat yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000,
HAM berat dibagi menjadi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan genosida menurut Raphael Lemkin dapat diartikan sebagai kejahatan pembunuhan terhadap kelompok manusia tertentu.10 Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan menurut David Luban adalah sebuah tindakan yang dilakukan dengan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang semua manusia miliki.11 Pada
9
Indonesia, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 19 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886, Ps. 1. 10 Anna Gopsill, “Genocide,” dalam Humanitarianism, ed. Antonio De Lauri (Leiden: Brill, 2020), hlm. 77. 11 David Luban, “A Theory of Crimes Against Humanity,” Yale Journal of International Law 29 (2004), hlm. 86-90.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
31
masa awal pengenalan kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida serta pembunuhan yang tersistematis masuk dalam kategori kejahatan kemanusiaan.12 Barulah pada tahun 1998, Rome Statute of The International Criminal Court memisahkan kejahatan kemanusiaan dan genosida dalam kategori pelanggaran HAM berat. Kedua kejahatan dalam pelanggaran HAM berat ini sekalipun pada dasarnya
melanggar
HAM
yang
sama
tetapi
memiliki
akibat
dan
pertanggungjawaban yang berbeda. Pada kejahatan genosida, pelanggaran HAM yang ada yaitu hak atas hidup ditujukan kepada kelompok tertentu saja. Pada kejahatan kemanusiaan, yang dilanggar adalah nilai kemanusiaan seluruh umat manusia sehingga tidak terpaku pada satu orang atau satu kelompok saja. Selain daripada subjek yang dituju, kejahatan terhadap kemanusiaan karena pada hakikatnya yang dilanggar adalah kemanusiaan seluruh umat manusia maka lingkup pelanggarannya lebih luas pula. Tidak hanya berbicara mengenai penghilangan jiwa orang lain atau pembunuhan, kejahatan kemanusiaan dewasa ini meliputi perbudakan, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, penghilangan orang secara paksa, kejahatan berbasis ras, dan masih banyak jenis-jenis kejahatan kemanusiaan lainnya.13 Untuk sebuah kejahatan dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, David Luban mengeluarkan sebuah teori terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam kejahatan kemanusiaan menurut Rome Statute of The International Criminal Court. Menurut Luban terdapat empat unsur penting dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu: 14 1. Kejahatan yang dilakukan harus dianggap masyarakat sebagai tindakan penodaan terhadap kemanusiaan atau bisa dibilang tindakan tersebut dianggap tidak manusiawi;
12
Robert Dubler S.C. dan Matthew Kalyk, Crime Against Humanity in the 21st Century: Law, Practice and Threats to International Peace and Security, (Leiden: Martinus Nijhoff, 2018), hlm. 24. 13 Indonesia, Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000, LN No. 208 Tahun 2000, TLN NO. 1426, Ps. 9. 14 David Luban, “A Theory of Crimes Against Humanity,” Yale Journal of International Law 29 (2004), hlm. 93-109.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
32
2. Kejahatan tersebut juga harus ditetapkan oleh dunia internasional sebagai kejahatan internasional, sehingga terjadi sebuah kesepakatan bahwa tindakan tertentu merupakan tindakan kejahatan yang tidak manusiawi di daerah manapun kejadian itu dilakukan; 3. Kejahatan dilakukan oleh badan yang terorganisasi baik secara individu ataupun kelompok secara sistematis dan menyebar; 4. Kejahatan yang dimaksud harus dilakukan terhadap kelompok manusia. Selain itu, Luban memberikan unsur tambahan yang ia sebut sebagai fifth feature, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap sesama warga negara.15 Menurut hemat pikir Penulis, dari penjelasan mengenai kejahatan kemanusiaan baik menurut Undang-Undang Pengadilan HAM maupun Statuta Roma, kejahatan yang dimaksud harus berupa sebuah serangan (attack).16 Unsur ini dituliskan baik dalam ketentuan internasional maupun ketentuan hukum positif Indonesia. Melengkapi pemikiran baik oleh Luban, penulis berpendapat hadirnya unsur kelima yaitu kejahatan yang dimaksud harus berbentuk sebuah serangan. Sebab, tidak semua kejahatan yang terorganisasi, tersistematis, tidak manusiawi dan ditujukan pada sipil dapat dijadikan kejahatan kemanusiaan kalau tidak ada hadirnya kesengajaan dan niat pelaku dalam bentuk serangan. B. Perbudakan Modern Perbudakan merupakan praktik yang telah hadir di kehidupan manusia sejak dahulu. Akan tetapi, istilah perbudakan yang dikenal pada era modern sekarang dengan masa-masa awal perbudakan cukup berbeda. Perbudakan atau slavery diambil dari bahasa Latin yaitu Sclāvus dan bahasa Yunani Byzantium yaitu Σκλάβος (Sklábos) yang merujuk pada peradaban bangsa Eropa yang menggunakan bahasa Slavic yang diyakini berisi orang-orang yang biasanya menjadi budak di abad pertengahan.17 Maka, pada masa-masa awal peradaban manusia, perbudakan
15
Ibid. Menurut Rome Statute of the International Criminal Court, kejahatan kemanusiaan merupakan, “any of the following acts when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack.” UN, Rome Statute of the International Criminal Court, UNTS 2187 (1998), hlm. 3, Ps. 7. 17 Victor, “Slav and Slaves,” https://languagelog.ldc.upenn.edu/nll/?p=41445, diakses 19 Mei. 16
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
33
hanya mengacu pada budak, pekerja kasar dengan kepemilikan saja, sekalipun sejak masa abad pertengahan berbagai bentuk perbudakan seperti eksploitasi seksual, eksploitasi kerja, hingga perdagangan orang sudah hadir.18 Menurut Robert Dubler S.C. dan Matthew Kalyk dalam bukunya yang berjudul Crime Against Humanity in the 21st Century: Law, Practice and Threats to International Peace and Security, perdagangan budak secara khususnya menjadi tonggak pemikiran abolisi perbudakan yang dikeluarkan oleh Lord Mansfield dari Inggris pada 1722.19 Pemikiran hukum bahwa perdagangan orang yang termasuk dalam perbudakan adalah tindakan yang harus dilarang dari Lord Mansfield mendorong parlemen Inggris mengeluarkan produk legislatif.20 Barulah pada 1815, diadakan The Congress of Vienna yang mengeluarkan The Declaration of the Powers on the Abolition of the Slave Trade yang menyatakan bahwa perbudakan merupakan praktek yang menodai nilai-nilai komunitas sipil internasional.21 Pemikiran hukum dari kongres ini bersama dengan ketentuan-ketentuan internasional lainnya memberikan efek kumulatif yang akhirnya melandasi perbudakan menjadi bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan.22 Perkembangan awal larangan perbudakan tidak memberikan definisi maupun cakupan tindakan perikatan kerja yang dapat dikategorikan sebagai perbudakan selain daripada perikatan kerja dengan unsur kepemilikan layaknya properti. Bellagio-Harvard Guidelines on the Legal Parameters of Slavery menegaskan bahwa dalam perbudakan, unsur kepemilikan ini menjadi hal yang harus hadir dan dalam kepemilikan ini juga hadir hak-hak untuk menguasai, merampas kemerdekaan, serta hak untuk memperjualbelikan.23 Konsep perbudakan pada masa ini pada intinya melihat budak atau pekerja sebagai properti yang dapat
18 Tania Eileen DoCarmo, “The Construction and Implementation of International Human Trafficking Law,” (Disertasi University of California, Irvine, 2020), hlm. 3. 19 Robert Dubler S.C. dan Matthew Kalyk, Crime Against Humanity in the 21st Century: Law, Practice and Threats to International Peace and Security, (Leiden: Martinus Nijhoff, 2018), hlm. 26. 20 Ibid. 21 The Powers, Final Act of The Congress of Vienna/General Treaty, (1815), hlm. 29, ps. 118. 22 M. Cherif Bassiouni, Crime Against Humanity: Historical Evolution and Contemporary Application, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), hlm 378. 23 Research Network on the Legal Parameters of Slavery, 2012 Bellagio-Harvard Guidelines on the Legal Parameters of Slavery, (2012), hlm. 16.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
34
dimiliki seperti sebuah benda, serta dipersandingkan dengan konsep eigendom dalam perdata, Pada tahun 1956, beberapa praktik ditambahkan untuk dapat dianggap sama dengan perbudakan, yaitu jeratan utang (debt bondage), perhambaan (serfdom), kawin paksa atau praktik lainnya, praktik lainnya yang menyerupai perdagangan dan perbudakan anak, serta perdagangan budak.24 Pada zaman sekarang, untuk dapat membedakan sebuah perikatan perjanjian kerja pada umumnya dengan perbudakan, Choi-Fitzpatrick dalam bukunya yang berjudul What Slaveholders Think: How Contemporary Perpetrators Rationalize What They Do, merangkum beberapa tindak perjanjian kerja yang dapat dikategorikan sebagai perbudakan. Tindakan-tindakan tersebut adalah pekerjaan dengan jeratan utang, pekerjaan dengan pengekangan kebebasan meliputi perampasan kemerdekaan atau yang dikenal sebagai domestic servitude, pelacuran paksa, kerja paksa, perkawinan paksa, serta perdagangan orang.25 Untuk dapat melihat disparitas mengenai perbudakan klasik dan modern, dapat dilihat pada tabel berikut:26 Gambar 2. Tabel Disparitas Perbudakan Klasik dan Modern.
Sumber: Reynold Hutagalung, 2019 24
UNHR, Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery, UNTS 266 (1957), hlm. 3, Ps. 1. 25 A. Choi-Fitzpatrick, What Slaveholders Think: How Contemporary Perpetrators Rationalize What They Do, (New York: Columbia University Press, 2011), hlm. 11. 26 Reynold E. P. Hutagalung, Perbudakan Modern Anak Buah Kapal Ikan (ABKI) asal Indonesia: Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif Kepolisian, cet. 1 (Depok: LPKS, 2019), hlm. 36.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
35
Dengan meluasnya cakupan praktik perbudakan modern, turut berkembang juga kekuatan hukum internasional mengenai praktik perbudakan modern. Larangan terhadap perbudakan memuat norma jus cogens yang memaksa dan mengikat pembentuk hukum internasional dalam kedudukan hierarki tertinggi.27 Terhadap kejahatan tersebut setiap individu memikul tanggung jawab (obligatio erga omnes) atas penghukuman yang adil.28 C. Perdagangan Orang sebagai Bentuk Perbudakan Modern Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perbudakan modern yang paling sering ditemui pada era modern seperti sekarang. Perdagangan orang dalam era modern tidak mengindikasikan sebuah tindakan dimana semua pekerja hidup dalam penundukan dan perampasan kemerdekaan secara keseluruhan layaknya perbudakan kuno, akan tetapi terdapat pembatasan yang dilakukan sehingga relasi pekerja dan penyewa jasa menjadi relasi kuasa yang timpang.29 Pada dasarnya, inti dari perdagangan manusia adalah tindakan memfasilitasi atau membentuk hubungan kerja melalui perantara baik dengan cara modern (dengan perjalanan internasional atau kontak internet) maupun cara kuno (dengan eksploitasi seksual atau eksploitasi kerja) yang mana manusia pemberi jasa digunakan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan bagi si penyewa jasa.30 United Nations Human Rights mengeluarkan pengertian internasional terhadap apa yang disebut dengan perdagangan orang, yaitu:31 Perdagangan orang berarti perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan ancaman atau dengan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, pendayagunaan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau manfaat sehingga mendapatkan persetujuan dari orang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. 27 Katie A. Johnston, “Identifying The Jus Cogens Norm in The Jus Ad Bellum,” British Institute of International and Comparative Law Quarterly Vol. 70 (Januari 2021), hlm. 35. 28 Fadzlun Budi Sulistyo Nugroho, “Sifat Keberlakuan Asas Erga Omnes dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi,” Gorontalo Law Review Vol. 2 No. 2 (Oktober 2019), hlm. 98. 29 Vincenzo Militello dan Alessandro Spena, Between Criminalization and Protection: The Italian Way of Dealing with Migrant Smuggling and Trafficking Within the European and International Context, (Brill: Leiden, 2019), hlm. 58. 30 Ibid., hlm. 57. 31 UNHR, Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime, UNTS 2237 (2000), hlm. 319, Ps. 3a.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
36
Pengertian ini juga sesuai dengan pengertian perdagangan orang menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007. Dari dua pengertian di atas mengenai perdagangan orang, sekalipun tindakan atau aksi yang dilakukan berbeda-beda setiap kasusnya, tujuan eksploitasi selalu hadir. Esensi utama dari adanya praktik mengenaskan ini adalah keinginan untuk mendapat sebuah keuntungan dari orang yang secara status lebih rendah. Menurut the United Nations Convention against Transnational Organized Crime, eksploitasi ini mencakup eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan
atau praktik-praktik serupa perbudakan, penghambaan
atau
pengambilan organ tubuh. Maka, dapat disimpulkan dari pengertian perdagangan orang yang ada, tindakan-tindakan ini merupakan bentuk dari perbudakan modern dengan kehadiran unsur tambahan yaitu unsur bertujuan eksploitasi. Dari pengertian yang ada tersebut juga dapat disimpulkan indikator perdagangan orang, yaitu: 1. Bertujuan untuk eksploitasi 2. Hadirnya kekerasan fisik di tindakan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban 3. Terdapat pembatasan ruang gerak korban oleh pelaku, yang mana hal ini dapat menjurus kepada tindak perampasan kemerdekaan 4. Tindakan disertai dengan ancaman, baik secara verbal maupun fisik 5. Adanya hutang atau bentuk ikatan lainnya 6. Penahanan upah atau upah tidak dibayar 7. Penyimpanan dokumen identitas
2.2. Pemenuhan Unsur Perbudakan Modern Zaman semakin berkembang, tetapi hal tersebut tak serta merta menghilangkan beberapa fenomena yang telah populer sejak dahulu. Hal ini dapat diamati dari langgengnya praktik perbudakan yang telah ada sejak berabad-abad silam. Dewasa ini, perbudakan lebih dikenal dengan istilah Modern Slavery. Perbudakan modern (modern slavery) merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan tentunya memiliki dampak yang negatif bagi kehidupan para korban. Perbudakan modern sendiri dapat diartikan sebagai
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
37
perekrutan, pemindahan, penerimaan anak-anak, perempuan, dan atau laki laki dengan menggunakan kekerasan, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, penipuan, serta menggunakan cara-cara lainnya dengan maksud untuk mengeksploitasi.32 Berdasarkan Konvensi Anti Perbudakan (Anti-Slavery Convention) tahun 1926, Pasal 1 ayat (1) menerangkan bahwa, “slavery is the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised.” Merujuk pada Pasal tersebut, dapat dikatakan perbudakan ialah kondisi dimana seseorang berada di bawah kekuasaan atau di bawah kepemilikan orang lain.
Pada tahun 2012, terbit sebuah guidelines bernama Bellagio-Harvard
Guidelines on the Legal Parameters of Slavery yang merangkum tolok ukur untuk mengetahui sejauh mana suatu hal dapat dikatakan sebagai perbudakan dipandang dari kacamata hukum. Menurut parameter yang tertera di dalam guidelines tersebut, suatu hal dapat dikatakan sebagai perbudakan modern apabila kebebasan individu seseorang hilang dikarenakan adanya orang lain yang memiliki kekuasaan dan mempunyai kepemilikan kontrol atas dirinya. Hak dan kemerdekaan yang dimiliki oleh suatu individu raib dan dirampas dengan cara kekerasan, penipuan, serta koersi atau pemaksaan. Adapun kepemilikan kontrol serta kekuasaan bertujuan untuk mengeksploitasi korban dan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, baik keuntungan ekonomi, maupun keuntungan lainnya. Dalam kasus kerangkeng manusia eks-Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin (TRP), kekuasaan dalam perbudakan yang terjadi digolongkan sebagai kekuasaan de facto. Hal ini berdasarkan fakta bahwa korban-korban yang berada dalam kerangkeng tersebut datang bukan karena ditangkap pihak yang menguasainya, tetapi diserahkan secara sukarela oleh pihak keluarga mereka, walaupun tanpa sekehendak individu tersebut. Berdasarkan Konvensi Anti Perbudakan 1926, salah satu unsur yang paling krusial dalam perbudakan ialah hak kepemilikan (ownership/eigendom). Dalam kasus kerangkeng manusia kematian ini, penghuni-penghuninya secara terpaksa masuk ke dalam kerangkeng tersebut. Paksaan ini rata-rata datang dari pihak 32 Elizabeth Such, Claire Laurent, dan Sarah Salway, “Research and Analysis Modern Slavery and Public Health,” https://www.gov.uk/government/publications /modern-slavery-andpublic-health/modern-slavery-and-public-health, diakses 22 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
38
keluarga dengan harapan para penghuni yang bermasalah di lingkungan masyarakat akan dibina sehingga menjadi pribadi yang lebih baik. Memang seperti angin segar bagi pihak keluarga yang telah putus asa menangani para korban, tetapi kenyataannya tidak seindah janji yang ditawarkan. Setelah masuk ke dalam kerangkeng, penghuni kehilangan hak kepemilikan atas dirinya sendiri, sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh seluruh manusia di muka bumi. Di dalam kerangkeng, mereka “dibina” menggunakan kekerasan dan tindakan-tindakan lain yang merendahkan martabat manusia. Menurut kesaksian korban, kekerasan yang diterima oleh para penghuni kerangkeng memiliki pola tertentu. Mereka mengalami kekerasan di periode awal masuk kerangkeng sebagai tindak pelonco dari penghuni lama kerangkeng serta dari pengelola kerangkeng, selanjutnya mereka akan mendapatkan kekerasan jika melawan dan melanggar aturan yang dibuat oleh pengelola kerangkeng dan keluarga TRP, lalu jika mencoba kabur, mereka juga mendapat kekerasan dengan intensitas yang berlebih. Kekerasan dengan intensitas berlebih ini seringkali didapatkan oleh para penghuni di periode awal masuk kerangkeng sebagai bentuk pelonco, sehingga mengakibatkan penghuni yang baru masuk 2-7 hari meninggal dunia.33 Tak hanya itu, kondisi kerangkeng tersebut jauh dari kata layak huni dan tempatnya tersembunyi di belakang kediaman TRP, sehingga lokasi kerangkeng tersebut akan menyulitkan para penghuni untuk kabur dari jeratan yang menyiksanya. Penghuni yang mencoba kabur pun bernasib buruk, karena setelah tertangkap, mereka akan dihukum menggunakan kekerasan yang jauh lebih intens jika dibandingkan dengan kekerasan yang biasa diterima oleh mereka selama menjadi penghuni kerangkeng. Bahkan, tim Komnas HAM telah merangkum sedikitnya 26 tindak kekerasan yang diterima para penghuni kerangkeng dan setidaknya menggunakan 18 alat. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa diksi “rehabilitasi” sangat jauh dari kenyataan. Mereka telah kehilangan kebebasan dan hak atas dirinya sendiri, terhitung sejak pihak keluarga yang menyerahkan mereka
Fitria Chusna Farisa, “Fakta Terbaru Kerangkeng Bupati Langkat: Ada Korban Jiwa Hingga Keluarga Diminta Tanda Tangan Surat Tidak Menuntut,” https://nasional.kompas.com/read/2022/01/31/09214151/fakta-terbaru-kerangkeng-bupati-langkatada-korban-jiwa-hingga-keluarga?page=all, diakses 23 Mei 2022. 33
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
39
menandatangani surat pernyataan untuk tidak menuntut jika para korban menderita sakit ataupun meninggal di dalam kerangkeng tersebut. Seakan-akan tidak cukup dengan berbagai bentuk penyiksaan dengan dalih “pembinaan”, pihak TRP dan pengelola kerangkeng juga memeras tenaga penghuni-penghuni tersebut untuk bekerja tanpa upah di perkebunan sawit milik keluarga TRP dan pabrik kelapa sawit yang bernama PT Dewa Rencana Peranginangin. Mereka bekerja sebagai pengelas dan penyortir tandan kelapa sawit, mencuci mobil, dan lain-lain tanpa upah yang pantas. Bahkan, mereka juga bekerja sebagai buruh bangunan dalam pembangunan rumah TRP serta pembangunan tempat pembinaan baru di belakang rumah TRP. TRP juga mengerahkan mereka untuk memasang spanduk dan baliho guna keperluan kampanyenya sebagai Bupati Langkat. Kerja keras mereka hanya dihargai sebuah extra pudding, tanpa diberikan upah dalam bentuk uang sama sekali. Para penghuni pun bekerja dengan paksaan dan tanpa kesukarelaan. Tentunya hal tersebut adalah implikasi dari rasa takut serta kerentanan penghuni kerangkeng akan tindak kekerasan dari pihak pengelola kerangkeng, karena diketahui mereka akan dihukum jika tidak mau bekerja maupun jika bekerja dengan bermalas-malasan. Tidak hanya bekerja untuk keluarga TRP saja, para penghuni juga dipekerjakan di lahan kebun sawit milik kolega keluarga TRP. Jika ditinjau menggunakan Supplementary Convention on the Abolition of Slavery (Institution and Practices Like Slavery) 1956, penghuni yang dipekerjakan tanpa upah di tempat lain ini mengindikasikan adanya praktik perbudakan dan praktik serupa perbudakan berupa perdagangan budak (slave trafficking). Selain itu, International Labour Organization (ILO) dalam konvensinya di Jenewa tahun 1930 juga melebarkan cakupan perbudakan. Dalam konvensi tersebut, kerja paksa (forced labour) dimasukkan sebagai salah satu bentuk perbudakan. Indonesia sebagai negara anggota PBB dan ILO telah meratifikasi konvensi tersebut ke dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 1999. Berdasarkan konvensi tersebut, kerja paksa (forced labour) didefinisikan sebagai pekerjaan yang dikerjakan oleh orang yang di bawah ancaman sehingga orang tersebut tidak bekerja secara sukarela, melainkan dilakukan dengan ancaman dan rentan akan kekerasan. Praktik ini juga merupakan bagian dari perbudakan modern.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
40
Unsur kepemilikan (ownership). Seperti yang telah tertulis di awal, menurut Bellagio-Harvard Guidelines on the Legal Parameters of Slavery, tolok ukur sebuah perbudakan ialah hilangnya hak kepemilikan seseorang atas tubuhnya sendiri sehingga menempatkan orang tersebut di dalam kendali dan kuasa orang lain. Adanya tindakan-tindakan seperti penyerahan korban oleh keluarga dengan menandatangani surat perjanjian tidak menuntut jika korban mengalami sakit atau kematian selama di kerangkeng, telah membuktikan bahwa hak kepemilikan seseorang atas tubuhnya telah direnggut. Perlakuan kekerasan dan ancamanancaman yang diterima oleh penghuni kerangkeng serta rasa ketidakberdayaan mereka untuk melawan maupun kabur dari tempat itu juga menegaskan adanya hilangnya rasa kepemilikan para korban atas dirinya sendiri, mereka ditempatkan di bawah kendali dan kekuasaan pihak pengelola kerangkeng. Maka dari itu, unsur kepemilikan (ownership) yang menyebabkan korban kehilangan kemerdekaan dirinya sendiri telah terpenuhi. Unsur relasi kontrol. Selain hilangnya hak kepemilikan atas dirinya sendiri, unsur lain yang krusial untuk menentukan ada atau tidaknya perbudakan modern adalah eksistensi dari relasi kontrol yang kuat antara para korban dengan pihak yang menguasai dirinya. Pengurus kerangkeng mendapatkan relasi kontrol dari surat pernyataan yang telah ditandatangani oleh pihak keluarga sebelum para korban didatangkan ke kerangkeng tersebut. Dengan surat pernyataan yang mewajibkan mereka untuk tidak menuntut, para penguasa di kerangkeng dapat mengontrol korban serta keluarga korban secara sewenang-wenang. Relasi kontrol ini tampak jelas melalui perlakuan keji mereka terhadap penghuni kerangkeng seperti melakukan kekerasan, mengancam penghuni yang tidak ingin bekerja, serta sanksisanksi tidak manusiawi lainnya yang diberlakukan terhadap para penghuni kerangkeng. Dengan demikian, hadirnya unsur relasi kontrol di perbudakan dalam kasus kerangkeng manusia ini juga telah terpenuhi. Unsur eksploitasi. Unsur terakhir yang sama pentingnya dengan unsur lain adalah unsur eksploitasi. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (7) telah mendefinisikan eksploitasi sebagai:34
34
Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720, Ps. 1.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
41
Tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Sehingga, dalam kasus ini, eksploitasi dapat dikatakan sebagai tindakan yang terjadi tanpa persetujuan korban berupa kerja paksa serta perbudakan dan praktik serupa perbudakan untuk mendapatkan keuntungan materiil dan immateriil. Unsur ini telah jelas terlihat dengan adanya kerja paksa yang berkedok sebagai tindakan pembinaan terhadap penghuni kerangkeng yang dilakukan oleh aktor-aktor yang mengurus dan berwenang atas kerangkeng tersebut, tidak lain adalah pihak TRP sendiri. Adapun tenaga mereka dieksploitasi dalam perkebunan sawit, pabrik CPO milik pihak keluarga TRP, perkebunan sawit milik kolega keluarga TRP, pembangunan rumah TRP serta tempat pembinaan baru, dan proyek kampanye TRP sebagai Bupati Langkat yaitu pemasangan baliho dan spanduk tanpa upah yang pantas. Mereka juga melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut bukan tanpa persetujuan dan kesukarelaan, melainkan karena adanya ancaman kekerasan yang dilayangkan oleh pihak-pihak pengurus kerangkeng. Atas eksploitasi yang dilakukan terhadap penghuni-penghuni kerangkeng, pihak TRP telah mendapatkan profit materiil berupa uang serta profit immateriil berupa networking serta keberpihakan dari kolega-kolega lain yang perkebunan sawitnya dikerjakan oleh penghuni kerangkeng, yang diharapkan akan membantu TRP dalam melanggengkan kekuasaan di kemudian hari. Dengan demikian, jika kasus kerja paksa tersebut dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (7) UU TPPO, maka unsur eksploitasi telah terpenuhi. Dikarenakan terpenuhinya seluruh tolok ukur perbudakan modern secara hukum, besar dugaan telah terjadi praktik perbudakan modern dan praktik serupa perbudakan di dalam kerangkeng kematian Langkat tersebut. Padahal, hukum nasional di Indonesia telah melarang segala bentuk perbudakan. Larangan mengenai perbudakan ini telah tersurat di dalam konstitusi negara, Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya di Pasal 28I ayat (1) yang berbunyi:35 35
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 28I ayat (1).
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
42
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Konstitusi Indonesia secara tegas melarang perbuatan yang dapat mengurangi kadar HAM seseorang, tak terkecuali perbudakan serta praktik serupa perbudakan yang mencoreng nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, sebagai negara anggota ILO, Indonesia diwajibkan untuk turut serta mencegah praktik eksploitasi perbudakan berupa kerja paksa lewat ILO Convention No. 105 Concerning the Abolition of Forced Labour yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999. Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 juga telah mengecam praktik perbudakan dengan melarang satu orang pun untuk diperbudak serta melarang semua jenis tindakan perbudakan (modern slavery) seperti kerja paksa (forced labour) dan perdagangan orang (human trafficking), dan praktik serupa perbudakan (practices similar to slavery) seperti perdagangan budak. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang disahkan dalam sidang PBB tahun 16 Desember 1966 juga seakan menegaskan kembali dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2) serta ayat (3) bahwa tidak seorang pun boleh untuk diperbudakan. Indonesia yang turut meratifikasi kovenan ini ke Undang-Undang Nomor 12 Tahun 20115 pun berkewajiban untuk memberantas segala tindak perbudakan modern. 2.3. Pemenuhan Unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang Perdagangan orang (human trafficking) merebak tak terkendali akan perkembangan peradaban manusia kian cepat menjadikan kejahatan tersebut sebagai salah satu dari lima kejahatan terbesar di dunia yang harus ditumpas habis akibat imbasnya tidak hanya pada aspek ekonomi, melainkan mencakup aspek politik, budaya, serta kemanusiaan.36 Dinamika dan perkembangan teknologi di negara maju memunculkan modus baru perdagangan manusia menyebabkan liabilitas bagi negara-negara di dunia hingga perdagangan manusia sudah tergolong
36 Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, Perdagangan Orang : Dimensi, Instrumen Internasional Dan Pengaturannya Di Indonesia, cet. 1 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm 1.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
43
kejahatan transnasional. Dalam konteks masa kini, perbudakan telah berevolusi menjadi bentuk perdagangan orang. Pada tingkat nasional maupun internasional, perdagangan manusia dikategorikan sebagai perbudakan modern. Di Indonesia sendiri ditemukan dua bentuk perdagangan orang yaitu perdagangan orang dengan tujuan kerja paksa dan perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi seksual.37 Seakan membuka kotak pandora, kebengisan mantan Bupati Langkat TRP tersua pasca proses OTT oleh KPK terhadap TRP selaku tersangka suap penerimaan uang.38 Penggeledahan rumah pribadi TRP di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara telah menggemparkan publik akan temuan kerangkeng berisikan 57 manusia.39 Disamping kejahatan kerah putih, TRP tertangkap basah terjaring sebagai pelaku dugaan praktik perbudakan modern.40 Kerja paksa yang dialami korban menunjukkan indikasi eksploitasi hingga berpijak pada ranah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Larangan perbudakan di Indonesia telah diatur dalam hukum nasional Indonesia yang termaktub pada Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Menilik lebih dalam, pengertian perbudakan tercantum pada penjelasan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang PTPPO bahwa perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain.41 Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007, pelaku perbudakan dapat dijatuhkan hukuman bahwa: (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) 37
Ibid., hlm. 4. Ali Akhmad Noor Hidayat, “Sempat Kabur, Begini Kronologis OTT Bupati Langkat,” https://nasional.tempo.co/read/1551861/sempat-kabur-begini-kronologis-ott-bupatilangkat/full&view=ok, diakses 20 April 2022. 39 Ibid. 40 Anugrah Adriansyah, “Mantan Bupati Langkat Jadi Tersangka Kasus Kerangkeng Manusia,” https://www.voaindonesia.com/a/mantan-bupati-langkat-jadi-tersangka-kasuskerangkeng-manusia/6516247.html, diakses 20 April 2022. 41 Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4270. 38
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
44
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).” (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pada tulisan ini akan dipaparkan pembuktian unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 terhadap TRP secara lebih rinci. Unsur setiap orang. Perseorangan (natuurlijke persoon) adalah setiap orang sebagai subyek hukum pidana yang mampu bertanggungjawab atas dugaan melakukan suatu tindak pidana.42 Dalam kasus ini demi menentukan apakah TRP dapat dipertanggungjawabkan terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka perbuatan TRP harus memenuhi rumusan unsur delik berikutnya yang akan dijabarkan secara lebih lanjut. Selanjutnya, unsur melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia. Oleh karena unsur yang telah disebutkan bersifat alternatif, maka tulisan ini hanya akan membuktikan unsur yang terbukti berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh penulis. Unsur penggunaan kekerasan. Kekerasan merupakan setiap perbuatan melawan hukum dengan atau tanpa sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.43 Kekerasan fisik terhadap para korban perdagangan manusia di kediaman TRP dilakukan dengan pelaku yang berbeda-beda. Hasil investigasi menunjukkan keterlibatan anggota keluarga TRP serta oknum anggota
42
Chidir Ali, Badan Hukum (Rechtpersoon), (Alumni: Bandung, 2005), hlm.14. Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720. 43
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
45
TNI/Polri sebagai pelaku penyiksaan.44 Bentuk penyiksaan yang dialami korban pun juga berbeda-beda. Mr. M. H. Tirtaamidjaja mendefinisikan penganiayaan sebagai kesengajaan menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, akan tetapi tidak dianggap penganiayaan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan keselamatan badan.45 Kesengajaan yang dikehendaki adalah kesengajaan sebagai maksud atau opzet. Menilik keterangan para korban, penganiayaan yang dilakukan dalam kerangkeng manusia TRP cenderung merupakan penyiksaan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia (inhuman and degrading treatment) dengan mana pelaku menghendaki dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan diikuti dengan akibatnya. Komnas HAM mendapati bukti setidaktidaknya 26 bentuk penyiksaan, kekerasan, serta perlakuan yang merendahkan martabat berupa: (1) Dipukuli di bagian rusuk, (2) dipukuli di bagian kepala, (3) dipukuli di bagian muka, (4) dipukuli di bagian rahang, (5) dipukuli di bagian bibir, (6) ditempeleng, (7) ditendang, (8) diceburkan ke kolam ikan di depan sel setelah mengalami penyiksaan (luka basah), direndam di kolam ikan di depan sel dengan pemberat; (9) disuruh bergelantungan di kerangkeng seperti monyet (gantung monyet); (10) dicambuk anggota tubuhnya (badan, tangan dan kaki) dengan selang; tangan dan mata dilakban; (11) jari kaki dipukul dengan palu; (12) kuku jari kaki dicopot dengan tang; Rizki Sandi Saputra, “Temuan LPSK: Anak Terbit Rencana Diduga Turut Lakukan Kejahatan Fisik,” https://www.tribunnews.com/nasional/2022/03/16/temuan-lpsk-anak-terbitrencana-diduga-turut-lakukan-kejahatan-fisik, diakses 21 April 2022. 45 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya), cet. 1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm 6. 44
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
46
(13) dipaksa tidur di atas daun/ulat jelatang. (14) dipaksa makan cabai, (15) disembur cabai kunyahan, (16) disuruh memakan garam, (17) ditetesi jeruk nipis di atas luka basah, (18) dibakar bulu kemaluan dengan korek, (19)
ditetesi dengan plastik terbakar,
(20) disundut dengan besi panas, (21) disundut rokok yang menyala (punggung dan kemaluan), (22) disetrum, (23) disuruh push up di atas lilin dengan beban tubuh penghuni lain, (24) dimasukkan ke kerangkeng anjing dan disemprot air, (25) dipaksa sikap taubat.46 Salah satu tersangka memaksa penghuni kerangkeng untuk berhubungan seksual sesama jenis untuk kemudian direkam oleh pelaku.47 Beberapa korban dilaporkan menderita cacat fisik akibat penyiksaan yang dialami. Terdapat kemungkinan bentuk penyiksaan yang dialami korban lain di lapangan jauh lebih sadis dan keji. Di antara banyaknya korban, beberapa mengalami penyiksaan berujung kematian. Korban tewas meninggal dunia dalam kerangkeng dikonfirmasi berjumlah enam orang dan berpotensi bertambah. Leden Marpaung menyatakan bahwa dalam hukum pidana terdapat tiga bentuk concursus yaitu concursus idealis (eendaadsche samenloop), concursus realis (meerdaadsche samenloop), dan perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) yang pengaturannya terdapat dalam tiga pasal yang berbeda-beda pada Pasal 64, 65, dan 66 KUHP.48 Dalam kasus ini, sistem pemberian pidana yang ditangguhkan pada pelaku menggunakan concursus idealis melalui sistem absorbsi dengan mana pelaku hanya didakwakan pidana pokok yang terberat. Berdasarkan fakta-fakta 46
Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 8. Mahdiyah, “Dipaksa Lomba Onani hingga Kunyah Cabai Setengah Kilogram, Terungkap Penghuni 'Kerangkeng Manusia' Bupati Langkat Ternyata Alami Kekerasan Sadis, LPSK Ungkap Hal Mengejutkan Ini,” https://www.grid.id/read/043179760/dipaksa-lomba- onanihingga-kunyah-cabai-setengah-kilogram-terungkap-penghuni-kerangkeng-manusia-bupatilangkat-ternyata-alami-kekerasan-sadis-lpsk-ungkap-hal-mengeju?page=all, diakses 20 April 2022. 48 Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 32. 47
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
47
yang ada, pelaku tindak pidana penganiayaan yang terjadi dalam kerangkeng manusia TRP dapat didakwa dengan Pasal 351 ayat (1) KUHP. Sementara, pelaku pemaksaan sodomi dapat dikenakan pelanggaran Pasal 289 KUHP yang memaksakan perbuatan cabul. Oleh KUHP, Pasal 289 digolongkan sebagai perbuatan yang melanggar kesopanan (Engelbrecht) atau perbuatan yang menyerangan kehormatan kesusilaan.49 Disamping itu, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku penganiayaan yang mengakibatkan kematian seseorang dirumuskan pada Pasal 351 ayat (3) KUHP.50 Unsur penyekapan. Penempatan korban di tempat singgah tertutup bagi TRP merupakan penahanan untuk tujuan perlindungan. TRP membantah keberadaan kerangka manusia serupa penjara sebagai lokasi perbudakan, melainkan sebagai tempat rehabilitasi bagi pengguna narkoba yang telah didirikan dari tahun 2010.51 TRP menegaskan bahwa kerangkeng tersebut adalah tempat pembinaan untuk meningkatkan skill agar kemudian bisa dimanfaatkan di luar pembinaan.52 Berkenaan dengan pendetensian, hukum internasional dengan tegas menyatakan bahwa pendetensian atau penahanan adalah kehilangan kebebasan pribadi kecuali akibat dari pengenaan hukuman karena pelanggaran yang diperbuat.53 Kehilangan kebebasan pribadi yang dikehendaki adalah situasi dimana korban perdagangan manusia ditahan. Kerangkeng berupa sel penjara di kediaman TRP berjumlah dua unit berukuran sekitar 6x6 meter per unit ruangan.54 Menilik kondisi terakhir, kerangkeng unit 1 berisikan 30 penghuni, sementara unit 2 berisikan 27 orang dengan mana total penghuni kerangkeng pada saat itu adalah 57 orang. 55 Lantai ruangan dibuat dengan keramik, tempat tidur dibangun dengan dua panggung papan
Swingly Sumangkut, “Tindak Pidana dengan Kekerasan Memaksa Perbuatan Cabul Menurut Pasal 289 KUHP,” Lex Crimen Vol. 3 No. 1 (Jan 2018), hlm 191. 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht], diterjemahkan oleh Moeljatno, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2021), Ps. 289. 51 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 7. 52 Kuswandi, “Bantah Lakukan Perbudakan, Bupati Langkat: Hanya Memberikan Skill,” https://www.jawapos.com/nasional/07/02/2022/bantah-lakukan-perbudakan-bupati-langkat-hanyamemberikan-skill/, diakses 20 April 2022. 53 UN General Assembly, Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment yang disahkan berdasarkan Resolusi Sidang Umum No. 43/173, 9 Desember 1988. 54 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 2. 55 Ibid., hlm. 2. 49
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
48
berdampingan dengan tempat mandi, cuci, kakus (MCK) yang hanya dibatasi tembok setinggi 1x2 meter.56 Keadaan sel tersebut menunjukkan ketidaklayakan untuk dihuni, terlebih sangat melenceng dari tujuan tempat pembinaan. Korban diperlakukan sebagai tahanan dalam kerangkeng terkunci dimana terdapat keterbatasan waktu kunjungan keluarga, larangan membawa alat komunikasi, serta larangan melakukan kegiataan keagamaan di luar sel. Pendetensian dapat menjadi suatu pelanggaran HAM dalam beberapa situasi tertentu. Pertama, pendetensian tidak secara khusus termuat dalam undangundang atau melanggar undang-undang.57 Berdasarkan fungsi perizinan dan pengawasan, panti rehabilitasi yang digaungkan oleh TRP tidak memiliki izin untuk melakukan rehabilitasi. Kedua, pendetensian dilakukan secara diskriminatif.58 Pada faktanya, penghuni dalam sel tidak hanya pecandu narkotika saja, melainkan diantaranya berlatar masalah judi, mabuk, dan masalah-masalah sosial lainnya. Bahkan, beberapa penghuni kerangkeng dijebloskan hanya karena memiliki masalah pribadi dengan TRP seperti utang piutang, pencurian sawit, serta suksesi pemenangan.59 Ketiga, pendetensian dilakukan dalam jangka waktu berkepanjangan, tidak jelas, atau bahkan tidak tentu.60 Kumpulan pernyataan korban penyiksaan TRP membawa tim Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya tidak ada jalan pulang bagi penghuni kerangkeng TRP kecuali menyuap, melarikan diri, dan meninggal dunia.61 Di awal pendetensian terdapat perjanjian jangka waktu pembinaan. Akan tetapi, perjanjian tersebut tidak dapat dijadikan jaminan sebab beberapa korban tidak dipulangkan walaupun waktu pembinaan telah melampaui batas waktu perjanjian.
56
Ibid., hlm. 2. United Nations, Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human Trafficking: Commentary (New York and Geneva: United Nations Human Rights, 2010), hlm. 135. 58 Ibid. 59 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 4. 60 United Nations, Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human Trafficking: Commentary (New York and Geneva: United Nations Human Rights, 2010), hlm. 135. 61 Rizky Suryandika, “LPSK: Jalan Pulang Korban Kerangkeng Bupati Langkat Hanya Menyuap, Kabur, atau Mati,” https://www.republika.co.id/berita/r8njx9409/lpsk-jalan -pulangkorban-kerangkeng-bupati-langkat-hanya-menyuap-kabur-atau-mati, diakses 20 April 2022 57
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
49
Keempat, pendetensian bersifat tidak adil dan tidak proporsional.62 Para korban dipaksa bekerja dari pukul 08.00-17.00 WIB kemudian dilanjutkan 20.0008.00 WIB, sialnya bagi korban pada shift malam mengharuskan mereka bekerja 24 jam.63 Kelima, pendetensian tidak dapat dilakukan peninjauan kembali oleh pengadilan yang dapat menegaskan keabsahannya dan kebutuhannya secara terus menerus.64 Aktivitas dalam kerangkeng tidak menunjukkan adanya kegiatan rehabilitasi bagi pecandu narkotika.65 Kondisi kerangkeng TRP mengindikasikan bahwa penahanan yang dilakukan pelaku memenuhi kelima situasi dimana pendetensian dapat dianggap melanggar HAM sehingga dapat dikategorikan dalam ranah pelanggaran HAM. Pendetensian yang dilakukan TRP terbukti tidak memiliki keabsahan yang jelas serta tidak mendasar. Unsur pemalsuan. Badan Narkotika Nasional (BNN) mengemukakan lokasi kerangkeng TRP ilegal karena tidak memenuhi standar dan persyaratan dalam peraturan menteri terkait tempat rehabilitasi pecandu narkotika.66 Jika TRP bersikeras kerangkeng tersebut sebagai tempat pembinaan, model pembinaan yang dimaksud tidak dilengkapi metode penanganan kecanduan orang terhadap narkotika. Dalam rehabilitasi, pecandu akan melalui proses detoksifikasi agar kemudian dapat membentuk antibodi dan memperbaiki sel yang rusak akibat narkoba.67 Pecandu narkotika seharusnya menjalani beberapa program, salah satunya adalah therapeutic communities (TC).68 Sedangkan Komnas HAM tidak menemukan adanya pengobatan rehabilitasi ketergantungan narkoba maupun penangan terhadap pengguna narkoba. Merujuk Standar Internasional United Nations International Drug Control Programme (UNODC) dan World Health Organization (WHO) untuk Pengobatan Gangguan Penyalahgunaan Napza terdapat
62
United Nations, Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human Trafficking: Commentary (New York and Geneva: United Nations Human Rights, 2010), hlm. 136. 63 Detik, "Kerangkeng Bupati Langkat, Ini 4 Temuan Sadis yang Dipaparkan LPSK" https://news.detik.com/berita/d-5976561/kerangkeng-bupati-langkat-ini-4-temuan-sadis-yangdipaparkan-lpsk, diakses 20 April 2022. 64 Ibid. 65 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 4. 66 BBC, “Kerangkeng manusia di Langkat 'bukan tempat rehab' sebut BNN,” https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-60141417, diakses 21 April 2022. 67 Insan Firdaus, “Analisa Kebijakan Optimalisasi Pelaksanaan Rehabilitasi Narkotika di Unit Pelayanan Teknis Pemasyarakatan,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 14 No. 3 (November 2020), hlm 486. Hlm. 469-492. 68 Ibid., hlm. 486.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
50
prinsip-prinsip rehabilitasi narkotika. Kerangkeng manusia TRP bukanlah solusi, bahkan melenceng dari standar rehabilitasi tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penanganan pecandu narkotika seharusnya melalui proses peradilan dan hukum acara pidana Indonesia yang merupakan kewenangan hakim untuk mendakwahkan vonis kepada pecandu agar menjalani rehabilitasi sebagai pelaku tindak pidana sekaligus korban.69 Berdasarkan perspektif viktimologi, pecandu narkotika disebut dengan self victimization atau victimless crime dengan mana pecandu didudukan sebagai korban dan bukan kriminal.70 Menurut hemat penulis, kejahatan yang dilakukan TRP terhadap para pecandu narkoba dan korban lainnya dengan latar belakang masalah sosial merupakan suatu tindakan main hakim sendiri (eigenrichting). Penghakiman oleh TRP merupakan perbuatan sewenang-wenang terhadap orang yang dianggapnya melakukan kejahatan tanpa melewati proses hukum yang sah. Unsur penipuan. Perjanjian menurut Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak mengikatkan dirinya terhadap pihak lain diikuti kewajiban untuk dilaksanakan.71 TRP mempromosikan pembinaan bagi pecandu narkoba dilakukan melalui pendekatan keagamaan dan sosial, serta pembinaan tanpa biaya alias gratis.72 Dengan iming-iming tersebut membuka secercah harapan bagi keluarga penghuni kerangkeng. Tindakan TRP dapat diklasifikasikan sebagai penipuan (bujuk rayu). Orang yang hidup dalam kemiskinan biasanya menjadi sasaran empuk untuk dimanipulasi oleh para perekrut perdagangan manusia. Dalam kasus ini, TRP menggaet keluarga pecandu narkoba dengan janji pembinaan. Pun dengan pembinaan, keluarga dengan masalah sosial lain seperti
69 Indonesia, Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN. No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062. 70 Lysa Anggriani dan Yusliati, Efektivitas Rehabilitas Pecandu Narkotika serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Kejahatan di Indonesia, cet. 1. (Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia, 2018), hlm. 5. 71 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai Pustaka, 2014),Ps. 1313. 72 Elza Astari Retaduari, “Sebut Kerangkeng Manusia untuk Rehabilitasi Narkoba, Bupati Langkat Ngaku Sudah Bina Ribuan Orang,” https://nasional.kompas.com/read/ 2022/01/25/18513341/sebut-kerangkeng-manusia-untuk-rehabilitasi-narkoba-bupati-langkatngaku?page=all, diakses 21 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
51
ekonomi lemah, keputusasaan keluarga, mengalami ancaman atau tindak kekerasan atas saran dan rekomendasi lingkungan juga turut serta memasukkan keluarganya walaupun bukan pecandu. Bentuk ikatan dalam kasus TRP berupa suatu pernyataan surat bermaterai yang ditandatangani oleh pihak keluarga dan pihak penanggung jawab kerangkeng terkait batas waktu dalam kerangkeng.73 Akan tetapi, perjanjian tersebut sesungguhnya tidak menjamin kebebasan korban sebab kerap kali dilanggar.74 Butir-butir poin dalam surat perjanjian menunjukkan beberapa kejanggalan. Salah satu klausul tersebut berbunyi bahwa keluarga dilarang mengunjungi penghuni selama batas waktu yang ditetapkan.75 Dalam hal ini penghuni tidak dipulangkan selama satu setengah tahun. Klausul lainnya menyatakan bahwa pihak keluarga tidak boleh menuntut apabila penghuni sakit ataupun meninggal dunia.76 Persetujuan atas hal tersebut menandakan leluasa penuh untuk memperlakukan penghuni diluar batas wajar hingga berujung kematian. Kedua klausul tersebut sudah cukup menunjukkan tanda-tanda perdagangan orang. Unsur penyalahgunaan kekuasaan. Ancaman kekerasan merupakan setiap perbuatan melawan hukum dengan ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.77 Pengekangan kebebasan hakiki adalah ekspresi daripada pengancaman sebagai perampasan terhadap hak asasi manusia. Pengancaman melahirkan akibat bagi orang lain tidak dapat berbuat apa-apa sehingga terpaksa membiarkan sesuatu yang tidak dikehendaki orang tersebut karena tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menolak sesuatu di luar
Rizky Suryandika “LPSK: Jalan Pulang Korban Kerangkeng Bupati Langkat Hanya Menyuap, Kabur, atau Mati,” https://www.republika.co.id/berita/r8njx9409/lpsk-jalan-pulangkorban-kerangkeng-bupati-langkat-hanya-menyuap-kabur-atau-mati, diakses 20 April 2022 74 Ibid. 75 Faryyanida Putwiliani, “Poin Perjanjian Keluarga Penghuni Kerangkeng Manusia Bupati Langkat, Tak Boleh Menuntut & Menjemput,” https://www.tribunnews.com/ regional/2022/01/31/poin-perjanjian-keluarga-penghuni-kerang, diakses 21 April 2022. 76 Ibid. 77 Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720. 73
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
52
kendalinya.78 Dalam ranah perdagangan orang, istilah ‘melarikan diri’ merujuk pada kondisi ketika korban membebaskan diri dari pelaku perdagangan manusia. Pada kasus TRP, tidak sedikit korban yang mencoba untuk melepaskan diri dari jeratan siksaan TRP. Kendati demikian, terdapat tim pemburu dengan sigap akan mencari dan menjemput paksa korban yang kabur.79 Tim pemburu terdiri atas anak buah TRP, anak buah anak TRP, serta oknum aparat. Tim pemburu juga turut serta mengancam keluarga korban yang kabur untuk menggantikan posisi dalam kerangkeng.80 Di luar kerangkeng korban mengaku pernah diancam ditembak mati oleh TRP ketika korban sedang beristirahat di sela-sela bekerja.81 Berdasarkan keterangan saksi dari proses investigasi, maka tindak pidana pengancaman yang dilakukan berbagai oknum merupakan bentuk pelanggaran ketentuan Pasal 335 ayat (1) KUHP. Unsur untuk tujuan mengeksploitasi orang di wilayah Negara Republik Indonesia. Menarik definisi dari Pasal 1 ayat 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.82 Hakikat hukum nasional pelanggaran kerja paksa termaktub dalam UndangUndang Dasar 1945, yaitu: (1) Pasal 27 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”83
78 Al Furqon, “Yuridis terhadap Tindak Pidana Pengancaman yang dilakukan Secara Bersama-sama,” Jurnal Hukum Volkgeist Mimbar Pendidikan Hukum Nasional Vol. 2 No.2 (April 2018), hlm. 2. 79 Eko Ari Wibowo, “Kasus Kerangkeng, LPSK Perkirakan Bupati Langkat Raup Untung Rp 177,5 Miliar,” https://nasional.tempo.co/read/1569396/ kasus-kerangkeng-lpsk-perkirakanbupati-langkat-raup-untung-rp-1775-miliar, diakses 21 April 2022. 80 Ibid. 81 Ibid. 82 Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN N0. 4729, Ps, 1. 83 Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Ps. 27 ayat (2).
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
53
(2) Pasal 28D ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.84 (3) Pasal 28E ayat (1) bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”85 Konvensi
Kerja
Paksa
International
Labour
Organization
(ILO)
mendefinisikan kerja paksa sebagai segala bentuk pekerjaan maupun layanan atas permintaan dari siapapun di bawah ancaman hukuman dimana orang bersangkutan tidak menawarkan dirinya secara sukarela.86 Berangkat dari upaya perlindungan hak pekerja migran, terdapat enam indikator utama untuk menunjukkan elemenelemen kemungkinan situasi kerja paksa yang dipaparkan oleh International Labour Organization (ILO), antara lain adalah kekerasan fisik, membatasi kebebasan bergerak, ancaman, hutang dan bentuk ikatan lainnya, penahanan upah atau upah tidak dibayar, dan penyimpanan dokumen identitas.87 Menarik benang merah dengan kasus dugaan perbudakan TRP, TRP menampakkan hubungan kerja rodi dengan tujuan eksploitasi tenaga kerja atau kerja paksa sebagai bentuk perbudakan. Dalam kerangkeng TRP tersirat hubungan kerja rodi antara TRP dan para korban. Korban dituntut untuk bekerja keras dengan waktu yang berlebih, akan tetapi tidak diberi upah. Kesengajaan TRP dalam tidak menggaji pekerja merupakan sindikat eksploitasi. Pada kasus TRP, perdagangan orang sudah sampailah pada tahap eksploitasi. Praktek eksploitasi pada Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan didefinisikan sebagai berikut:88 Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, 84
Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Ps. 28D ayat (2). Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Ps. 28E ayat (1). 86 International Labour Organization, Konvensi Kerja Paksa ILO, K29 (1930), Ps. 2 ayat 85
(1). 87 Beate Andreas, Kerja Paksa dan Perdagangan Orang: Buku Pedoman untuk Pengawas Ketenagakerjaan (International Labour Organization, 2014), hlm. 18. 88 Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, TLN N0. 4729, Ps, 1 ayat (7).
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
54
pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Penanda utama terjadinya perbudakan adalah terjadinya epemaksaan korban untuk bekerja dari pukul 08.00-17.00 WIB kemudian dilanjutkan 20.0008.00 WIB.89 Peraturan tersebut menunjukkan bahwa korban pada shift malam bekerja 24 jam. Dari matahari terbit hingga terbenam, para korban dipaksa bekerja di pabrik pengolahan sawit milik TRP tanpa upah dan makanan yang layak. Penghuni kerangkeng dipekerjakan di pabrik atau buruh kebun kelapa sawit untuk mengelas dan sortir tandan sawit, menjadi juru parkir, supir, mencuci mobil, membersihkan ruangan pabrik buah sawit, mengelas, membersihkan peralatan dan lain sebagainya. Selain itu juga dimanfaatkan sebagai buruh bangunan untuk pembangunan rumah milik TRP, menguruk tanah di sekitar lokasi kerangkeng untuk rencana pembangunan tempat pembinaan yang baru, memasang atribut kampanye untuk keperluan pencalonan TRP sebagai Bupati Langkat. Kerja paksa yang dialami para penghuni kerangkeng tidak setara dengan upah yang hanya berupa ekstra puding tambahan. Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 telah memandatkan bahwasanya hak kemanusiaan manusia tidak boleh dilanggar. Dipekerjakan tanpa upah merupakan bentuk eksploitasi dalam TPPO. LPSK mengakumulasikan apabila praktik perbudakan modern TRP telah berlangsung selama 10 tahun terakhir dan terdapat 600 korban yang dipekerjakan tanpa gaji, maka Bupati Langkat disinyalir meraup keuntungan sebesar 177,5 miliar rupiah.90 Oleh karena semua unsur dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah terpenuhi. Berdasarkan pemaparan diatas, maka menurut hemat penulis tindak pidana yang dilakukan TRP, yaitu melakukan tindak pidana perdagangan orang melanggar Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007.
89
Detik, "Kerangkeng Bupati Langkat, Ini 4 Temuan Sadis yang Dipaparkan LPSK" https://news.detik.com/berita/d-5976561/kerangkeng-bupati-langkat-ini-4-temuan-sadis-yangdipaparkan-lpsk, diakses 20 April 2022. 90 Detiks, “LPSK: Bupati Langkat Untung Rp 177,5 M dari Perbudakan di Kerangkeng" https://news.detik.com/berita/d-5977927/lpsk-bupati-langkat-untung-rp-1775-m-dari-perbudakandi-kerangkeng, diakses 20 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
55
2.4. Polemik Kasus Kerangkeng Manusia sebagai Kasus Pelanggaran HAM Berat Pelanggaran HAM berat pada undang-undang tersebut dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) dan merupakan tindak pidana yang diatur di luar KUHP. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity adalah salah satu dari perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan kepada penduduk sipil dengan mana salah satu perbuatannya adalah perbudakan (huruf c). 91 Seperti yang tertera pada Pasal 9 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, perbudakan dapat dikategorikan menjadi kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat jika terpenuhinya unsur-unsur yang ada seperti penjelasan di bawah. Unsur Serangan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), serangan dapat diartikan sebagai tindakan mendatangi untuk melawan atau melukai.92 Dalam Statuta Roma kata serangan disepadankan dengan kata attack yang memiliki arti melukai atau memberikan nestapa terhadap seseorang dengan kekerasan.93 Menurut hemat pikir Penulis, serangan dapat diartikan sebagai kesengajaan untuk memberikan penderitaan terhadap seseorang baik dengan kekerasan secara langsung maupun melalui perpanjangan tangan orang lain. Hadirnya unsur serangan juga memberikan indikasi adanya kesengajaan, niat, dan persiapan untuk menyerang seseorang dengan kuasa ataupun kekerasan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi. Dalam kasus kerangkeng manusia oleh Bupati Langkat sesuai fakta yang didapatkan Penulis hingga saat tulisan ini dibuat, tidak ada fakta yang menunjukan adanya bentuk serangan yang sengaja ditujukan, direncanakan, bahkan ditargetkan secara spesifik terhadap korban. Korban secara sukarela atau diserahkan keluarga secara sukarela dan tanpa paksaan sekalipun dengan informasi dan pandangan terhadap kerangkeng yang salah (atau dapat dikatakan sukarela dengan tipuan) 91
Indonesia, Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000, LN No. 208 Tahun 2000, TLN NO. 1426, Ps. 9. 92 KBBI, “Serangan,” https://kbbi.web.id/serangan, diakses 23 Mei. 93 Cambridge Dictionary, “Attack,” https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/ attack, diakses 23 Mei.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
56
datang menyerahkan diri untuk dibina di kerangkeng manusia ini. Tidak ada indikasi dari Bupati Langkat maupun oknum lainnya dengan sengaja menargetkan suatu individu untuk diserang dan dijadikan budak, melainkan oknum yang terlibat hanya mengambil manfaat dari kemalangan nasib orang yang tertipu dengan citra terminologi ‘pembinaan’ yang cukup baik. Dapat disimpulkan, kasus kerangkeng manusia oleh Bupati Langkat tidak memenuhi unsur serangan. Unsur meluas atau sistematik. Tidak ada batasan dalam menentukan sifat meluas atau sistematis.94 Unsur ini dapat diartikan adanya sebuah kejahatan yang terencana dan tersusun. Dalam kasus Bupati Langkat, Komnas HAM menemukan bahwa keberadaan kerangkeng manusia telah didesain layaknya lembaga pemasyarakatan (lapas) yang terdiri dari Pembina, Kalapas, Kepala Kamar, Besker, dan Keamanan.95 Dalam kerangkeng manusia ini pun terdapat perpeloncoan dari penghuni lama terhadap penghuni baru layaknya senior junior di lapas umum. Selain dari kerangkeng manusia itu sendiri, para korban juga dipekerjakan di sebuah perusahaan kelapa sawit milik Bupati Langkat TRP yaitu PT Dewa Rencana Parangin-angin.96 Hal ini menunjukan bahwa setiap korban yang diserahkan untuk dibina sudah secara pasti akan dipekerjakan secara paksa di perusahaan ini untuk dapat dieksploitasi jasanya seperti budak. Selain itu terdapat keterlibatan anak Bupati Langkat TRP, oknum TNI, Polisi, hingga Satpol PP dalam kasus ini menurut hasil investigasi LPSK yaitu, keterlibatan Letnan Kolonel (Letkol) Inf WS, Pembantu Letnan Satu (Peltu) SG, Sersan Mayor (Serma) R, Sersan Kepala (Serka) PT, Sersan Satu (Sertu) LS, Sertu MFS, dan Sersan Dua (Serda) WN dalam TPPO TRP.97 Keterlibatan pihak aparat ditunjukkan melalui hubungan Letkol Inf WS yang merupakan rekan bisnis TRP, Peltu SG sebagai pelaku penganiayaan terhadap penghuni kerangkeng, Serma R selaku pihak yang mengawasi dan mengamankan judi togel TRP, Sertu LS
Arista Candra Irawati, “Tinjauan terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (Gross Violation of Human Rights) dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Aceh,” Adil Indonesia Jurnal Vol. 1 No. 1 (Januari 2019), hlm. 4. Hlm. 1-8. 95 Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 7. 96 Ibid., hlm. 10. 97 Okto Rizki Alpino, “LPSK: 7 Prajurit TNI dan 5 Anggota Polri Diduga Terlibat Kasus Kerangkeng Bupati Langkat,” https://nasional.sindonews.com/read/707911/13/lpsk-7- prajurit-tnidan-5-anggota-polri-diduga-terlibat-kasus-kerangkeng-bupati-langkat-1646834621, diakses 22 April 2022. 94
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
57
menganiaya penghuni kerangkeng yang mencoba kabur dan kemudian tertangkap, Sertu MFS selaku tim pemburu penghuni kerangkeng yang kabur, dan Serda WN sebagai pelaku penganiayaan. Selain daripada oknum-oknum tersebut, beberapa instansi pemerintahan di daerah Langkat setempat seperti BNNK Langkat, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Sosial, dan Dinas Sosial juga turut mengetahui keberadaan praktik ini tetapi tidak mengambil tindakan apapun.98 Fakta-fakta di atas merupakan bukti kuat bahwa kejahatan ini dilakukan secara sangat rapih dan tersistem. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa unsur meluas atau sistematik terpenuhi. Unsur ditujukan kepada penduduk sipil. Penghuni dalam sel tidak hanya pecandu narkotika saja, melainkan diantaranya berlatar masalah judi, mabuk, dan masalah-masalah sosial lainnya yang dalam hal ini merupakan warga sipil. Warga sipil yang menjadi korban pun memiliki kesamaan latar belakang yaitu berasal dari golongan ekonomi bawah, keluarga korban telah putus asa dan membutuhkan bantuan yang gratis.99 Dari analisa diatas, maka dapat ditarik benang merah bahwa penyiksaan yang berujung kematian dua warga sipil (per 2 Maret 2022) di kerangkeng termasuk dalam pemenuhan unsur serangan ditujukan kepada penduduk sipil. Dari ketiga unsur yang terdapat dalam Kejahatan Kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat di Indonesia, hanya dua yang terpenuhi. Adapun unsur yang terpenuhi adalah unsur sistematik dan unsur ditujukan kepada penduduk sipil. Unsur serangan yang menjadi titik berat dari pengertian Kejahatan Kemanusiaan tidak terpenuhi dalam kasus ini. Maka, dapat disimpulkan bahwa kasus kerangkeng manusia oleh Bupati Langkat bukan merupakan kasus pelanggaran HAM berat.
98 99
Komnas HAM, Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022, hlm. 5. Ibid., hlm. 13.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
58
III.
PENUTUP Pihak TRP, terhitung sejak 2010 telah membangun dan mengoperasikan
kerangkeng tersebut dengan kedok tempat pembinaan pecandu narkoba. Namun, pada kenyataannya, kerangkeng tersebut tidak memiliki izin dan tidak memenuhi satu pun prosedur rehabilitasi kecanduan narkoba. Bahkan, kerangkeng tersebut dinilai tidak layak huni. Tidak hanya itu, kerangkeng tersebut melenceng amat jauh dari tujuan awalnya, yaitu tempat pembinaan. Alih-alih menjadi tempat rehabilitasi, tempat ini justru menjadi tempat penyiksaan puluhan orang. Ironisnya, oknum TNI dan Polri yang seharusnya menjadi pelindung warga, malah menjadi aktor yang ikut bertanggung jawab di balik setidaknya 26 bentuk kekerasan serta 12 bentuk pelanggaran HAM yang diterima korban-korban dalam kerangkeng tersebut. Tidak hanya itu, dalam kasus ini telah para korban telah kehilangan hak kepemilikannya atas diri sendiri. Dengan kata lain, mereka berada di bawah kekuasaan pihak TRP dan tidak memiliki hak untuk bebas dari kekerasan yang dialaminya. Terdapat pula relasi kontrol yang kuat antara pihak pengelola kerangkeng dengan para korban. Hal ini telah dimulai sejak ditandatanganinya Surat Pernyataan dengan materai sebesar Rp 6000,00 yang salah satunya berisikan bahwa keluarga korban tidak akan menuntut jika para korban mengalami sakit maupun meninggal selama masa pembinaan di kerangkeng. Maka dari itu, pihak TRP dan pelaku lain semakin sewenang-wenang dan bertindak keji terhadap korban-korban di dalam kerangkeng. Terdapat pula sanksi-sanksi yang diberlakukan dengan ancaman kekerasan yang tidak manusiawi. Pihak kerangkeng dan TRP juga mengeksploitasi para penghuni kerangkeng untuk bekerja tanpa upah di pabrik sawit milik keluarga TRP dan kolega TRP, serta bekerja dalam pembangunan kerangkeng baru dan untuk keperluan pemilu. Penghuni kerangkeng tidak berdaya untuk menolak bekerja karena rentan akan kekerasan dan adanya ancaman kekerasan terhadap mereka jika tidak mau bekerja. Hal-hal tersebut telah memenuhi unsur-unsur perbudakan sehingga terdapat indikasi terjadinya perbudakan modern berupa perdagangan orang berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang TPPO. Menurut konferensi pers yang dilangsungkan oleh Komnas HAM, di dalam kerangkeng tersebut telah terjadi setidaknya 12 bentuk pelanggaran HAM terhadap
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
59
penghuni kerangkeng. Akan tetapi, kasus perbudakan yang terjadi dalam kerangkeng manusia ini tidak dapat digolongkan sebagai kasus kejahatan kemanusiaan yang tergolong sebagai pelanggaran HAM berat. Hal tersebut dikarenakan, mengacu pada Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000, dijelaskan bahwa sesuatu dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat jika memenuhi 3 unsur, yaitu adanya serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan kepada warga sipil. Dalam kasus kerangkeng manusia eks-Bupati Langkat, hanya terpenuhi dua unsur yaitu unsur sistematik serta unsur ditujukan kepada warga sipil. Sedangkan, unsur adanya serangan sampai saat ini, berdasarkan fakta empiris belum dapat dibuktikan. Adanya unsur serangan yang sengaja ditujukan bagi warga sipil tidak dapat dibuktikan karena pada dasarnya, pihak TRP tidak melakukan pemaksaan kepada masyarakat untuk diserang di dalam kerangkeng. Sebaliknya, pihak keluarga penghuni kerangkenglah yang secara sukarela memasukkan korban ke dalam kerangkeng dengan menandatangani surat pernyataan. Sehingga, dengan ini pelanggaran HAM serta perbudakan modern yang terjadi di dalam kerangkeng tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
60
DAFTAR PUSTAKA BUKU Ali, Chidir. Badan Hukum (Rechtpersoon). Alumni: Bandung, 2005. Ali, Mahrus dan Bayu Aji Pramono. Perdagangan Orang: Dimensi, Instrumen Internasional Dan Pengaturannya Di Indonesia. Cet. 1. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011. Andreas, Beate. Kerja Paksa dan Perdagangan Orang: Buku Pedoman untuk Pengawas Ketenagakerjaan. International Labour Organization, 2014. Anggriani, Lysa dan Yusliati. Efektivitas Rehabilitas Pecandu Narkotika serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Kejahatan di Indonesia. Cet. 1. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia, 2018. Bassiouni, M. Cherif. Crime Against Humanity: Historical Evolution and Contemporary Application. Cambridge: Cambridge University Press, 2011. C. Robert Dubler S. dan Matthew Kalyk. Crime Against Humanity in the 21st Century: Law, Practice and Threats to International Peace and Security. Leiden: Martinus Nijhoff, 2018. Choi-Fitzpatrick, A. What Slaveholders Think: How Contemporary Perpetrators Rationalize What They Do. New York: Columbia University Press, 2011. Gopsill, Anna. “Genocide.” Dalam Humanitarianism, diedit oleh Antonio De Lauri, 76-79. Leiden: Brill, 2020. Hutagalung, Reynold E. P. Perbudakan Modern Anak Buah Kapal Ikan (ABKI) asal Indonesia: Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif Kepolisian. Cet. 1. Depok: LPKS, 2019. Marpaung, Leden. Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Marpaung, Leden. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya). Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Militello, Vincenzo dan Alessandro Spena. Between Criminalization and Protection: The Italian Way of Dealing with Migrant Smuggling and
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
61
Trafficking Within the European and International Context. Brill: Leiden, 2019. Research Network on the Legal Parameters of Slavery. 2012 Bellagio-Harvard Guidelines on the Legal Parameters of Slavery (2012). United Nations. Recommended Principles and Guidelines on Human Rights and Human Trafficking: Commentary. New York and Geneva: United Nations Human Rights, 2010. JURNAL DoCarmo, Tania Eileen. “The Construction and Implementation of International Human Trafficking Law.” Disertasi University of California, Irvine, 2020. Firdaus, Insan. “Analisa Kebijakan Optimalisasi Pelaksanaan Rehabilitasi Narkotika di Unit Pelayanan Teknis Pemasyarakatan.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol. 14 No. 3 (November 2020). Hlm. 469-492. Furqon, Al. “Yuridis terhadap Tindak Pidana Pengancaman yang dilakukan Secara Bersama-sama.” Jurnal Hukum Volkgeist Mimbar Pendidikan Hukum Nasional Vol. 2 No.2 (April 2018). Hlm. 119-134. Irawati, Arista Candra. “Tinjauan terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (Gross Violation of Human Rights) dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Aceh.” Adil Indonesia Jurnal Vol. 1 No. 1 (Januari 2019). Hlm. 1-8. Johnston, Katie A.“Identifying The Jus Cogens Norm in The Jus Ad Bellum.” British Institute of International and Comparative Law Quarterly Vol. 70 (Januari 2021). Hlm. 29-57. Luban, David. “A Theory of Crimes Against Humanity.” Yale Journal of International Law 29 (2004). Hlm. 85-167. Nugroho, Fadzlun Budi Sulistyo. “Sifat Keberlakuan Asas Erga Omnes dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi.” Gorontalo Law Review Vol. 2 No. 2 (Oktober 2019). Hlm. 95-104. Sumangkut, Swingly. “Tindak Pidana dengan Kekerasan Memaksa Perbuatan Cabul Menurut Pasal 289 KUHP.” Lex Crimen Vol. 3 No. 1 (Jan 2018). Hlm. 190-200.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
62
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-undang Dasar 1945. Indonesia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia, UU No. 19 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3886. Indonesia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720. Indonesia. Undang-Undang Narkotika. UU No. 35 Tahun 2009, LN. No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062. Indonesia. Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 19 Tahun 2019, LN No. 197 Tahun 2019, TLN No. 6409. Indonesia. Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2021. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Balai Pustaka, 2014. DOKUMEN INTERNASIONAL International Labour Organization. Konvensi Kerja Paksa ILO. K29 (1930). Liga Bangsa-Bangsa. Slavery Convention. LNTS 60 (1926). The Powers. Final Act of The Congress of Vienna/General Treaty, (1815). UN General Assembly. Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment yang disahkan berdasarkan Resolusi Sidang Umum No. 43/173 (1988). UNHR. Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery. UNTS 266 (1957). UNHR. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime. UNTS 2237 (2000). KETERANGAN PERS Komnas HAM. Keterangan Pers No. 007/HM.00/III/2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
63
INTERNET Adriansyah, Anugrah. “Mantan Bupati Langkat Jadi Tersangka Kasus Kerangkeng Manusia.” https://www.voaindonesia.com/a/mantan-bupatilangkat-jadi-tersangka-kasus-kerangkeng-manusia/6516247.html. Diakses 20 April 2022. Alpino, Okto Rizki. “LPSK: 7 Prajurit TNI dan 5 Anggota Polri Diduga Terlibat Kasus
Kerangkeng
Bupati
Langkat.”
https://nasional.sindonews.com/read/ 707911/13/lpsk-7-prajurit-tni-dan5-anggota-polri-diduga-terlibat-kasus-kerangkeng-bupati-langkat1646834621. Diakses 22 April 2022. BBC. “Kerangkeng manusia di Langkat 'bukan tempat rehab' sebut BNN.” https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-60141417. Diakses 21 April 2022. Cambridge Dictionary. “Attack.” https://dictionary.cambridge.org/dictionary /english/attack. Diakses 23 Mei. Darjito, Dany. “Kronologi Dugaan Adanya Perbudakan Modern di Rumah Bupati Langkat.”
https://www.suara.com/news/2022/03/22/185009/kronologi-
dugaan-adanya-perbudakan-modern-di-rumah-bupati-langkat. Diakses 18 April. Ferdianto,
Riky.
“Kerangkeng
Malaikat
Pencabut
Nyawa.”
https://majalah.tempo.co/read/hukum/165486/mengapa-polisi-lambanmengusut-kerangkeng-manusia-bupati-langkat. Diiakses 28 April 2022. Hidayat, Ali Akhmad Noor. “Sempat Kabur, Begini Kronologis OTT Bupati Langkat.” https://nasional.tempo.co/read/1551861/sempat-kabur-beginikronologis-ott-bupati-langkat/full&view=ok. Diakses 20 April 2022. KBBI. “Serangan.” https://kbbi.web.id/serangan. Diakses 23 Mei. Kuswandi. “Bantah Lakukan Perbudakan, Bupati Langkat: Hanya Memberikan Skill.”
https://www.jawapos.com/nasional/07/02/2022/bantah-lakukan-
perbudakan-bupati-langkat-hanya-memberikan-skill/. Diakses 20 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
64
Madrim, Sasmito. “KPK Tetapkan Bupati Langkat Sebagai Tersangka Korupsi,” https://www.voaindonesia.com/a/kpk-tetapkan-bupati-langkat-sebagaitersangka-korupsi/6404046.html. Diakses 22 Mei. Noviansah, Wildan. "LPSK Sebut Tak Ada Aktivitas Rehabilitasi di Kerangkeng Bupati Langkat.” https://news.detik.com/berita/d-5922906/lpsk-sebut tak-ada-aktivitas-rehabilitasi-di-kerangkeng-bupati-langkat. Diakses 21 April 2022. Putwiliani, Faryyanida. “Poin Perjanjian Keluarga Penghuni Kerangkeng Manusia Bupati Langkat, Tak Boleh Menuntut & Menjemput.” https://www.tribunnews.com/regional/2022/01/31/poin-perjanjiankeluarga-penghuni-kerang. Diakses 21 April 2022. Retaduari, Elza Astari. “Sebut Kerangkeng Manusia untuk Rehabilitasi Narkoba, Bupati
Langkat
Ngaku
Sudah
Bina
Ribuan
Orang.”
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/25/18513341/sebutkerangkeng-manusia-untuk-rehabilitasi-narkoba-bupati-langkatngaku?page=all. Diakses 21 April 2022. Saputra, Rizki Sandi. “Temuan LPSK: Anak Terbit Rencana Diduga Turut Lakukan Kejahatan Fisik.” https://www.tribunnews.com/nasional/2022/ 03/16/temuan-lpsk-anak-terbit-rencana-diduga-turut-lakukan-kejahatanfisik. Diakses 21 April 2022. Suryandika, Rizky. “LPSK: Jalan Pulang Korban Kerangkeng Bupati Langkat Hanya
Menyuap,
Kabur,
atau
Mati.”
https://www.republika.co.id/berita/r8njx9409/lpsk-jalan-pulang-korbankerangkeng-bupati-langkat-hanya-menyuap-kabur-atau-mati. Diakses 20 April 2022 Victor. “Slav and Slaves.” https://languagelog.ldc.upenn.edu/nll/?p=41445. Diakses 19 Mei. Wibowo, Eko Ari. “Kasus Kerangkeng, LPSK Perkirakan Bupati Langkat Raup Untung Rp 177,5 Miliar.” https://nasional.tempo.co/read/1569396/kasus kerangkeng-lpsk-perkirakan-bupati-langkat-raup-untung-rp-1775-miliar. Diakses 21 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
65
BIODATA PENULIS
Angelica Catherine Edelweis lahir di Jakarta pada tanggal 9 Februari 2003. Sekarang, ia merupakan mahasiswi aktif Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia juga sedang menjabat sebagai staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022.
Cornellia Desy Nathalina atau Cornel merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia kelahiran Tangerang, 18 Desember 2002. Cornel sekarang merupakan mahasiswi yang aktif dalam berbagai kepanitiaan dan organisasi seperti menjadi staf aktif di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022.
Nindya Amaris Minar atau yang akrab dikenal sebagai Mina
merupakan
mahasiswi
Fakultas
Hukum
Universitas Indonesia. Perempuan kelahiran 19 April 2004 ini sekarang menjabat sebagai staf di beberapa organisasi seperti Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan Departemen Pendidikan dan Keilmuan BEM FHUI 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
66
PIDANA MATI HERRY WIRAWAN SEBAGAI SUATU PENCEGAHAN UMUM “GENERAL DETERRENCE” KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA
Aliffia Dwiyana Sekti Fakultas Hukum Universitas Indonesia aliffia.dwiyana@ui.ac.id Metta Yoelandani Fakultas Hukum Universitas Indonesia metta.yoelandani@ui.ac.id Nisya Arini Damara Ardhika Fakultas Hukum Universitas Indonesia nisya.arini@ui.ac.id
Abstrak Polemik hukuman mati kepada Herry Wirawan sebagai pelaku kekerasan seksual menjadi diskursus menarik untuk dibahas. Dalam KUHP pidana mati yang dijatuhkan kepada pelaku tersebut merupakan pidana pokok. Pidana mati kerap kali menjadi diskusi yang mendapat banyak tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Namun, setiap pidana pada dasarnya memiliki tujuan atau falsafah pidana termasuk pemidanaan mati. Tulisan ini akan menelaah putusan mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan melalui kajian normatif terhadap KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Tulisan ini akan menghasilkan kesimpulan bahwa putusan mati terhadap Herry Wirawan sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap anak merupakan pemidanaan yang tepat. Tulisan ini juga membahas eksistensi pidana mati dalam perundangundangan Indonesia, seperti KUHP, RUU KUHP, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Dengan penelitian tersebut. Tulisan ini menyimpulkan bahwa pidana mati Herry Wirawan adalah pidana yang tepat sebagai suatu pencegahan umum (general deterrence) terhadap pelaku kekerasan seksual Kata kunci: Kekerasan seksual, Pidana mati, Pencegahan umum Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
67
THE DEATH CRIME OF HERRY WIRAWAN AS A GENERAL DETERRENCE OF SEXUAL VIOLENCE IN INDONESIA Abstract The polemic about the death penalty of Herry Wirawan as a perpetrator of sexual violence has become a diverting discourse to be discussed. In the Criminal Code, the death penalty imposed on the perpetrator is the main crime. The death penalty is often a discussion that gets a lot of pro and contra responses from various circles of society. In this case, the main topic of discussion is the effectiveness of the death penalty, especially in creating a deterrent effect for perpetrators of sexual violence. This paper will examine the death sentence handed down to Herry Wirawan through a normative study of the Criminal Code and other laws and regulations. This paper will conclude that the death sentence against Herry Wirawan as a perpetrator of sexual violence against children is a righteous court decision. Therefore, in addition to discussing the decision on the perpetrator, this paper also writes about the existence of the death penalty in Indonesian legislation, such as the Criminal Code, the Criminal Code Bill, Government Regulation in place of Law (Perppu) Number 1 of 2016 concerning Second Amendment to Laws. Number 23 of 2002 concerning Child Protection, and the Law on the Criminal Justice System for Children (UU SPPA).
Keywords: Sexual violence, Death penalty, Effectivity
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
66
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terungkapnya kasus kekerasan seksual berupa pemerkosaan terhadap tiga belas
orang santriwati yang dilakukan oleh Herry Wirawan di tahun 2021 mengundang banyak perhatian publik. Pasalnya, terdakwa kasus tersebut, Herry Wirawan divonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung pada Senin, 4 April 2022.1 Vonis hukuman mati terhadap Herry Wirawan resmi dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung setelah menerima pengajuan banding dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Dalam putusan terbarunya, hakim membenahi hukuman yang diberikan kepada Herry Wirawan. Termasuk di dalamnya adalah vonis hukuman mati, pembayaran restitusi mencapai Rp300 juta lebih, perampasan aset terdakwa Herry Wirawan berupa tanah, hak bangunan, dan hak terdakwa dalam Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, serta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 989/Pid.Sus/2022/PN.Bdg pada 15 Februari 2022.2 Secara umum, pidana merupakan nestapa yang dijatuhkan dengan cara paksa terhadap seorang terdakwa atau seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan bersalah.3 Menurut teori relatif, pidana tidak boleh dijatuhkan semata dengan mempertimbangkan masa lalu saja.4 Pidana juga harus melihat ke masa depan (forward looking) sehingga dapat memberikan manfaat baik bagi pelaku, korban, ataupun masyarakat.5 Dalam hal ini, tujuan pidana dapat juga memberikan efek psikologis untuk “menakuti” masyarakat agar tidak melakukan hal yang sama dengan pelaku.6
Fitra Moerat Ramadhan, “Fakta-Fakta Terbaru Vonis Mati Herry Wirawan,” https://grafis.tempo.co/read/2973/fakta-fakta-terbaru-vonis-mati-herry-wirawan, diakses 27 April 2022. 2 Pengadilan Tinggi Bandung, “Hakim PT Bandung Menjatuhkan Vonis Mati pada Herry Wirawan,” https://pt-bandung.go.id/hakim-pt-bandung-menjatuhkan-vonis-mati-pada-herrywirawan.html, diakses 27 April 2022. 3 Yan David Bonitua, Pujiyono, dan Purwoto, “Sikap dan Pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap Eksistensi Sanksi Pidana Mati di Indonesia,” Diponegoro law Journal Vol. 6 No. 1 (2017), hlm. 2. 4 Topo Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. 2, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2021), hlm. 172. 5 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 2829. 6 Topo Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. 2, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2021), hlm. 173. 1
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
67
Dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pidana pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda.7 Menurut pendapat Roeslan Saleh, pidana mati ini merupakan jenis pidana yang paling berat.8 Pidana mati menjadi ancaman yang tepat bagi pelaku kejahatan berat dan luar biasa atau extraordinary crime yang merujuk pada tindak pidana berat yang tidak dapat diampuni. Dalam hukum positif Indonesia, pidana mati menjadi sebuah polemik yang cukup ramai menuai pro dan kontra. Pada hakikatnya, hukuman mati adalah wujud suatu pencabutan paksa hak hidup manusia yang merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.9 Timbulnya pro-kontra terhadap pidana mati ini memantik diskursus yang penting bagi pemberlakuannya di Indonesia. Bagi para pihak kontra terhadap hukuman mati, hukuman mati dianggap sebagai hukuman yang melanggar nilai ketuhanan dan kemanusiaan.10 Ditambah lagi pidana mati juga dipandang sebagai suatu hukuman yang tidak sesuai apabila bertujuan untuk menakut-nakuti pelaku tindak pidana.11 Sedangkan dari perspektif pro, pidana mati adalah salah satu alat yang memiliki peran cukup penting dalam penerapan hukum pidana.12 Terdapat tujuh kebijakan sanksi pidana mati dalam KUHP. Sanksi tersebut dimuat dalam Buku II KUHP yang mengatur tentang Kejahatan, yaitu Pasal 104, Pasal 124 ayat 3, dan Pasal 111 ayat 2 mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, Pasal 340 mengenai pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat 4 mengenai pencurian dengan kekerasan yang menimbulkan luka-luka berat, Pasal 368 ayat (2) tentang pemerasan dengan kekerasan yang berakibat luka berat atau matinya seseorang, dan pasal 444
7
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Cet.34, (Jakarta: Bumi Aksara, 2021), Ps. 10. 8 Roeslan Salah, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm. 16. 9 Herliana Heltaji, “Dilema Hak Asasi Manusia dan Hukum Mati dalam Konstitusi Indonesia,” Pamulang Law Review Vol. 4 No. 2 (2021), hlm. 163. 10 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cet, 4 (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 27. 11 Yan David Bonitua, Pujiyono, dan Purwoto, “Sikap dan Pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap Eksistensi Sanksi Pidana Mati di Indonesia,” Diponegoro law Journal Vol. 6 No. 1 (2017), hlm. 2. 12 Ibid.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
68
KUHP mengenai perompakan.13 Aturan pidana mati juga diatur dalam UndangUndang (UU) diluar KUHP. Terdapat beberapa regulasi berupa undang-undang diluar KUHP yang mengatur pidana mati. UU tersebut adalah UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), UU No. 21 Tahun 1959 Tentang Memperberat Ancaman Hukuman Tindak Pidana Ekonomi, UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika, dan UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang.14 Dengan mengambil latar belakang yang demikian, tulisan ini akan berfokus untuk mengkaji langkah progresif Indonesia untuk memberikan suatu konsep pencegahan khususnya bagi para pelaku kekerasan seksual yang kasusnya masih terus terjadi.15 Tingginya angka kasus kekerasan seksual dalam tulisan ini mengacu pada Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020. CATAHU 2020 menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2020 terdapat 955 kasus kekerasan seksual yang diterima oleh Komnas Perempuan.16 Dengan adanya hukuman mati, tragedi kekerasan seksual yang terus terjadi di Indonesia dapat direduksi kuantitasnya. Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan diharapkan menjadi pidana yang bertujuan sebagai general deterrence, yakni pidana yang bertujuan untuk menakuti agar masyarakat tidak melakukan hal serupa. Adanya putusan pidana mati ini diharapkan menjadi tanda progresivitas bagi pemberlakuan hukuman yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual di Indonesia. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) termasuk sebagai salah seorang tokoh yang menaruh harapan besar pada
13
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Cet.34, (Jakarta: Bumi Aksara,
2021). 14 Yan David Bonitua, Pujiyono, dan Purwoto, “Sikap dan Pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap Eksistensi Sanksi Pidana Mati di Indonesia,” Diponegoro law Journal Vol. 6 No. 1 (2017), hlm. 3-4. 15 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, “Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19,” (Jakarta: Komnas Perempuan, 2021), hlm. 70. 16 Ibid.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
69
putusan ini agar dapat menimbulkan efek pencegahan sehingga mengurangi resiko pengulangan kasus serupa di masa mendatang.17 Dengan kerangka berpikir tersebut tulisan ini akan membahas dan mengkaji putusan mati atas Herry Wirawan dengan tiga permasalahan utama. Pada bagian pertama dibahas mengenai bagaimana hukuman mati yang dikenakan kepada Herry Wirawan akan berdampak pada putusan terhadap tindak pidana serupa di kemudian hari, hal ini untuk memberikan gambaran kepada pembaca atas urgensi keberadaan putusan hukuman mati Herry Wirawan. Bagian kedua akan melakukan kajian normatif terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. Kemudian pada bagian ketiga, tulisan akan membahas urgensi hukuman mati bagi ‘predator’ seksual seperti Herry Wirawan melalui data kasus kekerasan seksual yang pernah tercatat di Indonesia. II.
PEMBAHASAN 2.1 Tinjauan Pustaka A. Pengertian Anak dalam Undang-Undang Dalam perundang-undangan Indonesia, banyak yang mendefinisikan anak
merupakan seseorang yang belum dewasa. Definisi anak tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk juga anak yang di dalam kandungan.18 Selanjutnya, dalam Pasal 7 UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa seseorang dikatakan dewasa dan diizinkan untuk menikah bagi mereka yang berumur 19 tahun baik lakilaki maupun perempuan.19
17 Kompas.com, “Vonis Hukuman Mati Herry Wirawan Diharap Bisa Timbulkan Efek Jera, Dianggap Abai dengan Pemulihan Korban,” https://nasional.kompas.com/read/2022/04/06/08402651/vonis-hukuman-mati-herry-wirawan-diharapbisa-timbulkan-efek-jera-tapi?page=all, diakses 28 April 2022. 18 Indonesia, Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014, LN No.297 Tahun 2014, TLN No. 5606, Ps. 1. 19 Indonesia,Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan , UU No. 16 Tahun 2019, LN No. 186 Tahun 2019, TLN No. 6401, Ps. 7.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
70
Dalam Pasal 1 butir tiga sampai lima UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan bawah anak yang menjadi pelaku tindak pidana adalah mereka yang berusia 12-18 tahun, anak yang menjadi saksi dan korban tindak pidana adalah mereka yang belum berusia 18 tahun.20 Dalam Pasal 330 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata), secara eksplisit dijelaskan mengenai definisi anak (seseorang yang belum dewasa), yaitu mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah menikah. Sedangkan, dalam Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), definisi anak (belum dewasa) adalah mereka yang belum berumur 16 tahun. Namun, berbeda dengan KUHP R.Soesilo, beliau menyebutkan bahwa orang dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum menikah, maka anak adalah mereka yang berumur di bawah 21 tahun. Dapat kita ketahui bahwa, dalam perundang-undangan di Indonesia, definisi anak memiliki perbedaan. B. Pidana Mati sebagai Ultimum Remedium Hukum
pidana
pada
dasarnya
merupakan
sarana
untuk
menjamin
terlindunginya dan tercapainya ketertiban sosial dalam masyarakat.21 Sanksi pidana dijatuhkan sebagai obat terakhir (ultimum remedium). Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.22 Sudikno Mertokusumo mengartikan ultimum remedium sebagai alat terakhir.23 Dalam konteks ini, hukum pidana dianggap sebagai upaya atau jalan terakhir untuk pemberian sanksi yang berat. Sanksi yang paling berat adalah hukuman mati (death penalty/capital punishment) yang sudah pasti sangat mengerikan karena membuat terpidana terpisah
20
Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Ps. 1. 21 Amelia Arief, "Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana," Kosmik Hukum Vol. 19 No. 1 (2019), hlm. 97. 22 Wanda Ayu, ”Ultimum Remedium: Antara Prinsip Moral dan Prinsip Hukum,” https://www.ui.ac.id/ultimum-remedium-antara-prinsip-moral-dan-prinsip-hukum/, diakses 27 April 2022. 23 R. M. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm. 128.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
71
dari kehidupan selama-lamanya dan membuat keluarga kehilangan si penerima hukuman tanpa bisa kembali.24 Terkait sanksi tersebut, Indonesia masih menjadi negara yang pro terhadap hukuman mati. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang dimohonkan antara lain oleh ekspatriat asal negeri kangguru yang tersangkut kasus Bali Nine, yakni Andrew Chan, Myuran Sukumaran dan Scott Anthony Rush.25 Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya pada 30 Oktober 2007 menolak uji materi hukuman mati dalam UU Narkotika dan menyatakan bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan.26 Menurut Mahkamah, hak asasi yang dijamin pasal 28A hingga 28I UUD 1945 sudah dikunci oleh pasal 28J yang berfungsi sebagai batasan.27 Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.28 Dengan demikian, menurut MK, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen UndangUndang, yakni hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan.29 Secara singkat, konstitusi Indonesia memberikan perlindungan dan jaminan atas hak-hak dasar warga negaranya dengan cara mempersilahkan mereka untuk mempraktikkan kebebasan atas hak asasi yang dimiliki dengan catatan bahwa
24
Topo Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, cet. 2, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2021), hlm. 122. 25 NNC, “Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus,” https://www.hukumonline.com/berita/a/terikat-konvensi-internasional-hukuman-mati-mesti-jalanterus-hol17888, diakses 27 April 2022. 26 Tri Jata Ayu Pramesti, “Hak Hidup vs Hukuman Mati,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-hidup-vs-hukuman-mati-lt4ef039a2d0c28, diakses 27 April 2022. 27 NNC, “Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus,” https://www.hukumonline.com/berita/a/terikat-konvensi-internasional-hukuman-mati-mesti-jalanterus-hol17888, diakses 27 April 2022. 28 Tri Jata Ayu Pramesti, “Hak Hidup vs Hukuman Mati,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-hidup-vs-hukuman-mati-lt4ef039a2d0c28, diakses 27 April 2022. 29 Tri Jata Ayu Pramesti, “Hak Hidup vs Hukuman Mati,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-hidup-vs-hukuman-mati-lt4ef039a2d0c28, diakses 27 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
72
penunaian hak-hak tersebut tidak boleh merenggut, merampas, dan mengganggu hak orang lain serta tidak boleh melanggar batasan-batasan yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam konteks pidana mati, apabila seseorang telah melakukan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), hak hidupnya pun dapat dibatasi dan dicabut dengan putusan pengadilan. Hukuman mati menjadi upaya terakhir (ultimum remedium) untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan menegakkan kembali ketertiban sosial dalam masyarakat. C. Hukuman Mati terhadap Pelaku Kekerasan Seksual dalam PerundangUndangan Indonesia Di dalam hukum Indonesia, hukuman mati masih digunakan dan hal ini tidak bertentangan dengan konstitusi. Hal ini dibuktikan dengan adanya yurisprudensi Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang Uji Formil Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang No. 02/PNPS/ Tahun 1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.30 Tujuan adanya hukuman mati tak lain dan tak bukan adalah memberikan jera karena pidana ini termasuk pidana berat. Hal ini juga ditegaskan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly bahwa adanya hukuman mati karena dalam Pasal 10 KUHP masih mengatur hukuman mati sebagai hukuman pokok di Indonesia.31 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat sembilan tindak pidana yang diancam pidana mati. Selain itu, terdapat juga ancaman pidana mati yang berada di luar KUHP, salah satunya Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia pada UU No.26 Tahun 2000. Selain terdapat di dalam KUHP, pidana mati juga terdapat di dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Salah satu pasal yang menjelaskan mengenai pidana mati adalah Pasal 67. Pada Pasal 67 RUU KUHP dijelaskan bahwasanya pidana mati merupakan hukuman yang bersifat
30
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan No. 21/PUU-VI/2008, hlm. 74. CNN, “Perppu Perlindungan Anak Berlaku Hukuman,” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160525204530-12-133459/perppu-perlindungan-anakberlakukan-hukuman-mati, diakses pada 30 April 2022. 31
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
73
khusus dan selalu diancam secara alternatif. Alternatif yang ditawarkan biasanya berupa hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.32 Secara spesifik, hukuman mati juga berlaku dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 ayat (5) menjelaskan bahwa:33 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Dalam hal pelaku kekerasan seksual merupakan seorang anak di bawah umur, diberikan sanksi pidana yang berbeda dengan orang dewasa. Sanksi bagi anak di bawah umur yang melakukan kekerasan seksual diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Dalam UU SPPA, sanksi bagi anak dibedakan berdasarkan umurnya. Kategori umur dibagi menjadi, anak berusia di bawah 12 tahun, anak yang berumur 14 tahun ke bawah dijatuhi sanksi tindakan sesuai dalam Pasal 69 ayat (2) UU SPPA, sedangkan untuk anak yang berumur 15 tahun diberi sanksi pidana.34 Sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 71 UU SPPA dibagi menjadi dua, yaitu sanksi pidana pokok bagi anak dan sanksi pidana tambahan. Sanksi pidana pokok terdiri dari pidana peringatan, pidana dengan syarat pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan, sanksi pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara. Sedangkan sanksi tambahan terdiri dari perampasan keuntungan
32 Lidya Suryani Widayati, “Pidana Mati dalam RUU KUHP: Perlukah DIatur Sebagai Pidana yang Bersifat Khusus,” Negara Hukum Vol. 7 No.2 (2016), hlm. 169. 33 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Perpu No. 1 Tahun 2016, Ps.81 ayat (5). 34 HukumOnline.com, “Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Anak,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hal-hal-penting-yang-diatur-dalam-uu-sistem-peradilanpidana-anak-lt53f55d0f46878, diakses pada 6 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
74
yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat. 35 Jadi, dalam UU SPPA sanksi yang diberikan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak sampai pada pidana mati. Namun, tindakan pidana ini (hukuman mati) tidak berlaku bagi pelaku kekerasan seksual yang merupakan seorang anak. Hal ini berdasarkan Pasal 81 ayat (9) undang-undang yang sama, bunyi pasal tersebut adalah, “Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak”.36 Dalam perspektif Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (TPKS) hukuman yang diberikan kepada pelaku kekerasan seksual secara fisik dalam pasal dapat kita lihat mulai dari Pasal 92 hingga Pasal 94. Pada Pasal 93 dan Pasal 94 terdapat alasan-alasan pemberat hukuman pidana. Alasan pemberat yang terdapat dalam Pasal 93, yaitu apabila korban mengalami kegoncangan jiwa, luka berat dapat dipidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana tambahan berupa pembinaan khusus. Selanjutnya, dalam Pasal 94 ayat (1) dijelaskan bahwa pemberatnya adalah dilakukan oleh atasan, pemberi kerja, atau majikan; atau tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, atau pejabat; dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 10 tahun dan ditambah pidana tambahan pembinaan khusus. Dalam ayat (2) pemberat berupa apabila tindakan tersebut dilakukan oleh orangtua atau keluarga; atau seseorang yang bertanggung jawab memelihara, mengawasi, atau membina di lembaga pendidikan, keagamaan, sosial, tempat penitipan anak, atau tempat lain dimana anak berada dan seharusnya dilindungi keamanannya; dipenjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 12 tahun dan ditambah pidana tambahan pembinaan khusus.
3.2. Alasan Pemberat dan Vonis Hukuman Mati dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung No. 989/ Pid.Sus/2022/PN.Bdg sebagai Upaya Pencegahan Pengulangan Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia
35
Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No.153 Tahun 2012, TLN.5332, Ps. 71. 36 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Perpu No. 1 Tahun 2016, Ps.81 ayat (9).
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
75
Pada Senin, 4 April 2022, Pengadilan Tinggi Bandung (PT Bandung) telah menjatuhkan putusan pidana mati kepada Herry Wirawan. Putusan ini hadir guna memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Bandung Bandung Nomor : 989/ Pid.Sus/2022/PN.Bdg. tanggal 15 Februari 2022. Sebelumnya, hakim Pengadilan Negeri Bandung (PN Bandung) telah menjatuhi hukuman penjara seumur hidup bagi Herry Wirawan.37 Putusan tersebut telah menggerakkan jaksa untuk mengajukan banding ke PT Bandung terkait putusan bagi Heri bin Dede atas kasus pemerkosaan tiga belas santriwati Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Boarding School Yayasan Manarul Huda, Garut, Jawa Barat.38 Pasalnya, tuntutan yang sebelumnya dibawa oleh jaksa pada pengadilan tingkat I adalah menuntut terdakwa untuk dijatuhi hukuman mati atau kebiri kimia.39 Namun, hasil akhir dari putusan hakim PN Bandung sama sekali tidak sesuai dengan tuntutan tersebut.40 Dalam putusan PT Bandung, hakim menerima permintaan banding dari penuntut umum dan memperbaiki vonis yang diberikan PN Bandung, yaitu hukuman seumur hidup bagi Herry Wirawan menjadi hukuman mati.41 Hakim juga memutuskan untuk tetap menahan terdakwa dan membebankan restitusi (ganti rugi) kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (Kemeneg PP & PA).42 Untuk perihal restitusi, Kemeneg PP & PA harus menanggung beban atas dua belas anak korban dengan nominal mulai dari Rp8.600.00,00 hingga Rp85.830.000,00.43 Semua pembebanan tersebut dibebankan atas pertimbangan dan penilaian restitusi serta penghitungan kerugian oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan 37 Aisha Amalia Putri, “Diperberat, Hakim Pengadilan Tinggi Bandung Vonis Hukuman Mati Herry Wirawan,” https://www.kompas.tv/article/276879/diperberat-hakim-pengadilan-tinggi-bandungvonis-hukuman-mati-herry-wirawan, diakses 27 April 2022. 38 BBC News Indonesia, “Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati, diganjar hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, 'harta dan aset dirampas',” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia59581586, diakses 27 April 2022. 39 CNN Indonesia, “Penjelasan Jaksa soal Tuntutan Mati Tambah Kebiri Kimia Herry Wirawan,” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220111161642-12-745289/penjelasan-jaksasoal-tuntutan-mati-tambah-kebiri-kimia-herry-wirawan/2, diakses 27 April 2022. 40 Dony Indra Ramadhan, “Putusan Mati Hakim PT Bandung Terhadap Herry Wirawan Singgung soal HAM,” https://www.detik.com/jabar/hukum-dan-kriminal/d-6016903/putusan-matihakim-pt-bandung-terhadap-herry-wirawan-singgung-soal-ham, diakses 27 April 2022. 41 Pengadilan Negeri Bandung , Putusan No. 989/ Pid.Sus/2022/PN.Bdg., hlm. 235. 42 Ibid. 43 Ibid..
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
76
Korban (LPSK). Selain itu, hakim PN Bandung juga memutuskan bahwasannya dengan izin keluarga masing-masing, perawatan sembilan orang anak dari para korban dan para anak korban akan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, khususnya UPT Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat. Evaluasi berkala juga akan dilakukan untuk menilai kesiapan mental para korban dan anak korban sebelum melanjutkan proses pengasuhan terhadap anak-anak mereka. Dalam putusan PT Bandung tersebut, harta kekayaan atau aset milik terdakwa juga akan disita dan dilelang untuk keperluan biaya hidup dan pendidikan para anak korban dan anak-anak mereka. Nantinya, biaya-biaya tersebut menjadi hak mereka sampai dewasa ataupun menikah. Aset-aset yang dimaksud oleh putusan tersebut di antaranya berupa tanah, bangunan, serta hak-hak Herry Wirawan dalam Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Boarding School Yayasan Manarul Huda, dan lain-lain. Untuk kelanjutannya, pelelangan aset-aset tersebut akan diserahkan dan dikelola oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat. Dari penyitaan dan pelelangan aset-aset tersebut, hasilnya akan digunakan untuk merawat sembilan orang anak dari para korban dan anak korban. Berdasarkan pertimbangan majelis hakim PT Bandung yang terdiri dari Dr. H. Herri Swantoro, S.H., M.H., Yuli Heryati, S.H., M.H., Dr. Nur Aslam Bustaman, S.H., M.H., dan Ricar Soroinda Nasution, S.H., M.H., hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan didasarkan pada tiga alasan pemberat. Pertama, anak-anak yang lahir dari para anak korban kurang kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Kedua, korban dan orang tua korban menjadi menderita dan mengalami trauma. Ketiga, terdakwa telah mencemarkan nama baik lembaga pondok pesantren dan merusak citra agama Islam. Herry Wirawan telah mencabuli para korban di berbagai tempat dengan menggunakan simbol-simbol agama Islam. Selain itu, dampak atas pencabulan yang dilakukan oleh guru pesantren tersebut telah menimbulkan kekhawatiran bagi para orang tua untuk kembali mempercayakan pendidikan anak mereka ke pondok pesantren. Ketiga alasan pemberat pidana tersebut merupakan extra judicial factor. Dalam extra judicial factor, hakim mempertimbangkan hal-hal yang memperberat pidana terdakwa dengan melibatkan perasaan. Menurut pendapat penulis, putusan
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
77
tersebut dapat dikatakan sebagai keputusan yang emosional karena telah menitikberatkan pada kesubjektifan hakim dalam menjatuhkan vonis bagi terdakwa. Sebelumnya, pihak keluarga dari salah satu santriwati korban pemerkosaan yang dilakukan Herry mengaku kecewa atas vonis penjara seumur hidup yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Bandung pada Selasa, 12 Februari 2022.44 Paman korban, Hidmat Dijaya, mengatakan keponakan beserta keluarganya menangis ketika mendengar vonis hakim tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum agar Herry dihukum mati dan diberi hukuman tambahan berupa kebiri kimia.45 Korban dan keluarganya merasa kecewa, sakit hati, dan terluka.46 Pihak keluarga mengharapkan sebuah pembalasan yang setimpal atas akibat yang ditimbulkan dari pemerkosaan yang dilakukan oleh Herry Wirawan.47 Pasalnya, para santriwati yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut telah mengalami trauma yang cukup berat, bahkan hingga melahirkan anak-anak mereka.48 Seperti yang telah dipaparkan pada sub bahasan sebelumnya, Herry Wirawan divonis hukuman mati karena telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 81 Ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) jo. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 76D disebutkan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” dan bila melanggar pasal tersebut maka sesuai dengan bunyi Pasal 81 Ayat (1), terdakwa dapat diancam dengan pidana penjara minimal lima tahun atau maksimal lima belas tahun serta denda maksimal sebesar lima miliar rupiah, sedangkan Pasal 81 Ayat (3) juga menegaskan bahwa BBC News Indonesia, “Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati, diganjar hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, 'harta dan aset dirampas',” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia59581586, diakses 27 April 2022. 45 Ibid. 46 BBC News Indonesia, “Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati, diganjar hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, 'harta dan aset dirampas',” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia59581586, diakses 27 April 2022. 47 Ibid. 48 Ibid. 44
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
78
apabila terdakwa yang terbukti melanggar Pasal 76D merupakan orang tua, wali, pengasuh, anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, pidananya dapat ditambah satu pertiga dari ancaman pidana pada Pasal 81 Ayat (1) di atas. Akan tetapi, terdakwa pemerkosaan tiga belas santriwati, Herry Wirawan, tersebut tidak hanya melakukan pemerkosaan kepada satu anak saja sehingga sangat tepat apabila hakim menggunakan Pasal 81 Ayat (5) dalam menjatuhkan hukuman. Pasal tersebut memberikan penegasan atas hukuman yang dapat diancamkan kepada terdakwa yang menyetubuhi lebih dari satu orang anak secara paksa, yaitu pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling singkat sepuluh tahun dan paling lama dua puluh tahun. Atas dasar hukum yang benar, tidak salah apabila hakim PT Bandung mengubah putusan PN Bandung yang sebelumnya menjatuhi vonis penjara seumur hidup kepada terdakwa menjadi hukuman mati. Vonis tersebut tidak menyimpang dari regulasi. Oleh karena itu, vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan diharapkan mampu menjadi langkah preventif dalam mencegah munculnya korbankorban kekerasan sekual lainnya. Menurut hemat penulis, putusan hakim tersebut sudah tepat bila dilihat dari tujuan pemidanaan, yaitu sebagai sarana pencegahan (deterrence). Hakim berhasil mempertimbangkan efek buruk yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku untuk kemudian dijatuhi vonis yang berat. Dengan adanya vonis hukuman mati, kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat diminimalisasi. Vonis tersebut menjadi cerminan bagi pelaku-pelaku lain di luar sana untuk berpikir dua kali sebelum melakukan tindak kekerasan seksual. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya pengulangan atas kasus yang sama karena vonis yang pernah dijatuhkan oleh Hakim tidaklah ringan. Hukuman mati menjadi ultimum remedium yang mampu menciptakan rasa takut bagi pelaku kekerasan seksual karena hak hidup pelaku menjadi taruhannya. Dengan adanya vonis semacam ini, Hakim menciptakan suatu ketegasan dalam memberantas dan mencegah adanya kasus-kasus kekerasan seksual lainnya. Vonis hukuman mati menjadi hal penting dalam mendorong terselenggaranya upaya preventif kasus-kasus kekerasan seksual di kemudian hari.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
79
3.3. Pertimbangan Penjatuhan Hukuman Mati Herry Wirawan dan Perspektif HAM terhadap Hukuman Mati Putusan pengadilan tinggi dijatuhkan kepada Herry Wirawan melalui sidang terbuka, 4 April 2022.49 Herry Wirawan divonis hukuman mati karena dirinya terbukti melakukan pelanggaran atas Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) jo. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelum membahas urgensi hukuman mati Herry Wirawan, ketentuan dalam UU belum mencakup hak korban sepenuhnya ketika tragedi kekerasan seksual ini terjadi. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai kekerasan seksual masih terbatas. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) baru disahkan setelah peristiwa Herry Wirawan terjadi dan diputuskan oleh majelis hakim.50 Sebelum adanya UU TPKS, perlindungan hukum bagi korban pelecehan dan kekerasan seksual diatur dalam beberapa aturan yang terpisah, salah satunya dalam UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Tahun 2014. Penjatuhan pidana pada pelaku kekerasan seksual juga diatur dalam KUHP, meskipun tidak semua jenis kekerasan seksual dimuat dan diartikan secara harfiah demi melindungi kepentingan korban. KUHP hanya memuat pidana terhadap pelaku pemerkosaan, kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, pelecehan seksual atau perbuatan cabul, eksploitasi seksual, dan aborsi paksa.51 Pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur mengenai pidana bagi pelaku kekerasan seksual adalah Pasal 285 dan 286 KUHP mengenai pemerkosaan, Pasal 287 ayat (1), 288, 293 KUHP mengenai tindakan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, Pasal 289 KUHP mengenai pelecehan seksual
49 Febriyan, “Ini Putusan Lengkap Vonis Herry Wirawan si Pemerkosa 12 Santriwati,” https://nasional.tempo.co/read/1578364/ini-putusan-lengkap-vonis-herry-wirawan-si-pemerkosa-12santriwati/full&view=ok, diakses 29 April 2022. 50 DPR RI, “DPR Setujui RUU TPKS Menjadi UU,” https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/38589/t/, diakses 8 Juli 2022. 51 Hukumonline, “Bentuk Pelecehan Seksual dan Perlindungan Hukum bagi Korbannya,” https://www.hukumonline.com/berita/a/pelecehan-seksual-lt61cad9b1860ca?page=all, diakses 8 Juli 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
80
(perbuatan cabul), pasal 294 KUHP mengenai eksploitasi seksual, dan Pasal 299 ayat (1) KUHP mengenai aborsi paksa.52 Sebagaimana diuraikan dalam pembahasan pertama, yang memberatkan pidana Herry Wirawan adalah tindakannya yang menimbulkan akibat psikis mendalam terhadap korban di bawah umur. Justifikasi atas pidana mati terhadap Herry Wirawan adalah adanya upaya perlindungan anak dari tindakan yang dilakukannya. Menurut majelis hakim, tindakan Herry Wirawan pantas untuk dijatuhi hukuman mati. Dari hal ini, tulisan ini menyimpulkan bahwa ada pertimbangan tertentu yang menjadi tujuan pemidanaan terhadap Herry Wirawan. Meskipun penjatuhan hukuman mati kepada Herry Wirawan ini dipandang sebagai sesuatu terobosan putusan yang tegas terhadap pelaku kekerasan, tetapi adanya pro dan kontra mewarnai putusan ini. Selain itu, putusan hukuman mati ini juga dilihat sebagai suatu pelanggaran hukum atas Hak Asasi Manusia (HAM) yang seyogyanya menjadi hak mutlak dan mendasar bagi setiap manusia.53 Terlepas dari polemik tersebut, pembahasan ini akan berfokus untuk menguraikan tepat atau tidaknya penjatuhan hukuman mati terhadap Herry Wirawan. Definisi HAM diuraikan sebagai suatu rangkaian atau seperangkat hak mutlak yang dimiliki seseorang, memiliki kehormatan tertinggi, wajib dilindungi oleh negara dan hukum, serta wajib dihormati bagi setiap orang. Konstitusi Indonesia pun menjamin HAM setiap orang, yakni pada Pasal 28 – 28J UUD NRI 1945. Dari perspektif HAM, hukuman mati sejatinya termasuk pelanggaran terhadap HAM yang dimiliki seseorang. Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa hukuman mati adalah hukuman yang dilarang.54 Dalam pandangan HAM dari perspektif PBB, hukuman mati dikategorikan sebagai jenis hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, melanggar Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights, dan
52
Ibid. Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps. 28A. 54 Saharuddin Daming, “Konfigurasi Pertarungan Abolisionisme Versus Retensionisme dalam Diskursus Keberadaan Lembaga Pidana Mati di Tingkat Global dan Nasional,” Jurnal Yustisi Vol. 3 No. 1 (2016), hlm. 40. 53
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
81
melanggar ketentuan dalam Pasal 7 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).55 Kejahatan yang dilakukan Herry Wirawan adalah akibat dari adanya relasi kuasa antara Herry Wirawan dengan para korban. Tindak pidana Herry Wirawan memenuhi ketentuan Pasal 6 huruf c UU No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memuat makna relasi kuasa, yakni menyalahgunakan wewenangnya
untuk
melakukan
kekerasan
seksual
dan
memanfaatkan
ketidaksetaraan.56 Terlebih yang menjadi korbannya adalah anak-anak di bawah umur yang tidak memiliki kuasa penuh atau termasuk sebagai golongan yang masih memerlukan perlindungan dan pengawasan orang dewasa. Pemerkosaan dikategorikan sebagai suatu penyiksaan dan merupakan bentuk tindakan yang menimbulkan sakit secara fisik maupun mental.57 Terkait dengan hal ini, konstitusi Indonesia juga menganut aturan tegas terkait jaminan keamanan setiap manusia dari perbuatan yang merendahkan martabat manusia.58 Kejahatan yang dilakukan Herry Wirawan secara pasti telah melanggar esensi dari kebebasan dan keamanan HAM itu sendiri. Artinya, ada pelanggaran serius terhadap HAM yang dilakukan oleh Herry Wirawan sehingga ada penguatan bahwa penjatuhan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan adalah suatu sanksi yang tepat jika majelis hakim sepakat menjadikan pidana mati ini sebagai suatu ultimatum bagi masyarakat agar tidak melakukan hal serupa. Dengan penjatuhan pidana mati kepada Herry Wirawan, dapat dipahami bahwa majelis hakim mengkonsiderasikan pidana ini untuk menakuti masyarakat. Pidana mati Herry Wirawan merupakan pidana dengan tujuan sebagai general deterrence (pencegahan umum). Dasar teori ini berlandasrkan pada tujuan pidana sebagai bentuk
55 Amelia Arief, “Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana,” Jurnal Kosmik Hukum Vol. 19 No. 1 (Januari 2019), hlm. 96. 56 Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, LN No. 120 Tahun 2022. 57 Mella Fitriyatul Hilmi, “Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional,” Jurist-Diction Vol. 2 No. 6 (November 2019), hlm. 2205. 58 Luh Made Khristianti Weda Tantri, “Perlindungan Hak Asasi Manusia bagi Korban Kekerasan Seksual di Indonesia,” Media Iuris Vol. 4 No. 2 (2021), hlm. 146.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
82
pembelajaran agar masyarakat menjauhi tindak pidana tersebut.59 Pertimbangan Majelis Hakim terhadap pidana yang dilakukan Herry Wirawan dapat dipandang sebagai suatu putusan yang tepat. Tulisan ini setuju dengan penjatuhan hukuman mati tersebut karena dalam kasus ini, selain jerat hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan sebagai pelaku kekerasan seksual, majelis hakim mengkonsiderasikan efek psikologis terhadap masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan seksual serupa dengan Herry Wirawan. Putusan ini dapat menekankan urgensi untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual sekaligus memberikan harapan akan eksistensi hukum positif Indonesia dalam mencegah bahkan menghilangkan praktik kekerasan seksual. 3.4. Urgensi Hukuman Mati Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Dalam 3 tahun terakhir tepatnya pada tahun 2019 hingga 2021 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA), mencatat bahwa ada 26.200 kasus kekerasan pada perempuan. Jumlah ini menunjukkan sebanyak 39% mengalami kekerasan fisik, 29,8 % kekerasan psikis, dan 11,33% kekerasan seksual.60 Data lain menunjukkan mengenai kekerasan seksual pada anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA) menjelaskan bahwa pada tahun 2019 terdapat 6.454 dan meningkat menjadi 6.980 di tahun 2020. Selanjutnya, terjadi peningkatan juga dari tahun 2020 ke 2021 dengan total menjadi 8.730 kasus.61 Pemaparan data di atas kita bisa mengetahui bahwa kasus kekerasan seksual baik yang dialami oleh perempuan atau anak-anak cenderung meningkat. Hal ini menjadi hal yang serius untuk diberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 59
Topo Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. 2, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2021), hlm. 174. 60 CNN, “KemenPPPA : Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan Meningkat di 2021,”https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211208195408-20-731671/kemenpppa-kasuskekerasan-anak-dan-perempuan-meningkat-di-2021, diakses pada 29 April 2022. 61 Kompas, “KemenPPPA : 797 Anak jadi Korban Kekerasan Seksual Sepanjang Januari 2022,” https://nasional.kompas.com/read/2022/03/04/17062911/kemenpppa-797-anak-jadi-korban-kekerasanseksual-sepanjang-januari2022?page=all#:~:text=Pada%20tahun%202019%2C%20jumlah%20anak,25%2C07%20persen%20m enjadi%208.730, diakses pada 29 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
83
yang menjelaskan bahwa negara wajib melindungi harkat martabat anak dan warga negara.62 Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual bagi anak-anak diungkapkan oleh Edmundo Oliveira. Kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak pada anakanak, seperti penyimpangan seksual.63 Dampak lain yang akan dirasakan korban adalah adanya rasa trauma secara seksual. Hal ini dijelaskan oleh Finkelhor dan Browne, jika seorang perempuan menjadi korban kekerasan seksual, ia cenderung memilih pasangan yang sejenis karena tidak ada lagi rasa percaya kepada laki-laki.64 Dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan seksual kepada anak sangat serius dan dalam kebutuhan yang genting. Oleh karena itu, diperlukannya perlindungan hukum agar kasus kekerasan seksual terlebih pada anak dapat menurun dan bahkan teratasi. Pemberian perlindungan hukum ini sangat penting, sejalan dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan Indonesia merupakan negara hukum.65 Maksud dari perlindungan hukum di sini adalah upaya pemerintah maupun aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman untuk hal fisik maupun psikis. Salah satu upaya perlindungan hukum yang dapat diberikan pemerintah maupun aparat penegak hukum adalah dengan membuat regulasi mengenai sanksi bagi pelaku kekerasan seksual berupa hukuman mati. Dalam KUHP, hukuman mati termasuk dalam pidana pokok, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 10.66 Tujuan dari pemberian hukuman mati kepada pelaku kekerasan seksual adalah pemberian efek jera kepada pelaku dan juga orang-orang di luar sana yang berniat untuk melakukan kejahatan yang sama. Hal ini disebut dengan Deterrence theory yang menjelaskan bahwa salah satu cara pencegahan adalah adanya hukuman pidana yang dijatuhkan
62
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 34. Trini Handayani, “Perlindungan dan Penegakkan Hukum terhadap Kasus Kekerasan Seksual Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak,” Jurnal Mimbar Justitia Vol. 2 No. 2 (2016),hlm. 832. 64 Utami Zahirah,et.al, “Dampak dan Penanganan Kekerasan Seksual Anak di Keluarga,” Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 6 No.1 (2019), hlm.14. 65 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 1 ayat (3). 66 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,diterjemahkan oleh Moeljatno, cet. 2 (Yogyakarta: Bumi Aksara), Ps. 10. 63
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
84
seseorang sehingga kemungkinan orang lain melakukan kejahatan yang sama menjadi lebih sedikit dari sebelum adanya penjatuhan pidana.67
III.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa hukuman mati yang telah dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Tinggi Bandung (PT Bandung) sudah tepat. Putusan Pengadilan negeri Bandung (PN Bandung) Nomor : 989/Pid.Sus/2022/PN.Bdg., PT Bandung mencerminkan pentingnya upaya preventif dalam menekan angka kekerasan seksual di Indonesia. Mengingat ada beberapa pertimbangan yang memberatkan Herry Wirawan, vonis hakim PT Bandung telah mencerminkan keseriusan negara untuk meminimalisasi peningkatan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Ketegasan Hakim untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual juga tercermin dalam putusan tersebut sehingga dapat menimbulkan rasa takut bagi pelaku-pelaku kekerasan seksual lainnya. PT Bandung juga berhasil mengimplementasikan vonis hukuman mati sebagai ultimum remedium bagi terdakwa. Vonis hukuman mati tersebut menjadi langkah awal untuk mencegah pengulangan kasus tindak kekerasan seksual di Indonesia. Melalui putusan tersebut, hakim juga berupaya untuk menjaga keseimbangan ketertiban masyarakat.
Maharani Adiannarista Wardhani, “Efektivitas Penghukuman dalam Studi Kasus Hukuman Penjara dan Hukuman Mati: Kajian Alternatif Penghukuman Lain,” DEVIANCE: Jurnal Kriminologi Vol. 3 No.1 (2019), hlm.75. 67
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
85
DAFTAR PUSTAKA BUKU Burma Crime. Analysis of Sexual Violence. International Human Rights in Clinic Harvard Law School, 2009. Mertokusumo, R. M. Sudikno. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2004. Poernomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1994. Prasetyo,Teguh. Hukum Pidana. Cet, 4. Jakarta: Rajawali Press, 2013. Salah, Roeslan. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru, 1987. Santoso, Topo Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Cet. 2. Depok: RajaGrafindo Persada, 2021. JURNAL Arief, Amelia. "Problematika Penjatuhan Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana." Kosmik Hukum Vol. 19 No. 1 (2019). Hlm. 97. Bonitua, Yan David. et al. “Sikap dan Pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap Eksistensi Sanksi Pidana Mati di Indonesia.” Diponegoro law Journal Vol. 6 No. 1 (2017). Hlm. 2-4. Handayani, Trini. “Perlindungan dan Penegakkan Hukum terhadap Kasus Kekerasan Seksual Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak.” Jurnal Mimbar Justitia Vol. 2 No. 2 (2016). Hlm. 832. Heltaji, Herliana. “Dilema Hak Asasi Manusia dan Hukum Mati dalam Konstitusi Indonesia.” Pamulang Law Review Vol. 4 No. 2 (2021). Hlm. 157-168. Hilmi, Mella Fitriyatul, “Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional.” JuristDiction Vol. 2 No. 6 (November 2019). Hlm. 2205. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. “Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19.” Jakarta: Komnas Perempuan, 2021.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
86
Tantri, Luh Made Khristianti Weda. “Perlindungan Hak Asasi Manusia bagi Korban Kekerasan Seksual di Indonesia.” Media Iuris Vol. 4 No. 2 (2021). Hlm. 146. Wardhani, Maharani Adiannarista. “Efektivitas Penghukuman dalam Studi Kasus Hukuman Penjara dan Hukuman Mati : Kajian Alternatif Penghukuman Lain.” DEVIANCE: Jurnal Kriminologi Vol. 3 No.1 (2019). Hlm.75. Widayati, Lidya Suryani. “Pidana Mati dalam RUU KUHP : Perlukah DIatur Sebagai Pidana yang Bersifat Khusus.” Negara Hukum Vol. 7 No.2 (2016). Hlm. 169. Zahirah, Utami, et.al. “Dampak dan Penanganan Kekerasan Seksual Anak di Keluarga.” Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 6 No.1 (2019). Hlm.14. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perpu No. 1 Tahun 2016. Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perpu No. 1 Tahun 2016. Indonesia. Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan , UU No. 16 Tahun 2019, LN No. 186 Tahun 2019, TLN No. 6401, Ps. 7 Indonesia. Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. UU No. 35 Tahun 2014, LN No.297 Tahun 2014, TLN No. 5606. Indonesia. Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332. Indonesia. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU No. 11 Tahun 2012, LN No.153 Tahun 2012, TLN.5332.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
87
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: Bumi Aksara, 2021. PUTUSAN PENGADILAN Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan No. 21/PUU-VI/2008. Pengadilan Negeri Bandung. Putusan No. 989/ Pid.Sus/2022/PN.Bdg.
INTERNET Ayu, Wanda. ”Ultimum Remedium: Antara Prinsip Moral dan Prinsip Hukum.” https://www.ui.ac.id/ultimum-remedium-antara-prinsip-moral-dan-prinsiphukum/. Diakses 27 April 2022. BBC News Indonesia. “Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati, diganjar hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung, 'harta dan aset dirampas'.” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59581586. Dakses 27 April 2022. CNN. “KemenPPPA : Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan Meningkat di 2021.” ttps://www.cnnindonesia.com/nasional/20211208195408-20731671/kemenpppa-kasus-kekerasan-anak-dan-perempuan-meningkat-di2021. Diakses pada 29 April 2022. CNN Indonesia. “Penjelasan Jaksa soal Tuntutan Mati Tambah Kebiri Kimia Herry Wirawan.” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220111161642-12745289/penjelasan-jaksa-soal-tuntutan-mati-tambah-kebiri-kimia-herrywirawan/2. Diakses 27 April 2022. CNN.
“Perppu
Perlindungan
Anak
Berlaku
Hukuman.”
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160525204530-12133459/perppu-perlindungan-anak-berlakukan-hukuman-mati, diakses pada 30 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
88
DPR
RI.
“DPR
Setujui
RUU
TPKS
Menjadi
UU.”
https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/38589/t/. Diakses 8 Juli 2022. Febriyan. “Ini Putusan Lengkap Vonis Herry Wirawan si Pemerkosa 12 Santriwati.” https://nasional.tempo.co/read/1578364/ini-putusan-lengkap-vonis-herrywirawan-si-pemerkosa-12-santriwati/full&view=ok. Diakses 29 April 2022. HukumOnline.com. “Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Anak.” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hal-hal-penting-yang-diatur-dalamuu-sistem-peradilan-pidana-anak-lt53f55d0f46878. Diakses pada 6 Mei 2022. HukumOnline.com. “Bentuk Pelecehan Seksual dan Perlindungan Hukum bagi Korbannya.”
https://www.hukumonline.com/berita/a/pelecehan-seksual-
lt61cad9b1860ca?page=al. Diakses 8 Juli 2022. Kompas. “KemenPPPA : 797 Anak jadi Korban Kekerasan Seksual Sepanjang Januari 2022.” https://nasional.kompas.com/read/2022/03/04/17062911/kemenpppa-797anak-jadi-korban-kekerasan-seksual-sepanjang-januari2022?page=all#:~:text=Pada%20tahun%202019%2C%20jumlah%20anak, 25%2C07%20persen%20menjadi%208.730. Diakses pada 29 April 2022. Kompas.com. “Vonis Hukuman Mati Herry Wirawan Diharap Bisa Timbulkan Efek Jera,
Dianggap
Abai
dengan
Pemulihan
Korban.”
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/06/08402651/vonis-hukumanmati-herry-wirawan-diharap-bisa-timbulkan-efek-jera-tapi?page=all. Diakses 28 April 2022. NNC, “Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Teru.” https://www.hukumonline.com/berita/a/terikat-konvensi-internasionalhukuman-mati-mesti-jalan-terus-hol17888. Diakses 27 April 2022. NNC. “Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus.” https://www.hukumonline.com/berita/a/terikat-konvensi-internasionalhukuman-mati-mesti-jalan-terus-hol17888. Diakses 27 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
89
Pengadilan Tinggi Bandung. “Hakim PT Bandung Menjatuhkan Vonis Mati pada Herry Wirawan.” https://pt-bandung.go.id/hakim-pt-bandung-menjatuhkanvonis-mati-pada-herry-wirawan.html. Diakses 27 April 2022. Pengadilan Tinggi Bandung. “Hakim PT Bandung Menjatuhkan Vonis Mati pada Herry Wirawan.” https://pt-bandung.go.id/hakim-pt-bandung-menjatuhkanvonis-mati-pada-herry-wirawan.html. Diakses 29 April 2022. Pramesti,
Tri
Jata
Ayu
“Hak
Hidup
vs
Hukuman
Mati.”
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-hidup-vs-hukuman-matilt4ef039a2d0c28. Diakses 27 April 2022. Pramesti,
Tri
Jata
Ayu.
“Hak
Hidup
vs
Hukuman
Mati,”
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-hidup-vs-hukuman-matilt4ef039a2d0c28. Diakses 27 April 2022. Putri, Aisha Amalia Putri. “Diperberat, Hakim Pengadilan Tinggi Bandung Vonis Hukuman Mati Herry Wirawan.” https://www.kompas.tv/article/276879/diperberat-hakimpengadilan-tinggi-bandung-vonis-hukuman-mati-herry-wirawan.
Diakses
27 April 2022. Ramadhan, Dony Indra. “Putusan Mati Hakim PT Bandung Terhadap Herry Wirawan Singgung soal HAM.” https://www.detik.com/jabar/hukum-dankriminal/d-6016903/putusan-mati-hakim-pt-bandung-terhadap-herrywirawan-singgung-soal-ham. Diakses 27 April 2022. Ramadhan, Fitra Moerat. “Fakta-Fakta Terbaru Vonis Mati Herry Wirawan.” https://grafis.tempo.co/read/2973/fakta-fakta-terbaru-vonis-mati-herrywirawan. Diakses 27 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
90
BIODATA PENULIS Aliffia Dwiyana Sekti atau yang kerap dipanggil Fia merupakan
mahasiswi
Fakultas
Hukum
Universitas
Indonesia. Perempuan kelahiran 22 Oktober 2000 ini sekarang aktif sebagai staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022.
Metta Yoelandani merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia kelahiran Cirebon, 6 Mei 2002. Metta sekarang aktif menjabat sebagai staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan staf Human Resources Podium FHUI 2022.
Nisya Arini Damara Ardhika atau Nisya merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia lahir di Boyolali pada tanggal 21 Maret 2002. Sekarang ia aktif dalam beberapa organisasi seperti menjadi staf di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022, staf Public Relations di Podium FHUi 2022, dan staf Penelitian dan Pengembangan BEM FHUI 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
90
PROSEDUR DAN PENERAPAN PERADILAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL: SUATU KAJIAN PERBANDINGAN ANTARA KUHAP DAN UU TPKS Ashilah Chaira Yasmin Fakultas Hukum Universitas Indonesia ashilah.chaira@ui.ac.id, Febrian Ramdan Rafiki Fakultas Hukum Universitas Indonesia febrian.ramdan@ui.ac.id Said Faturrahman Fakultas Hukum Universitas Indonesia said.fathurrahman@ui.ac.id Abstrak Kekerasan seksual di lingkungan kampus telah lama menjadi momok yang meresahkan bagi civitas akademika. Bukan hanya tidak bermoral, perilaku ini berdampak buruk terhadap aspek fisik, psikis, dan sosial korban. Kasus kekerasan seksual di kampus disebut sebagai fenomena gunung es karena jumlahnya yang banyak, tetapi hanya sedikit yang tercatat dan dilaporkan disebabkan oleh berbagai alasan yang merugikan korban dan belum ada undang-undang yang secara spesifik mengaturnya. Untuk itu disusunlah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai payung hukum kepada korban tindak pidana ini. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini mencoba menganalisis bagaimana perbandingan prosedur peradilan tindak pidana kekerasan seksual dalam UU TPKS serta penerapannya pada salah satu kasus kekerasan seksual di kampus, yaitu kasus kekerasan seksual terhadap salah satu mahasiswi Universitas Riau pada Oktober 2021. Berdasarkan analisis menggunakan metode kepustakaan/ yuridis normatif, disimpulkan bahwa terdapat beberapa perbedaan ketentuan hukum acara pidana untuk kasus kekerasan seksual menurut ketentuan KUHP dan UU TPKS. Ketentuan yang terdapat dalam UU TPKS lebih melindungi kepentingan korban kasus kekerasan seksual dan lebih ideal untuk diterapkan pada kasus kekerasan seksual. Kata Kunci: Kekerasan Seksual, Prosedur Peradilan, KUHAP, UU TPKS
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
91
COMPARATIVE STUDY ON CRIMINAL PROCEDURES OF SEXUAL VIOLENCE BETWEEN THE KUHAP AND THE TPKS LAW WITH EXAMPLE OF ITS APPLICATION Abstract Sexual violence in the campus environment has long been a troubling specter for academic civitas. Not only immoral, this behavior has a negative impact on the physical, psychological, and social aspects of the victim. Like an iceberg, there are many cases of sexual violence on campus, but only a few cases are reported due to various reasons that harm the victim and there is no specific law regarding this issue. As a response for this issue, the Criminal Act on Sexual Violence bill was drafted to provide a legal basis for victims of this crime. Departing from this, this paper tries to compare the judicial procedures for sexual violent crimes between the Criminal Procedure Code and the TPKS Law and also explain its application in one of the cases of sexual violence on campus, namely the case of sexual violence against a Riau University student in October 2021. Based on the analysis using the normative literary/juridical method, the key is that there are several differences in the provisions of the criminal procedure law for sexual violence according to the provisions of the Criminal Code and UUTPKS. The provisions contained in the TPKS Law are considered to protect the interests of victims of sexual violence and are more ideal to implement.
Key Words: Sexual Violence, Judicial Procedure, KUHAP, UU TPKS
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
91
I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus kekerasan seksual semakin banyak terkuak dan menjadi
perbincangan hangat di tengah masyarakat.1 Dalam periode Januari hingga Oktober 2021, Komnas Perempuan menerima aduan kekerasan seksual sebanyak 4.500 kasus. Angka ini menunjukkan peningkatan jumlah kasus terlapor sebesar dua kali lipat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.2 Kekerasan seksual bagaikan gunung es dimana ada lebih banyak kasus yang tidak terlaporkan dibanding yang dilaporkan.3 Kekerasan seksual juga dapat terjadi di berbagai tempat, salah satunya adalah tempat menuntut ilmu yang berupa lingkungan kampus.4 Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pada tahun 2020 yang menemukan bahwa terdapat 77 persen dosen yang menyatakan adanya kekerasan seksual di kampus. Sebanyak 63 persen dari korban yang tidak melaporkan kasus kepada pihak kampus.5 Kebanyakan korban merasa malu dan takut sehingga tidak mau mengungkapkan kekerasan seksual yang mereka alami.6 Selain itu, proses penanganan kasus kekerasan seksual tidaklah mudah.7 Terutama dalam hal pembuktian. Menanggapi hal tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menerbitkan kebijakan yang mengatur mengenai penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus melalui Permendikbud 30 Tahun
Ellyvon Pranita, “ Kekerasan Seksual Semakin Terkuak, Apa Penyebabnya? Ini Kata Komnas Perempuan,” https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/12/130200423/kekerasanseksual-semakin-terkuak-apa-penyebabnya-ini-kata-komnas?page=all, diakses 8 Mei 2022. 2 Universitas Ahmad Dahlan, “ Indonesia Darurat Kekerasan Seksual,” https://lldikti5.kemdikbud.go.id/home/detailpost/indonesia-darurat-kekerasan-seksual, diakses 8 Mei 2022. 3 Ellyvon Pranita, “ Kekerasan Seksual Semakin Terkuak, Apa Penyebabnya? Ini Kata Komnas Perempuan,” https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/12/130200423/kekerasanseksual-semakin-terkuak-apa-penyebabnya-ini-kata-komnas?page=all, diakses 8 Mei 2022. 4 Rosania Paradiaz, dan Eko Soponyon, “Perlindungan HukumTerhadap Korban Pelecehan Seksual,” Journal Pembangungan Hukum Indonesia Volume 4 Nomor 1 (2022), hlm. 62. 5 Albertus Adit, “Bikin Miris, Seperti Ini Contoh Kasus Kekerasan Seksual di Kampus ,”https://www.kompas.com/edu/read/2021/11/13/052700371/bikin-miris-seperti-ini-contoh-kasuskekerasan-seksual-di-kampus?page=all, diakses pada 7 Mei 2022. 6 Nurhadi Sucahyo, “Kekerasan Seksual di Ruang-Ruang Kampus,” https://www.voaindonesia.com/a/kekerasan-seksual-tersembunyi-di-ruang-ruang-kampus/6392176.html, diakses 8 Mei 2022. 7 Ibid. 1
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
92
2021. Kebijakan tersebut ditujukan untuk memberikan landasan hukum yang berpihak kepada korban di lingkungan perguruan tinggi dan sekolah.8 Dalam perkembangannya permasalahan ini berujung dengan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 14 April 2022.9 Hal ini merupakan pencapaian luar biasa mengingat bahwa kebijakan ini telah direncanakan sejak beberapa tahun silam. Kemudian dengan adanya regulasi ini diharapkan korban kekerasan seksual yang tidak takut akan ancaman pihak luar dan korban dapat memperjuangkan hak-haknya melalui jalur hukum serta mengakomodir kebutuhan dan kepentingan korban kekerasan seksual.10 Salah satu hal yang diatur dalam UU TPKS adalah bagaimana proses peradilan untuk kasus tindak pidana kekerasan seksual. Terdapat beberapa ketentuan yang berbeda dibandingkan dengan ketentuan proses peradilan yang diatur dalam KUHAP. Perbedaan hukum acara dalam kedua peraturan tersebut tentu akan membawa perbedaan pula dalam penanganan kasus. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini mencoba untuk menguraikan perbedaan-perbedaan hukum acara dalam kasus pidana kekerasan seksual yang diatur dalam KUHAP dengan UU TPKS. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik, akan disajikan contoh kasus nyata yaitu kekerasan seksual pada seorang mahasiswi Universitas Riau pada Oktober 2021. Dalam persidangan kasus tersebut, Majelis Hakim pengadilan setempat memvonis bebas pelaku tindak kekerasan seksual tersebut dengan alasan tidak cukup bukti menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku saat itu yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Namun, hal itu dapat berubah bila menggunakan hukum acara dalam UU TPKS. Dengan demikian, tulisan yang akan kami bawakan akan membahas perihal perbandingan prosedur peradilan kasus tindak kekerasan
Ade Indra Kusuma, “Budaya Victim Blamming, Sederet Kasus Pelecehan Seksual yang Salahkan Korban,” https://www.suara.com/health/2019/04/25/145800/budaya-victim-blamingsederet-kasus-pelecehan-seksual-yang-salahkan-korban?page=all, diakses pada 7 Mei 2022. 9 Tsarina Maharani, “ Menteri PPPA: Kasus Kekerasan Seksual Ibarat Fenomena Gunung Es,”https://nasional.kompas.com/read/2021/12/29/14020101/menteri-pppa-kasus-kekerasanseksual-ibarat-fenomena-gunung-es, diakses pada 7 Mei 2022. 10 Ani Purwanti, Marzellina Hardiyanti, “Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak melalui RUU Kekerasan Seksual,” Masalah-Masalah Hukum 2 (April 2018), hlm 141 8
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
93
seksual antara KUHAP dengan UU TPKS serta perbedaan prosedur peradilan kasus tindak kekerasan seksual yang berdampak pada kasus kekerasan seksual Universitas Riau Oktober 2021.
II.
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian dan Jenis Kekerasan Seksual Mengenai pengertian akan kekerasan seksual sendiri, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dinyatakan bahwa “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
11
merupakan salah satu wujud dari pelecehan seksual.
12
Kekerasan seksual sendiri Dengan adanya pengertian
yang rinci akan kekerasan seksual diharapkan tidak adanya miskonsepsi akan penggolongan apakah suatu kasus digolongkan sebagai kekerasan seksual atau tidak kedepannya. Pengertian ini ditujukan kepada segala hal yang mengandung unsur kekerasan seksual sehingga adanya kejelasan dikemudian hari. Terdapat beberapa jenis kekerasan seksual berdasarkan ketentuan yang terdapat pada UU TPKS. Jenis-jenis tersebut terdapat pada Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain dari jenis yang terdapat pada ayat (1) tersebut, terdapat jenis kekerasan yang lain pada ayat (2), yaitu perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang
11
Dilihat dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU
TPKS) Ghinanta Mannika, “Studi Deskriptif Potensi Terjadinya Kekerasan Seksual pada Remaja Perempuan,” Calyptra Vol. 7 No. 1 (2018), hlm. 2541. 12
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
94
bertentangan dengan kehendak korban, pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, dan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.13 2.2. Latar Tempat dan Dampak dari Kekerasan Seksual Kekerasan seksual dapat terjadi dimanapun baik di tempat umum maupun tertutup. Kekerasan seksual yang merupakan kejahatan kejahatan kemanusiaan memiliki berbagai bentuk.14 Bentuk yang dialami dapat secara verbal dengan adanya istilah catcalling seperti siulan atau komentar bernuansa seksual dan secara non-verbal dengan ditandai adanya kontak fisik.15 Mengetahui bahwa kekerasan seksual tidak mengenal waktu dan tempat sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di lingkungan kampus.16 Korban akan kekerasan seksual mengalami berbagai dampak yang ditimbulkan dari para pelaku kekerasan seksual.17 Tidak hanya dampak fisik, namun terdapat beberapa korban yang mengalami dampak psikologis maupun dampak sosial. Dampak fisik yang dapat dialami korban kekerasan seksual meliputi adanya infeksi atau pendarahan pada vagina, terkena penyakit menular seksual (PMS) seperti herpes, risiko kehamilan yang tidak diinginkan dan bahkan korban dapat mengalami kematian.18 Selanjutnya apabila dilihat pada dampak sosial, korban kekerasan seksual dapat mengalami stigma yang buruk dari masyarakat dan dikucilkan masyarakat sehingga korban mengucilkan diri sendiri.19 Kemudian Nur Fitriatus Shalihah, “Mengenal Apa Itu UU TPKS,” https://www.kompas.com/tren/read/2022/04/13/070100565/mengenal-apa-itu-uu-tpks?page=all, diakses pada 7 Mei 2022 14 Mella Fitriyatul Hilmi, “Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional,” JuristDiction: Vol. 2 No. 6 (November 2019), hlm. 2202. 15 Fitry Wahyuni, “Perempuan, Pelecehan Seksual , dan HAM,” https://kumparan.com/fitrywahyuni43/perempuan-pelecehan-seksual-dan-ham-1w6PlQj0tHu/1, diakses pada 7 Mei 2022. 16 Ade Indra Kusuma, “Budaya Victim Blamming, Sederet Kasus Pelecehan Seksual yang Salahkan Korban,” https://www.suara.com/health/2019/04/25/145800/budaya-victim-blamingsederet-kasus-pelecehan-seksual-yang-salahkan-korban?page=all, diakses pada 7 Mei 2022. 17 Ahmad Jamaludin, “Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual,” Jurnal CIC Lembaga Riset dan Konsultan Sosial (September 2021), hlm. 4. 18 Aliftya Amarilisya, “Dampak Kekerasan Seksual terhadap Fisik, Psikis, dan Sosial Korban,”https://lifestyle.bisnis.com/read/20210903/106/1437616/dampak-kekerasan-seksualterhadap-fisik-psikis-dan-sosial-korban, diakses pada 7 Mei 2022. 19 Putu Elmira, “Dampak Kekerasan Seksual terhadap Korban, dari Psikologis hingga Sosial,” 13
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
95
dampak psikologis yang dapat dialami korban adalah gangguan akan emosional, perilaku, dan kognisi. Gangguan emosional merupakan gangguan pada emosi yang tidak stabil dan berdampak pada suasana hati yang memburuk. Sedangkan gangguan perilaku merupakan gangguan yang mengakibatkan korban condong kepada hal negatif seperti adanya malas yang berlebih, dan gangguan kognisi merupakan gangguan yang mempengaruhi pola pikir korban sehingga memiliki pikiran kosong atau hal sejenis lainnya. Dampak psikologis ini tidak dapat dianggap enteng sebagaimana dampak ini berakibat trauma yang cukup mempengaruhi korban dengan adanya ketakutan dan cemas yang berlebih apabila mengingat kekerasan yang pernah dialami.20 Setelah mengetahui dampak korban kekerasan seksual yang cukup fatal dari segi fisik, psikologis, dan sosial kembali membuat sadar bahwa fenomena ini layak diperjuangkan untuk penurunan bahkan lenyapnya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Dengan baru disahkannya kebijakan yang mengatur mengenai kekerasan seksual diperlukan perhatian implementasinya apakah berjalan baik di Indonesia atau tidak. Kemudian diharapkan setelah adanya dorongan dari berbagai pihak untuk mengurangi kekerasan seksual dan adanya kebijakan yang mengatur fenomena ini diharapkan memberikan ketenangan kepada korban untuk melapor apabila mengalami kasus kekerasan seksual serta memberikan ruang yang aman kepada segala pihak dalam beraktivitas sehari-hari 2.3 Perbandingan Prosedur Peradilan Kasus Kekerasan Seksual antara baik KUHAP Maupun KUHP dengan UU TPKS KUHAP Muatan Kekerasan Seksual
Pada
UU TPKS
KUHAP
maupun Pada UU TPKS, muncul istilah-
KUHP tidak dikenal secara istilah baru yang tidak ada di menyeluruh
mengenai dalam
kitab
pencegahan, ruang lingkup, sebelumnya. tindak
pidana
undang-undang Misalnya
saja
kekerasan seperti pelecehan seksual yang
https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4594269/dampak-kekerasan-seksual-terhadap-korbandari-psikologis-hingga-sosial, diakses pada 7 Mei 2022. 20 Astri Anindya, “Dampak Psikologis dan Upaya Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan,” Terapan Informatika Nusantara 3 (Agustus 2020), hlm. 138.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
96
seksual yang lebih lengkap, mulai
digaungkan
pada
UU
dan lain sebagainya. Pada TPKS ini. Selain itu, pada UU kedua kitab undang-undang TPKS ini sudah mulai ada tersebut hanya menjelaskan pencegahan,
ruang
lingkup,
bagian inti-inti saja dan tidak tindak pidana kekerasan seksual secara menyeluruh. Hal itu yang lebih lengkap, dan berbagai karena pada dasarnya kitab macam pembaharuan yang lebih undang-undang
tersebut menyeluruh mengenai kekerasan
hanya mengatur beberapa seksual. Hal ini karena pada saja sehingga untuk beberapa dasarnya memang dibuat untuk istilah
seperti
pelecehan menanggulangi berbagai macam
seksual tidak ada di dalam kasus kekerasan seksual yang ada kitab
undang-undang di
tersebut.
Indonesia
ini.
Dengan
demikian, muatan atau isi yang ada di dalam undang-undang ini sudah
begitu
dibandingkan
lengkap
dengan
kitab
undang-undang terdahulu, seperti KUHAP dan KUHP.
Pembuktian dan Pelaporan Korban Kekerasan Seksual
Pada
pembuktian
dilakukan
dalam
yang Pada UU TPKS ini, terdapat hukum beberapa
alat
bukti
yang
pidana yaitu didasarkan pada tercantum dalam Pasal 24, yaitu: Pasal 184 KUHAP yang
a. Alat
bukti
menggunakan lima macam
sebagaimana
alat bukti, yaitu:
dalam
yang
sah
dimaksud
hukum
acara
a. keterangan saksi;
pidana dan juga alat bukti
b. keterangan ahli;
lain
c. surat;
elektronik yang diatur di
d. petunjuk;
dalam
e. keterangan terdakwa.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
berupa
informasi
ketentuan
97
Dengan demikian, apabila
peraturan
terjadi
kasus
kekerasan
undangan.
seksual
maka
bukti-bukti
tersebutlah
yang
b. Alat
dapat
perundang-
bukti
keterangan
saksi yang merupakan
digunakan sebagai alat bukti.
hasil
Terlebih lagi apabila terdapat
terhadap saksi dan/atau
ahli
korban
yang
memberikan
pemeriksaan
pada
tahap
keterangan atau keterangan
penyidikan
ahli, maka bisa dijadikan
dilakukan
sebagai
perekaman elektronik.
alat
bukti
pertimbangannya. pada
kasus
dan
Namun,
yang melalui
c. Alat bukti surat yang
kekerasan
berupa
keterangan
seksual sangat sulit untuk
psikolog
menghadirkan saksi selain
klinis/psikiater/dokter
korban, terlebih lagi jika
spesialis kedokteran jiwa,
terjadi pada seorang anak.21
rekam
Oleh karena itu, pada kasus
pemeriksaan
yang
dan/atau
terkait
dengan
medis,
pencabulan dan perkosaan,
pemeriksaan
biasanya pada kasus tersebut
bank.
untuk
hasil forensik, hasil rekening
membuktikannya Selain diatur di dalam Pasal 44
diperlukan alat bukti berupa UU TPKS, paparan perihal alat Visum et Repertum. Visum et bukti ini juga diatur dalam Pasal Repertum adalah keterangan 45 UU TPKS yang isinya adalah tertulis yang diberikan oleh sebagai berikut. seorang permintaan
dokter
a. Keterangan
saksi
dari
dan/atau korban cukup
mengenai
membuktikan bahwa si
pemeriksaan medis terhadap
terdakwa bersalah dan
manusia, baik yang hidup
disertai dengan satu alat
penyidik
resmi
atas
Niken Savitri, “Pembuktian dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap Anak,” Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 4 No. 2 (Maret 2020), hlm. 290. 21
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
98
ataupun mati, sumpah
di
bawah
bukti yang sah, sehingga
guna
hakim dapat mendapat
dan
peradilan.22
kepentingan Meninjau
pada
definisi
keyakinan dengan baik. b. Keluarga dari terdakwa
tersebut, maka Visum et
juga
Repertum dapat dijadikan
memberikan keterangan
sebagai alat bukti yang diatur
saksi tanpa harus ada
di dalam Pasal 187 huruf c
persetujuan dari terdakwa
KUHAP.
yang berada di bawah
Selain
penggunaan
itu,
Visum
et
bisa
dapat
sumpah/janji.
Repertum sebagai alat bukti Sebelum disahkannya undangini juga diatur dalam Pasal undang
ini,
Wakil
Menteri
133 Ayat (1) KUHAP. Jika Hukum dan HAM menjelaskan visum tidak menunjukkan beberapa poin adanya
tanda
kekerasan, diserahkan
penting yang
kepada
maka mencari alat bukti lain Diantaranya
DPR. adalah
yang dapat membuktikan menambahkan beberapa pasal tindak pidana tersebut. Pada seperti perkawinan paksa dan akhirnya pula, hakim yang perbudakan seksual. Untuk pasal akan
memutus
terdakwa
seorang perkawinan paksa dapat berlaku tersebut apabila terdapat delik aduan dan
berdasarkan pembuktian di paksaan kawin bagi anak di pengadilan.
bawah umur. Kemudian juga
Pada hal ini, merujuk pada terdapat
klausul
mengenai
sistem peradilan pidana di kekerasan seksual di ranah digital Indonesia pada ketentuan juga akan diatur di dalam RUU dalam Pasal 183 KUHAP, TPKS tersebut. Lalu, jika UU maka terdapat dua rumusan TPKS sudah disahkan maka yang dapat diketahui dari seluruh laporan perihal tindak pasal tersebut, yaitu:
pidana kekerasan seksual harus
22
Dedi Afandi, Visum Et Repertum: Tata Laksana dan Teknik Pembuatan, (Fakultas Kedokteran Universitas Riau: Pekanbaru, Oktober 2017), hlm. 1
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
99
a. Penjatuhan
pidana diproses oleh penegak hukum.
kepada
seorang Untuk korban kekerasan seksual
terdakwa dilakukan pemerkosaan atau pencabulan dengan
yang tidak terdapat saksi lain,
membuktikan
maka sama seperti pada kitab
kesalahannya dengan undang-undang sekurang-kurangnya
yaitu
sebelumnya,
dengan
menggunakan
dua alat bukti yang visum sebagai barang bukti. sah;
Pembanding atau pembeda antara
b. Minimal
dua
alat KUHAP dengan UU TPKS ini
bukti tersebut akan yaitu dengan lebih mudahnya membuat
hakim pelaporan korban dan proses
memperoleh
pembuktian. Pada UU TPKS ini
keyakinan
bahwa hanya dengan memberikan satu
tindak pidana benar- saksi dan alat bukti lainnya sudah benar
terjadi
terdakwalah memang
dan cukup
untuk
suatu
kasus
yang kekerasan seksual diproses. Hal bersalah itu juga didukung dengan adanya
melakukannya.
Pasal 45 ayat (1) UU TPKS yang menyatakan
bahwa
keterangan
seorang Korban sudah cukup untuk membuktikan
bahwa
terdakwa
bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya. Selain itu pula, korban kekerasan seksual juga
akan
tetap
direhabilitasi
karena undang-undang tersebut memberikan perlindungan yang extraordinary.23 Kemudian, Eddy
juga menyatakan bahwa akan 23 Dewi Nurita, “RUU TPKS: 1 Saksi dan Alat Bukti Bisa Proses Kasus Kekerasan Seksual,” https://nasional.tempo.co/read/1563914/ruu-tpks-1-saksi-dan-alat-bukti-bisa-proseskasus-kekerasan-seksual, diakses 7 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
100
menarik
berbagai
kejahatan
seksual di luar UU tersebut untuk menggunakan hukum acara pada UU ini. Hal ini dikarenakan agar mempermudah
pembuktian
sehingga korban akan merasa cepat
dalam
menyelesaikan
masalah tersebut.24 Selain itu, pelaporan
korban
juga
yaitu
dapat
dipermudah,
dilakukan kepada Unit Pelaksana Teknis
Daerah
Perlindungan
Perempuan dan Anak (UPTD PPA), lembaga penyedia layanan berbasis
masyarakat,
dan
kepolisian.25 Hal itu juga diatur di dalam Pasal 41 Ayat (1) UU TPKS.
Perlindunga Perlindungan hukum bagi Pada UU TPKS ini, korban n Hukum korban kekerasan seksual mendapat perlindungan dan juga Bagi Korban tidak hanya menjadi isu hak yang dapat diterimanya. Hal domestik,
tetapi
juga ini diatur dalam Pasal 42 Ayat (1)
merupakan isu internasional UU TPKS bahwa dalam waktu yang sangat penting dalam 1x24 jam semenjak pelaporan, penyelesaian kasus tersebut. maka korban berhak mendapat Tercapainya
perlindungan perlindungan dari kepolisian. Di
Dewi Nurita, “UU TPKS Disahkan, Berikut Jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang Diatur,” https://nasional.tempo.co/read/1581603/uu-tpks-disahkan-berikut-jenis-tindak-pidanakekerasan-seksual-yang-diatur, diakses 7 Mei 2022. 25 Mutia Fauzia, “Poin-Poin Penting Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” https://nasional.kompas.com/read/2022/04/14/05440011/poin-poin-penting-undang-undangtindak-pidana-kekerasan-seksual?page=all, diakses 7 Mei 2022. 24
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
101
terhadap korban merupakan ayat
(3)
UU
TPKS
juga
salah satu bentuk tercapainya dijelaskan bahwa dalam memberi keadilan
sosial.
tindak
pidana
seksual
Padahal, perlindungan kekerasan kepolisian
paling
korban, dapat
aparat
membatasi
sulit gerak pelaku. Selain itu, korban
diselesaikan, baik pada tahap juga mendapatkan hak yang penyidikan,
penuntutan, diatur dalam Pasal 67 UU TPKS
maupun pada pengambilan ini yang mencakup hak atas keputusan.26 Selain sulitnya penanganan, penjelasan di atas, misalnya perlindungan, kasus
pencabulan,
kesulitan
hak dan
atas hak
atas
juga pemulihan.29 dalam
pembuktiannya
yang
biasanya dilakukan tanpa adanya kehadiran orang lain di tempat kejadian perkara (TKP).27 Tindak
pidana
yang
berkaitan dengan kekerasan seksual diatur dalam KUHP tentang Kejahatan terhadap Tindak Pidana Kesusilaan (Pasal
281-Pasal
KUHP).
Salah
299 satunya
adalah Pasal 289 KUHP yang
mengatur
perihal
kekerasan
seksual
yang
dilakukan
sebagai
suatu
Rosania Paradiaz, Eko Soponyono, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Vol.4 No. 1 (2022), hlm. 67. 27 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 18. 29 Ibid., 26
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
102
pelanggaran terhadap norma kesusilaan. Kemudian, peran korban
juga
sangat
berpengaruh guna mengatasi dan menyelesaikan kasus kekerasan
seksual.
Hal
tersebut tentu membutuhkan tekad yang besar dari korban untuk melaporkan kejadian tersebut
kepada
penegak
hukum. Hal itu dikarenakan dengan mengadunya korban, maka kasusnya akan dapat diproses sehingga
pemeriksaan korban
dapat
memperoleh keadilan atas kejadian kekerasan seksual tersebut.28
2.4. Perbandingan penerapan prosedur peradilan baik KUHAP maupun KUHP dengan UU TPKS pada kasus kekerasan seksual Universitas Riau Oktober 2021 Pada tanggal 4 November 2021, ditemukan adanya pengakuan dari mahasiswi Universitas Riau yang mengaku bahwa dirinya telah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen saat bimbingan skripsi. Kekerasan seksual tersebut dilakukan dengan sang dosen menggenggam bahu korban dan mendekatkan badannya yang dilanjutkan dengan dosen mencium pipi kiri serta kening mahasiswi tersebut. Tidak hanya itu, dosen pun mencoba mendongakkan kepala korban dan sempat mengatakan beberapa kata bernuansa seksual kepada
Suzanalisa, ”Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana kekerasan Seksual Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Lex Specialis, No. 14 (2011), hlm. 15 28
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
103
korban. Setelah mengaku dalam video yang dipublikasikan melalui akun instagram @komahi_UR, korban melaporkan kekerasan seksual tersebut menuju Polresta pekanbaru pada Jumat 5 November 2021.30 Kasus mengenai kekerasan seksual yang terdapat di Universitas Riau tersebut berlanjut kepada dosen Universitas Riau yang diperiksa sebagai saksi atas kasusnya. Kemudian pada tanggal 17 Desember 2021 sang dosen telah resmi ditahan setelah yang bersangkutan dan barang bukti dilimpahkan penyidik Polda Riau menuju Kejati Riau. Sang dosen dijerat pada dua pasal, yaitu Pasal 289 KUHP tentang pencabulan dan Pasal 294 KUHP tentang pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan ancaman di atas 5 tahun penjara.31 Setelah berjalannya sidang, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memutuskan untuk membebaskan sang dosen karena tidak terbukti secara sah sang dosen untuk melakukan tindak pidana berdasarkan dakwaan Pasal 289 dan Pasal 294 KUHP Putusan hakim tersebut didasarkan bahwa tidak terbuktinya sang dosen melakukan tindak pidana dan tidak terpenuhinya unsur dakwaan primer dan subsider.32 Hakim menyatakan dalam perkembangannya, tidak adanya bukti kekerasan yang dialami korban dan ancaman dari sang dosen. Selain itu, hakim menilai tidak terdapat saksi yang dapat membuktikan terjadinya kekerasan seksual tersebut sebagaimana saksi pada kasus ini hanya mendengar testimoni dari korban.33 Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Riau merupakan kasus yang terjadi sebelum disahkannya kebijakan baru yang mengatur mengenai kekerasan seksual yaitu UU TPKS. Pada saat kasus bergulir, pengadilan diselenggarakan menurut aturan KUHP dan KUHAP. Dalam hal peradilan kasus kekerasan seksual, KUHAP belum mampu menghadirkan konsep hukum acara yang sensitif-korban dan berperspektif gender atau yang juga dikenal dengan 30 Dian Andryanto, “kronologis lengkap Vonis Bebas Kasus Pelecehan Seksual Syafri Harto Dekan UNRI,” https://nasional.tempo.co/read/1577206/kronologis-lengkap-vonis-bebas-kasuspelecehan-seksual-syafri-harto-dekan-unri, diakses 7 Mei 2022. 31 M. Syukur ‘Dekan Universitas Riau Tersangka Pencabulan Dijerat Pasal Berlapis, Kpan Ditahan?” https://www.liputan6.com/regional/read/4715438/dekan-universitas-riau-tersangkapencabulan-dijerat-pasal-berlapis-kapan-ditahan, diakses 7 Mei 2022. 32 Raja Adil Siregar, “Ini Pertimbangan Hakim Vonis Bebas Dekan FISIP Unri di Kasus Cabul,” https://news.detik.com/berita/d-6008075/ini-pertimbangan-hakim-vonis-bebas-dekanfisip-unri-di-kasus-cabul?single=1, diakses 7 Mei 2022. 33 Tim BBC, “Kasus Pelecehan Seksual Universitas Riau: Terdakwa Divonis Bebas, Nadiem Makarim Temui Korban Untuk Sanksi Administratif,” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61111705, diakses 7 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
104
konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP).34 Tentunya apabila UU TPKS telah disahkan sebelum kasus ini terjadi, maka kasus ini akan menggunakan UU TPKS. Lantas dengan adanya UU TPKS ini, apakah kasus ini dapat berujung menuju hasil yang berbeda atau tidak. Berikut merupakan perbandingan prosedur peradilan dalam kasus kekerasan seksual Universitas Riau dalam menggunakan KUHAP dengan UU TPKS.
2.4.1 Perihal Bukti dan Saksi Hakim pada kasus kekerasan di Universitas Riau menilai bahwa saksi dalam kasus ini tidak dapat membuktikan terjadinya kekerasan seksual. Hal tersebut dilandaskan bahwa semua saksi hanyalah mendengar testimoni saja dari korban sedangkan menurut KUHAP seorang saksi merupakan orang yang telah melihat dan mendengar langsung perkara pidana yang dialami sendiri. Apabila selalu merujuk kepada pengertian tersebut, maka sulit untuk ditemukan saksi dalam kasus pencabulan sebagaimana seorang yang melihat dan mendengar hanyalah korban dan terdakwa. Dengan saksi yang hanya mendengar testimoni seorang korban saja, membuat hakim ragu dalam menentukan terjadinya kekerasan seksual. Terdapat perbedaan dalam. Pada kasus ini, karena digunakannya KUHAP maka penjatuhan pidana harus dibuktikan dengan ditemukannya dua alat bukti yang sah dan keterangan saksi yang relevan. Hal tersebut berbeda dengan ketentuan yang berada pada UU TPKS yang menyatakan bahwa hanya dibutuhkan satu saksi atau keterangan korban disertai dengan satu bukti dapat cukup untuk membuktikan terdakwa untuk bersalah. Pada kasus ini, telah ditemukan alat bukti lainnya yang dapat membuktikan terdakwa untuk bersalah yaitu adanya surat keterangan psikolog dan/atau psikiater yang terdapat pada Pasal 44 UU TPKS yang ditandai dengan adanya saksi ahli kejiwaan yang menjelaskan baik korban maupun terdakwa tidak mengalami halusinasi. Saksi tersebut wajib dipertimbangkan hakim
34 Eko Nurisman, “Risalah Tantangan Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 4, Nomor 2 (Tahun 2022), hlm. 176.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
105
sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 huruf b UU TPKS.35 Dalam hal ini, menurut UU TPKS semestinya telah terbukti bahwa terdakwa bersalah. Adanya keterangan dari korban dan surat keterangan saksi ahli kejiwaan menyebabkan pembuktian terhadap tindak pidana kekerasan seksual telah terbukti secara sah menurut Pasal 45 ayat (1).
2.4.2 Perihal Majelis Hakim yang Menangani Kemudian terdapat perbedaan lainnya dalam prosedur peradilan KUHAP dengan UU TPKS apabila merujuk kepada kasus kekerasan seksual di Universitas Riau, yaitu pada UU TPKS terdapat Pasal 43 yang menyatakan bahwa “Penyidik, penuntut umum, dan hakim diutamakan berjenis kelamin sama dengan korban”.36 Hal ini ditujukan untuk keberpihakan kepada korban kekerasan seksual yang dapat menemukan ruang aman dalam peradilan sebagaimana aparatur negara yang berwenang berjenis kelamin sama dengan korban. Akan tetapi, karena kasus tidak menggunakan UU TPKS mengingat bahwa saat itu belum disahkan sehingga digunakannya KUHAP seorang penyidik, penuntut umum, dan hakim tidak diutamakan berjenis kelamin sama dengan korban. Dalam menjatuhkan putusan, hakim hendaklah menilai fakta di lapangan menggunakan perspektif yang melindungi dan mengutamakan kepentingan korban dan memaksimalkan ancaman pelaku.37 Regulasi mengenai gender petugas ini merupakan salah satu upaya untuk melindungi korban dari perasaan tidak nyaman untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan hak-hak korban. Hal tersebut tercantum dalam The Declaration of Basic Principles of Justice of Crimes and Abuse of Power dimana salah satu hak korban adalah hak untuk didengar dan dipertimbangkan segala kepentingannya dalam setiap proses peradilan pidana. Menghadirkan petugas yang memiliki gender yang sama dengan korban akan membantu korban secara psikologis lebih nyaman untuk menyampaikan
Tim BBC, “Kasus Pelecehan Seksual Universitas Riau: Terdakwa Divonis Bebas, Nadiem Makarim Temui Korban Untuk Sanksi Administratif,” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61111705, diakses 7 Mei 2022. 36 Dilihat dari pasal 43 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) 37 Elizabeth Siregar, “Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Realitas dan Hukum,” PROGRESIF: Jurnal Hukum Volume 14 No.1 (Juni 2020), hlm 13. 35
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
106
permasalahannya dan membantu penegakan keadilan yang lebih baik dalam proses peradilan.38 Berikut tabel mengenai perbedaan signifikan mengenai peradilan kasus tindak kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS dan KUHAP. KETENTUAN
UU TPKS
KUHAP
Keterangan
Sudah cukup menjadi bukti Tidak diatur
korban
yang sah jika ditambah dengan satu bukti lain. Pasal 45 ayat (1).
Keterangan
Keterangan
Saksi
yang Saksi haruslah orang yang
kerabat
merupakan keluarga sedarah mendengar, melihat, atau dan semenda hingga derajat mengalami ketiga
dari
menjadi
korban
bukti
yang
sendiri
suatu
dapat perkara pidana. (Pasal 1 ayat sah. (26))
(Pasal 45 ayat (2)) Kerahasiaan
Saksi berhak atas kerahasiaan Identitas
identitas saksi
identitas
diri,
keluarga, ditegakkan
kelompok
saksi
harus
di
muka
dan/atau pengadilan pada saat hakim
komunitasnya. (Pasal 34 huruf menanyakannya. (Pasal 160 f))
ayat (2))
Gender petugas Penyidik, penuntut umum, dan Tidak diatur. yang berwenang
hakim
diutamakan
yang
berjenis kelamin sama dengan korban. (Pasal 43 ayat (2))
38 Dida Rachma Wadnayati Perlindungan Hukum Korban Perempuan Korban Pelecehan Seksual Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Ditinjau Dalam Perspektif Viktimologi, Journal of Feminism and Gender Studies, Vol. 2 No.1, Januari-Juni 2022. Hal 61.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
107
III.
PENUTUP Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, telah ditemukan
bahwa prosedur peradilan kekerasan seksual
yang terdapat dalam KUHAP
memiliki perbedaan dengan UU TPKS. Perbedaan tersebut meliputi perihal bukti dan saksi yang sebelumnya apabila dilihat dalam KUHAP, seorang saksi hanya seorang yang telah melihat dan mendengar langsung perkara pidana yang terjadi sedangkan dalam UU TPKS keterangan korban saja dapat menjadi bukti yang sah dengan didukung satu alat bukti lain untuk menyatakan bahwa terdakwa bersalah. Kemudian perihal kerahasiaan identitas saksi ditemukan adanya perbedaan, yaitu saksi dalam KUHAP harus ditegakkan di muka pengadilan pada saat hakim bertanya, sedangkan dalam UU TPKS sanksi berhak merahasiakan identitas diri, keluarga, dan komunitasnya. Perbedaan prosedur peradilan terakhir adalah gender petugas yang berwenang, pada KUHAP telah dibebaskan gender mana yang menjadi petugas berwenang sedangkan pada UU TPKS petugas Penyidik, Penuntut umum, dan Hakim diutamakan berjenis kelamin sama dengan korban. Ketentuan yang tercantum dalam RUU TPKS dinilai lebih cocok diterapkan untuk peradilan kasus kekerasan seksual karena memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
108
DAFTAR PUSTAKA BUKU Afandi, Dedi. Visum Et Repertum: Tata Laksana dan Teknik Pembuatan. Fakultas Kedokteran Universitas Riau: Pekanbaru, Oktober 2017. Marpaung, Leden. Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya. Sinar Grafika: Jakarta, 1996. JURNAL Anindya, Astri.“Dampak Psikologis dan Upaya Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan.” Terapan Informatika Nusantara 3 (Agustus 2020). Hlm. 137-140. Paradiaz, Rosania, Eko Soponyono. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Vol.4 No. 1 (2022). Hlm. 61-72. Savitri, Niken. “Pembuktian dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap Anak.” Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 4 No. 2 (Maret 2020). Hlm. 290. Suzanalisa. ”Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana kekerasan Seksual Dalam Sistem Peradilan Pidana.” Jurnal Lex Specialis, No. 14 (2011). Hlm. 14-25. Wadnayati, Dida Rachma. “Perlindungan Hukum Korban Perempuan Korban Pelecehan Seksual Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Ditinjau Dalam Perspektif Viktimologi.” Journal of Feminism and Gender Studies. Vol. 2 No.1. (Januari-Juni 2022). Hlm. 54-71. Purwanti, Ani dan Hardiyanti, Marzellina. “Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak melalui RUU Kekerasan Seksual.” Masalah-Masalah Hukum 2 (April 2018). Hlm 141 Hilmi, Mella Fitriyatul. “Kekerasan Seksual dalam Hukum Internasional.” JuristDiction: Vol. 2 No. 6 (November 2019). Hlm. 2199-2218. Jamaludin, Ahmad. “Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual.” Jurnal CIC Lembaga Riset dan Konsultan Sosial (September 2021). Hlm. 1-10.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
109
Mannika, Ghinanta.“Studi Deskriptif Potensi Terjadinya Kekerasan Seksual pada Remaja Perempuan.” Calyptra Vol. 7 No. 1 (2018). Hlm. 2541. Siregar, Elizabeth. “Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Realitas dan Hukum.” PROGRESIF: Jurnal Hukum Volume XIV No.1 (Juni 2020). Hlm. 1-14. Nurisman, Eko. “Risalah Tantangan Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 4, Nomor 2 (Tahun 2022). Hlm. 170-196.
INTERNET Adit, Albertus. “Bikin Miris, Seperti Ini Contoh Kasus Kekerasan Seksual di Kampus.”https://www.kompas.com/edu/read/2021/11/13/052700371/bikin -miris-seperti-ini-contoh-kasus-kekerasan-seksual-di-kampus?page=all. Diakses pada 7 Mei 2022. Amarilisya, Aliftya. “Dampak Kekerasan Seksual terhadap Fisik, Psikis, dan Sosial Korban.”https://lifestyle.bisnis.com/read/20210903/106/1437616/dampakkekerasan-seksual-terhadap-fisik-psikis-dan-sosial-korban. Diakses pada 7 Mei 2022. Andryanto, Dian. “kronologis lengkap Vonis Bebas Kasus Pelecehan Seksual Syafri
Harto
Dekan
UNRI.”
https://nasional.tempo.co/read/1577206/kronologis-lengkap-vonis-bebaskasus-pelecehan-seksual-syafri-harto-dekan-unri. Diakses 7 Mei 2022. Elmira, Putu. “Dampak Kekerasan Seksual terhadap Korban, dari Psikologis hingga Sosial.”
https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4594269/dampak-
kekerasan-seksual-terhadap-korban-dari-psikologis-hingga-sosial. Diakses pada 7 Mei 2022. Fauzia, Mutia. “Poin-Poin Penting Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/14/05440011/poin-
poin-penting-undang-undang-tindak-pidana-kekerasan-seksual?page=all. Diakses 7 Mei 2022. Kusuma, Ade Indra.“Budaya Victim Blamming, Sederet Kasus Pelecehan Seksual yang
Salahkan
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
Korban.”
110
https://www.suara.com/health/2019/04/25/145800/budaya-victim-blamingsederet-kasus-pelecehan-seksual-yang-salahkan-korban?page=all. Diakses pada 7 Mei 2022. Maharani, Tsarina. “ Menteri PPPA: Kasus Kekerasan Seksual Ibarat Fenomena Gunung Es.”https://nasional.kompas.com/read/2021/12/29/14020101/menteripppa-kasus-kekerasan-seksual-ibarat-fenomena-gunung-es. Diakses pada 7 Mei 2022. Pranita, Ellyvon.“ Kekerasan Seksual Semakin Terkuak, Apa Penyebabnya? Ini Kata
Komnas
Perempuan.”
https://www.kompas.com/sains/read/2021/12/12/130200423/kekerasanseksual-semakin-terkuak-apa-penyebabnya-ini-kata-komnas?page=all. Diakses 8 Mei 2022. Shalihah,
Nur
Fitriatus.
“Mengenal
Apa
Itu
UU
TPKS.”
https://www.kompas.com/tren/read/2022/04/13/070100565/mengenal-apaitu-uu-tpks?page=all. Diakses pada 7 Mei 2022 Siregar, Raja Adil. “Ini Pertimbangan Hakim Vonis Bebas Dekan FISIP Unri di Kasus Cabul.” https://news.detik.com/berita/d-6008075/ini-pertimbanganhakim-vonis-bebas-dekan-fisip-unri-di-kasus-cabul?single=1. Diakses 7 Mei 2022. Sucahyo,
Nurhadi.
“Kekerasan
Seksual
di
Ruang-Ruang
Kampus.”
https://www.voaindonesia.com/a/kekerasan-seksual-tersembunyi-di-ruangruang-kampus-/6392176.html. Diakses 8 Mei 2022. Syukur, M. “Dekan Universitas Riau Tersangka Pencabulan Dijerat Pasal Berlapis, Kpan Ditahan?” https://www.liputan6.com/regional/read/4715438/dekanuniversitas-riau-tersangka-pencabulan-dijerat-pasal-berlapis-kapanditahan. Diakses 7 Mei 2022. Tim BBC. “Kasus Pelecehan Seksual Universitas Riau: Terdakwa Divonis Bebas, Nadiem
Makarim
Temui
Korban
Untuk
Sanksi
Administratif.”
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61111705. Diakses 7 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
111
Universitas Ahmad
Dahlan. “
Indonesia
Darurat
Kekerasan Seksual.”
https://lldikti5.kemdikbud.go.id/home/detailpost/indonesia-daruratkekerasan-seksual. Diakses 8 Mei 2022. Wahyuni,
Fitry.
“Perempuan,
Pelecehan
Seksual
,
dan
HAM,”
https://kumparan.com/fitrywahyuni43/perempuan-pelecehan-seksual-danham-1w6PlQj0tHu/1. Diakses pada 7 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
112
BIODATA PENULIS
Ashilah Chaira Yasmin atau Ashilah merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Perempuan kelahiran Padang, 21 Septemberi 2003 turut mengikuti berbagai organisasi di FHUI seperti di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan Kesekretariatan BEM FHUI 2022. Said Fathurrahman adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang lahir di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2003. Ia sekarang aktif menjabat sebagai staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan staf Internal Affairs BLS FHUI 2022.
Febrian Ramdan Rafiki merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Febrian lahir di Ngawi, pada tanggal 14 Februari 2002. Sekarang, Febrian menjadi staf Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 serta staf Divisi Kompetisi LaSALe FHUI 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
113
“KLITIH” DAN RESPONS PERADILAN PIDANA ANAK INDONESIA
Aulia Safitri Fakultas Hukum Universitas Indonesia aulia.safitri11@ui.ac.id
Darren Yosafat Marama Sitorus Fakultas Hukum Universitas Indonesia darren.yosafat@ui.ac.id
Suci Lestari Palijama Fakultas Hukum Universitas Indonesia suci.lestari11@ui.ac.id
Abstrak Pada awal tahun 2022, aksi kejahatan jalanan di Yogyakarta yang dikenal sebagai “klitih” kembali menjadi sorotan publik. Pelaku tindak pidana klitih dapat dikategorikan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. Pemidanaan ringan kasus klitih melalui sistem diversi sebagai implementasi dari keadilan restoratif yang menjadi prinsip utama keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), nyatanya menjadi salah satu hambatan nyata dalam upaya eradikasi dan penanganan kasus klitih di Yogyakarta. Pemidanaan ringan berdasarkan UU SPPA memiliki kecenderungan untuk menjadi “tameng” anak dalam melakukan tindak pidana serta membuka peluang terjadinya pengulangan tindak pidana (residivis). Pemidanaan kasus klitih melalui UU SPPA berpotensi gagal dalam memberikan efek jera dan mewujudkan ketertiban masyarakat.
Kata Kunci: Kenakalan Remaja, Sistem Peradilan Pidana Anak, Keadilan Restoratif, Diversi, Klitih
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
114
“KLITIH” AND THE RESPONSE OF INDONESIAN JUVENILE CRIMINAL JUSTICE SYSTEM
Abstract During the first quarter of 2022, the public's attention was drawn to Yogyakarta's "Klitih" street crime. Offenders in the klitih case could be categorized as minors that conflict with laws. The primary concept of the enforceability of Law Number 11 of 2012 regarding the Juvenile Criminal Justice System has been the light penalty of klitih cases through the diversion system as the implementation of restorative justice. In truth, it is one of the greatest obstacles to eradicating and dealing with the klitih case in Yogyakarta. According to the UU SPPA, the light penalty serves as a "protection" for adolescents, allowing them to carry out criminal acts while also allowing them to repeat the criminal acts (recidive). The klitih case penalty under the UU SPPA has the potential to be ineffective in terms of having a deterrent effect and creating public order.
Keywords: Juvenile Delinquency, Juvenile Criminal Justice System, Restorative Justice, Diversion, Klitih
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
119
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sepanjang tahun 2022, Jogja Police Watch (JPW) mencatat sudah terjadi 12 aksi klitih di Yogyakarta.1 Awalnya, aksi klitih memang sudah terjadi beberapa tahun belakangan, tetapi kembali menjadi sorotan publik di tahun 2022 karena aksi klitih tersebut menewaskan seorang siswa SMA, terlebih korban tersebut merupakan putra dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kebumen, Madkhan Anis. Korban ditemukan oleh Tim Patroli Sabhara Polda DIY dan Kepolisian Sektor Kotagede dengan luka di bagian wajahnya.2 Istilah klitih awalnya hanya diartikan sebagai suatu aktivitas jalan-jalan tanpa tujuan yang jelas. Sedangkan, apabila dilihat dalam perspektif kenakalan remaja, klitih merupakan kegiatan berkeliling menggunakan kendaraan yang dilakukan oleh sekelompok oknum pelajar dengan tujuan untuk mencari orang yang mereka anggap sebagai musuh. Fenomena klitih yang dilakukan oleh anak remaja ini menimbulkan keresahan bagi warga sehingga warga beserta kepolisian pun mengambil langkah untuk melakukan patroli rutin setiap malam dengan berkeliling kota sebagai upaya untuk mengurangi aksi klitih di Yogyakarta.3 Kasus tindak pidana klitih yang dilakukan oleh anak dibawah umur belakangan ini semakin meningkat, mulai dari pencurian terhadap harta benda hingga penganiayaan dan pembunuhan yang menyebabkan hilangnya nyawa korban. Seringkali, pelaku yang merupakan anak dibawah umur tidak dapat memberikan alasan yang jelas atas tindak kriminal yang telah dilakukannya. Selain minimnya pengawasan yang dilakukan oleh orang tua pelaku, faktor lain yang patut dipertimbangkan adalah lemahnya sanksi pidana yang dijatuhkan pada pelaku anak di Indonesia. Perlakuan dan perlindungan khusus bagi pelaku pidana anak terkadang belum mampu menyelesaikan persoalan hak asasi manusia (HAM) bagi
Erfan Erlin, “Miris, Sepanjang 2022 JPW Catat ada 12 kali Aksi Klitih di Yogyakarta,” https://yogya.inews.id/berita/miris-sepanjang-2022-jpw-catat-ada-12-kali-aksi-klitih-diyogyakarta, diakses 11 April 2022. 2 Zintan Prihatini, “Aksi Klitih Remaja di Yogyakarta Tewaskan Anak Anggota DPRD Kebumen, Ini Kata Sosiolog,” https://www.kompas.com/sains/read/2022/04/06/130100723/aksiklitih-remaja-di-yogyakarta-tewaskan-anak-anggota-dprd-kebumen-ini?page=all, diakses 11 April 2022. 3 Ahmad Fuadi, Titik Muti’ah, dan Hartoshujono, “Faktor-Faktor Determinasi Perilaku Klitih,” Jurnal Spirits 9 (2019), hlm. 90 – 91. 1
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
120
korban dari tindakan anak yang melakukan tindak pidana, terlebih lagi ketika perbuatannya itu telah mengancam kehidupan masyarakat sekitar seperti yang terjadi dalam kasus klitih di Yogyakarta.4 Maraknya kasus klitih dengan dominasi pelaku usia anak membawa polemik di tengah masyarakat. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), pelaku klitih dapat dikategorikan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) yang termasuk sebagai anak yang berkonflik dengan hukum.5 Beberapa konsep mendasar yang dominan dalam penyelesaian pidana anak berdasarkan UU SPPA adalah mengutamakan keadilan restoratif dan penyelesaian kasus melalui sistem diversi. Namun, solusi tersebut kembali dipertanyakan kecenderungan pelaku untuk menjadikan UU SPPA sebagai tameng peringanan sanksi pidana yang berujung pada penurunan efektivitas penyelesaian perkara. Dalam membahas kasus klitih dan penyelesaian pidana anak berdasarkan UU SPPA, maka artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai sistem tindak pidana anak yang diatur di Indonesia. Artikel ini juga akan membahas penerapan sistem tindak pidana anak pada kasus klitih dan melakukan perbandingan pengaturan tindak pidana anak di negara lain. Pada akhir artikel, Penulis akan membahas juga mengenai tantangan penyelesaian klitih yang sesuai dengan UU SPPA.
II.
PEMBAHASAN
2.1. Tinjauan Pustaka A. Pengertian Anak berdasarkan Undang-Undang Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) bahwa anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
4 Noercholis Rafid dan Saidah, “Sanksi Pidana Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Perspektif Fiqih Jinayah” Jurnal Al-Maiyyah 11 (2018), hlm. 322. 5 Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Ps. 1.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
121
kandungan.6 Anak sendiri diklasifikasikan lagi dalam Pasal 1 ayat (2) UU SPPA, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Ketiganya disebut juga sebagai Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). ABH didefinisikan sebagai anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.7 B. Teori mengenai Tindak Pidana Anak Terdapat beberapa teori yang dapat dijadikan suatu dasar untuk negara dalam menentukan sanksi pidana untuk pelaku tindak kejahatan, teori tersebut dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu:8 1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan Teori absolut membahas tentang pembenaran dari suatu tindak pidana karena seseorang telah melakukan tindak kejahatan. Dalam teori absolut, suatu penderitaan harus dibalas dengan sanksi pidana yang dapat menimbulkan penderitaan terhadap orang yang melakukan kejahatan tersebut. Sanksi pidana di teori ini bermaksud untuk memberikan penderitaan terhadap pelaku dan menjadikannya pelajaran. Tindakan pembalasan ini dapat dilihat dari dua sudut perspektif, yaitu pertama adalah sudut subjektif dimana pembalasannya dimaksudkan untuk orang yang berbuat salah; kedua adalah sudut objektif yang lebih menitikberatkan pembalasannya untuk memuaskan perasaan balas dendam. 2. Teori Relatif atau Teori Tujuan Teori relatif membenarkan suatu tindak pidana karena memiliki tujuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Tujuan tersebut antara lain dapat digunakan untuk menetralkan situasi di masyarakat yang sedang gelisah akibat dari tindak kejahatan dan juga dapat berupa upaya atas pencegahan yang bersifat umum dan khusus. Pencegahan umum sendiri 6
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU No. 35 Tahun 2014, LN No. 297 Tahun 2014, TLN No. 5606, Ps. 1. 7 Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Ps. 1. 8 Bilher Hutahaean, “Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak,” Jurnal Al-Yudisial 6 (2013), hlm. 68.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
122
dilakukan untuk menjadi dasar pemikiran bahwa pidana bertujuan untuk mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan. 3. Teori Gabungan Teori gabungan adalah gabungan dari teori absolut dan teori relatif, penggabungan dari teori ini menjadikan teori yang praktis dan seimbang. Teori gabungan sendiri menghasilkan tiga golongan, yaitu: a. Teori gabungan yang lebih condong ke arah pembalasan. Akan tetapi,
pembalasan
tersebut
harus
bertujuan
hanya
untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat, dalam kata lain pembalasan seharusnya
tidak
dapat
melebihi
yang
diperlukan
untuk
mempertahankan ketertiban di masyarakat. b. Teori gabungan yang condong ke arah pertahanan dan ketertiban masyarakat. Dalam teori ini, sanksi pidana harus sama beratnya dengan penderitaan yang dialami oleh pelaku perbuatan pidana. c. Teori gabungan yang condong ke arah pembalasan dan juga pertahanan ketertiban masyarakat dalam porsi yang sama. Terdapat beberapa pendapat yang mengaitkan perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak. Romli Atmasasmita berpendapat mengenai pengertian dari juvenile delinquency atau kenakalan remaja, yaitu: Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.9 Kenakalan remaja tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi anak melakukan tindak pidana baik dari pengaruh internal, maupun eksternal. Mita Dwijayanti, mengutup Sykes dan Matza, menyatakan bahwa terdapat beberapa konsep mengenai teknik netralisasi, yaitu:10 1. Denial of responsibility, anggapan dari anak nakal bahwa mereka merupakan korban dari orang tua yang tidak mengasihi, lingkungan yang buruk, atau berasal dari tempat tinggal yang tidak layak;
9 Anwar W.M. Sagala, “Kajian Yuridis Sistem Pemidanaan Edukatif oleh Hakim terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum,” Studi Pada Pengadilan Negeri Putussibau, hlm. 8. 10 Mita Dwijayanti, “Diversi Terhadap Recidive Anak,” Rechtsidee 12 (2017), hlm. 238.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
123
2. Denial of injury, alasan dari anak nakal bahwa tingkah laku mereka bukan merupakan suatu hal yang dapat menimbulkan bahaya yang besar; 3. Denial of the victim, keyakinan yang datang dari anak nakal bahwa mereka menganggap diri mereka adalah pahlawan, sedangkan korban yang sebenarnya dipandang sebagai seseorang yang melakukan kejahatan; 4. Condemnation of the condemners, suatu anggapan bahwa polisi merupakan pelaku yang melakukan kesalahan atau seseorang yang tidak suka kepada mereka; dan 5. Appeal to higher loyalities, anggapan yang berasal dari kalangan anak nakal bahwa mereka terperangkap diantara tuntutan masyarakat, hukum dan kehendak dari kelompok mereka. C. Instrumen Hukum mengenai Tindak Pidana Anak Salah satu instrumen hukum utama yang digunakan untuk memproses tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah UU SPPA. Pembentukan UU SPPA bersesuaian dengan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” UU SPPA merupakan salah satu wujud reformasi pemidanaan di Indonesia sebab regulasi tersebut mengatur mengenai penangguhan penahanan, masa penahanan yang lebih singkat, dan upaya diversi pada seluruh tahapan proses hukum bagi tindak pidana yang dilakukan oleh anak.11 UU SPPA mengakomodir dua jenis penindakan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Pertama, pengenaan sanksi tindakan yang diterapkan pada anak yang berusia dibawah 14 tahun. Berdasarkan pada Pasal 82 UU SPPA, sanksi tindakan yang dapat diberikan terhadap anak meliputi: a. pengembalian kepada orang tua/wali; b. penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS);
Putri A. Priamsari, “Mencari Hukum yang Berkeadilan bagi Anak Melalui Diversi,” Jurnal Law Reform 14 (2018), hlm. 222. 11
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
124
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana. Kedua, pengenaan sanksi pidana terhadap anak yang berumur 15 tahun keatas. Berdasarkan pada Pasal 71 UU SPPA, sanksi pidana pokok yang dapat diberikan terhadap anak meliputi: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat, yang terdiri atas pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan; c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; e. penjara. Selain itu, dapat dikenakan pula pidana tambahan yang terdiri dari perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana serta pemenuhan kewajiban adat. Kewajiban adat berarti denda atau tindakan tertentu yang harus dipenuhi oleh si anak berdasarkan norma dan adat istiadat yang berlaku pada masyarakat setempat dengan tetap menghormati harkat dan martabat anak dan mempertimbangkan kondisi mental anak.12 Salah satu konsep utama yang diterapkan pada proses pemidanaan anak berdasarkan UU SPPA adalah mengenai keadilan restoratif (restorative justice). Pasal 1 ayat (6) UU SPPA mendefinisikan keadilan restoratif sebagai upaya penyelesaian perkara dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terlibat untuk mencari penyelesaian permasalahan yang menitikberatkan pada pemulihan keadaan. Keadilan restoratif didasarkan pada lima prinsip pemikiran:13 a. focuses on harms and consequent needs (fokus kepada kerusakan dan kebutuhan konsekuensi);
Letezia Tobing, “Apakah Anak yang Melakukan Tindak Pidana Dapat Dihukum Mati?,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-anak-yang-melakukan-tindak-pidana-dapatdihukum-mati-lt4f768a60341d9, diakses 4 Mei 2022. 13 Idaho Juvenile Justice Comission, “Principles of Restorative Justice,” http://www.ijjc.idaho.gov/restorative-justice/, diakses pada 13 April 2022. 12
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
125
b. addresses obligation resulting from those harms (membahas kewajiban yang dihasilkan dari kerugian pasca tindak pidana); c. uses inclusive, collaborative processes (proses penanganan kasus yang memperhatikan inklusifitas dan aspek kolaboratif); d. involves those with a legitimate stake in the situation (melibatkan pihakpihak yang secara sah memiliki kepentingan akan dampak tindak pidana yang terjadi); e. seek to put right the wrongs (upaya dalam memperbaiki kesalahan). Tujuan utama implementasi keadilan restoratif adalah untuk memberikan hak-hak pada korban kejahatan.14 Proses tersebut dilakukan sepenuhnya untuk mencegah pengulangan tindak pidana.15 Maka dari itu, timbul urgensi untuk mempertemukan korban dengan pelaku untuk mengadakan musyawarah dan mencari kesepakatan terbaik bagi kedua belah pihak. UU SPPA juga mengakomodasi proses penyelesaian pidana anak melalui jalur diversi. Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) UU SPPA, diversi merupakan proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana menjadi proses diluar peradilan pidana. UU SPPA mengamanatkan bahwa upaya diversi sudah harus diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri.16 Proses diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; serta, menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. Penerapan keadilan restoratif dan sistem diversi pada UU SPPA bertujuan untuk menghindarkan anak dari stigmatisasi tertentu serta membantunya kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.17
Rien Uthami Dewi, “Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Dikaitkan dengan Hukuman Tindakan Pada Putusan No. 08/PID. Anak/2010/PN.JKT.SEL,” (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2011), hlm. 41. 15 Ibid., hlm 45. 16 Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Ps. 7. 17 Tri Jata Ayu Pramesti, “Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/hal-hal-penting-yang-diatur-dalam-uu-sistemperadilan-pidana-anak-lt53f55d0f46878, diakses 13 April 2022. 14
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
126
United Nation Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) menjelaskan bahwa penindakan terhadap ABH dapat secara efektif dilakukan dengan melibatkan anak pada kegiatan pelayanan sosial tertentu (diversi berbasis komunitas).18 Proses diversi dilakukan dengan melibatkan anak dan orang tua atau walinya, korban dan orang tua atau walinya, pembimbing kemasyarakatan, serta pekerja sosial profesional. Hal tersebut tentunya dilakukan tanpa paksaan dan berdasarkan persetujuan anak. Penanganan sistem diversi juga dapat ditindaklanjuti dengan memberikan restitusi dan kompensasi bagi korban tindak pidana.19 Instrumen hukum lainnya yang melengkapi petunjuk pelaksanaan diversi adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Musyawarah Diversi (PERMA 4/2014). Tahapan musyawarah diversi dapat dilihat melalui bagan berikut: Gambar 1. Tahapan Musyawarah Diversi
Sumber: diolah penulis berdasarkan Bab III PERMA 4/2014
18 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nation Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (“The Beijing Rules”), para. 11. 19 Ibid.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
127
Implementasi konsep keadilan restoratif melalui mekanisme diversi merupakan upaya dalam memprioritaskan kesejahteraan anak dalam proses penyelesaian perkara yang dilaluinya. Pendekatan kesejahteraan pada proses peradilan anak didasari oleh dua faktor, yaitu: a. seorang anak dianggap belum memahami secara jelas kesalahan yang diperbuatnya sehingga pantas untuk diberi pengurangan hukuman serta pembedaan hukuman dan pemberian hukuman bagi orang dewasa; serta b. anak-anak berpotensi untuk lebih mudah dibina dan disadarkan atas perbuatan yang telah dilakukannya.20 D. Mengenal Kejahatan Jalanan “Klitih” Klitih sendiri dulu merupakan bentuk kata ulang, yaitu klithah-klithih yang bermakna berjalan bolak-balik yang merupakan suatu aktivitas keluar malam yang dilakukan oleh anak muda sambil mencari kegiatan untuk mengatasi kepenatan selama beraktivitas dari pagi hingga sore tanpa memiliki arti yang negatif.21 Namun, belakangan ini istilah ini mengalami perubahan makna menjadi kata yang dipakai untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas seperti pencurian, penganiayaan, bahkan pelecehan yang dilakukan pada malam hari. Fenomena tersebut dikaitkan dengan remaja yang memiliki berbagai permasalahan dalam kehidupannya sehingga mendapat pengaruh buruk akibat pergaulan yang salah dalam lingkungannya dan mengekspresikan kegelisahannya tersebut dengan cara yang merugikan masyarakat. Selain itu, anak dibawah umur melakukan aksi klitih juga disebabkan karena adalah adanya suatu permasalahan dalam diri pada anak di bawah umur tersebut yang disebabkan oleh minimnya perhatian dari keluarga maupun sekolah baik secara jasmani ataupun rohani.22 Kasus klitih memang bukan hal yang baru di Indonesia dimana dalam beberapa tahun terakhir banyak terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Salah
20
Rien Uthami Dewi, “Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak,” hlm.
46. Maya Citra Rosa, “Apa Arti Klitih dan Bagaimana Asal-usulnya? Meresahkan Warga Yogyakarta,” https://www.kompas.com/wiken/read/2022/04/09/174500181/apa-arti-klitih-danbagaimana-asal-usulnya-meresahkan-warga-yogyakarta, diakses 20 April 2022. 22 Virdita Ratriani, “Apa itu Klitih di Yogyakarta? Ini Makna Asli dan Asal-usulnya,” https://caritahu.kontan.co.id/news/apa-itu-klitih-di-yogyakarta-ini-makna-asli-dan-asal-usulnya, diakses 20 April 2022. 21
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
128
satunya adalah kasus yang terjadi pada tanggal 7 Juni 2020 empat pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Yogyakarta menderita luka-luka serius setelah dikejar dengan 3 motor sehingga terjatuh serta dipukul dengan helm dari belakang oleh rombongan remaja tidak dikenal tersebut. Tindakan klitih itu terjadi di dua lokasi yang berbeda. Pertama di Jalan Besole Baru, Panggungan, Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Kedua, di Jalan Jambon Timur Gereja Lidwina Bedog, Desa Trihanggo, Gamping, Sleman. Menurut saksi pelaku dipercaya merupakan anak-anak SMP yang tidak memiliki permasalahan ataupun kenal dengan korban. 23 Belakangan ini, kembali terjadi di Yogyakarta. Pada kasus terbaru, seorang remaja sekolah menengah atas (SMA) berusia 18 tahun menjadi korban klitih pada Minggu, 3 April 2022. Korban dari tindakan klitih tersebut bernama Daffa Adzin Albasith yang meninggal dunia akibat sabetan senjata tajam di daerah Gedongkuning. Munculnya kasus tersebut tentu membuat masyarakat menjadi semakin waspada saat melakukan aktivitas pada malam hari dan hanya dilakukan apabila keadaan sangat mendesak sebab ancaman klitih selalu menghantui mereka. Oleh karena itu diperlukan aturan yang lebih tegas dan pengawasan yang lebih agar tindakan klitih tidak terjadi lagi khususnya kriminalitas yang dilakukan oleh anak dibawah umur di masa yang akan datang.24
2.2. Status Quo dan Permasalahan Penanganan Tindak Pidana Anak pada Kasus Klitih Aksi Klitih dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan.25 M. H.
Tirtaamidjaja
mendefinisikan
penganiayaan
sebagai
dengan
sengaja
menyebabkan sakit atau luka pada orang lain.26 Berdasarkan Kitab Undang-Undang 23 Ridwan Anshori, “ Aksi Klitih Siang Bolong Pelajar SMP di Yogyakarta,” https://www.tagar.id/aksi-klitih-siang-bolong-pelajar-smp-di-yogyakarta, diakses 9 Juni 2022.
Ulfa Arieza, “Apa Itu Klitih di Yogyakarta? Berikut Asal-usulnya,” https://travel.kompas.com/read/2022/04/06/051627827/apa-itu-klitih-di-yogyakarta-berikut-asalusulnya?page=all, diakses 20 April 2022. 25 Bernadetha Aurelia Oktavira, “Jerat Huku bagi Pelaku ‘Klitih’ di Yogyakarta,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/jerat-hukum-bagi-pelaku-klitih-di-yogyakartalt5e3d2d9f5f3a7, diakses 25 April 2022. 26 Dinar Pradana Sugiantoro Putra, “Analisis Yuridis Pemidanaan dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Luka Berat,” (Skripsi Sarjana Universitas Jember, Jember, 2020), hlm. 12. 24
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
129
Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana penganiayaan diatur berdasarkan Pasal 351 KUHP yang berbunyi: 1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. 3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7
tahun. 4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Merujuk pada doktrin, penganiayaan memiliki beberapa unsur.27 Pertama, kemampuan bertanggung jawab. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Hal tersebut secara implisit menyatakan bahwa setiap warga negara yang melakukan pelanggaran atas hukum yang berlaku dapat dikenai hukuman atas tindakan yang dilakukannya.28 Maka dari itu, anak dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. UU SPPA mengakomodir pertanggungjawaban pidana anak melalui pengenaan sanksi tindakan maupun sanksi pidana yang dilakukan berdasarkan sistem keadilan restoratif. Kemudian Pasal 45 KUHP juga menjelaskan mengenai penuntutan anak yang belum umur 16 tahun. Anak tetap dapat dimintai pertanggung jawaban, namun hakim dapat memerintahkan supaya anak dikembalikan pada orang tua atau walinya tanpa dikenai pidana atau menjatuhkan pidana pada si anak. Kedua, adanya kesengajaan. Dalam beberapa kasus, pelaku yang masih berstatus sebagai pelajar memiliki motif dasar melakukan tindakan klitih untuk melakukan tawuran antar kelompok.29 Pelaku juga kedapatan membawa senjata
27
Ibid., hlm. 12. Devi Mardiana dan Oci Senjaya, “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan berdasarkan Sistem Peradilan Pidana Anak,” Jurnal Kertha Semaya 9 (2021), hlm. 302. 29 Pradito Rida Pertana, “6 Pelajar Hendak Tawur di Bantul Diciduk, Polisi Sita CeluritPedang,” https://www.detik.com/jateng/hukum-dan-kriminal/d-6027398/6-pelajar-hendak-tawurdi-bantul-diciduk-polisi-sita-celurit-pedang, diakses 6 Mei 2022. 28
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
130
tajam untuk persiapan tawuran.30 Drs. Soeprapto, kriminolog Universitas Gadjah Mada, melihat adanya perkembangan organisasi klitih.31 Organisasi tersebut bermula dari pelajar yang duduk di bangku SMA, kemudian melibatkan para alumni dengan dalih menjaga solidaritas almamater.32 Ketiga, adanya perbuatan. Aksi klitih umumnya dilakukan oleh pelaku melalui tindakan penganiayaan yang menyebabkan luka berat hingga kematian pada korban. Lebih lanjut, aksi klitih juga dilakukan dalam bentuk vandalisme, pengeroyokan, pengrusakan fasilitas umum, miras, tawuran, dan sebagainya.33 Aksi klitih umumnya dilakukan dilakukan setelah pulang sekolah atau pada malam hari di jalan atau tempat yang sepi.34 Keempat, adanya akibat perbuatan yang dituju. Drs. Soeprapto, kriminolog Universitas Gadjah Mada, menyebutkan bahwa salah satu tujuan dilakukannya aksi klitih adalah pencarian eksistensi oleh kelompok remaja.35 Pada umumnya, korban aksi klitih bukan merupakan sasaran acak, melainkan menyasar pada siapapun yang merupakan bagian dari kelompok musuh sasaran.36 Hal ini berkaitan dengan salah satu konsep teknik netralisasi, yaitu appeal to higher loyalties di mana remaja pelaku klitih memiliki keterikatan tertentu dengan kelompok pertemanannya sehingga mempertimbangkan kehendak kelompok untuk menunjukkan eksistensi mereka. Apabila kasus klitih menggunakan pemidanaan sesuai Pasal 351 ayat (2) atau ayat (3), maka keduanya berpotensi untuk dilakukannya penanganan kasus melalui sistem diversi. Berdasarkan Pasal 7 UU SPPA, diversi dapat dilakukan pada tindak pidana yang memenuhi dua kondisi, yaitu (1) diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun dan (2) bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Pemidanaan 30
Ibid. BBC News, “Klitih: Bagaimana pertikaian antar-pelajar berkembang menjadi kejahatan jalanan yang terus berulang?” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61034504, diakses 6 Mei 2022. 32 Ibid. 33 Irna Dwi Septiani dan Mukhtar Zuhdy, “Penerapan Hukum Pidana terhadap Perbuatan Klitih yang Disertai Kekerasan di Wilayah Hukum Kabupaten Bantul,” Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology 1 (2020), hlm. 111. 34 Ibid., hlm. 11. 35 Kartika Situmorang, Najua Febrian Rachmawati, dan Aldyth Nelwan Airlangga, “Miskonsepsi Masyarakat Mengenai Klitih di Yogyakarta,” https://www.balairungpress.com/2020/11/miskonsepsi-masyarakat-mengenai-klitih-diyogyakarta/, diakses 6 Mei 2022. 36 Ibid. 31
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
131
kasus klitih oleh pelaku anak berdasarkan UU SPPA juga mengurangi hukuman pelaku anak sebanyak ½ (satu perdua) dari hukuman pelaku dewasa. Sistem diversi dan pengurangan porsi hukuman yang diterapkan pada penyelesaian kasus klitih membawa kecenderungan aparat penegak hukum (APH) untuk enggan melakukan penyelidikan terhadap kasus klitih karena pemidanaan yang dinilai ringan.37 Data Pengadilan Negeri Kota Jogja menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2021 terdapat 15 perkara jalanan yang dibawa ke ranah pengadilan, 10 diantaranya merupakan kasus klitih.38 Rata-rata kasus mendapat ancaman pemidanaan dua hingga tiga tahun penjara.39 Dalam beberapa putusan pengadilan, pelaku anak dikenai Pasal 170 ayat (1) maupun ayat (2) KUHP. Pola tersebut kemudian diketahui dan disalahgunakan oleh para pelaku dengan memahami dan menjadi UU SPPA sebagai tameng pelaku tindak pidana anak dalam melakukan kejahatan dalam bentuk apapun.40 Pemidanaan ringan pada kasus klitih juga memicu terjadinya pengulangan tindak pidana (residivis). Pengadilan Negeri Yogyakarta mencatat bahwa hingga tahun 2022 terdapat tujuh perkara kejahatan jalanan yang masuk ke pengadilan.41 Satu kasusnya merupakan kasus klitih yang bersifat residivis. Pelaku tersebut terlibat dalam kelompok penganiaya tapi tidak sebagai penganiaya sehingga mendapat pembebasan bersyarat.42 Residivis terjadi ketika seseorang melakukan tindak pidana dan karena itu dijatuhkan pidana padanya, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu (1) sejak setelah pidana tersebut dilaksanakan seluruhnya atau sebagian; atau (2) sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan; atau (3) apabila kewajiban menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa; pelaku yang sama
Aryo Putranto Saptohutomo, “Menyoal Aksi Klitih dan Dilema Penegakan Hukum,” https://nasional.kompas.com/read/2022/04/08/09170011/menyoal-aksi-klitih-dan-dilemapenegakan-hukum-?page=all, diakses 3 Mei 2022. 38 Yosef Leon, “Pelaku Klitih Banyak yang Telah Diadili, Tapi Hukumannya Hanya 3 Tahun,” https://www.solopos.com/pelaku-klitih-banyak-yang-telah-diadili-tapi-hukumannyahanya-3-tahun-1289474, diakses 3 Mei 2022. 39 Ibid. 40 Ibid. 41 Ibid. 42 Ibid. 37
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
132
kemudian melakukan tindak pidana lagi.43 Residivis terjadi setelah anak dijerat kasus klitih dan mendapat pembebasan bersyarat.44 Penyelesaian perkara melalui sistem diversi sejatinya membutuhkan kearifan APH dalam memberikan porsi pemidanaan. Mengenai hal tersebut, teori Oliver Holmes menyatakan bahwa aturan hukum tidak dapat menjadi patokan untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata yang kompleks.45 Ia berpendapat bahwa seorang pelaksana hukum dapat dihadapkan pada dua macam kebenaran, yaitu kebenaran versi aturan hukum dan kebenaran lainnya di luar aturan formal.46 Dalam menghadapi permasalahan konteks riil tersebut, seorang APH harus menggunakan kepekaannya dalam memilih kebenaran yang lebih unggul meski dengan resiko mengalahkan aturan resmi.47
2.3. Studi Komparasi Pengaturan Tindak Pidana Anak di Negara Lain Tindak pidana bagi anak di negara lain tentu bervariasi, salah satunya di semua negara bagian dan teritori Australia menggunakan konsep Doli Incapax yang menetapkan bahwa di mana seorang anak tidak dapat memahami perbedaan antara tindakan yang 'salah besar' dan tindakan yang 'nakal atau tidak bertanggung jawab', mereka tidak dapat ditahan dan dituntut secara pidana oleh hukum yang berlaku atas tindakan yang mereka perbuat. Tentu untuk menilai apakah tindakan seorang anak masuk dalam konsep diatas diperlukan beberapa faktor yang harus dipenuhi tapi dengan cara tersebut terbukti dapat menurunkan kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak di Australia karena anak yang melakukan kesalahan diberikan pelajaran yang setimpal dan korban diberikan ganti rugi yang sesuai sehingga tidak timbul ketidakadilan dalam proses hukum yang berlaku.48
Agustin L. Hutabarat, “Seluk Beluk Residivis,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/seluk-beluk-residivis-lt5291e21f1ae59, diakses 3 Mei 2022. 44 Yosef Leon, “Pelaku Klitih Banyak yang Telah Diadili, Tapi Hukumannya Hanya 3 Tahun,” https://www.solopos.com/pelaku-klitih-banyak-yang-telah-diadili-tapi-hukumannyahanya-3-tahun-1289474, diakses 3 Mei 2022. 45 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia 2016, “Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Penerapan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,” (Jakarta: Percetakan Pohon Cahaya, 2016), hlm. 48. 46 Ibid., hlm. 49. 47 Ibid., hlm. 49. 48 Imam Subaweh Arifin, “Konsep Doli Incapax Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di Masa Depan,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 3 (2021), hlm. 3. 43
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
133
Sedangkan untuk di Indonesia masalah anak yang melakukan tindak pidana dapat dengan mudah dipahami, yakni melanggar pasal-pasal yang diatur dalam KUHP atau peraturan hukum pidana diluar KUHP di mana pada Pasal 71 UU SPPA menempatkan pidana penjara di dalam kelompok pidana pokok pada urutan kelima atau terakhir, yakni sesudah pembinaan dalam lembaga. Ketentuan mengenai pidana penjara diatur dalam Pasal 81 UU SPPA, yaitu: a.
Anak dijatuhi pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.
b.
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
c.
Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
d.
Anak yang telah menjalani ½ (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
e.
Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
f.
Jika tindak pidana yang dilakukan oleh Anak merupakan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.49
Selain itu, kasus semacam klitih yang dilakukan oleh anak dibawah umur bukanlah suatu hal yang awam di negara-negara selain Indonesia, sebagai contoh di Amerika Serikat sebagai negara yang menjamin hak-hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi dalam kehidupan, namun masih sering terjadi kasus penembakan yang dilakukan oleh anak dibawah umur di sekolah atau lingkungan masyarakat yang melibatkan senjata api seperti pistol dan senjata tajam lainnya. Pelaku melakukan pembunuhan kepada teman atau guru yang sedang bertugas di sekolah atau bisa dikatakan disandera hanya dengan alasan yang kurang 49 Nurika Latiff Hikmawati, “Efektivitas Penerapan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana,” Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum 18 (2019), hlm. 78.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
134
jelas.50 Hukuman bagi pelaku pembunuhan terbagi kepada berbagai tingkat di Amerika dengan pidana terberat adalah hukuman mati, pelaku pembunuhan massal dapat dijatuhkan hukuman ini karena termasuk ke dalam tingkat yang paling parah yaitu tingkat satu. Namun, untuk pembunuhan yang dilakukan oleh anak dibawah umur harus melewati tahap yang dikenal dengan dua model dalam proses pemeriksaan perkara pidana (two models of the criminal process) yaitu due process model dan crime control model. Kedua model di atas dilandasi oleh adversary model sehingga hukuman yang jatuh ditentukan dengan sistem juri yang menyatakan apakah hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa dibawah umur dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat.51 Adapula kasus serupa terjadi di daerah Amerika Latin khususnya Brazil, di mana anak dibawah umur dipaksa bekerjasama untuk melakukan kejahatan dalam masyarakat dengan melakukan pencurian barang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi karena tingginya kesenjangan sosial di negara tersebut yang menyebabkan rendahnya pendapatan bagi setiap kepala keluarga di negara tersebut.52 Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur tidak hanya dapat terjadi karena kondisi internal sang anak, melainkan kondisi eksternal secara spesifik dimana dalam keadaan mendesak suatu perbuatan ilegal dianggap menjadi satu-satunya pilihan untuk melanjutkan kehidupan.
2.4. Respons Masyarakat dan Aparat Penegak Hukum terkait Fenomena Klitih yang Terjadi di Yogyakarta Aksi klitih di Yogyakarta pada dasarnya memang sulit untuk dihilangkan begitu saja, perlu adanya respon masyarakat dan juga aparat penegak hukum untuk membantu meminimalisir angka aksi klitih yang dilakukan oleh sekelompok oknum remaja. Menanggapi persoalan tersebut Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X buka suara. Ia mengatakan bahwa harus Nurika Latiff Hikmawati, “Efektivitas Penerapan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana,” Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum 18 (2019), hlm. 73. 51 Soediro, “Perbandingan Sistem Peradilan Pidana Amerika Serikat Dengan Peradilan Pidana di Indonesia,” Jurnal Kosmik Hukum 19 (2019), hlm. 51. 52 Adolfo Sachsida, Mario Mendonça, Paulo Loureiro, dan Maria Gutierrez,’’Inequality and Criminality Revisited: further evidence from Brazil,” Organization for Economic Co-operation and Development (2004), hlm. 5. 50
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
135
ada perhatian khusus bagi para remaja yaitu melibatkan tokoh masyarakat serta agama untuk menyosialisasikan kepada warga tentang pentingnya setiap keluarga untuk mengetahui keberadaan anggota keluarganya. Kedua, yaitu dengan menginisiasi aktivitas-aktivitas yang positif dan bermanfaat bagi remaja serta menggiatkan patroli lingkungan dengan melibatkan potensi linmas dan Jagawarga pada lingkungan masing-masing.53 Selain itu, terdapat upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian, yaitu upaya untuk tindakan preventif dan represif. Tindakan preventif yang dilakukan berbentuk penyuluhan terhadap anak remaja dan masyarakat, pelaksanaan patroli secara rutin, dan peningkatan penanganan terhadap daerah yang rawan akan kejahatan aksi klitih. Tindakan represif yang dapat dilakukan oleh kepolisian adalah melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan aksi klitih dan melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap tersangka untuk diproses melalui penyidikan kasus tersebut.54 Selain itu, pemidanaan terhadap anak harus dapat membawa pengaruh positif kepada anak dengan memberlakukan program-program yang bermanfaat dan
mendukung
perkembangan
anak
di
usia
remaja,
sebagai
contoh
memberlakukan program pelayanan sosial, melatih anak agar terampil dalam melakukan sesuatu, dan juga tetap menyediakan sarana belajar untuk anak. Program ini harus memiliki tujuan agar nantinya anak dapat menjadi pribadi yang lebih baik setelah pemidanaan mereka selesai.
2.5. Dampak Penegakan Hukum yang Kurang Maksimal dalam Kasus Klitih terhadap Masyarakat Tidak ada alasan yang pasti mengapa kasus klitih semakin marak di Yogyakarta dikarenakan banyaknya faktor-faktor yang terikat dengan adanya fenomena klitih. Aksi klitih menyebabkan keresahan pada warga karena semakin berjalannya waktu, kegiatan klitih menjadi suatu kegiatan yang negatif hingga menyebabkan tewasnya seseorang. Terlebih, aksi klitih dilakukan oleh anak yang
Sunartono, “5 Langkah Gubernur DIY Tangani Maraknya Klitih di Yogyakarta”, https://semarang.bisnis.com/read/20220409/535/1521015/5-langkah-gubernur-diy-tanganimaraknya-klitih-di-yogyakarta, diakses 9 Mei 2022 54 Irna Dwi Septiani dan Mukhtar Zuhdy, “Penerapan Hukum Pidana terhadap Perbuatan Klitih”, hlm. 114. 53
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
136
masih dibawah umur di mana masih belum ada penegakan hukum yang sepadan dengan tindakan yang dilakukan oleh para pelaku klitih di bawah umur. Pasal 9 UU SPPA menyatakan bahwa penanganan tindak pidana anak dapat dialihkan menjadi diversi. Untuk aksi klitih, walaupun pelaku telah menimbulkan korban hingga meninggal, diversi masih dapat memungkinkan untuk dilakukan.55 Mengacu pada Pasal 351 ayat (3) KUHP penganiayaan yang menyebabkan kematian pada seseorang akan mendapatkan ancaman pidana 7 (tujuh) tahun, sehingga masih dapat dilakukan diversi sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 7 ayat (2) UU SPPA bahwa diversi dapat dilakukan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun. Menurut penulis, pelaksanaan diversi ini tidak relevan untuk menyelesaikan perkara tindak pidana klitih yang sudah memakan korban, sesuai dengan teori absolut bahwa tindak pidana diperlukan untuk menjadi pembalasan bagi pelaku tindak pidana dan menjadikannya sebagai pelajaran. Remaja perlu untuk mendapatkan pelajaran atau konsekuensi dari segala hal yang sudah dilakukannya sehingga pembentukan karakter dalam remaja dapat terbentuk dengan baik.
2.6. Faktor Penghambat dan Tantangan dari Penyelesaian Kasus Klitih Walaupun sudah ada upaya yang nyata dari pihak kepolisian yang juga didukung dengan kerja sama dari masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa aksi klitih masih dapat terjadi di Yogyakarta. Tantangan dalam menanggulangi klitih dapat dilihat dari sanksi hukum pidana yang masih kurang berat dan juga kurang adil bagi korban, bahkan hingga korban tewas pun dapat dilihat sanksi pidana nya masih belum terasa dapat membuat pelaku mengalami efek jera. Kurangnya sanksi pidana dihubungkan karena aksi klitih rata-rata dilakukan oleh pelaku yang masih dibawah umur. Perlu pertimbangan yang panjang jika tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau tersangka yang masih dibawah umur. Selain itu, faktor kasihan yang diberikan kepada pelaku oleh masyarakat semakin memperjelas hilangnya keadilan yang diberikan kepada korban.
55 Bernadetha Aurelia Oktavira, “Jerat Hukum bagi Pelaku ‘Klitih’ di Yogyakarta,” https://www.hukumonline.com/klinik/a/jerat-hukum-bagi-pelaku-klitih-di-yogyakartalt5e3d2d9f5f3a7, diakses 1 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
137
III.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa permasalahan kriminalitas yang dilakukan oleh anak dibawah umur merupakan permasalahan yang tidak boleh dianggap sebelah mata di Indonesia. Upaya untuk memidana tindak kriminal yang dilakukan oleh anak dibawah umur, khususnya yang menyebabkan seseorang meninggal, harus dipastikan berjalan dengan baik dan mempertimbangkan baikbaik tindak pidana yang telah dilakukan oleh anak dibawah umur. Ketentuan pelaksanaan diversi juga harus diperjelas lagi agar sanksi pidana yang dikenakan pada anak dapat sepadan dengan perbuatan yang telah dilakukannya dan memberikan keadilan bagi pihak korban.56
3.2. Saran Pemerintah dan masyarakat dapat mencari solusi dengan melakukan pembinaan kepada anak-anak sejak dini dan menjaga pergaulan mereka sehingga tidak terjerumus ke lingkungan yang salah salah satunya dengan menciptakan ruang berekspresi yang bebas untuk diakses oleh anak muda dan gratis seperti taman kota yang dapat menjadi wadah bagi anak dibawah umur untuk menyalurkan hobinya dan melakukan interaksi dengan sesamanya dengan positif sehingga diharapkan dapat membangun karakter anak yang dewasa dan dapat memberikan dampak positif bagi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Selain itu, hukuman untuk segala tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur sebaiknya lebih jelas implementasinya agar anak dapat mengambil pelajaran dan enggan untuk berbuat tindak pidana setelahnya.
Yohanes Marino, “Studi Penelusuran Identifikasi Subjek Lacanian Pelaku Klitih”, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, hlm.144. 56
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
138
DAFTAR PUSTAKA BUKU Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia 2016. Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Penerapan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jakarta: Percetakan Pohon Cahaya, 2016. Hlm. 48. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht]. Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: Bumi Aksara,1990.
JURNAL Dwijayanti, Mita. “Diversi Terhadap Recidive Anak.” Rechtsidee 12 (2017). Hlm. 233-244. Dwi Septiani, Irna dan Mukhtar Zuhdy. “Penegakan Hukum Pidana terhadap Perbuatan Klitih yang Disertai Kekerasan di Wilayah Hukum Kabupaten Bantul.” Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology 1 (2020). Hlm. 108-116. Fuadi, Ahmad, Titik Muti’ah, dan Hartoshujono. “Faktor-Faktor Determinasi Perilaku Klitih.” Jurnal Spirits 9 (2019). Hlm. 88-98. Hutahaean, Bilher. “Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak.” Jurnal Al-Yudisial 6 (2013). Hlm. 64-79. Latiff Hikmawati, Nurika. “Efektivitas Penerapan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana.” Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum 18 (2019). Hlm. 71-78. Mardiana, Devi dan Oci Senjaya. “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan berdasarkan Sistem Peradilan Pidana Anak.” Jurnal Kertha Semaya 9 (2021). Hlm. 301-313. Priamsari, Putri A.“Mencari Hukum yang Berkeadilan bagi Anak Melalui Diversi.” Jurnal Law Reform 14 (2018). Hlm. 220-235.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
139
Rafid, Noercholis dan Saidah. “Sanksi Pidana Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Perspektif Fiqih Jinayah.” Jurnal Al-Maiyyah 11 (2018). Hlm. 321-341. Adolfo Sachsida, Mario Mendonça, Paulo Loureiro, dan Maria Gutierrez. “Inequality and Criminality Revisited: further evidence from Brazil.” Organization for Economic Co-operation and Development (2004). Hlm. 119. Subaweh Arifin, Imam. “Konsep Doli Incapax Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di Masa Depan.” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 3 (2021). Hlm. 1-17. Soediro. “Perbandingan Sistem Peradilan Pidana Amerika Serikat Dengan Peradilan Pidana di Indonesia.” Jurnal Kosmik Hukum 19 (2019). Hlm. 4561.
SKRIPSI Pradana Sugiantoro Putra, Dinar. “Analisis Yuridis Pemidanaan dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Luka Berat.” Skripsi Sarjana Universitas Jember, Jember, 2020. Uthami Dewi, Rien. “Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Dikaitkan dengan Hukuman Tindakan Pada Putusan No. 08/PID. Anak/2010/PN.JKT.SEL.” Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2011. W.M. Sagala, Anwar. “Kajian Yuridis Sistem Pemidanaan Edukatif oleh Hakim terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum.” Studi Pada Pengadilan Negeri Putussibau.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia, Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang Musyawarah Diversi. Perma No. 4 Tahun 2014.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
140
Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU No.35 Tahun 2014, LN No. 2014 Tahun 2014, TLN No. 5606. Indonesia. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332.
DOKUMEN INTERNASIONAL Perserikatan Bangsa-Bangsa. UnIted Nation Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (“The Beijing Rules”). INTERNET Arieza, Ulfa. “Apa Itu Klitih di Yogyakarta? Berikut Asal-usulnya.” https://travel.kompas.com/read/2022/04/06/051627827/apa-itu-klitih-diyogyakarta-berikut-asal-usulnya?page=all. Diakses 20 April 2022. Aurelia Oktavira, Bernadetha. “Jerat Hukum bagi Pelaku ‘Klitih’ di Yogyakarta.” https://www.hukumonline.com/klinik/a/jerat-hukum-bagi-pelaku-klitih-diyogyakarta-lt5e3d2d9f5f3a7. Diakses 25 April 2022. Baca Jogja. “Geng Klitih Diduga Beraksi Merusak Mobil di Kulon Progo.” https://bacajogja.id/2022/01/24/geng-klitih-diduga-beraksi-merusakmobil-di-kulon-progo/. Diakses 6 Mei 2022. BBC News. “Klitih: Bagaimana pertikaian antar-pelajar berkembang menjadi kejahatan
jalanan
yang
terus
berulang?.”
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61034504. Diakses 6 Mei 2022. Citra Rosa, Maya. “Apa Arti Klitih dan Bagaimana Asal-usulnya? Meresahkan Warga
Yogyakarta.”
https://www.kompas.com/wiken/read/2022/04/09/174500181/apa-artiklitih-dan-bagaimana-asal-usulnya-meresahkan-warga-yogyakarta. Diakses 20 April 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
141
Erlin, Erfan. “Miris, Sepanjang 2022 JPW Catat ada 12 kali Aksi Klitih di Yogyakarta.”
https://yogya.inews.id/berita/miris-sepanjang-2022-jpw-
catat-ada-12-kali-aksi-klitih-di-yogyakarta. Diakses 11 April 2022. Farhan, Gunanto. “6 Remaja Pelaku Klitih di Yogyakarta Akui Bacok dan Pukuli Pengguna
Jalan
Untuk
Senang-senang.”
https://daerah.sindonews.com/read/642757/707/6-remaja-pelaku-klitih-dijogja-akui-bacok-dan-pukuli-pengguna-jalan-untuk-senang-senang1640797978. Diakses 6 Mei 2022. Idaho Juvenile Justice Commission. “Principles of Restorative Justice.” http://www.ijjc.idaho.gov/restorative-justice/. Diakses 13 April 2022. Jata Ayu Pramesti, Tri. “Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak.”
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hal-hal-penting-
yang-diatur-dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak-lt53f55d0f46878. Diakses 13 April 2022. Leon, Yosef. “Pelaku Klitih Banyak yang Telah Diadili, Tapi Hukumannya Hanya 3
Tahun.”
https://www.solopos.com/pelaku-klitih-banyak-yang-telah-
diadili-tapi-hukumannya-hanya-3-tahun-1289474. Diakses 3 Mei 2022. L.
Hutabarat,
Agustin.
“Seluk
Beluk
Residivis.”
https://www.hukumonline.com/klinik/a/seluk-beluk-residivislt5291e21f1ae59. Diakses 3 Mei 2022. Prihatini, Zintan. “Aksi Klitih Remaja di Yogyakarta Tewaskan Anak Anggota DPRD
Kebumen,
Ini
Kata
Sosiolog.”
https://www.kompas.com/sains/read/2022/04/06/130100723/aksi-klitihremaja-di-yogyakarta-tewaskan-anak-anggota-dprd-kebumen-ini?page=all. Diakses 11 April 2022. Putranto Saptohutomo, Aryo. “Menyoal Aksi Klitih dan Dilema Penegakan Hukum.” https://nasional.kompas.com/read/2022/04/08/09170011/menyoal-aksiklitih-dan-dilema-penegakan-hukum-?page=all. Diakses 3 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
142
Ratriani, Virdita. “Apa itu Klitih di Yogyakarta? Ini Makna Asli dan Asal-usulnya.” https://caritahu.kontan.co.id/news/apa-itu-klitih-di-yogyakarta-ini-maknaasli-dan-asal-usulnya. Diakses 20 April 2022. Rida Pertana, Pradito. “6 Pelajar Hendak Tawur di Bantul Diciduk, Polisi Sita Celurit-Pedang.”
https://www.detik.com/jateng/hukum-dan-kriminal/d-
6027398/6-pelajar-hendak-tawur-di-bantul-diciduk-polisi-sita-celuritpedang. Diakses 6 Mei 2022. Tobing, Letezia. “Apakah Anak yang Melakukan Tindak Pidana Dapat Dihukum Mati?.”
https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-anak-yang-
melakukan-tindak-pidana-dapat-dihukum-mati-lt4f768a60341d9. Diakses 4 Mei 2022. Situmorang, Kartika, Najua Febrian Rachmawati, dan Aldyth Nelwan Airlangga. “Miskonsepsi
Masyarakat
Mengenai
Klitih
di
Yogyakarta.”
https://www.balairungpress.com/2020/11/miskonsepsi-masyarakatmengenai-klitih-di-yogyakarta/. Diakses 6 Mei 2022. Sunartono. “5 Langkah Gubernur DIY Tangani Maraknya Klitih di Yogyakarta”, https://semarang.bisnis.com/read/20220409/535/1521015/5-langkahgubernur-diy-tangani-maraknya-klitih-di-yogyakarta. Diakses 9 Mei 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
143
BIODATA PENULIS
Aulia Safitri atau Aulia merupakan perempuan kelahiran Bekasi, 5 Juni 2002. Aulia sekarang sedang menempuh studi hukumnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia juga aktif sebagai staf di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan staf Capital Market and Securities BLS FHUI 2022. Darren Yosafat Marama Sitorus atau yang sering disapa Darren merupakan pria kelahiran Jakarta, 12 September 2003. Ia merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekaligus menjadi staf di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 dan staf Business Development FPCI Chapter UI Board of 2022. Suci Lestari Palijama merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia kelahiran Depok, 13 April 2003 Suci aktif dalam berbagai kepanitiaan dan organisasi kampus seperti menjadi staf di Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI 2022 serta staf Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FHUI 2022.
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022
119
Volume 1, No.1, Corpus Law Journal LK2 FHUI 2022