Juris Vol. 12, No. 1

Page 117

Volume 12, Nomor 1, Juni 2022

Penanggung Jawab Redaksi

Muhammad Firman

Pemimpin Umum

Nafila Andriana

Wakil Pemimpin Umum Melody Akita Jessica Santoso Pemimpin Redaksi Said Fathurrahman

Wakil Pemimpin Redaksi Darren Yosafat Marama Sitorus Redaktur Pelaksana

Cornellia Desy Natallina Suci Lestari Palijama Nindya Amaris Minar Metta Yoelandani Nisya Arini Damara Ardhika

Staf Redaksi

Aliffia Dwiyana Sekti Aulia Safitri Febrian Ramdan Rafiki Angelica Catherine Edelweis Chelsea Raphael Rajagukguk

Ashilah Claira Yasmin Fadli Nur Iman Hasbullah

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

Venitta Yuubina

ii

Reviewer

Alif Nurfakhri Muhammad, S.H., M.H.

Akademisi Internasional Publik Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Fadia Idzna, S.H., M.H.

Peneliti Center for International Law Studies

Dinda R. Himmah, S.H., LL.M.

Asisten Dosen

Hukum Perdata Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Benedetto Setyo Utomo, S.H.

Asisten Dosen Hukum Internasional Publik Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Metha Ramaditha, S.H., M.H.

Akademisi Hukum Internasional Publik Fakultas Hukum Universitas Indonesia

No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

iii Volume 12,

KATA PENGANTAR TIM REDAKSI

Bidang hukum yang saat ini telah mengalami perubahan seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi masih memerlukan beberapa hal untuk dikaji kembali Mengingat bahwa bidang hukum diharapkan dapat menciptakan suatu ruang yang aman, adil, dan sejahter a bagi masyarakat, maka diperlukan kesesuaian hukum dengan lingkungan dan kondisi yang terjadi di masyarakat saat ini Maka dari itu, diperlukan suatu produk produk hukum yang baru dengan tujuan mengikuti perkembangan yang ada dan menjawab berbagai isu isu yang timbul melalui peran pemerintah, swasta, dan masyarakat. Untuk mengikuti perkembangan dan menjawab berbagai isu yang berada dalam lingkup Hukum Internasional saat ini, suatu entitas harus berkontribusi untuk memberikan pemahaman dan pemikirannya kepada suatu karya yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Bidang Literasi dan Penulisan Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI) menghadirkan Juris sebagai wadah bagi berbagai pihak yang meliputi praktisi, akademisi, dan mahasiswa mahasiswi dalam menuliskan karya hukum. Adanya Juris ini membuka secara luas kepada pihak yang ingin berkontribusi agar dapat menuangkan ide dan pemikirannya sehingga meningkatkan pemikiran kritis akan berbagai peristiwa hukum Internasional yang terjadi. Dengan hadirnya Juris, diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik dengan menambah wawasan para pembaca sehingga menghasilkan inspirasi untuk menciptakan berbagai produk produk hukum lainnya.

Sekian kata pengantar yang kami berikan, kami seluruh Tim Redaksi mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dan turut membantu dalam proses penyusunan jurnal hukum "Juris" ini. Kami seluruh Tim redaksi membuka diri untuk menerima berbagai kritik dan masukan yang dapat membangun serta menjadikan Juris sebagai wadah yang lebih baik untuk edisi selanjutnya. Kami memiliki harapan agar Juris dapat menjadi acuan dan bermanfaat kepada para pihak terutama para pembaca, mahasiswa mahasiswi, dan negara agar dapat menggali ilmu serta wawasan yang lebih luas pada masa yang akan datang.

Selamat Membaca, Tim Redaksi Juris

iv Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

EKSEKUTIF LK2 FHUI 2021

Assalammualaikum Wr.Wb, Shalom, Om Swastiastu, salam sejahtera dan salam kebagsaan bagi semua.

Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ("LK2 FHUI") merupakan sebuah lembaga kemahasiswaan yang menjadi organisasi kemahasiswaan yang bergerak untuk menjadi lembaga think tank kemahasiswaan di FHUI. Bentuk sumbangsih yang jelas dan konkrit dari LK2 FHUI adalah program kerja Juris yang menjadi manifestasi darih keilmuan mahasiswa FHUI untuk inspirasi dan pengetahuan bagi FHUI, UI, dan Indonesia. LK2 FHUI mengapresiasi setiap kinerja Bidang Literasi dan Penulisan LK2 FHUI yang telah bekerja keras dan berusaha yang terbaik bagi kemajuan organisasi. Kami juga mengucapkan selamat dan terima kasih kepada segenap penulis yang telah dengan terampil dan mumpuni menorehkan tulisannya dalam Juris ini. Semoga perkembangan ilmu hukum dapat diawali dengan setiap petikan argumen dari setiap tulisan di Juris dalam rangka memberikan cerminan masa depan hukum Indonesia yang semakin membaik. Terakhir dari kami, tetaplah berpikir dan kritis sebagaimana petikan latin Cogito Ergo Sum.

v Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI SAMBUTAN DIREKTUR

Reviewer iii

KATA PENGANTAR TIM REDAKSI iv

SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2 FHUI 2021 v

KEWAJIBAN NEGARA DALAM PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT

MENURUT HUKUM INTERNASIONAL: ANALISIS POTENSI PELANGGARAN PRINSIP NON REFOULEMENT DALAM KEBIJAKAN IMIGRASI POLANDIA TERHADAP PENCARI SUAKA DARI TIMUR TENGAH DI PERBATASAN POLANDIA BELARUSIA 1

GAGASAN JUDICIAL PREVIEW TERHADAP UU RATIFIKASI PERJANJIAN

INTERNASIONAL DALAM RANGKA PEMBARUAN HUKUM DI INDONESIA 42

PELARANGAN EKSPOR MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA OLEH UNI EROPA AKIBAT RENEWABLE ENERGY DIRECTIVE II BERDASARKAN HUKUM

PERDAGANGAN INTERNASIONAL 69

PERAN KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ATAS PENYELESAIAN KASUS

PELANGGARAN HAM BERAT DALAM PRAKTIK HUKUM INTERNASIONAL (STUDI TERKAIT KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI INDONESIA) 87

PERBANDINGAN ANTARA PRINSIP PRINSIP KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL MENURUT UNIDROIT DAN CISG DENGAN ASAS ASAS HUKUM PERJANJIAN MENURUT BURGERLIJK WETBOEK VOOR INDONESIE (BW) SERTA

IMPLEMENTASINYA 111

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

vi Volume
DAFTAR ISI

KEWAJIBAN NEGARA DALAM PENERAPAN PRINSIP NON-REFOULEMENT

MENURUT HUKUM INTERNASIONAL: ANALISIS POTENSI PELANGGARAN

PRINSIP NON-REFOULEMENT DALAM KEBIJAKAN IMIGRASI POLANDIA

TERHADAP PENCARI SUAKA DARI TIMUR TENGAH DI PERBATASAN

POLANDIA-BELARUSIA

Athallah Zahran Ellandra

Fakultas Hukum Universitas Indonesia zahranathallah19@gmail.com

Fahira Nauradhia Arifin

Fakultas Hukum Universitas Indonesia fahiraarifin@gmail.com

Qonita Syahfitri Meizarini Zulkarnaini

Fakultas Hukum Universitas Indonesia qonitasyahfitri@gmail.com

Abstrak

Pemerintah Polandia menerapkan kebijakan imigrasi yang melegalkan pengusiran pencari suaka dari Timur Tengah di perbatasan Polandia Belarusia. Padahal, dalam Refugee Convention dikenal prinsip non refoulement yang melarang negara untuk mengusir atau mengembalikan pencari suaka ke wilayah dimana kehidupannya akan terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan prinsip non refoulement dalam kebijakan imigrasi Polandia terhadap pencari suaka dari Timur Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Polandia gagal menjalankan kewajibannya menurut hukum internasional dalam menerapkan prinsip non refoulement terhadap pencari suaka Timur Tengah di perbatasan Polandia Belarusia berdasarkan Refugee Convention.

Kata Kunci: Kebijakan Imigrasi, Kewajiban Negara, Non refoulement, Pencari Suaka, Polandia.

FHUI

1 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2

STATE RESPONSIBILITY IN APPLYING THE NON REFOULEMENT PRINCIPLE UNDER THE INTERNATIONAL LAW: ANALYSIS ON THE POTENTIAL VIOLATIONS OF THE NON REFOULEMENT PRINCIPLE IN POLAND'S IMMIGRATION POLICY AGAINST ASYLUM SEEKERS FROM THE MIDDLE EAST AT THE POLAND BELARUSIAN BORDER

Abstract

The Polish government implemented an immigration policy that legalized the expulsion of asylum seekers from the Middle East on the Polish Belarusian border. In fact, the Refugee Convention recognizes the principle of non refoulement which prohibits states from expelling or returning asylum seekers to areas where their lives will be threatened. This research aims to examine the application of the principle of non refoulement in Poland's immigration policy towards asylum seekers from the Middle East. The research method used is the normative juridical approach. The results showed that Poland failed to fulfill its obligations under international law in applying the principle of non refoulement to Middle Eastern asylum seekers at the Poland Belarus border based on the Refugee Convention. Keywords: Immigration Policy, State Responsibility, Non refoulement, Asylum Seekers, Poland.

2 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketika berbagai kalangan menyebut krisis Ukraina sebagai krisis kemanusiaan terbesar yang dialami Eropa setelah bertahun tahun lamanya, perlu diingat bahwa sejak 2021 Eropa juga menghadapi krisis kemanusiaan lainnya, yakni permasalahan terkait pencari suaka dari negara negara Timur Tengah di perbatasan Polandia Belarusia. Penyebab krisis pengungsi ini sebenarnya secara tidak langsung didorong oleh pengenaan sanksi oleh Uni Eropa (“UE”) terhadap Belarusia.1 Meski Presiden Belarusia Alexander Lukashenko membantah bahwa Belarusia mendorong pencari suaka untuk datang dan menggunakan perbatasan Belarusia untuk memasuki Eropa, tetapi kenyataannya terdapat perubahan kebijakan migrasi di Belarusia yang memudahkan pencari suaka di Belarusia agar dapat masuk ke Eropa, yaitu dengan dibuatnya kebijakan bebas visa selama satu bulan untuk 76 negara di dunia.2 Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Belarusia, pemerintah Polandia merespon dengan mengeluarkan kebijakan baru mengenai migrasi dan pencari suaka yang ingin memasuki wilayahnya. Namun, berbeda dengan respon yang diberikan kepada pencari suaka Ukraina yang diterima secara positif, Polandia mengeluarkan kebijakan yang melarang pencari suaka memasuki perbatasan Polandia Belarusia dengan cara mengizinkan petugas perbatasan untuk mendorong kembali pencari suaka yang masih mencoba memasuki Polandia, yakni melalui

Regulation of the Minister of the Interior and Administration of August 20, 2021 yang mengubah Regulation on Temporary Suspension or Restriction of Border Traffic at Certain Border Crossings (“MSWiA Regulation”) 3 Hal ini tentu tidak sesuai dengan kebijakan pencari suaka yang dicanangkan oleh UE. Di sisi lain, Belarusia juga terus memaksa para pencari suaka untuk melanjutkan aksinya memasuki perbatasan

1 Akbar Yudha Susila,“Poland’s Double Standard Response on Ukraine and Belarus Poland Border Refugee Crisis” https://kontekstual.com/polands double standard response on ukraine and belarus poland border refugee crisis/, diakses 27 Juli 2022.

2 BBCNews,“BelarusBorderCrisis:HowAreMigrants Getting There?” https://www.bbc.com/news/59233244, diakses 27 Juli 2022.

3 Sarah Huemer, “Polish Parliament Approves Law for Migrant Pushbacks at Belarus Border”, https://www.politico.eu/article/polish parliament approved law for migrant pushbacks at the border/, diakses 27 Juli 2022.

3 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

Polandia secara legal maupun ilegal.4 Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan para pencari suaka harus terjebak dan bertahan hidup di daerah perbatasan Polandia Belarusia

Dalam kerangka hukum internasional, hak dan kewajiban negara terkait pengungsi diatur dalam Convention relating to the Status of Refugees 1951(“Refugee Convention”) beserta protokolnya yakni Protocol Relating to the Status of Refugees (“Protokol 1967”). Prinsip pokok dalam konvensi ini yang menjadi salah satu kewajiban negara terhadap pengungsi adalah prinsip non refoulement, dimana negara dilarang untuk mengembalikan (refoulement) seseorang yang mencari perlindungan internasional ke negara lain yang mana kehidupannya akan terancam. Selain Refugee Convention, prinsip non refoulement juga dijelaskan dalam European Convention on Human Rights (“ECHR”) dan International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”). Polandia sendiri adalah salah satu negara anggota dari Refugee Convention, sehingga Polandia pada hakikatnya wajib menaati prinsip non refoulement, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 Refugee Convention Namun, dalam prakteknya, Polandia sempat melanggar prinsip non refoulement, yang mana pelanggaran itu diputuskan oleh European Court of Human Rights (“ECtHR”) dalam kasus D.A Others v. Poland pada 2021. Dalam kasus ini, pada Juli 2017 tiga orang Warga Negara Suriah dengan inisial DA, MA, dan SK ingin memasuki Polandia melalui perbatasan Polandia Belarusia namun ditolak oleh otoritas Polandia serta diusir kembali ke Belarusia.5 Karena hal tersebut, ketiga orang itu menggugat Polandia ke ECtHR dan memohon ECtHR dapat menggunakan Rule 39 of the Rules of Court of ECtHR untuk memerintahkan Polandia agar tidak mengusir ketiga orang ini dari perbatasan Polandia-Belarusia.6 Adapun Majelis Hakim dalam kasus ini berpendapat bahwa ketentuan dari hukum UE, utamanya dalam Schengen Borders Code dan Asylum Procedure Directive, telah mengakui keberlakuan prinsip non refoulement, dan berlaku juga bagi setiap orang yang harus menjalankan pemeriksaan di perbatasan negara negara anggota UE.7 Sehingga, di

4 Lorenzo Tondo, “In Limbo: The Refugees Left on the Belarusian Polish Border A Photo Essay”,https://www.theguardian.com/global development/2022/feb/08/in limbo refugees left on belarusian polish border eu frontier photo essay, diakses 27 Juli 2022.

EuropeanCourtofHumanRights,“CaseofD.A.andOthersv. Poland (Facts of the Case),”22 November 2021, hlm. 2.

Ibid., hlm. 3.

Ibid., hlm. 16.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

4
5
6
7

bawah Schengen Borders Code, Polandia seharusnya tidak perlu mengirim DA, MA, dan SK kembali ke Belarusia jika permohonan perlindungan internasional mereka telah diterima dan ditinjau dengan baik.8 Pada akhirnya, Majelis Hakim mengeluarkan putusannya pada 8 Juli 2021, yang menyatakan bahwa Polandia telah melanggar Pasal 3 Refugee Convention dan Dibawah Rule 39 of the Rules of Court, Polandia tidak diperbolehkan untuk memulangkan DA, MA, dan SK ke Belarus hingga putusan ini bersifat final.9

Oleh karena itu, kami tertarik untuk mengkaji pengaturan mengenai pengungsi dan pencari suaka menurut hukum internasional, pengaturan mengenai prinsip non refoulement menurut hukum internasional, dan pelanggaran Polandia terhadap prinsip non refoulement dalam kebijakan nasionalnya terhadap pencari suaka Timur Tengah di perbatasan Polandia Ukraina.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan mengenai pengungsi dan pencari suaka menurut hukum internasional?

2. Bagaimana pengaturan mengenai prinsip non refoulement menurut hukum internasional?

3. Apakah kebijakan Polandia terhadap pencari suaka Timur Tengah di perbatasan Polandia Belarusia melanggar prinsip non refoulement?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Polandia melaksanakan kewajiban negaranya dalam menerapkan prinsip non refoulement terhadap pencari suaka Timur Tengah di perbatasan Polandia Belarusia.

1.4 Metode Penelitian

Penyusunan jurnal ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan cara melihat dari sisi yuridis normatif. Penelitian hukum normatif ini mencakup penelitian

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

5
8 Ibid 9 Ibid

terhadap asas asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum baik vertikal maupun horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.10 Pengumpulan data dalam penyusunan jurnal ini menggunakan teknik studi kepustakaan yang merupakan metode pengumpulan data melalui data tertulis dengan menggunakan konten analisis.11 Oleh karena itu, karakteristik utama dalam melakukan penelitian ini terletak pada sumber data yang digunakan, yaitu sumber data sekunder, yang berupa bahan hukum primer seperti konvensi konvensi internasional dan yurisprudensi/putusan pengadilan internasional, serta bahan hukum sekunder berupa buku buku teks, kamus kamus hukum, jurnal jurnal hukum, dan komentar komentar atas konvensi internasional & putusan pengadilan internasional.

II. PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Pencari Suaka dan Pengungsi

2.1.1 Pencari Suaka

Dikutip dari buku Refugees: A Short Introduction, pencari suaka dapat diartikan sebagai seseorang yang telah melarikan diri dari negara asalnya dan mencari perlindungan dari penganiayaan atau konflik di negara lain sebagai pengungsi yang diakui.12 Menurut Black’sLawDictionary, pencari suaka (asylee) didefinisikan sebagai“A refugee applying for asylum”.13 UNHCR memberikan definisi pencari suakasebagai“person whose application for refugee status is being processed according to the asylum procedure or who are otherwise registered as asylum seekers”.14

Istilah pencari suaka belum didefinisikan secara tegas di dalam konvensi internasional. Pada esensinya, pencari suaka dapat diartikan sebagai seseorang yang mencari perlindungan internasional.15 Secara praktik, pencari suaka merupakan status keimigrasian yang diatur oleh negara dalam hukum nasional, yang merujuk pada status seseorang yang telah mendaftar secara formal kepada pihak berwenang untuk diberikan perlindungan dari negara tersebut dan berstatus sebagai pengungsi.16 Hak mencari suaka dalam hukum internasional dapat ditemukan dalam Pasal

14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menjamin bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencari dan mendapatkan suaka di negara lain atas dasar

10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 1985), hlm. 43.

11 Ibid.

12Gil Loescher, Refugees: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2021), cet. 1, hlm. 31.

13 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Saint Paul: Thomson Reuters, 2009), cet. 9, hlm. 144.

14 UNHCR, Global Report 2004: Achievements and Impact, (s.l.: s.n., s.a.), hlm. 45.

15 Frances Nicholson dan Judith Kumin, A Guide to International Refugee Protection and Building State Asylum System, (s.l.: Inter Parliamentary Union and the UNHCR, 2017), hlm. 17.

Ibid.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

6
16

melindungi dirinya dari pengejaran.17 Namun, hak tersebut dikecualikan dari orang yang dikejar karena kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar PBB.18 2.1.2 Pengungsi

Black’s Law Dictionary mendefinisikan pengungsi sebagai “A person who flees or is expelled from a country, especially because of persecution, and seeks haven in another country.”19 Untuk diakui sebagai pengungsi, seseorang harus memenuhi unsur adanya rasa takut yang beralasan akan dianiaya jika dikembalikan ke negara asal atau tempat tinggalnya.20 Hal ini sesuai dengan definisi pengungsi yang dikemukakan dalam Pasal 1 huruf A Refugee Convention, yang menyatakan sebagai berikut:21 “

For the purposes of the present Convention, the term "refugee" shall apply to any person who: owing to well founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.” Pasal tersebut memberikan beberapa kriteria bagi seseorang untuk dapat dikategorikan sebagai pengungsi, yakni:22

1. Seseorang yang memiliki ketakutan yang beralasan akan penganiayaan

Terkait cakupan dari unsur “penganiayaan”, meskipun tidak ada definisi umum yang tersedia, UNHCR telah mengidentifikasi beberapa kategori umum situasi yang dapat dianggap sebagai penganiayaan. Adapun kategori umum tersebut diantaranya yaitu:23

UNGeneralAssembly,“Universal Declaration of Human Rights,” https://www.refworld.org/docid/3ae6b3712c.html, diakses 22 Juli 2022.

Ibid.

A. Garner, Black’s Law Dictionary, (Saint Paul: Thomson Reuters, 2009), cet. 9, hlm. 1394

Frances Nicholson dan Judith Kumin, A Guide to International Refugee Protection and Building State Asylum System, (s.l.: Inter Parliamentary Union and the UNHCR, 2017), hlm. 132.

Perserikatan Bangsa Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm. 137, Ps. 1 huruf A.

International Commission of Jurists, Migration and International Human Rights Law, (Geneva: International Commission of Jurists, 2014), hlm. 56.

Ibid, hlm. 57.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

7
17
18
19 Bryan
20
21
22
23

a. ancaman terhadap kehidupan atau kebebasan karena karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial, atau pendapat politik;

b. pelanggaran serius lainnya terhadap hak asasi manusia karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial, atau pendapat politik;

c. diskriminasi yang mengarah pada akibat yang secara substansial bersifat merugikan bagi orang yang bersangkutan, seperti pembatasan pada hak untuk mencari nafkah, hak untuk menjalankan agamanya, atau akses ke fasilitas pendidikan yang biasanya tersedia;

d. tindakan diskriminatif yang tidak sama dengan penganiayaan, tetapi yang menghasilkan, dalam pikiran orang yang bersangkutan, perasaan khawatir dan tidak aman sehubungan dengan keberadaannya di masa depan;

e. penuntutan pidana atau ketakutan akan hal itu atas salah satu alasan yang tercantum dalam definisi pengungsi atau hukuman yang berlebihan atau ketakutan akan hal itu atas suatu tindak pidana. Penganiayaan yang dimaksud disini dapat terkait dengan tindakan yang dilakukan oleh negara, juga dapat berasal dari agen agen non negara, seperti kelompok bersenjata, kelompok kriminal, anggota keluarga atau populasi umum, di mana negara tidak dapat atau tidak mau memberikan perlindungan.

2. Penganiayaan harus karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu atau pendapat politik Penganiayaan yang dikhawatirkan harus memiliki hubungan sebab akibat dengan salah satu dari 5 (lima) alasan: ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik. Dalam kasus kasus tertentu, tidak dimungkinkan untuk menetapkan maksud

Juris LK2 FHUI

8 Volume 12, No. 1, 2022
24
24 Frances Nicholson dan Judith Kumin, A Guide to International Refugee Protection and Building State Asylum System, (s.l.: Inter Parliamentary Union and the UNHCR, 2017), hlm. 132.

atau motif pelaku, sehingga hal tersebut tidak menjadi prasyarat.25 Fokusnya adalah pada keadaan yang dikhawatirkan dari pencari suaka dalam konteks negara secara keseluruhan. Selain itu, kelima alasan tersebut cukup dijadikan faktor relevan yang berkontribusi terhadap penganiayaan, dan tidak perlu menjadi penyebab utama atau penyebab satu satunya.26

3. Orang tersebut harus berada di luar negara kebangsaannya atau, jika tidak berkewarganegaraan, di luar negara tempat tinggalnya sebelumnya;

4. Orang tersebut harus tidak mampu atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu untuk dirinya sendiri.

Selain dari yang disebutkan di atas, ketentuan mengenai cakupan dari istilah pengungsi juga termuat dalam Pasal 1 huruf C hingga huruf F yang mengatur mengenai pengecualian pengecualian istilah tersebut yaitu diantaranya adalah orang yang telah bersedia untuk mendapatkan perlindungan negara asalnya kembali,27 telah melakukan kejahatan perang,28 telah bersalah atas tindakan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip PBB,29 dan lain lain.

Pada esensinya, orang yang diakui sebagai pengungsi adalah individu yang telah melarikan diri dari penganiayaan dan konflik di negara asalnya dan tidak lagi menikmati perlindungan hukum yang diberikan kepada warga negara suatu negara.30 Refugee Convention sebagai instrumen hukum internasional utama yang mengatur mengenai pengungsi telah menetapkan hak hak pengungsi. Pengungsi berhak untuk dilindungi dan harus memiliki akses ke pengadilan nasional, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan, dan sejumlah hak sosial, ekonomi, dan sipil lainnya yang setara dengan warga negara dari negara tuan rumah. Pasal 1 huruf A angka 1 Refugee Convention juga merupakan pasal yang tidak diperbolehkan untuk direservasi oleh

, hlm.

Commission of Jurists, Migration and International Human Rights Law, (Geneva: International Commission of Jurists, 2014), hlm.

Bangsa Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm

Ps. 1 huruf C angka (1).

Ps. 1 huruf F poin (a).

Ps. 1 huruf F poin (c).

Loescher, Refugees: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2021), cet. 1, hlm. 32.

No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

9 Volume 12,
25 Ibid
133 26 International
58. 27 Perserikatan
137,
28 Ibid.,
29 Ibid.,
30 Gil

negara anggotanya, sehingga seluruh negara yang telah meratifikasi wajib untuk memberlakukan ruang lingkup pengungsi tersebut.

2.1.3 Praktik Negara terkait Status Pengungsi dan Pencari Suaka

Istilah “pengungsi” dan “pencari suaka” seringkali digunakan secara bersamaan dengan pengertian yang sama, ataupun dengan pengertian yang berbeda Secara kasat mata, Refugee Convention tidak menyebut istilah pencari suaka sama sekali. Sementara itu, dalam penerapan hukum nasional, “pengungsi” dan “pencari suaka” seringkali diinterpretasikan sebagai status hukum yang berbeda. Pencari suaka biasanya merujuk pada seseorang yang telah melarikan diri dari negara asalnya dan sedang dalam proses mencari perlindungan di negara lain, sedangkan pengungsi merujuk pada seseorang yang telah secara formal diterima permohonannya oleh negara dimana ia mencari perlindungan. Perbedaan ini disebabkan negara penerima menganggap imigrasi dan suaka sebagai masalah kedaulatan nasional, sehingga pada praktiknya terdapat perbedaan dari satu negara ke negara lain.

Dalam Konstitusi Polandia 1997, tepatnya pada Pasal 56, telah diatur bahwa orang asing yang mencari perlindungan dari penganiayaan akan diberikan status pengungsi sesuai dengan Refugee Convention. Pasal tersebut memaparkan sebagai berikut:

1. Foreigners shall have a right of asylum in the Republic of Poland in accordance with principles specified by statute.

2. Foreigners who, in the Republic of Poland, seek protection from persecution, may be granted the status of a refugee in accordance with international agreements to which the Republic of Poland is a party. Sementara itu, Australia yang juga negara anggota Refugee Convention, memberikan definisi terhadap istilah pengungsi dalam Migration Act 1958 yang telah diamandemen melalui Migration And Maritime Powers Legislation Amendment (Resolving The Asylum Legacy Caseload) Act 2014. Dalam Pasal 5H Migration Act 1958, disebutkan bahwa seseorang yang berada di Australia dikategorikan sebagai pengungsi apabila:33

(a) in a case where the person has a nationality is outside the country of his or her nationality and, owing to a well‑founded fear of persecution, is unable or unwilling to avail himself or herself of the protection of that country; or

31

Cathryn Costello, Michelle Foster, dan Jane McAdam, The Oxford Handbook of International Refugee Law, (Oxford: Oxford University Press, 2021), cet. 1, hlm. 174.

Gil Loescher, Refugees: A Very Short Introduction, (Oxford: Oxford University Press, 2021), cet. 1, hlm. 38.

Australia, Migration And Maritime Powers Legislation Amendment (Resolving The Asylum Legacy Caseload) Act 2014, ps. 5H.

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

10 Volume
31
32
32
33

(b) in a case where the person does not have a nationality is outside the country of his or her former habitual residence and owing to a well‑founded fear of persecution, is unable or unwilling to return to it. Selain itu, Turki sebagai negara yang telah meratifikasi Refugee Convention pada 1962 juga memiliki regulasi nasional tersendiri terkait dengan pengungsi. Regulasi tersebut tertuang dalam Law No. 6458 of 2013 on Foreigners and International Protection (as amended 29 Oct 2016). Pasal 61 menerangkan bahwa seseorang diberikan status sebagai pengungsi apabila proses penentuan statusnya telah selesai. Pasal tersebut mengatur definisi pengungsi sebagai berikut:34

A person who as a result of events occurring in European countries and owing to well founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his citizenship and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself or herself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it, shall be granted refugee status upon completion of the refugee status determination process ”

Lantas, hal yang menjadi pertanyaan adalah, kapan negara negara menerapkan hak hak pengungsi: apakah setelah, atau termasuk sebelum status hukum pengungsi diberikan secara resmi? Apabila suatu negara tidak memiliki kewajiban perlindungan pengungsi kecuali dan sampai seseorang secara tegas ditemukan memenuhi kriteria definisi pengungsi, suatu negara yang berniat buruk mungkin memilih untuk menunda penerimaan seseorang yang mencari suaka di wilayahnya, atau bahkan menghindarinya sama sekali.35 Terkait hal ini, UNHCR telah memberikan penjelasan:36

A person is a refugee within the meaning of the 1951 Convention as soon as he fulfils the criteria contained in the definition. This would necessarily occur prior to the time at which his refugee status is formally determined. Recognition of his refugee status does not therefore make him a refugee but declares him to be one. He does not become a refugee because of recognition, but is recognized because he is a refugee.

Dapat dipahami bahwa seseorang disebut sebagai pengungsi ketika ia memenuhi unsur unsur yang ditetapkan dalam Pasal 1 huruf A angka 1 Refugee Convention. Ia tidak harus diberikan status hukum sebagai pengungsi secara resmi oleh otoritas terlebih dahulu untuk dapat dikategorikan sebagai pengungsi. Hal ini mengindikasikan bahwa ketentuan ketentuan yang memberikan hak bagi pengungsi

Turki, Law No. 6458 of 2013 on Foreigners and International Protection (as amended 29 Oct 2016), ps. 61.

Cathryn Costello, Michelle Foster, dan Jane McAdam, The Oxford Handbook of International Refugee Law, (Oxford: Oxford University Press, 2021), cet. 1, hlm. 175.

Ibid.

No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

11 Volume 12,
34
35
36

yang diatur dalam Refugee Convention juga berlaku pada mereka yang belum diterima secara resmi oleh negara penerima sekalipun, sepanjang dia telah memenuhi kriteria yang ditentukan oleh konvensi tersebut. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Refugee Convention juga mencakup hak untuk para pencari suaka.

2.2 Pengaturan Prinsip Non Refoulement Dalam Hukum Internasional

Terhadap pengungsi dan pencari suaka, negara memiliki beberapa kewajiban yang telah ditentukan berdasarkan hukum internasional yang mengikat. Perjanjian perjanjian internasional yang secara tegas mengatur mengenai pengungsi diantaranya yaitu Refugee Convention, Protokol 1967, dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1984 (“CAT”). Sementara itu, peraturan dalam lingkup regional seperti yang berlaku di UE, diantaranya yakni European Union Charter (“EU Charter”), European Convention on Human Rights (“ECHR”), Schengen Borders Code, dan Directive 2013/32/EU of the European Parliament and of the Council of 26 June 2013 on common procedures for granting and withdrawing international protection (“Asylum Procedures Directive”), turut mengikat negara negara anggota dalam menjalankan kewajibannya terhadap orang yang mencari perlindungan internasional. Berdasarkan peraturan peraturan tersebut, negara anggota memiliki kewajiban prinsipil sebagai berikut:

Tabel 1

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

12

Meskipun secara eksplisit tidak ada kewajiban dalam hukum internasional untuk memberikan perlindungan internasional bagi pencari suaka, negara negara tetap terikat oleh prinsip non refoulement dalam Pasal 33 Refugee Convention. Prinsip fundamental yang mendasari perlindungan bagi orang yang mencari suaka ini melarang negara untuk tidak menolak atau mengusir atau mengembalikan seseorang yang bukan warga negaranya ke negara yang besar kemungkinan dapat membahayakan kehidupan dan hak asasinya. Kekuatan hukum yang mengikat negara terhadap prinsip non refoulement didasarkan pada konvensi internasional, hukum kebiasaan internasional, serta jus cogens.

Melalui konvensi internasional, prinsip ini terjamin dalam dua rezim utama: 1) rezim hukum pengungsi, dan 2) rezim hukum hak asasi manusia (“HAM”). Pertama, pada Refugee Convention, prinsip non refoulement terkandung dalam Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut:

No Contracting State shall expel or return ("refouler") a refugee in any manner whatsoever to the frontiers of territories where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion.37

Sekilas, ruang lingkup dari prinsip non refoulement dalam Refugee Convention tampak terbatas pada istilah “pengungsi” sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 huruf A. Meskipun demikian, Pasal 33 Refugee Convention juga berlaku bagi pengungsi yang belum diakui secara formal, seperti pencari suaka yang sedang melakukan permohonan atas perlindungan internasional kepada suatu negara, karena pengakuan sebagai pengungsi bersifat deklaratif.38

Dalam konteks penerapan oleh negara, Pasal 33 ayat (1) yang menyebutkan unsur “…in any manner whatsoever…” memberikan arti luas bahwa negara tidak boleh melakukan refoulement dengan cara apapun, artinya hal ini termasuk semua bentuk pemindahan seseorang dari wilayah suaka yang dituju.39 Selain itu,

37

Perserikatan Bangsa Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm. 137, Ps. 33 ayat (1).

38 European Asylum Support Office, Judicial analysis Asylum procedures and the principle of non refoulement, (Luxembourg: Publications Office of the European Union, 2018), hlm. 27.

39 International Commission of Jurists, Migration and International Human Rights Law: Practitioners Guide No. 6, (Geneva: International Commission of Jurists, 2014), hlm. 110.

Juris LK2 FHUI

13 Volume 12, No. 1, 2022

keberlakuan prinsip non refoulement juga mencakup pengungsi atau pencari suaka yang berada di perbatasan negara maupun yang berada di dalam wilayah negara.40

Namun, dalam Pasal 33 ayat (2) Refugee Convention terdapat pengecualian terhadap penerapan prinsip non refoulement, yang menyatakan bahwa prinsip non refoulement tidak berlaku bagi seseorang yang memberi alasan yang masuk akal dianggap berbahaya bagi keamanan negara karena pernah dihukum atas kejahatan di negara asalnya, sehingga berbahaya bagi masyarakat di negara yang dituju.41 Walaupun demikian, pengecualian ini harus diinterpretasikan secara restriktif,42 dan hanya dapat diterapkan oleh negara apabila terdapat bukti secara langsung dengan orang yang berkaitan.43 Kedua, prinsip non refoulement juga ditemukan dalam rezim hukum HAM, yaitu melalui CAT dan International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (“ICCPR”). Dalam rezim hukum HAM, kasus non refoulement yang berkembang secara preseden adalah pengusiran atau pengembalian seorang pengungsi yang beresiko terhadap hukuman dan perlakuan yang tidak manusiawi seperti penyiksaan.44 Berbeda dengan rezim hukum pengungsi, non refoulement dalam rezim hukum HAM bersifat absolut, artinya wajib diterapkan oleh negara anggota tanpa pengecualian apapun.45

Syarat penerapan prinsip non refoulement menurut rezim hukum HAM adalah adanya resiko bahwa seorang pengungsi akan mengalami penganiayaan apabila diusir atau dikembalikan ke negara lain.46 Hal yang menjadi standar untuk membuktikan resiko tersebut adalah hadirnya suatu alasan substansial untuk meyakini bahwa seorang pengungsi benar benar menghadapi resiko tersebut. Resiko ini harus bersifat personal bagi pengungsi, seperti misalnya dapat dibuktikan bahwa orang dengan ras, agama, bangsa, atau kelompok sosial dan politik yang sama dengannya juga terancam

Ibid.

Perserikatan Bangsa Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm. 137, Ps. 33 ayat (2).

Paul Weis, The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, (s.l.: UNHCR, 1990), hlm. 245.

Kadarudin, “Penerapan Prinsip Non Refoulement Oleh Indonesia Sebagai Negara Transit Pengungsi Internasional,”(TesisMagisterUniversitasHasanuddin,Makassar), hlm. 70.

International Commission of Jurists, Migration and International Human Rights Law: Practitioners Guide No. 6, (Geneva: International Commission of Jurists, 2014), hlm. 113.

Ibid., hlm. 121.

Ibid., hlm. 112.

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

14 Volume
40
41
42
43
44
45
46

kehidupan dan kebebasannya.47 Namun, dalam keadaan luar biasa, “mere general situations of violence” atau situasi kekerasan secara umum yang terjadi di negara asal juga dapat menjadi dasar untuk mempertimbangkan ancaman yang dialami oleh pengungsi.48

Dasar atas pertimbangan resiko diperkuat dengan bukti bahwa pengungsi telah mengalami pelanggaran HAM.49 Pertimbangan ini juga dapat didukung apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh negara tujuan. Jadi, resiko ancaman yang dihadapi pengungsi dapat dipertimbangkan atas dasar pelanggaran yang ia alami baik sebelum maupun sesudah ia berada di negara tujuan. Selain berlaku dalam perjanjian internasional, prinsip non refoulement telah memperoleh status sebagai hukum kebiasaan internasional, dan dalam perkembangannya, juga dikategorikan sebagai jus cogens. Dengan sifatnya sebagai hukum kebiasaan internasional, maka prinsip non refoulement mengikat semua negara, terlepas dari apakah mereka menjadi pihak dalam Refugee Convention atau tidak.50 Sementara itu, dengan status jus cogens, prinsip non refoulement menjadi suatu standar internasional yang telah diakui dan dianut oleh masyarakat internasional yang tidak dapat diselewengkan, diubah, dan/atau dikalahkan oleh ketentuan hukum lainnya, sebagaimana yang diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties

Pengaturan Prinsip Non Refoulement dalam Refugee Convention

Di dalam Refugee Convention sendiri, terdapat beberapa prinsip yang bertujuan untuk memberi perlindungan maksimal kepada pengungsi, yang mana prinsip prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

Non discrimination principle, bermakna bahwa perlindungan terhadap pengungsi harus dilakukan tanpa mendiskriminasi ras, agama, maupun negara asal pengungsi tersebut.

, hlm.

, hlm.

Allain, “The jus cogens

of non refoulement,” International Journal of Refugee Law, Volume 13, Issue 4 (2001), hlm. 538.

Alvi Syahrin, “The Principle of Non refoulement as Jus Cogens: History, Application, and Exception in International Refugee Law,” Journal of Indonesian Legal Studies, Volume 6, No. 1 (2021), hlm.

Bangsa Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm. 137, Ps. 33.

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

15 Volume
1969.51 2.2.1
52 1.
53 47 Ibid.
115. 48 Ibid. 49 Ibid.
116. 50 Jean
Nature
51 M.
68. 52 Perserikatan

2. Non expulsion principle, bermakna bahwa pengungsi tidak boleh untuk ditolak untuk memasuki negara penerima kecuali apabila kehadiran pengungsi itu dapat berakibat pada terganggunya keamanan nasional atau ketertiban umum negara itu.54

3. Non refoulement principle, bermakna bahwa pengembalian pengungsi ke negara asalnya yang dapat mengancam keselamatan hidup mereka dengan alasan ras, agama, atau afiliasi politik adalah dilarang.55

4. Non penalization principle, prinsip ini melarang negara memperlakukan pencari suaka atau pengungsi sebagai seorang pelanggar hukum walaupun cara mereka memasuki negara penerima secara ilegal.56 Asas non refoulement sendiri diatur dalam Pasal 33 Refugee Convention, yang berbunyi sebagai berikut:

1. No Contracting State shall expel or return (‘refouler’) a refugee in any manner whatsoever to the frontiers of the territories where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion.

2. The benefit of the present provision, may not, however, be claimed by a refugee whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country in which he is, or who, having been convicted by a final judgment of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that country.

Pasal 33 ini memiliki ruang lingkup yang luas dalam mengatur perlindungan yang dapat diberikan dan dikembangkan kepada pengungsi.57 Menurut Commentary

to the 1951 Refugee Convention, Pasal 33 berlaku untuk semua pengungsi yang secara fisik berada di dalam wilayah dari negara anggota tanpa mempertimbangkan apakah keberadaannya legal atau ilegal.58 Sir Elihu Lauterpacht dan Daniel Betlehem menjelaskan bahwa frasa “expel or return (‘refouler’) a refugee in any manner whatsoever” dapat dimaknai sebagai larangan eksplisit atas semua tindakan untuk memindahkan pengungsi (termasuk penolakan, pengusiran, deportasi, dan

David Weissbrodt dan Isable Hortreiter, The Principle of Non refoulement: Article 3 of the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhumane and Degrading Treatment or Punishment in Comparison with the Non refoulement Provisions of Other International Human Rights Treaties, 5 Buffalo Human Rights Law Review 1, 18 (1999).

UNHCR, Commentary on the Refugee Convention 1951, (Jenewa: Division of International Protection of the United Nations High Commissioner for Refugees, 1997), Ps. 33

No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

16 Volume 12,
53 Ibid., Ps. 2. 54 Ibid., Ps. 32. 55 Ibid., Ps. 33 56 Ibid., Ps. 31. 57
58

pengembalian).59 Karena, pemindahan pengungsi, apalagi hingga memulangkannya ke negara asalnya, beresiko melanggar HAM dari pengungsi tersebut, utamanya adalah hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari perbuatan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.60 Penggunaan ekspresi “in any manner whatsoever” mengindikasikan bahwa asas non refoulement harus diartikan secara luas dan tanpa pembatasan.61 Hal ini juga berarti asas non refoulement harus diterapkan tanpa harus dibatasi adanya perjanjian ekstradisi antar negara. Apabila terdapat konflik di antara kewajiban akan non refoulement berdasarkan 1951 Refugee Convention dengan perjanjian ekstradisi di antara negara anggota, kecuali telah dilakukan reservasi terhadap Pasal 33 oleh negara anggota, maka non refoulement yang akan berlaku sesuai dengan asas lex posterior derogate legi priori.62 Terakhir, terdapat juga frasa “where his life or freedom would be threatened” yang diinterpretasikan sebagai ketakutan atas persekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Refugee Convention

2.2.2 Pengaturan Prinsip Non Refoulement dalam Konvensi Internasional Lainnya

a. European Convention on Human Rights (“ECHR”)

Mengenai asas non refoulement dalam ECHR, ECHR tidak mengatur secara eksplisit, namun terdapat yurisprudensi ECtHR yang mengatakan bahwa tindakan pengusiran seseorang ke suatu negara yang dapat mengancam keselamatan dirinya dapat berujung pada pelanggaran Pasal 3 ECHR.63 Yurisprudensi tersebut adalah kasus Soering v. United Kingdom pada tahun 1990, dimana asas non refoulement diaplikasikan untuk pertama kalinya.64 Singkatnya, kasus ini melibatkan Soering yang merupakan seorang terdakwa pembunuhan yang menurut hukum Negara Bagian Virginia, Amerika Serikat harus menjalani proses peradilan yang memungkinkan Soering divonis

Sir Elihu Lauterpacht dan Daniel Bethlehem, Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International Protection, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm. 112.

Ibid.

Alice Farmer, “Non refoulement and Jus Cogens: Limiting Anti Terror Measures that Threaten RefugeeProtection,” Georgetown Immigration Law Journal, (2008), hlm. 6.

Malcolm Shaw KC, International Law, Cet. 6, (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), hlm. 125.

Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary, cet..2, (Kehl: N.P. Engel Publisher, 2005), hlm. 185.

L.E. Bacaian, The Protection of Refugees and Their Right to Seek Asylum in the European Union, Institut Européen de l'Université de Genève, Collection Europa, Master Thesis, Vol.70, 2011, hlm. 40.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

17
59
60
61
62
63
64

hukuman mati.65 Lalu, ECtHR menetapkan bahwa hukuman mati yang Soering alami dapat dikategorikan sebagai death row phenomenon yang melanggar Pasal 3 ECHR.66 ECtHR kemudian memutuskan bahwa Pasal 3 juga mencakup kewajiban tersirat untuk negara anggota untuk tidak mengekstradisi seseorang ke tempat dimana individu itu dapat terancam keselamatan hidupnya.67 Dengan demikian, ECHR berlaku ke semua individu yang berada di dalam wilayah yurisdiksi negara anggota, yaitu negara negara di Benua Eropa. Selain itu tidak terdapat pengaturan eksplisit mengenai asas non refoulement melainkan diidentifikasi sebagai kewajiban implisit dalam rangka memenuhi kewajiban menurut ECHR, khususnya Pasal 3. b. International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”)

Sama halnya seperti ECHR, asas non refoulement dalam ICCPR tidak diatur secara spesifik, namun Pasal 2 dari ICCPR merinci tipe tipe obligasi atau kewajiban yang mewajibkan negara anggota dalam menghormati dan memastikan pemenuhan hak asasi manusia yang dijamin di dalam kovenan termasuk kewajiban untuk tidak mengekstradisi, mendeportasi, mengusir atau memindahkan seorang individual dari wilayah mereka ke wilayah lain dimana individu tersebut akan menghadapi resiko kerusakan yang tidak dapat diperbaiki (risk of irreparable harm).68 Hal ini terjadi dalam kasus Kindler v. Canada, dimana Human Rights Committee (“HRC”) menerapkan asas non refoulement untuk pertama kalinya. Kasus tersebut melibatkan ekstradisi seorang individu yang dihadapkan dengan hukuman atas pembunuhan dan penculikan di Pennsylvania di tahun 1985. Kindler melarikan diri ke Quebec, Kanada sebelum eksekusi hukuman dilakukan.

2.2.3 Pengecualian dalam Prinsip Non Refoulement

a. Pengecualian dalam Prinsip Non Refoulement Menurut Refugee Convention

Ristik, “The Right to Asylum and the Principle of Non Refoulement Under the European ConventionofHumanRights”, European Scientific Journal, Vol. 13, No. 28, 2017, hlm. 115.

v. The United Kingdom, 1/1989/161/217, Council of Europe: European Court of Human Rights, 7 July 1989, para. 90.

Ibid., para. 35 6.

Nowak, Op. Cit.., hlm. 21.

Kindler v. Canada (Minister of Justice), [1991] 2 S.C.R. 779, Canada: Supreme Court, 26 September 1991, para. 15.3.

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

18 Volume
69
65 Jelena
66 Soering
67
68 Manfred
69

Prinsip non refoulement yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (1) Refugee Convention tidak bersifat absolut. Berdasarkan Pasal 33 ayat (2) Refugee Convention, dinyatakan bahwa:

The benefit of the present provision may not, however, be claimed by a refugee whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country in which he is, or who, having been convicted by a final judgment of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that country

Berdasarkan ketentuan tersebut, larangan bagi Pengungsi untuk dikembalikan secara paksa ke suatu negara, di mana kehidupan dan kebebasannya akan terancam, tidak berlaku bagi Pengungsi yang mengancam keamanan negara tempat pengungsi, dan telah mendapat putusan akhir dari hakim atas kejahatan berat yang dilakukannya, serta membahayakan publik negara setempat. Pada dasarnya pengungsi dapat dikembalikan dengan dua alasan: (i) jika terjadi ancaman terhadap keamanan nasional negara tuan rumah; dan (ii) dalam hal sifat dan catatan kriminalnya terbukti membahayakan masyarakat. UNHCR telah menyatakan, bahwa praktik negara negara dan travaux preparatoire dari Refugee Convention menunjukkan bahwa pelanggaran pidana, tanpa implikasi keamanan nasional yang spesifik, tidak dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.70

UNHCR juga menafsirkan “particularly serious crime” sebagai kejahatan yangsangatberatdan“hanyabolehdipertimbangkanketikasatuataubeberapa hukuman merupakan gejala dari sifat kriminal yang pada dasarnya tidak dapat diperbaiki dari orang tersebut dan di mana tindakan tindakan lain, seperti penahanan, penempatan atau pemukiman kembali di negara lain. tidak praktis untukmencegahnyamembahayakanmasyarakat”.71 Pengecualian prinsip non refoulement harus diinterpretasikan secara restriktif72 dan hanya berlaku untuk keadaan yang sangat mendesak di mana harus dibuktikan adanya hubungan langsung antara keberadaan pengungsi di

70

UN High Commissioner for Refugees (UNHCR), “UNHCR Note on the Principle of Non Refoulement,” https://www.refworld.org/docid/438c6d972.html, diakses 25 September 2022.

71 UN High Commissioner for Refugees (UNHCR), UNHCR Note on the Principle of Non Refoulement, November 1997, https://www.refworld.org/docid/438c6d972.html, diakses 25 September 2022.

72 Paul Weis, The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, (s.l.: UNHCR, 1990), hlm. 245.

19 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

suatu negara dengan keamanan nasional negara yang terancam.73 Pengecualian juga tidak berlaku bagi penerapan prinsip non refoulement meskipun terjadi fenomena migrasi pengungsi secara masif (large scale influx) yang dapat menyebabkan kesulitan bagi negara penerima gelombang pengungsi untuk mencari solusi penempatan.74 The Executive Committee of the High Commissioner’s Programme telah menegaskan bahwa prinsip non refoulement diterapkan dalam keadaan yang melibatkan irregular movement of refugees and asylum seekers terlepas dari efek destabilisasi dari tindakan tersebut.75 Apabila situasi large scale influx dapat dikatakan menimbulkan bahaya bagi keamanan negara tempat pengungsi, Conclusion No. 22 dari Executive Committee of the High Commissioner’s Programme atas rekomendasi Sub Committee of the Whole on International Protection of Refugees memperjelas bahwa 'dalam semua kasus large scale influx, prinsip dasar non refoulement termasuk non rejecting di perbatasan harus diperhatikan dengan cermat'.76 Pemeriksaan harus dilakukan dengan cermat dengan menerapkan uji proporsionalitas antara bahaya terhadap keamanan masyarakat atau beratnya kejahatan, dan konsekuensi bagi pengungsi jika dia dikembalikan ke negara asalnya.77 Pencari suaka harus diterima di Negara tempat mereka pertama kali mencari perlindungan.78 Jika Negara tersebut tidak dapat menerima mereka untuk jangka waktu yang lama, Negara tersebut harus selalu menerima mereka setidaknya untuk sementara dan memberi mereka perlindungan sesuai dengan prinsip prinsip non diskriminasi ras,

73 M. Alvi Syahrin,“The Principle of Non refoulement as Jus Cogens: History, Application, and Exception in International Refugee Law,” Journal of Indonesian Legal Studies, Volume 6, No. 1 (2021), hlm. 173.

74 RohmadYulianto,“IntegrasiPrinsip Non Refoulement Dengan Prinsip Jus Cogens Pada Kebijakan PenangananPengungsiDiIndonesia,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 14 (November 2020), hlm. 497.

75

UNHCR,“Problem Of Refugees And Asylum Seekers Who Move In An Irregular Manner From A Country In Which They Had Already Found Protection,” https://www.unhcr.org/uk/4aa77aa09.pdf, diakses 25 September 2022.

76 UNHCR,“Protection of Asylum Seekers in Situations of Large Scale Influx No. 22 (XXXII) 1981,” https://www.unhcr.org/excom/exconc/3ae68c6e10/protection asylum seekers situations large scale influx.html, diakses 26 September 2022.

77 Sir Elihu Lauterpacht, Daniel Bethlehem, Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International Protection, ed. Erika Feller, Volker Turk, dan Frances Nicholson (s.l.: Cambridge University Press, 2003), hlm. 135; Paul Weis, The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, (s.l.: UNHCR, 1990), hlm. 342.

78 UNHCR,“Protection of Asylum Seekers in Situations of Large Scale Influx No. 22 (XXXII) 1981,” https://www.unhcr.org/excom/exconc/3ae68c6e10/protection asylum seekers situations large scale influx.html, diakses 26 September 2022.

No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

20 Volume 12,

agama, pendapat politik, kebangsaan, negara asal atau ketidakmampuan fisik, prinsip non refoulement, dan non rejection 79 Aturan pengecualian ini juga harus diartikan bersama dengan ketentuan Pasal 32 Refugee Convention, di mana negara tidak dapat Dalam setiap kasus di mana Negara berusaha untuk menerapkan pengecualian terhadap prinsip non refoulement, Negara harus terlebih dahulu mengambil semua langkah yang wajar untuk mengamankan penerimaan individu yang bersangkutan ke negara ketiga yang aman.80

b. Praktek Negara terhadap Pengecualian Prinsip Non Refoulement

Sebagai state parties terhadap Refugee Convention, Amerika Serikat pernah menerapkan pengecualian terhadap prinsip non refoulement. Pengecualian ini telah direproduksi di bawah ketentuan The Immigration and Nationality Act (INA) 208 (b)(2), yang menetapkan bahwa orang asing tidak dapat mengajukan permohonan suaka jika, (i) orang asing memerintahkan, menghasut, membantu, atau berpartisipasi dalam penganiayaan setiap orang di rekening ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau pendapat politik; (ii) orang asing, yang telah dihukum oleh keputusan akhir atas kejahatan yang sangat serius, merupakan bahaya bagi komunitas Amerika Serikat; (iii) ada alasan serius untuk meyakini bahwa orang asing tersebut telah melakukan kejahatan non politik yang serius di luar Amerika Serikat sebelum kedatangan orang asing di Amerika Serikat; (iv) ada alasan yang masuk akal untuk menganggap orang asing sebagai bahaya bagi keamanan Amerika Serikat; (v) orang asing tersebut terlibat dalam kegiatan teroris dalam pengertian INA 212(a)(3)(B)(i) atau 237(a)(4)(B); dan terakhir, (vi) orang asing tersebut dimukimkan kembali secara tegas di negara lain sebelum tiba di Amerika Serikat. Setelah peristiwa 11 September 2001, undang undang baru diberlakukan yang juga membatasi hak hak pencari suaka, khususnya, U.S. Patriot Act dan Real ID Act of 2005. Undang undang ini mengubah beberapa undang undang, diantaranya, undang undang imigrasi, yang menetapkan bahwa orang asing yang terlibat dalam kegiatan teroris tidak memenuhi syarat untuk menerima visa dan tidak diizinkan masuk ke Amerika

The scope and content of the principle of non refoulement: Opinion,”dalam Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International Protection, ed. Erika Feller, Volker Turk, dan Frances Nicholson (s.l.: Cambridge University Press, 2003), hlm.

No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

21 Volume 12,
79 Ibid. 80 SirElihuLauterpacht,DanielBethlehem,“
134.

Serikat. Di bawah U.S. Patriot Act, istilah 'kegiatan teroris' berarti setiap kegiatan yang melanggar hukum menurut undang undang tempat dilakukannya (atau yang, jika dilakukan di Amerika Serikat, akan melanggar hukum menurut undang undang Amerika Serikat atau Negara Bagian mana pun). Diatur pula bahwa seseorang yang terlibat dalam kegiatan terorisme, antara lain, jika dia melakukan tindakan yang diketahui, atau seharusnya diketahui oleh pelaku, memberikan dukungan material, termasuk rumah persembunyian, transportasi, komunikasi, dana, transfer dana atau keuntungan finansial material lainnya, dokumentasi atau identifikasi palsu, senjata (termasuk bahan kimia, biologi, atau radiologi), bahan peledak, atau pelatihan untuk tindakan teroris, aktivitas, atau individu atau organisasi teroris. Ketentuan “seseorang yang telah memberikan dukungan kepada individu atau organisasi yang telah terlibat dalam “kegiatan teroris” sebagaimana didefinisikan secara luas oleh INA tidak serta merta menimbulkan bahaya bagi keamanan Amerika Serikat”.81 Kritik lain dari istilah "dukungan material" adalah bahwa istilah itu tidak membedakan pengungsi yang memberikan dukungan dengan sukarela dengan yang di bawah tekanan atau paksaan. Ketentuan U.S. Patriot Act ini berdampak langsung pada pengungsi dan pencari suaka. Human Rights First, sebuah organisasi non pemerintah, menyatakan bahwa jumlah tersebut pengungsi yang terkena dampak adalah sekitar 18.000. Salah satu kasusnya ialah melibatkan seorang wanita Baptis dari minoritas China di Burma (Myanmar) dimana hakim imigrasi dan BIA menerima bahwa wanita tersebut memiliki ketakutan yang dapat dipercaya akan penganiayaan dan meskipun dia memberikan dukungan materi yang sederhana kepada China National From, kelompok yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang tidak didukung Amerika Serikat, dukungan itu tidak mewakili ancaman terhadap keamanan Amerika Serikat. Namun, Mahkamah beralasan bahwa karena U.S. Patriot Act of 2001 dan Real ID Act of 2005 mendefinisikan “organisasi terorisme” begitu luas, maka pemohon masuk ke dalam lingkup kegiatan terorisme dan oleh karena

Cfr. United Nations HighCommissionerforRefugees,“AmicusCuriaeinSupportofPetitioner, Thawng Vung Thang v. AlbertoGonzales”,http://www.refworld.rujgrflgfekwpo,diakses26September2022.

2022 Juris LK2 FHUI

22 Volume 12, No. 1,
81

itu suaka harus ditolak.82 Terhadap ketentuan U.S. Patriot Act, UNCHR telah menyatakan bahwa jika seseorang, yang memberikan dukungan kepada organisasi teroris di bawah ketentuan INA, tidak menimbulkan bahaya bagi keamanan Amerika Serikat, atau setidaknya tidak ada alasan yang masuk akal untuk menganggap orang itu berbahaya, maka penolakan penahanan penghapusan berarti pelanggaran prinsip non refoulement

2.3 Potensi Pelanggaran Prinsip Non Refoulement dalam Kebijakan Polandia

terhadap Pencari Suaka Timur Tengah di Perbatasan Polandia-Belarusia

2.3.1 Kebijakan Polandia terhadap Pencari Suaka dari Timur Tengah di Perbatasan Polandia-Belarusia

Negara Polandia terletak di dua lempeng geopolitik yang menghubungkan negara negara di Eropa Barat, Eropa Timur, Eropa Tengah, dan negara negara Balkan. Lokasi yang strategis ini menimbulkan banyak tantangan regional bagi Polandia. Salah satunya ialah sebagai negara tujuan bagi para pencari suaka dari zona konflik yang berasal dari negara negara Timur Tengah seperti Suriah, Irak, Yaman, dan Afghanistan. Pada pertengahan tahun 2021, jumlah pencari suaka yang ingin melintasi Polandia melalui perbatasan Polandia Belarusia meningkat secara signifikan dari 100 menjadi 3000 per bulan.84 Peningkatan tersebut menjadi fokus perhatian media internasional akibat peristiwa politik yang mengiringi kehadirannya. Sejak Juni 2021, otoritas Belarusia secara aktif mengizinkan para imigran dari Timur Tengah untuk melakukan perjalanan ke Belarusia dengan memfasilitasi visa turis, dan mengizinkan mereka melakukan perjalanan ke daerah perbatasan dengan Polandia, Lithuania, dan Latvia.85 Jumlah penerbangan langsung dari Irak, Suriah, dan Uni Emirat Arab ke Belarusia

82 BillFrelick,“TheU.S.AsylumandRefugee Policy: The‘Culture ofNo’,”dalam The Future of Human Rights. U.S. Policy for a New Era, ed. Schultz, William, (Pennsylvania: University of Press, 2008), hlm. 221.

83 ShirleyL.Arenilla,“Violations to the Principle of Non Refoulement Under the Asylum Policy of the United States,” Anuario Mexicano de Derecho Internacional 15 (2015).

84 Caritas Europa, “Migrant Emergency in Poland”, https://www.caritas.eu/migrant emergency in poland/#:~:text=In%20the%20summer%20of%202021,its%20eastern%20border%20with%20Belarus, diakses 29 Juli 2022.

85

HRW, Die Here or Go to Poland: Belarus’ and Poland’s Shared Responsibility for Border Abuses, (New York: HRW, 2021), hlm. 1.

No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

23 Volume 12,
. 83

meningkat lebih dari dua kali lipat, termasuk penerbangan charter dari Suriah dan Irak.86

Pada saat yang sama, pemerintah Polandia mengambil tindakan legislatif yang cepat dengan mengamandemen hukum nasionalnya, salah satunya adalah Regulation of the Minister of the Interior and Administration of August 20, 2021 yang mengubah Regulation on Temporary Suspension or Restriction of Border Traffic at Certain Border Crossings (“MSWiA Regulation”). Dalam amandemen tersebut, ditetapkan bahwa individu yang tidak berwenang memasuki Polandia diinstruksikan untuk segera meninggalkan wilayah Polandia serta dikembalikan ke garis perbatasan negara87 dan pencari suaka tidak dicantumkan di antara mereka yang berwenang memasuki wilayah Polandia. Kemudian pada 2 September 2021, pemerintah Polandia memberlakukan “emergency state”88 di 183 kota dan desa yang berjarak dua mil dari perbatasan serta memblokir semua akses ke daerah tersebut untuk jurnalis, organisasi masyarakat sipil, sukarelawan, dan lainnya.89 Kebijakan tersebut dijustifikasi oleh pemerintah Polandia dengan alasan adanya “ancaman khusus terhadap keselamatan warga dan ketertiban umum sehubungan dengan situasi yang sedang berlangsung di perbatasan Polandia Belarusia”.90

Laporan dari Amnesty International pada September 202191 dan laporan dari Helsińska Fundacja Praw Człowieka mengkonfirmasi adanya praktik pushback dan penolakan oleh otoritas Polandia.92 Seluruh pencari suaka yang diwawancarai menyatakan bahwa otoritas Polandia gagal memberikan perlindungan yang

Reliefweb, “Behind the Frictions at the Belarus Poland Border”, https://reliefweb.int/report/belarus/behind frictions belarus poland border, diakses 29 Juli 2022.

Ibid.

88 European Council on Refugees and Exiles, “Poland: Rule of Lawlessness Continues as State of Emergency is Extended”, https://ecre.org/poland rule of lawlessness continues as state of emergency is extended, diakses 29 Juli 2022.

HRW, Die Here or Go to Poland: Belarus’ and Poland’s Shared Responsibility for Border Abuses, (New York: HRW, 2021), hlm. 2.

Marta Górczyńska, “Legal Analysis of the Situation on the Polish Belarusian Border Situation on: 9 September 2021 Author: Marta Górczyńska,” Helsińska Fundacja Praw Człowieka, (23 September 2021), hlm. 4.

Amnesty International, “Poland/Belarus Border: A Protection Crisis”, https://www.amnesty.org/en/latest/research/2021/09/poland belarus border crisis/, diakses 30 Juli 2022.

Helsińska Fundacja Praw Człowieka, “On The Side Of The Law: An Analysis Of The Situation On The Polish Belarusian Border,” https://www.hfhr.pl/en/on the side of the law an analysis of the situation on thepolish belarusian border/ , diakses 30 Juli 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

24
86
87
89
90
91
92

dibutuhkan para pencari suaka atau mengikuti prosedur formal suaka.93 Menurut hasil wawancara Human Rights Watch (“HRW”), para pencari suaka tidak dibawa ke pos perbatasan untuk diproses, yang seharusnya mencakup interogasi, pemotretan, pengambilan sidik jari, dan prosedur pemulangan yang sah.94 Pada 14 Oktober 2021, parlemen Polandia mengesahkan Undang Undang yang mengamandemen Act on Foreigners dan Act on Granting Protection to Foreigners in the Territory of the Republic of Poland (“Act of 13 June 2003”). Menurut amandemen ini, Chief of the Office of Foreigners dapat menolak permohonan perlindungan internasional tanpa perlu melakukan pemeriksaan kepada imigran yang ditangkap.95 Kemudian imigran tersebut dilarang memasuki kembali negara Polandia untuk jangka waktu mulai dari enam bulan hingga tiga tahun. Hal ini dikecualikan terhadap imigran yang ‘datang langsung’ dari tempat di mana kehidupan atau kebebasannya terancam. Selain itu, seseorang yang tertangkap secara ilegal melintasi perbatasan dapat diperintahkan untuk meninggalkan wilayah Polandia berdasarkan keputusan Local Border Guard Chief. Meski imigran dapat mengajukan banding atas keputusan tersebut kepada Commander in Chief of the Border Guard, sayangnya banding tersebut tidak dapat menangguhkan eksekusi perintah untuk pergi dari wilayah perbatasan. Para imigran juga secara rutin ditolak haknya untuk mengajukan suaka agar kasus mereka diadili.96 Pada hari yang sama, Polish Council of Ministers mengadopsi Rancangan Undang Undang pembangunan tembok perbatasan di sepanjang perbatasan Polandia Belarusia dengan panjang 180 kilometer dan tinggi 5,5 meter sebagai lanjutan dari pembangunan pagar kawat berduri untuk mencegah penyebrangan.97

93 HRW, Die Here or Go to Poland: Belarus’ and Poland’s Shared Responsibility for Border Abuses, (New York: HRW, 2021), hlm. 12.

Journal of Laws of the Republic of Poland, “Act on Foreigners, of December 12, 2013,” https://www.asylumlawdatabase.eu/sites/default/files/aldfiles/EN%20 %20Poland%20act_on_foreigners_en_0.pdf, diakses 30 Juli 2022

Halemba, A., “Ethnographic Snapshot: Europe in the Woods: Reflections on the Situation at the Polish Belarusian Border" , Ethnologia Europaea 52, (2022), hlm. 1.

Sertan Sandersons, “EU and UNHCR raise alarm over pushback methods in Poland, Latvia and Lithuania”, https://www.infomigrants.net/en/post/37885/eu and unhcr raise alarm over pushback methods in poland latvia and lithuania, diakses 30 Juli 2022.

European Council onRefugeesandExiles,“Poland:ParliamentApproves‘Legalisation’of Pushbacks, Council of Ministers Adopt Bill to Construct Border Wall, Another Life is Lost at Border with Belarus”, https://ecre.org/poland parliament approves legalisation of pushbacks council of ministers adopt bill to construct border wall another life is lost at border with belarus/, diakses 30 Juli 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

25
94
95
96
97

Pada tahun 2022, masih terdapat laporan perilaku kekerasan dan penolakan yang tidak manusiawi dari petugas Polandia di perbatasan Polandia Belarusia.98 Polandia secara tidak sah mengusir para imigran dan pencari suaka kembali ke Belarusia, di mana mereka menghadapi pemukulan dan pemerkosaan oleh penjaga perbatasan.99 Di Belarusia, para pencari suaka melaporkan adanya kekerasan, kematian, pemerkosaan, pemerasan, pencurian, dan pembatasan kebebasan bergerak oleh perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat serta bentuk bentuk pemaksaan lainnya oleh penjaga perbatasan Belarusia.100 Berdasarkan laporan HRW, para pencari suaka juga telah melaporkan adanya pelanggaran berat di gudang darurat yang digunakan untuk kamp pencari suaka Timur Tengah di Bruzgi, Belarusia, yang mencakup terjadinya pemerkosaan, pemukulan, dan kondisi kehidupan yang tidak manusiawi.101

Pada Maret Juni 2022, terdapat laporan pengungsi yang hilang dan tenggelam karena didorong otoritas Polandia102, laporan sekelompok pengungsi Kurdi di pusat penahanan yang kelaparan dan sulit menghubungi pengacara103, dan laporan kasuskasus ketidaklayakan akses air bersih dan makanan sehingga menimbulkan berbagai penyakit serius dan kelelahan massal104 .

Pada 30 Juni 2022, Polandia telah menyelesaikan pembangunan tembok baja baru di perbatasan Polandia Belarusia untuk menahan arus pengungsi dari Timur Tengah yang tidak berdokumen.105 Pada 1 Juli 2022, pihak berwenang Polandia mencabut status “emergency state”. Terlepas dari pencabutan tersebut, penyeberangan ke Polandia akan tetap mustahil karena terdapat tembok baja yang baru dibangun di perbatasan. Dari rangkaian peristiwa, tindakan, dan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Polandia sejak 2021 hingga 2022, terlihat bahwa pemerintah Polandia

Reliefweb, “ACAPS Thematic Report Migration crisis on the Poland Belarus border (update),” https://reliefweb.int/report/poland/acaps thematic report migration crisis poland belarus border update 01 july 2022, diakses 30 Juli 2022.

HRW, “Violence and Pushbacks at Poland Belarus Border,” https://reliefweb.int/report/belarus/violence and pushbacks poland belarus border, diakses 30 Juli 2022.

Ibid.

Ibid.

Benjamin Bathke, “Kurdish asylum seekers' hunger strike in Poland enters third week”, http://www.infomigrants.net/en/post/40855/kurdish asylum seekers hunger strike in poland enters third week, diakses 30 Juli 2022.

Agnieszka Pikulicka Wilczewska, “As Poland repels migrants, locals offer humanitarian aid“, https://www.aljazeera.com/news/2021/11/11/poland locals aid, diakses 30 Juli 2022.

Ibid

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

26
98
99
100
101
102 Ibid. 103
104
105

telah melarang secara kolektif imigran dari negara negara Timur Tengah di perbatasan Polandia Belarusia untuk masuk ke Polandia.

2.3.2 Analisis Status Kepengungsian Para Pencari Suaka Timur Tengah di Perbatasan Polandia Belarusia

Sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, Pasal 1 huruf A angka 2 Refugee Convention telah memberikan beberapa kriteria bagi seseorang untuk dapat dikategorikan sebagai pengungsi, yakni:106 1) seseorang yang memiliki ketakutan yang beralasan akan penganiayaan; 2) penganiayaan harus karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu atau pendapat politik; 3) orang tersebut harus berada di luar negara kebangsaannya atau, jika tidak berkewarganegaraan, di luar negara tempat tinggalnya sebelumnya; dan 4) orang tersebut harus tidak mampu atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu untuk dirinya sendiri.

Berdasarkan kronologi kasus yang telah dibahas, para pengungsi Timur Tengah yang berada di perbatasan Polandia Belarusia berhak atas hak hak yang diatur dalam Refugee Convention, sehingga berlaku asas non refoulement bagi mereka. Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan fakta fakta berikut ini:

1. Fakta pertama, para pencari suaka Timur Tengah di Belarusia mengalami berbagai bentuk kekerasan oleh penjaga perbatasan Belarusia, antara lain pemerkosaan, pemerasan, pencurian, dan pembatasan kebebasan bergerak oleh perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat.107 Selain itu, beberapa pencari suaka yang ditempatkan oleh Belarusia di gudang darurat di Bruzgi, Belarusia, mengalami pemerkosaan, pemukulan, dan kondisi kehidupan yang tidak manusiawi.108 Hal ini menunjukkan adanya penganiayaan yang dilakukan oleh Belarusia selaku negara asal pencari suaka Timur Tengah yang mencari perlindungan ke Polandia.

2. Fakta kedua, para pencari suaka yang mencari perlindungan di Polandia dari Belarusia merupakan orang orang yang berkebangsaan negara negara Timur

(Geneva:

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

27
106 International Commission of Jurists, Migration and International Human Rights Law,
International Commission of Jurists, 2014), hlm. 56. 107 Ibid. 108 HRW,“ViolenceandPushbacksatPoland BelarusBorder,” https://reliefweb.int/report/belarus/violence and pushbacks poland belarus border, diakses 30 Juli 2022.

Tengah, seperti Yaman, Afghanistan, dan Iran.109 Oleh karenanya, terdapat indikasi bahwa mereka mengalami penganiayaan tersebut di Belarusia atas dasar ras dan kebangsaan yang mereka miliki, sehingga memenuhi salah satu dari 5 (lima) alasan yang diatur dalam Pasal 1 huruf A Refugee Convention

3. Fakta ketiga, diketahui bahwa mayoritas imigran yang mendatangi perbatasan Polandia Belarusia dari sisi Belarusia sejak Juni 2021 adalah para imigran dari negara negara Timur Tengah yang dilanda konflik dan krisis kemanusiaan, seperti Suriah, Irak, Yaman, dan Afghanistan.110 Berdasarkan fakta tersebut, kriteria ketiga dari seorang pengungsi menurut Pasal 1 huruf A angka 2 Refugee Convention telah terpenuhi, yakni orang yang berada di luar negara kebangsaannya. Hal ini dikarenakan mereka adalah warga negara dari negara negara Timur Tengah tersebut, bukan merupakan warga negara dari Polandia ataupun Belarusia.

4. Fakta keempat, selama Maret hingga Juni 2022, masih terdapat laporan pengungsi Timur Tengah di perbatasan Polandia Belarusia yang kesulitan untuk mendapatkan akses air bersih dan makanan yang layak hingga menimbulkan penyakit serius dan kelelahan massal.111 Ini menggambarkan bahwa keadaan hidup para pengungsi tersebut sangat tidak layak dan mereka tidak dapat memanfaatkan bantuan maupun perlindungan yang seharusnya disediakan oleh petugas perbatasan. Berdasarkan fakta itu, maka kriteria keempat terpenuhi, yakni para imigran dari Timur Tengah tersebut tidak mampu, berada dalam ketakutan karena perlakuan petugas perbatasan yang tidak manusiawi, sehingga mereka gagal untuk mendapatkan ataupun memanfaatkan bantuan yang seharusnya mereka terima.

2.3.3 Pelanggaran Polandia terhadap Prinsip Non-Refoulement menurut Refugee Convention

Polandia sebagai negara anggota dari Refugee Convention, Protokol 1967, CAT, dan ECHR turut memiliki kewajiban dalam menerapkan prinsip non refoulement. Dalam mengkaji penerapan prinsip non refoulement pada kebijakan

Die Here or Go to

York: HRW,

hlm.

Belarus’

Poland’s Shared Responsibility for Border Abuses

Agnieszka Pikulicka Wilczewska,“AsPolandrepelsmigrants,localsofferhumanitarianaid“, https://www.aljazeera.com/news/2021/11/11/poland locals aid, diakses 30 Juli 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

28
109 Ibid. 110 HRW,
Poland:
and
, (New
2021),
1. 111

imigrasi Polandia terhadap pencari suaka Timur Tengah di perbatasan Polandia Belarusia, penulis telah menganalisis sejumlah unsur esensial dalam Pasal 33 ayat (1) Refugee Convention. Berdasarkan pasal tersebut, Polandia dilarang untuk “mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi dengan cara apapun.”112 Sejumlah laporan yang dihasilkan oleh organisasi internasional menunjukkan bahwa pada September 2021 pemerintah Polandia telah melakukan push back atau penekanan terhadap orang orang Timur Tengah yang mencari perlindungan internasional ke Polandia di perbatasan Polandia Belarusia. Mereka yang mencari suaka di perbatasan tersebut ditolak untuk masuk ke wilayah Polandia oleh otoritas Polandia, bahkan diperlakukan dengan kekerasan, dengan tujuan untuk mengembalikan para pencari suaka Timur Tengah tersebut ke Belarusia. Lebih lanjut, intensi pemerintah Polandia dalam mengembalikan para pencari suaka ke Belarusia ditandai dengan diberlakukannya MSWiA Regulation113 serta dibangunnya tembok baja oleh Polandia di perbatasan Polandia-Belarusia.114 Hal ini menunjukkan bahwa tindakan Polandia dapat dikategorikan ke dalam makna “mengusir” dan “mengembalikan” sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (1) Refugee Convention. Selanjutnya, unsur “ke perbatasan wilayah di mana kehidupan atau kebebasannya akan terancam” memiliki makna yang sama dengan “ketakutan yang beralasan akan penganiayaan” dalam Pasal 1 huruf A ayat (2) dari Refugee Convention. 115 Wilayah dalam konteks ini berlaku untuk negara asal pengungsi maupun negara lain di mana ia juga memiliki ketakutan yang beralasan akan penganiayaan atau risiko dikirim ke negara tersebut.116 Pasal 33 dapat dikatakan dilanggar hanya jika pengembalian risiko penganiayaan benar benar terjadi.117 Berkaca pada kasus ini, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Polandia mencerminkan tujuannya untuk menahan para pengungsi Timur Tengah yang datang

112

Perserikatan Bangsa Bangsa, Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951), hlm. 137, Ps. 33 ayat (1).

113 Reliefweb, “Behind the Frictions at the Belarus Poland Border”, https://reliefweb.int/report/belarus/behind frictions belarus poland border, diakses 29 Juli 2022.

114

Al Jazeera, “Poland completes Belarus border wall to keep asylum seekers out”, https://www.aljazeera.com/news/2022/6/30/poland belarus border completed wall to keep asylum seekers out, diakses 30 Juli 2022.

115 Paul Weis, The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, (s.l.: UNHCR, 1990), hlm. 245.

Ibid.

Lieneke Slingenberg, The Reception of Asylum Seekers under International Law: Between Sovereignty and Equality, (Oxford: Hart Publishing Ltd, 2014), hlm. 253.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

29
116
117

dari perbatasan Belarusia dalam memasuki wilayah Polandia. Hal ini menyebabkan para pencari suaka terdorong kembali ke wilayah Belarusia, di mana mereka beresiko untuk diperlakukan dengan kekerasan oleh pemerintah Belarusia.118 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketakutan yang beralasan, yakni suatu ancaman yang konkrit bahwa para pencari suaka Timur Tengah tersebut akan mengalami penganiayaan jika kembali ke wilayah Belarusia sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya.

Berkenaan dengan pengecualian terhadap prinsip non refoulement yang dikemukakan dalam Pasal 33 ayat (2) Refugee Convention, perlu dimaknai bahwa terdapat dua syarat yang harus dipenuhi: pengungsi harus telah dihukum oleh putusan akhir untuk kejahatan yang sangat serius, dan ia harus merupakan bahaya bagi masyarakat negara tersebut. Untuk pengecualian dapat menjadi sah, prinsip proporsionalitas harus dipatuhi, yaitu, apakah bahaya yang ditimbulkan pada pengungsi dengan pengusiran atau pengembalian melebihi ancaman terhadap keamanan publik yang akan timbul jika dia diizinkan untuk tinggal.119

2.3.4 Analisis Pengecualian

Pasal 32 Refugee Convention dalam Kasus Polandia Kebijakan Polandia terhadap pengungsi di perbatasan Polandia Belarus tidak dapat dijustifikasi dalam pengecualian prinsip non refoulement pada Pasal 32 Refugee Convention. Pada 2 September 2021, pemerintah Polandia memberlakukan

emergency state”120 di 183 kota dan desa yang berjarak dua mil dari perbatasan serta memblokir semua akses ke daerah tersebut untuk jurnalis, organisasi masyarakat sipil, sukarelawan, dan lainnya. Diketahui bahwa kebijakan tersebut dijustifikasi oleh pemerintah Polandia dengan alasan adanya “ancaman khusus terhadap keselamatan warga dan ketertiban umum sehubungan dengan situasi yang sedang berlangsung di perbatasan Polandia Belarusia”.

Pertama,pemerintahPolandiatelahsalahdalam menerapkanalasan“keselamatan warga” dan “ketertiban umum” dalam menerapkan pengecualian prinsip non

118 HRW, “Violence and Pushbacks at Poland Belarus Border,” https://reliefweb.int/report/belarus/violence and pushbacks poland belarus border, diakses 30 Juli 2022.

119 Paul Weis, The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis, (s.l.: UNHCR, 1990), hlm. 246.

120 European Council on Refugees and Exiles,“Poland:RuleofLawlessnessContinues as State of EmergencyisExtended”,https://ecre.org/poland rule of lawlessness continues as state of emergency is extended, diakses 29 Juli 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

30

refoulement. Syarat ini bersifat kumulatif, pengungsi di perbatasan Polandia Belarus yang diusir harus memenuhi syarat bahwa kehadirannya membawa ancaman terhadap keamanan nasional negara tuan rumah dan pengungsi tersebut memiliki catatan kriminal yang terbukti membahayakan masyarakat. Ketentuan pengecualian ini bersifat restriktif dan harus melalui proses hukum terlebih dahulu. Dalam travaux preparatoire dari Refugee Convention, salah satu delegasi yaitu negara Austria menyatakan bahwa due process of law tidak hanya mencakup prosedur ke pengadilan, tetapi juga prosedur dari otoritas administratif dan polisi. Dalam kasus ini otoritas Polandia tidak menerapkan due process of law sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Refugee Convention, terutama dalam meng assess pengungsi yang hendak masuk ke negaranya, melainkan langsung mengusirnya tanpa menilai ada tidaknya ancaman yang datang dari kedatangan pengungsi tersebut. Kedua, Polandia juga tidak mendasarkan kebijakan tersebut pada peraturan nasional mana pun. Seperti dijelaskan dalam kasus pengusiran pengungsi di Amerika Serikat, Amerika Serikat mendasarkan ketentuan “aktivitas terorisme” dalam U.S. Patriot Act sebagai dasar dilakukannya pengusiran yang dapat mengancam negaranya. Ketiga, jika mengacu pada uji proporsionalitas dalam penerapan pengecualian terhadap prinsip non refoulement, dalam kasus ini konsekuensi bagi pengungsi jika dia dikembalikan ke negara asalnya jauh lebih berat daripada bahaya terhadap keamanan masyarakat, yaitu terancam hidup dan kebebasannya akibat tindakan kekerasan oleh otoritas Belarusia. Keempat, pun jika Polandia hendak menerapkan pengecualian prinsip non refoulement ini, Polandia tetap harus melakukan serangkaian prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Refugee Convention, Polandia harus terlebih dahulu mengambil semua langkah yang wajar untuk mengamankan penerimaan individu yang bersangkutan ke negara ketiga yang aman. Jika Polandia tidak dapat menerima pengungsi tersebut untuk jangka waktu yang lama, Polandia harus selalu menerima mereka setidaknya untuk sementara dan memberi mereka perlindungan sesuai dengan prinsip prinsip non diskriminasi, non refoulement, dan non rejection.

III. PENUTUP

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa untuk dikategorikan sebagai pengungsi, seseorang harus memenuhi kriteria yang ditentukan dalam Refugee

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

31 Volume

Convention, yakni 1) seseorang yang memiliki ketakutan yang beralasan akan penganiayaan; 2) penganiayaan harus karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu atau pendapat politik; 3) orang tersebut harus berada di luar negara kebangsaannya atau, jika tidak berkewarganegaraan, di luar negara tempat tinggalnya sebelumnya; dan 4) orang tersebut harus tidak mampu atau, karena ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu untuk dirinya sendiri. Adapun terkait dengan prinsip non refoulement, hal tersebut diatur dalam Refugee Convention dan konvensi konvensi internasional lainnya, seperti ECHR dan ICCPR. Terakhir, dapat disimpulkan bahwa Polandia telah mengabaikan kewajibannya berdasarkan Refugee Convention dalam menegakkan prinsip non refoulement terhadap pencari suaka dari Timur Tengah di perbatasan Polandia Belarusia. Hal ini ditunjukkan dengan, pertama, para pencari suaka di Timur Tengah telah memenuhi kriteria pengungsi dalam Pasal 1 huruf A angka 2 Refugee Convention, sehingga hak-hak pengungsi yang dijamin dalam konvensi tersebut berlaku untuk mereka, termasuk hak atas non refoulement. Kedua, Polandia telah mengusir para pencari suaka dari Timur Tengah yang meminta perlindungan di perbatasan Polandia Belarusia. Ketiga, pengecualian prinsip non refoulement tidak berlaku bagi Polandia berdasarkan Pasal 32 Refugee Convention, sehingga Polandia tetap memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip non refoulement tanpa terkecuali.

Juris LK2 FHUI

32 Volume 12, No. 1, 2022

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang

Australia. Migration And Maritime Powers Legislation Amendment (Resolving The Asylum Legacy Caseload) Act 2014.

Turki. Law No. 6458 of 2013 on Foreigners and International Protection (as amended 29 Oct 2016).

Buku

Costello, Cathryn, Michelle Foster, dan Jane McAdam. The Oxford Handbook of International Refugee Law. Oxford: Oxford University Press, 2021. Cet. 1.

European Asylum Support Office. Judicial analysis Asylum procedures and the principle of non refoulement. Luxembourg: Publications Office of the European Union, 2018.

Feller, Erika, Volker Turk, dan Frances Nicholson. Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International Protection. s.l.: Cambridge University Press, 2003.

Frelick, Bill. “The U.S. Asylum and Refugee Policy: The ‘Culture of No’.”Dalam The Future of Human Rights. U.S. Policy for a New Era, ed. Schultz, William, (Pennsylvania: University of Press, 2008.

Garner, Bryan A. Black’sLaw Dictionary. Saint Paul: Thomson Reuters, 2009. Cet. 9. Górczyńska, Marta. “Legal Analysis of the Situation on the Polish Belarusian Border Situation on: 9 September 2021.” Helsińska Fundacja Praw Człowieka, (23 September 2021).

HRW. Die Here or Go to Poland: Belarus’ and Poland’s Shared Responsibility for Border Abuses. New York: HRW, 2021.

International Commission of Jurists. Migration and International Human Rights Law. Geneva: International Commission of Jurists, 2014.

Lauterpacht, Bethlehem. Refugee Protection in International Law: UNHCR's Global Consultations on International Protection. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

33 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

Loescher, Gil. Refugees: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press, 2021. Cet. 1.

Nicholson, Frances dan Judith Kumin. A Guide to International Refugee Protection and Building State Asylum System. S.l.: Inter Parliamentary Union and the UNHCR, 2017.

Nowak, Manfred. U.N. Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary. Cet..2. Kehl: N.P. Engel Publisher, 2005.

Professor Atle Grahl Madsen, Commentary of the Refugee Convention 1951 (Articles 2 11, 13 37). (s.l.: UNHCR, 1997).

Rohl, K. Fleeing Violence and Poverty: Non Refoulement Obligations under the European Convention on Human Rights, Working Paper No.111. Geneva: UNHCR, 2005.

Slingenberg, Lieneke. The Reception of Asylum Seekers under International Law: Between Sovereignty and Equality. Oxford: Hart Publishing Ltd, 2014

Shaw, Malcolm. International Law. Cet. 6. Cambridge: Cambridge University Press, 2008.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2007.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet 1. Jakarta: Rajawali Pers, 1985.

UNHCR. Global Report 2004: Achievements and Impact. (s.l.: s.n., s.a.).

Weis, Paul. The Refugee Convention, 1951: The Travaux préparatoires analysed with a Commentary by Dr. Paul Weis. S.l.: UNHCR, 1990.

Jurnal

Allain, Jean. “The jus cogens Nature of non refoulement.” International Journal of Refugee Law 13 (2001). Hlm. 533 558.

Arenilla, Shirley L. “Violations to the Principle of Non Refoulement Under the Asylum Policy of the United States.” Anuario Mexicano de Derecho Internacional 15 (2015). Hlm. 283 322.

Farmer,Alice.“Non refoulement and Jus Cogens: Limiting Anti Terror Measures that Threaten Refugee Protection.” Georgetown Immigration Law Journal (2008). Hlm. 6.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

34

Halemba, A. “Ethnographic Snapshot: Europe in the Woods: Reflections on the Situation at the Polish Belarusian Border." Ethnologia Europaea 52 (2022). Hlm. 1.

Ristik, Jelena. “The Right to Asylum and the Principle of Non Refoulement Under the European Convention of Human Rights”. European Scientific Journal 13 (2017). Hlm. 115.

Syahrin, M. Alvi. “The Principle of Non refoulement as Jus Cogens: History, Application, and Exception in International Refugee Law.” Journal of Indonesian Legal Studies 6 (2021). Hlm. 53 82.

Weissbrodt, Hortreiter. “The Principle of Non refoulement: Article 3 of the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhumane and Degrading Treatment or Punishment in Comparison with the Non refoulement Provisions of Other International Human Rights Treaties.” 5 Buffalo Human Rights Law Review 1, 18 (1999).

Yulianto, Rohmad. “Integrasi Prinsip Non Refoulement Dengan Prinsip Jus Cogens Pada Kebijakan Penanganan Pengungsi Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 14 (2020), hlm. 497.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Bacaian, L.E. “The Protection of Refugees and Their Right to Seek Asylum in the European Union.”Tesis Magister Institut Européen de l'Université de Genève, Geneva, 2011.

Kadarudin. “Penerapan Prinsip Non Refoulement Oleh Indonesia Sebagai Negara Transit Pengungsi Internasional.” Tesis Magister Universitas Hasanuddin, Makassar, 2012.

Dokumen Internasional

Perserikatan Bangsa Bangsa. Convention Relating to the Status of Refugees, UNTS 189 (1951).

ECtHR.“CaseofD.A.andOthersv.Poland(FactsoftheCase).”22November2021.

ECtHR, “Case of D.A. and Others v. Poland (Conclusion of Admissibility).” 22 November 2021.

35 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

ECtHR. Guide on Article 4 of Protocol No. 4 to the European Convention on Human Rights, Strasbourg: Council of Europe Publishing. 2022.

ECtHR,“Soering v. The United Kingdom.ApplicationNo.14038/88.”1989.

Inter American Commission on Human Rights. Cartagena Declaration on Refugees. 1984.

Supreme Court of Canada. "B010 v. Canada (Citizenship and Immigration)." 2015.

Supreme Court of Canada. Kindler v. Canada (Minister of Justice), 2 S.C.R. 779, Canada: Supreme Court, 1991.

UNHCR. “Legal and Protection Policy Research Series: Article 31 of the 1951 Convention Relating to theStatusofRefugees.”Juli2017.

UNHCR. “Revised Guidelines on Applicable Criteria and Standards relating to the DetentionofAsylumSeekers.”Februari1999.

UNHCR.“SummaryConclusions:Article31ofthe1951Convention.”Juni2003.

Uni Afrika. The Organisation of African Unity Convention Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa. UNTS 14691 (1974).

United Nations Human Rights Committee. “Van Duzen v Canada (1982).” 7 April 1982.

Internet

Al Jazeera. “Poland completes Belarus border wall to keep asylum seekers out.” https://www.aljazeera.com/news/2022/6/30/poland belarus border completed wall to keep asylum seekers out. Diakses 30 Juli 2022.

Amnesty International. “Poland/Belarus Border: A Protection Crisis.” https://www.amnesty.org/en/latest/research/2021/09/poland belarus border crisis/. Diakses 30 Juli 2022.

Bathke, Benjamin. “Kurdish asylum seekers' hunger strike in Poland enters third week.” http://www.infomigrants.net/en/post/40855/kurdish asylum seekers hunger strike in poland enters third week. Diakses 30 Juli 2022.

BBC News. “Belarus Border Crisis: How Are Migrants Getting There?” https://www.bbc.com/news/59233244. Diakses 27 Juli 2022.

Błaszczak, Mariusz. “Na granicy z Białorusią powstanie nowy, solidny płot o wysokości 2,5 m. Więcej żołnierzy będzie zaangażowanych w pomoc Straży Granicznej. Wkrótce przedstawię szczegóły dotyczące dalszego zaangażowaniaSiłZbrojnychRP” 23 Agustus 2021 5:33 p.m. Twitter.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

36

Caritas Europa. “Migrant Emergency in Poland.” https://www.caritas.eu/migrant emergency in poland/#:~:text=In%20the%20summer%20of%202021,its%20eastern%20bord er%20with%20Belarus. Diakses 29 Juli 2022.

Council of the European Union. “Ukraine: Council unanimously introduces temporary protection for persons fleeing the war,” https://www.consilium.europa.eu/en/press/press releases/2022/03/04/ukraine council introduces temporary protection for persons fleeing the war/. Diakses 30 Juli 2022.

De Benedetti, David. “Poland's Finest Hour: Helping Ukraine After The Russian Invasion.” https://www.mondaq.com/constitutional administrative law/1175858/poland39s finest hour helping ukraine after the russian invasion . Diakses 30 Juli 2022.

European Council on Refugees and Exiles. “Poland: Parliament Approves ‘Legalisation’ of Pushbacks, Council of Ministers Adopt Bill to Construct Border Wall, Another Life is Lost at Border with Belarus.” https://ecre.org/poland parliament approves legalisation of pushbacks council of ministers adopt bill to construct border wall another life is lost at border with belarus/. Diakses 30 Juli 2022

European Council on Refugees and Exiles. “Poland: Rule of Lawlessness Continues as State of Emergency is Extended.” https://ecre.org/poland rule of lawlessness continues as state of emergency is extended. Diakses 29 Juli 2022.

France 24. “Russian invasion risks displacing more than 7 million Ukrainians, says EU crisis commissioner.” https://www.france24.com/en/europe/20220227 europe must prepare for millions of ukrainian refugeeseu commissioner says. Diakses 27 Juli 2022.

Górczyńska, Marta. “Legal Analysis of the Situation on the Polish Belarusian Border.” https://www.hfhr.pl/wp content/uploads/2021/09/Legal analysis ENG.pdf. Diakses 29 Juli 2022.

Helsińska Fundacja Praw Człowieka. “On The Side Of The Law: An Analysis Of The Situation On The Polish Belarusian Border.” https://www.hfhr.pl/en/on the

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

37

side of the law an analysis of the situation on thepolish belarusian border/. Diakses 30 Juli 2022.

Helsińska Fundacja Praw Człowieka. “Stanowisko HFPC w sprawie wprowadzenia stanu wyjątkowego.” https://www.hfhr.pl/stanowisko hfpc w sprawie wprowadzenia stanu wyjatkowego/. Diakses 30 Juli 2021.

HRW. “Violence and Pushbacks at Poland Belarus Border.” https://reliefweb.int/report/belarus/violence and pushbacks poland belarus border. Diakses 30 Juli 2022.

Huemer, Sarah. “Polish Parliament Approves Law for Migrant Pushbacks at Belarus Border.” https://www.politico.eu/article/polish parliament approved law for migrant pushbacks at the border/. Diakses 27 Juli 2022.

Journal of Laws of the Republic of Poland. “Act on Foreigners, of December 12, 2013.” https://www.asylumlawdatabase.eu/sites/default/files/aldfiles/EN%20 %20Poland%20act_on_foreigners_en_0.pdf. Diakses 30 Juli 2022.

Morales, Felipe González. “End of visit statement of the Special Rapporteur on the human rights of migrants, Felipe González Morales, on his visit to Poland and Belarus (12 25 July 2022).” https://www.ohchr.org/sites/default/files/documents/issues/migration/2022 07 27/EndofVisitStatement Poland Belarus26.07.2022.docx. Diakses 29 Juli 2022.

Pikulicka Wilczewska, Agnieszka. “As Poland repels migrants, locals offer humanitarian aid.” https://www.aljazeera.com/news/2021/11/11/poland locals aid. Diakses 30 Juli 2022.

Reliefweb.“ACAPS Thematic Report Migration crisis on the Poland Belarus border (update).” https://reliefweb.int/report/poland/acaps thematic report migration crisis poland belarus border update 01 july 2022. Diakses 30 Juli 2022.

Reliefweb. “Behind the Frictions at the Belarus Poland Border.” https://reliefweb.int/report/belarus/behind frictions belarus poland border. Diakses 29 Juli 2022.

Sandersons, Sertan. “EU and UNHCR raise alarm over pushback methods in Poland, Latvia and Lithuania.” https://www.infomigrants.net/en/post/37885/eu and unhcr raise alarm over pushback methods in poland latvia and lithuania Diakses 30 Juli 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

38

Tilles, Daniel. “Poland passes law expanding support for Ukrainian refugees.” https://notesfrompoland.com/2022/03/14/poland passes law expanding support for ukrainian refugees/. Diakses 30 Juli 2022.

Tondo, Lorenzo. “In Limbo: The Refugees Left on the Belarusian Polish Border A Photo Essay.” https://www.theguardian.com/global development/2022/feb/08/in limbo refugees left on belarusian polish border

eu frontier photo essay Diakses 27 Juli 2022.

UN General Assembly. “Universal Declaration of Human Rights.” https://www.refworld.org/docid/3ae6b3712c.html. Diakses 22 Juli 2022.

UNHCR Operational Data Portal. “Ukraine Refugee Situation ” http://data2.unhcr.org/en/situations/ukraine. Diakses 27 Juli 2022.

UN High Commissioner for Refugees (UNHCR). “UNHCR Note on the Principle of Non Refoulement.” http://www.refworld.rujgrflgfekwpo. Diakses 25 September 2022.

UNHCR. “Amicus Curiae in Support of Petitioner, Thawng Vung Thang v. Alberto Gonzales.” 9 February 2007, http://www.refworld.rujgrflgfekwpo. Diakses 26 September 2022.

UNHCR. “Problem Of Refugees And Asylum Seekers Who Move In An Irregular Manner From A Country In Which They Had Already Found Protection.” https://www.unhcr.org/uk/4aa77aa09.pdf. Diakses 25 September 2022.

UNHCR. “Protection of Asylum Seekers in Situations of Large Scale Influx No. 22 (XXXII) 1981.”https://www.unhcr.org/excom/exconc/3ae68c6e10/protection asylum seekers situations large scale influx.html, diakses 26 September 2022.

UNHCR.“The 1951 Refugee Convention.”https://www.unhcr.org/1951-refugeeconvention.html. Diakses 13 Juli 2022.

Yudha Susila, Akbar. “Poland’s Double Standard Response on Ukraine and Belarus Poland Border Refugee Crisis.” https://kontekstual.com/polands double standard response on ukraine and belarus poland border refugee crisis/ Diakses 27 Juli 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

39

BIOGRAFI PENULIS

Athallah Zahran Ellandra, lahir di Jakarta, 19 April 2001. Telah menyelesaikan pendidikan menengah di SMPN 19 Jakarta dan SMA Islam Al Izhar Pondok Labu. Saat ini tengah menempuh studi sebagai mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selama menjadi mahasiswa, ia aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi kampus, kompetisi hukum nasional maupun internasional, konferensi nasional maupun internasional, magang, volunteer, pengabdian masyarakat, dan memiliki ketertarikan dan kompetensi di bidang Hukum Tata Negara Hukum Internasional Publik, dan Hak Asasi Manusia. Dalam konteks magang, ia telah berkesempatan untuk magang di sektor publik, sektor swasta, maupun lembaga think tank.

Fahira Nauradhia Arifin merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang lahir pada 17 Februari 2001 di Melbourne. Penulis saat ini sedang mengambil konsentrasi Hukum Internasional Publik dengan ketertarikan utama pada bidang Hukum Udara, Hukum Lingkungan Internasional, dan Hukum Hak Asasi Manusia. Selama kuliah, Penulis aktif dalam berbagai organisasi di bidang penulisan dan riset, juga dalam mengikuti kompetisi hukum tingkat nasional maupun

40 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

internasional.

Qonita Syahfitri Meizarini Zulkarnaini merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang lahir pada 31 Agustus 2001 di Jakarta. Penulis memiliki berbagai pengalaman organisasi, terakhir menjadi Manager of External Relations di Asian Law Students’ Association Local Chapter UI, dan pengalaman volunteer, terakhir menjadi volunteer di Sandya Institute of Peace & Human Rights. Selain itu, beliau juga telah berkesempatan untuk mendapatkan pengalaman bermagang perusahaan swasta, BUMN, firma hukum, dan instansi pemerintah. Penulis memiliki ketertarikan dan fokus terhadap isu isu hak asasi manusia, hukum internasional publik, dan hukum bisnis.

41 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

GAGASAN JUDICIAL PREVIEW TERHADAP UU RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM RANGKA PEMBARUAN HUKUM DI INDONESIA

Fathul Hamdani1 dan Ana Fauzia2 1Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram, 83115, Indonesia 2Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 65144, Indonesia. fhmdnny@gmail.com1 Abstrak

Kedudukan perjanjian internasional tidak dijelaskan dalam hierarki perundang undangan nasional. Apabila pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang undang, maka undang undang pengesahan perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan melalui judicial review. Dari pembatalan tersebut dapat memberikan implikasi buruk di berbagai aspek, salah satunya politik luar negeri Indonesia. Penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan gagasan judicial preview terhadap undang undang ratifikasi perjanjian internasional dan melakukan komparasi dengan beberapa negara. Penelitian ini mengaplikasikan metode penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundang undangan, konseptual, dan perbandingan hukum. Hasil penelitian menegaskan bahwa melalui judicial preview terhadap undang undang ratifikasi perjanjian internasional akan didapatkan kepastian hukum, sebagai mekanisme checks and balances dan meningkatkan kualitas legislasi di Indonesia.

Kata Kunci: Judicial Preview, Pembaruan Hukum, Perjanjian Internasional

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

42

(THE IDEA OF JUDICIAL PREVIEW TO THE LAW ON RATIFICATION OF INTERNATIONAL TREATIES IN THE CONTEXT OF LEGAL REFORM IN INDONESIA)

Abstract

The standing of international treaties is not explained in the hierarchy of national legislation. If the ratification of an international treaties is carried out by the law, thus the law on ratification of the international treaties can be invalidated through the judicial review process. The revocation effect bad implications in various aspects, one of which is Indonesia's foreign policy. This study aims to examine the application of the idea of judicial preview to the law on ratification of international treaties and to make comparisons with several countries. This study applies normative legal research methods, with a statutory, conceptual, and comparative approach. The results of the study show that through a judicial preview of the law on ratification of international treaties, legal certainty will be obtained, as a mechanism of checks and balances and improve the quality of legislation in Indonesia.

Keywords: Judicial Preview, Legal Reform, International Treaties

43 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

A. Pendahuluan

Sebagai subjek Hukum Internasional, Indonesia merupakan negara yang aktif dan terlibat dalam agenda agenda kerja sama internasional baik yang sifatnya regional maupun global. Dalam kancah internasional tidak sedikit event internasional yang melibatkan indonesia atau bahkan sebagai penyelenggara, diantaranya adalah Konferensi Asia Afrika (KAA), Gerakan

Non Blok (GNB), Association of South East Asian Nations (ASEAN), Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), Asia Pasific Economic Cooperation (APEC), OKI Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan lainnya.

Dengan melihat keterlibatan aktif Indonesia dalam pergaulan internasional, hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata dalam peta perpolitikan global. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekuatan nasional yang dapat dikatakan cukup mapan dan stabil dibanding negara negara ketiga lainnya, dan sebagai subjek Hukum Internasional Indonesia memenuhi keseluruhan kriteria untuk diakui sebagai subjek Hukum Internasional.1 Sebagaimana yang diungkapkan oleh Robert Beckman dan Dagmar Butte terkait syarat syarat atau karakteristik sebuah negara dapat dikatakan sebagai subjek Hukum Internasional, yaitu:

A state has the following characteristics: (1) a permanent population; (2) a defined territory; (3) a government; and (4) the capacity to enter into relations with other States. Some writers also argue that a State must be fully independent and be recognized as a State by other States. The international legal system is a horizontal system dominated by States which are, in principle, considered sovereign and equal.2

(Sebuah negara wajib memiliki beberapa karakteristik, yakni: (1) penduduk yang menetap; (2) wilayah teritorial; (3) pemerintahan, dan (4) kapasitas untuk melakukan hubungan dengan negara lain. beberapa penulis berpendapat bahwa sebuah negara haruslah merdeka dan mendapatkan

1 Hans Morgenthau mengemukakan bahwa kekuatan nasional suatu bangsa merupakan suatu akumulasi dari kestabilan geografi, ketersediaan sumber daya alam yang memadai, kemampuan industri yang mendukung, kesiagaan militer, penduduk, karakter nasional, kualitas diplomasi, dan kualitas pemerintah. Lebih jauh lihat Hans Morgenthau dan Kenneth Thompson, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, ed. 6 (New York: McGraw Hill, 1985).

2 Robert Beckman and Dagmar Butte, “Introduction to International Law,” http://www.ilsa.org/jessup/intlawintro.pdf, diakses 10 April 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

44

pengakuan dari negara lain. Sistem Hukum Internasional adalah suatu sistem yang sifatnya horizontal yang didominasi oleh negara yang berdaulat dan setara satu sama lain).

Karakteristik keempat (kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara negara lain) sebagaimana dikatakan oleh Beckman dan Butte di atas harus didukung dengan oleh hal hal yang dapat melegitimasi dalam membangun pergaulan internasionalnya, atau yang biasa disebut kepribadian hukum (legal personality).3 Legal personality dari subjek Hukum Internasional dijelaskan dalam Konvensi Montevidio (The Convention on Rights and Duties of State of 1933) dalam Pasal 1 menyatakan legal personality mempunyai kecakapan Hukum Internasional guna mewujudkan kepribadian Hukum Internasional. Kecakapan hukum atau legal personality tersebut adalah mampu menuntut hak haknya di depan Pengadilan Internasional, mampu membuat perjanjian yang sah dan mengikat di dalam Hukum Internasional, menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestik, dan menjadi subjek dari sebagian atau keseluruhan yang dibebankan oleh kewajiban Hukum Internasional.4 Salah satu legal personality sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Montevidio di atas adalah membangun hubungan antarnegara melalui suatu kerja sama antarbangsa dan hal tersebut diwujudkan melalui perjanjian internasional. Arti penting dari hubungan internasional bagi Indonesia tercermin dari Konstitusi Bangsa Indonesia yang memasukkan klausul mengenai perjanjian internasional yakni pada Pasal 11 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Kendati klausul mengenai perjanjian internasional telah disebutkan dalam UUD NRI 1945, namun kedudukan perjanjian internasional tidak dijelaskan dalam hierarki perundang undangan nasional. Apabila pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang undang, maka undang undang pengesahan perjanjian internasional tersebut dapat dilakukan judicial review dengan konsekuensi

3 Noor Sidharta, Judicial Preview terhadap UU Ratifikasi Perjanjian Internasional, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2020), hlm. 3.

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 102

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

45
4

undang undang tersebut dinyatakan batal akibat bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Sejauh ini salah satu undang undang ratifikasi perjanjian internasional yang diuji di Mahkamah Konstitusi adalah UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara).5 Meskipun judicial review atas UU No. 38 Tahun 2008 tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, namun hal tersebut tidak berarti bahwa judicial review terhadap undang undang ratifikasi perjanjian internasional selanjutnya juga akan terus ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dapat dilihat dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang antara lain menyatakan, “Meski Indonesia telah mengikatkan diri dalam Perjanjian Internasional, namun sebagai negara berdaulat Indonesia tetap mempunyai hak mandiri untuk memutus keterikatan perjanjian itu jika dirasa merugikan atau tidak memberimanfaat”.6 Konsekuensi dibatalkannya undang undang ratifikasi perjanjian internasional oleh Mahkamah Konstitusi dapat memberikan implikasi buruk terhadap politik luar negeri Indonesia dan sekaligus melemahkan posisi Kementerian Luar Negeri yang merupakan ujung tombak diplomasi Indonesia.7 Hal tersebut juga dapat menghilangkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia sebab tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk pesan bahwa Indonesia seakan akan memutuskan perjanjian secara sepihak dan tidak mau tunduk terhadap prinsip prinsip Hukum Internasional yang telah diterima secara universal, bahkan secara terang terangan menabrak ketentuan hukum internasional tertulis.

Oleh karena itu, menanggapi kekhawatiran kekhawatiran di atas, Penulis tertarik untuk melakukan pengkajian dengan judul “Gagasan Judicial Preview

5 Noor Sidharta, et al., “Judicial Preview on the Bill on International Treaty Ratification,” Constitutional Review, Vol. 3, No. 1, (Mei 2017), hlm. 25.

6 Mahkamah Konstitusi, Putusan No. 33/PUU IX/2011 tentang Pengujian Undang Undang No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan perjanjian internasional Charter of The Association of Southeast Asian Nations, hlm. 193 194.

7 Devi Yulida, Ratna Herawati, dan Indarja, “Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Konstitusionalitas Rancangan Undang Undang Pengesahan Perjanjian

Internasional melalui Judicial Preview,” Diponegoro Law Journal, Vol. 10, No. 2 (April 2021), hlm. 347.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

46

terhadap Undang Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional dalam Rangka PembaruanHukumdiIndonesia”.Pembaruanhukumyangdimaksuddalamhal ini adalah dengan menggagas konsep baru dalam pengujian peraturan perundang undangan. Sebab konsep atau istilah mengenai judicial preview di Indonesia merupakan hal yang masih baru, khususnya dalam hukum tata negara dan dalam kaitannya dengan pengujian peraturan perundang undangan.

B. Pembahasan

1. Legal Reasoning Penerapan Gagasan Judicial Preview terhadap Undang Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional

Dalam suatu adagium latin yang berbunyi “pacta sunt servanda”, dikatakan bahwa setiap janji harus ditepati.8 Adagium ini kemudian diterima sebagai bagian dari prinsip prinsip hukum umum (general principles of law) dan norma dasar dalam Hukum Internasional. Pacta sunt servanda sebagai norma dasar dalam Hukum Internasional tersebut dapat ditemui dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties).9 Di dalam Pasal 26 Konvensi Wina disebutkan bahwa, “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” (Setiap perjanjian internasional yang berlaku mengikat pihak pihak dalam perjanjian internasional itu dan harus dilaksanakan dengan itikad baik). Hal tersebut berarti bahwa apabila suatu pihak dalam perjanjian internasional tidak menjalankan isi perjanjian dengan itikad baik, maka pihak tersebut telah melakukan pelanggaran kewajiban internasional (international legal obligation), sehingga ia dapat dipersalahkan secara internasional (internationally wrongful) dan dapat dituntut pertanggungjawabannya secara Hukum Internasional (internationally responsible).10 Meskipun Indonesia bukan merupakan pihak dalam Konvensi Wina, namun secara praktik Indonesia terikat oleh prinsip pacta sunt servanda

8 Daniel Aditia Situngkir, “Asas Pacta Sunt Servanda dalam Penegakan Hukum Pidana Internasional,” Jurnal Cendekia Hukum, Vol. 3, No. 2 (Maret 2018), hlm. 156.

9 Malcolm Shaw, International Law, ed. 8, (Cambridge: Cambridge University Press, 2017), hlm. 685.

10 I Dewa Gede Palguna dalam Noor Sidharta, Judicial Preview, hlm. v.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

47

tersebut. Keterikatan sebagaimana dimaksud dapat dijelaskan secara teoritik bahwa:11 Pertama, sebagaimana dapat ditelusuri bahwa Konvensi Wina merupakan penuangan hukum kebiasaan internasional ke dalam bentuk tertulis (perjanjian internasional); Kedua, Konvensi Wina merupakan penuangan dari prinsip prinsip hukum umum yang sudah diterima secara universal. Di samping itu, baik kebiasaan internasional maupun prinsip prinsip hukum (lebih lebih yang telah diterima secara universal) keduanya merupakan bagian dari sumber Hukum Internasional primer (primary sources of international law), sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional Tahun 1945 (Statute of the International Court of Justice).

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam membuat perjanjian internasional harus didasarkan pada prinsip kehati hatian, sebab ketika suatu negara telah mengikatkan dirinya dengan negara lain, tidak dibenarkan baginya untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat atas dasar hukum internal (hukum dalam negara) tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 Konvensi Wina yang menyatakan, “A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46” (Suatu pihak tidak boleh menggunakan ketentuan hukum internalnya sebagai pembenaran atas kegagalannya untuk melakukan perjanjian. Aturan ini tidak mengurangi Pasal 46).

Dalam upaya untuk mencapai prinsip kehati hatian tersebut dibutuhkan suatu instrumen hukum sebagai langkah preventif agar perjanjian internasional yang telah dibuat tidak dibatalkan di kemudian hari, baik karena bertentangan dengan kepentingan umum maupun bertentangan dengan konstitusi. Instrumen hukum yang dibutuhkan sebagai langkah preventif tersebut adalah dengan menerapkan judicial preview12 terhadap undang undang ratifikasi perjanjian internasional.

berasal dari kata “pre” dan “view” yang berarti kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu. Dalam kaitannya dengan pengujian undang undang, bisa dikatakan bahwa ketika undang undang belum secara sah sebagai

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

48
11 Ibid 12 Preview

Terdapat beberapa kelebihan apabila gagasan judicial preview terhadap undang undang ratifikasi perjanjian internasional diterapkan, diantaranya yaitu:

a. Menjamin Kepastian Hukum Perjanjian Internasional

Di dalam suatu peraturan hukum, terkandung asas asas hukum yang menjadi dasar pembentuknya. Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa asas hukum dapat diartikan sebagai “jantungnya” perarturan hukum.13 Adapun menurut Karl Larenz dalam bukunya “Methodenlehre der Rechtswissenschaft”, bahwa asas hukum merupakan ukuran ukuran hukum etis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum.14 Oleh karena asas hukum mengandung tuntutan etis, sehingga asas hukum dapat dikatakan sebagai jembatan antara peraturan hukum dengan cita cita sosial dan pandangan etis masyarakat.

Di dalam pembentukan aturan hukum, terbangun asas yang utama agar tercipta suatu kejelasan terhadap peraturan hukum, asas tersebut ialah kepastian hukum. Dalam upaya mencapai kepastian hukum tersebut, penerapan gagasan judicial preview dirasa mampu untuk memberikan kepastian hukum yang lebih terhadap setiap perjanjian internasional yang dibuat. Sebagaimana dijelaskan oleh Cécile Fabre, bahwa:

“Under Judicial Review constitutional courts are moved to act only if a claimant complains that one or several of constitutional rights have been violated. They cannot act before violated occurs, and this is sometimes to be their weakness. Under Constitutional Preview, by contrast, the constitutionality of the laws can be checked before they are implemented, which can partly pre emt violation of rights and

undang undang yang mengikat untuk umum, dan ketika undang undang tersebut sudah sah menjadi undang undang, merupakan dua keadaan yang berbeda. Apabila undang undang tersebut sudah sah sebagai undang undang, maka pengujian terhadapnya disebut judicial review. Namun, apabila statusnya masih sebagai rancangan undang undang dan belum diundangkan secara sah sebagai undang undang, maka pengujian terhadapnya disebut judicial preview. Lebih jauh lihat Ana Fauzia, Fathul Hamdani, dan Gama Rizky, “The Revitalization of the Indonesian Legal System in the Order of Realizing the Ideal State Law,” Progressive Law Review, Vol. 3, No. 1 (April 2021), hlm. 16.

13 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 45.

14 Dewa Gede Atmaja, “Asas Asas Hukum dalam Sistem Hukum,” Kertha Wicaksana, Vol. 12, No. 2 (Agustus 2018), hlm. 146.

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

49 Volume

enable the constitutional courts to assess the law from wider point of view than that offered byindividualcasestheyhavetoadjudicate.”15

(Melalui judicial review Mahkamah Konstitusi hanya dapat bertindak jika satu atau beberapa hak konstitusional pemohon telah dilanggar. Pemohon tidak dapat bertindak (mengajukan permohonan) sebelum terdapat pelanggaran atas haknya, dan ini sering kali merupakan kelemahan yang dialami pemohon. Sebaliknya, melalui judicial preview, konstitusionalitas undang undang dapat diperiksa sebelum diimplementasikan, di mana pada kondisi ini dapat dicegah suatu pelanggaran hak hak konstitusionalitas dan memungkinkan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa undang undang dari sudut pandang yang lebih luas dibandingkan dengan sudut pandang yang terdapat dalam kasus individu (judicial review).

Dengan demikian, beberapa ide dasar yang bisa ditarik dari judicial preview adalah sebagai berikut:

1) Judicial preview dapat mencegah terjadinya pelanggaran terhadap konstitusi maupun hak hak konstitusional warga negara.

2) Judicial preview menitikberatkan pada “timing” pengajuan, yakni sebelum undang undang tersebut sah untuk diberlakukan (saat masih dalam bentuk rancangan undang undang).

3) Judicial preview memberikan hakim suatu keadaan di mana hukum/undang undang lebih leluasa untuk ditafsirkan.

Keberadaan judicial preview dalam hal ini sejalan dengan semangat perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagaimana hakikat konstitusi sebagai norma dasar yang memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusionalnya.16 Sebab esensi dari suatu perlindungan adalah menjaga agar suatu hak asasi tidak dilanggar oleh keberadaan undang undang, khususnya terhadap perjanjian internasional yang berdampak luas terhadap ekonomi dan sosial suatu negara. Sehingga bagaimana mungkin Mahkamah Konstitusi dapat menjadi lembaga pelindung dan penjaga terhadap hak asasi manusia dan hak

15 Cécile Fabre, Social Rights Under the Constitution: Government and the Decent Life (Oxford: Clarendon Press, 2004), hlm. 173.

16 Fathul Hamdani, “Studi Komparasi Pengujian Undang Undang dalam Sistem Hukum Prancis dan Indonesia dalam Rangka Pembaruan,” https://fh.unram.ac.id/wp content/uploads/2021/08/FATHUL HAMDANI D1A017096.pdf, diakses 14 April 2022.

50 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

konstitusionalnya secara maksimal apabila Mahkamah Konstitusi harus menunggu terlebih dahulu adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia ataupun kepentingan nasional.17

Berdasarkan hierarki peraturan perundang undangan, suatu peraturan perundang undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi. Jika peraturan perundang undangan bertentangan, maka tidak dapat lagi dilihat sebagai suatu sistem yang dapat dilaksanakan dan ditegakkan.18 Sehingga dalam hal ini, judicial preview bermanfaat untuk meningkatkan kualitas rata rata produk legislasi (undang undang). Artinya, secara jelas bahwa suatu rancangan undang undang bila dinilai inkonstitutional, maka rancangan undang undang tersebut tidak dapat diloloskan secara langsung menjadi undang undang.19 Pengujian seperti demikian sangat tepat diberlakukan terhadap rancangan undang undang perjanjian internasional yang menjadi instrumen ratifikasi negara negara yang menganut doktrin dualisme Hukum Internasional. Dengan demikian, melalui mekanisme judicial preview ini, asas kepastian hukum dapat lebih ditegakkan, dan negara hadir untuk memberikan upaya preventif agar kepentingan nasional dan hak-hak konstitusional warga negara tidak dirugikan di kemudian hari.

b. Judicial Preview sebagai Mekanisme Kontrol Kekuasaan Dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa Indonesia sebagai sebuah negara hukum memiliki kontrol terhadap norma peraturan

17 Pemohon diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka benar benar memiliki legal standing atau kedudukan hukum, sehingga permohonan yang diajukan dapat diperiksa, diadili, dan diputus, sebagaimana mestinya oleh Mahkamah Konstitusi. Persyaratan legal standing atau kedudukan hukum dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan undang undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang undang yang dipersoalkan. Lebih jauh lihat Pasal 51 ayat (1) Undang Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 4 Peraturan MK No. 09/PMK/2020 tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara Pengujian Undang Undang.

18 A. K. Kurniawan, “Judicial Preview sebagai Mekanisme Verifikasi Konstitusionalitas suatu Rancangan Undang Undang,” Jurnal Konstitusi, Vol. 11, No. 4 (Desember 2014), hlm. 636 637.

19 Nicola Christine Corkin, “Developments in Abstract Judicial Review in Austria, Italy, and Germany,”(Thesis Department of Political Science Birmingham University, 2010), hlm. 7.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

51

perundang undangan yang dikenal dengan Abstract Review20 yang terbagi menjadi tiga, yakni Executive Review (seperti adanya pengujian Perda oleh Pemerintah Pusat), Legislative Review yang biasanya jika undang undang tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian maka kemungkinan akan direvisi, serta Judicial Review yang merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang undang atas UUD NRI Tahun 1945, dan juga Mahkamah Agung untuk menguji peraturan di bawah undang undang terhadap undang undang.21 Ketiga mekanisme kontrol ini salah satunya adalah mekanisme kontrol norma hukum yang sifatnya vertikal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dikenal dengan general norm control mechanism Terdapat suatu mekanisme kontrol berupa abstract review (oleh DPR) yakni suatu kontrol atas prosedur sebelum suatu norma peraturan perundang undangan mengikat untuk umum yang lebih spesifiknya berupa executive review. Contohnya adalah kontrol yang dilaksanakan Pemerintah Pusat terhadap rancangan peraturan daerah (Ranperda). Pemerintah Pusat dalam hal ini dapat menolak suatu Ranperda meski Ranperda tersebut telah mendapat persetujuan dari gubernur setempat. Adapun pada saat ini yang belum dimiliki Indonesia adalah suatu mekanisme kontrol terhadap suatu rancangan undang undang yang dilaksanakan oleh lembaga yudikatif.22 Dalam disertasinya, Nicola Christine Corkin mengemukakan bahwa: “…….. that abstract norm review permits an unelected body, a court, to decide if a law, passed by the elected, political body, can stand unchallenged and be applied within the state. Furthermore, the court can make this decision before the law is legally binding or even after depending on the court model. In this function, the court is an important part of the separation of powers model embedded in most codified constitutions in liberal democracies inEurope”.23

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang Undang (Depok: Rajawali Pers, 2010), hlm. 74 75.

Fathul Hamdani, “Studi Komparasi Pengujian Undang Undang dalam Sistem Hukum Prancis dan Indonesia dalam Rangka Pembaruan Hukum di Indonesia,” (Skripsi Sarjana Universitas Negeri Mataram, Mataram, 2021), hlm. 72.

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang Undang.

Nicola Christine Corkin, Developments in Abstract, hlm. 59.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

52
20
21
22
23

(……… abstrak norm review memberikan wewenang bagi lembaga atau pengadilam (yang pengisiannya bukan melalui pemilu/nonpolitik) untuk memutus sebuah undang undang, (yang dikeluarkan oleh lembaga politik) tidak dapat diberlakukan di dalam hukum negara. Lebih jauh lagi, lembaga atau pengadilan tersebut dapat menerapkan (wewenang) ini terhadap undang undang baik yang belum atau sudah berlaku mengikat secara hukum, tergantung bagaimana model peradilan tersebut. Dalam menjalankan fungsi ini, lembaga atau peradilan tersebut adalah bagian penting dari model pemisahan kekuasaan yang terdapat pada hampir semua konstitusi negara demokrasi liberal di Eropa).

Jadi sebuah negara yang telah memiliki kewenangan judicial preview terhadap rancangan suatu undang undang biasanya merupakan negara negara demokrasi maju yang kesadaran hukumnya tinggi, sebab konsep checks and balances dan pemisahan kekuasaan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

c. Konsep Judicial Preview sebagai Bagian dari Mekanisme Checks and Balances

Perubahan konsep judicial review ke konsep judicial preview berarti mengubah paradigma yang selama ini ada, untuk menuju paradigma yang lebih efektif dalam berhukum. Dengan penerapan critical legal studies dari pandangan Thomas Kuhn, dengan teori lompatan paradigmanya, yang melihat paradigma awal (judicial review) dalam sebuah konstitusi terhadap permasalahan di atas sebagai normal science, yang menurut Penulis akan membuka celah celah penyimpangan penyimpangan dalam melaksanakan konstitusi berupa atribusi pembentukan undang undang. Akibatnya terjadi keraguan dalam memahami norma norma hukum berdasarkan paradigma yang digunakan (anomalies). Misalnya, kewenangan Mahkamah Konstitusi yang berwenang menguji dan membatalkan undang undang jika pengadilan Mahkamah Konstitusi berpendapat ada pertentangan dengan norma konstitusi. Padahal, kekuasaan membuat undang undang ada di DPR (Legislatif) bersama

2022 Juris LK2 FHUI

53 Volume 12, No. 1,

Presiden (Eksekutif).24 Dalam kondisi demikian, sistem checks and balances begitu tidak jelas, lain halnya jika menggunakan konsep judicial preview, kekuasaan dalam membentuk undang undang dan pengundangannya tidak terganggu dengan pengaduan di Mahkamah Konstitusi, karena rancangan undang undang sebelum menjadi undang undang sudah diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu, akan sangat riskan jika peraturan pengesahan perjanjian internasional yang dihasilkan oleh DPR atau Presiden bertentangan dengan konstitusi, hukum nasional, dan nilai nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pentingnya peranan lembaga yudikatif yang dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi yaitu untuk memeriksa, menilai, dan memutus suatu perjanjian internasional apakah sesuai atau tidak dengan konstitusi, hukum nasional, maupun nilai nilai yang hidup di tengah masyarakat.25 Apabila Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa perjanjian yang disepakati (oleh eksekutif) bertentangan dengan hal hal di atas, maka hasil judicial review tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Presiden (Keppres) dan DPR (UU) sebelum melakukan pengesahan perjanjian internasional.

2. Contoh Penerapan Judicial Preview terhadap Undang Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional di Negara Lain Sebagai bahan pembelajaran bagi Indonesia, terdapat sejumlah negara yang menerapkan mekanisme judicial preview dalam setiap perjanjian internasionalnya. Diharapkan dengan adanya suatu komparasi berbagai negara berikut, dapat ditemukan sebuah rumusan atau sintesa baru mengenai norma judicial preview yang tepat bagi Indonesia.

a. Federasi Rusia

24 Desy Wulandari, “EX ANTE REVIEW dalam Mewujudkan Konstitusionalitas Peraturan Perundang Undangan di Indonesia,” Indonesian State Law Review, Vol. 1, No. 1 (Oktober 2018), hlm. 50.

25 Sipghotulloh Mujaddidi, “Judicial Preview sebagai Mekanisme Verifikasi Konstitusionalitas Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional,” (Skripsi Sarjana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2017), hlm. 127.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

54

Federasi Rusia adalah negara yang menganut doktrin monisme dalam kaitannya dengan hubungan hukum nasional Federasi Rusia dan Hukum Internasional. Dalam Undang Undang Federal Tahun 1995 tentang Perjanjian Internasional (Federal Law on International Treaties No. 101 FZ July 15, 1995) menekankan adanya peranan lembaga eksekutif, legislatif, serta lembaga lembaga negara lainnya dalam pembuatan perjanjian internasional. Adapun norma dalam Undang undang Federal Tahun 1995 tersebut seluruhnya mengikuti ketentuan Konvensi Wina.

Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia dalam hal judicial preview, ini dijelaskan dalam Article 3 Federal Constitutional Law on the Constitutional Court of the Russian Federation tentang Powers of the Constitutional Court of the Russian Federation:

“To protect the foundations of the constitutional system and the fundamental human and citizen rights and freedoms, and to ensure the supremacy and direct effect of the Constitution of the Russian Federation on the entire territory of the Russian Federation, the Constitutional Court of the Russian Federation:

1) Shall decide cases on conformity with the Constitution of the Russian Federation of: ……d) international treaties of the Russian Federation pending theirentryintoforce;....”

(Untuk melindungi sistem konstitusi dan hak hak fundamental dan kebebasan warga negara dan memastikan supremasi dan pengaruh Konstitusi Federasi Rusia pada seluruh wilayah teritorial Federasi Rusia, maka Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia berwenang untuk: 1) Mengadili perkara kesesuaian Konstitusi Federasi Rusia dengan: ……d) Sebelum suatu Perjanjian Internasional berlaku mengikat;….)

Dalam Pasal 3 Undang undang Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia di atas, memang tidak disebutkan secara eksplisit mengenai judicial preview, namun dalam pemaknaannya bahwa pengujian konstitusionalitas perjanjian internasional oleh Mahkamah Konstitusi

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

55

Federasi Rusia adalah pengujian yang dilakukan ketika suatu perjanjian internasional belum disahkan dan berlaku mengikat.26

Sesuai dengan Federal Law on International Treaties No. 101 FZ

July 15, 1995 yang mengatur mengenai perjanjian internasional, bahwa Majelis Rendah Rusia (State of Duma) dengan persetujuan dan pemeriksaan oleh Majelis Tinggi Rusia (Council of Federation) harus meratifikasi setiap perjanjian internasional yang disepakati. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa kendati Rusia dinyatakan menganut doktrin monisme, namun dengan melihat bahwa mayoritas perjanjian internasional harus diratifikasi oleh parlemen, hal tersebut menunjukkan ciri nyata dari doktrin dualisme. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas implementasi perjanjian internasional di Rusia yang menunjukkan bahwa urusan luar negeri tidak sekedar ikhwal kewenangan eksekutif, melainkan juga kewenangan parlemen.

b. Jerman

Jerman merupakan negara demokrasi parlementer. Pemerintahan sehari hari dipegang oleh seorang Kanselir (seperti Perdana Menteri di negara lain dengan bentuk pemerintahan serupa). Parlemen Republik Federal Jerman disebut Bundestag, yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Selain Bundestag, terdapat pula Bundesrat yang anggota anggotanya merupakan perwakilan pemerintahan negara negara bagian. Adapun Mahkamah Konstitusi Jerman disebut Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman (Bundesverfassungsgericht).

26 Menurut kedudukan hukum yang diungkapkan oleh Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia dalam Putusan 2 Juli 2013 No. 1055 O, peninjauan konstitusionalitas undang undang Federal tentang ratifikasi perjanjian internasional, termasuk peninjauan prosedur adopsi, sebagai aturan umum hanya dapat dilakukan sebelum berlakunya perjanjian internasional ini (yang biasanya tidak bertepatan dengan saat penyelesaian proses adopsi undang undang Federal yang relevan tentang ratifikasi perjanjian internasional); jika tidak, hal itu tidak hanya akan bertentangan dengan prinsip hukum internasional 'pacta sunt servanda' yang diakui secara universal dan dapat mempertanyakan kepatuhan Federasi Rusia terhadap kewajiban yang diambil secara sukarela, termasuk yang mengikuti Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional, tetapi juga tampak berbeda dengan Pasal 125 (butir d Ayat 2) Konstitusi Federasi Rusia dan ketentuan sub butir d butir 1 Bagian 1 Pasal 3 Undang Undang Federal “tentang Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia”, yang mengimplementasikannya dan yang memungkinkan Mahkamah Konstitusi Rusia untuk memutuskan kesesuaian dengan Konstitusi Rusia hanya untuk perjanjian internasional yang belum berlaku. Lihat Bagian 1.2 paragraf 1 Keputusan RCC No. 21 P/ 2015 14 Juli 2015, CDL

REF (2016) 019

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

56

Bundesverfassungsgericht memiliki kewenangan posteriori abstract review serta a priori abstract review. Berdasarkan Konstitusi Republik Federal Jerman, pembuatan perjanjian internasional di Jerman menjadi tanggung jawab dari eksekutif, sementara kewenangan parlemen dapat dikatakan sangat kecil. Karena Jerman adalah negara yang menganut doktrin monisme, maka hanya sebagian kecil perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan parlemen sebelum perjanjian internasional tersebut disahkan.27

Mengenai judicial preview, sebenarnya tidak ditemukan ketentuan yang mengaturnya dalam Grundgesetz/Basic Law for the Federal Republic of Germany. Akan tetapi pengujian terhadap suatu naskah perjanjian internasional sebelum disahkan menjadi bagian dari hukum federal Jerman (judicial preview) sudah menjadi suatu praktik ketatanegaraan, meskipun tidak diatur dalam Konstitusi Jerman.28

Jika merujuk pada Pasal 59 ayat (2) Basic Law di Jerman, mensyaratkan bahwa untuk kategori tertentu dari perjanjian internasional, dinyatakanbahwa“(2) Treaties that regulate the political relations of the Federation or relate to subjects of federal legislation shall require the consent or participation, in the form of a federal law, of the bodies responsible in such a case for the enactment of federal law. In the case of executive agreements the provisions concerning the federal administration shall apply, mutatis mutandis.”, dan badan yang dimaksud yakni tidak lain adalah Parlemen, yang berarti, bahwa untuk kategori kategori tersebut eksekutif dan legislatif harus bekerja sama. Oleh karena itu, Pasal 59 ayat (2) Basic Law mensyaratkan perbedaan antara perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan parlemen dan perjanjian perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan tersebut. Pasal 59 ayat (2) dari Basic Law mengacu pada dua kategori yang berbeda dari perjanjian internasional, yang kesimpulannya memerlukan

Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), hlm. 49.

28 Noor Sidharta, Judicial Preview, hlm. 161.

No. 1,

LK2 FHUI

57 Volume 12,
2022 Juris
27

persetujuan Parlemen: yang 'mengatur hubungan politik Federasi' dan yang 'berkaitan dengan subyek undang undang federal'.

Tujuan mensyaratkan persetujuan Parlemen untuk perjanjian perjanjian yang termasuk dalam kategori pertama perjanjian perjanjian yang disebutkan dalam pasal 59 ayat (2) Basic Law adalah untuk memastikan bahwa eksekutif tidak mengambil tindakan tindakan yang memiliki relevansi signifikan bagi hubungan internasional Jerman tanpa memiliki melibatkan legislatif sebelumnya. Kategori kedua dari perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan Parlemen, menurut pasal 59 ayat (2) Basic Law adalah perjanjian yang berbunyi,

‘relate to subjects of federal legislation'. Kategori ini mencakup semua perjanjian yang harus dilaksanakan melalui perundang undangan.29 Tujuan dari klausul ini cukup jelas, yakni merupakan jaminan bahwa eksekutif tidak membuat komitmen internasional yang mungkin bertentangan dengan undang undang yang ada atau yang mungkin melanggar undang undang di masa depan. Sebenarnya, kebutuhan untuk meminta persetujuan Parlemen untuk jenis perjanjian internasional ini mencerminkan prinsip penting dalam hukum tata negara Jerman, yaitu bahwa keputusan penting memerlukan persetujuan tersebut (disebut Wesentlich keitstheorie).30

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa sebagai konsekuensi dianutnya doktrin monisme, yakni ketika suatu perjanjian internasional ditandatangani Jerman, maka secara otomatis perjanjian tersebut memperoleh status sebagai Hukum Federal Jerman.31 Artinya, dalam konteks preview yang dilakukan oleh Jerman, ini dapat dilihat melalui mekanisme persetujuan oleh Parlemen terhadap beberapa perjanjian internasional, yang tujuannya adalah menjamin bahwa eksekutif tidak

29 BVerfG Case 2 BvE 2/51 (n 28 above) 388ff.

30 Lihat prinsip dasar BVerfG Case 2 BvL 8/77 (8 August 1978) (1979) 49 Entscheidungen des Bundesverfassungsgerichts 89 126; bandingkan juga dengan HH Klein, “Stellung und Aufgaben des Bundestags,” in Handbuch des Staatsrechts, Vol. III (3rd edn 2005) sec 50 paras 23ff.

31 Maja Nastic, “ECHR and National Constitutional Court,” German Law Journal, Faculty of Law University of Nis, hlm. 208.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

58

membuat suatu perjanjian internasional yang berpotensi bertentangan dengan undang undang yang ada atau berpotensi melanggar undang undang di masa yang akan datang.

c. Hongaria

Kewenangan pembuatan perjanjian internasional dalam sistem pemerintahan Hongaria berada di tangan Presiden.32 Dalam Pasal 1 ayat

(1) huruf d The Fundamental Law of Hungary (Hungarian: Magyarország Alaptörvénye) yang merupakan Konstitusi Hongaria ditentukan bahwa suatu perjanjian internasional yang telah disepakati oleh perwakilan negaranya harus melalui pengesahan parlemen. Sementara itu, Konstitusi Hongaria memiliki kewenangan yang memungkinkan Mahkamah Konstitusi Hongaria melakukan pengujian ex ante RUU perjanjian internasional sebelum disahkan menjadi undang undang.33 Kewenangan Mahkamah Konstitusi Hongaria dalam memeriksa konstitusionalitas perjanjian internasional (judicial preview) terdapat dalam Pasal 24 Konstitusi Hongaria, yaitu:

(1) The Constitutional Court shall be the supreme organ for the protection of the Fundamental Law.

(2) The competence of the Constitutional Court includes a. the ex ante examination of unconstitutionality of Acts of Parliament adopted but not yet promulgated; b. review, upon judicial initiative, of laws to be applied in a specific case with regard to their conformity with the Fundamental Law; c. review, on the basis of a constitutional complaint, of laws to be applied in a specific case or of a judicial decision with regard to their conformity with the Fundamental Law; d. at the initiative of the Government or of one quarter of all Members of Parliament, review of laws with regard to their conformity with the Fundamental Law;

32 Alfian Yulianto, “Judicial Preview sebagai Mekanisme Penakaran Konstitusionalitas Rancangan Undang Undang,” Journal of Indonesian Law, Vol. 1, No. 1 (Juni 2020), hlm. 25.

33 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang Undang (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 192.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

59

e. examination of conflicts between domestic law and international treaties; and f. exercising other tasks and competences laid down in the Fundamental Law and in a cardinal Act of Parliament.

Di dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf a dan b Konstitusi Hongaria tersebut terlihat bahwa Mahkamah Konstitusi Hongaria berwenang untuk melakukan pemeriksaan yang bersifat ex ante (preview) atas inkonstitusionalitas Undang undang Parlemen yang disahkan tetapi belum diundangkan, dan juga melakukan peninjauan atas inisiatif yudisial terhadap undang undang yang akan diterapkan dalam kasus tertentu sehubungan dengan kesesuaiannya dengan Hukum Dasar. Sehingga dalam kaitannya dengan perjanjian internasional, maka dilakukan preview terlebih dahulu sebelum diberlakukan sebagai undang undang. Salah satu hal yang menarik dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi Hongaria adalah bahwa Mahkamah Konstitusi Hongaria berwenang membatalkan perundang undangan nasionalnya jika dianggap bertentangan dengan perjanjian internasional yang telah disepakati Hongaria, dan hal tersebut juga dapat diajukan oleh Mahkamah Konstitusi Hongaria sendiri. Dalam Pasal 24 ayat (3) huruf c Konstitusi Hongaria dinyatakan bahwa, “may annul any piece of legislation or any constituent provision which conflicts with an international agreement….”. Ketentuan tersebut sangat menarik sebab hal tersebut belum lazim ditemukan di negara negara lain, dan hal tersebut sekaligus juga menandakan bahwa Hongaria dalam sistem ketatanegaraannya berhati hati agar tidak menciptakan produk hukum yang bertentangan dengan kewajibannya di dalam perjanjian internasional.

d. Prancis

Salah satu model pengujian undang undang yang ada di Prancis adalah adanya konsep yang dikenal dengan sebutan Constitutional Preview 34 Walaupun di berbagai literatur model tersebut juga disebut dengan konsep Judicial Preview, Abstract Review, Abstract Judicial

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

60
34 Ana Fauzia, Fathul Hamdani, & Gama Rizky, The Revitalization, hlm. 16 17.

Review, Ex Ante Review. Nomenklatur yang digunakan negara negara tidak seragam dalam menyebut Judicial Preview, namun secara substansi menguji rancangan undang undang.35

Dalam sistem hukum Prancis, lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas suatu undang undang bukanlah lembaga yang berbentuk kehakiman sebagaimana halnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia, melainkan sebuah Dewan Konstitusi.36 Maka menurut Penulis konsep pengujian rancangan undang undang yang ada di Prancis tersebut lebih ideal disebut dengan Constitutional Preview.

Di dalam Article 61 Konstitusi Republik Kelima,37 diatur wewenang Dewan Konstitusi, bahwa sebelum UU organik38 diundangkan dan sebelum peraturan tata tertib Majelis Nasional (Standing orders of the house of Parliament) dilaksanakan, keduanya harus diperiksa atau diuji konstitusionalitasnya oleh Dewan Konstitusi.39 Sebagai negara yang menganut doktrin monisme, Prancis pada dasarnya tidak lagi memerlukan instrumen ratifikasi berupa undang undang, sebab perjanjian internasional yang sudah disepakati otomatis menjadi bagian dari hukum negara. Akan tetapi perjanjian internasional tersebut harus melewati pemeriksaan atau review dari Dewan Konstitusi terlebih dahulu sebelum ditandatangani atau disahkan.

35 Noor Sidharta, Judicial Preview, hlm. 141.

36 Dewi Nurul Savitri, “Constitutional Preview and Review of International Treaties: France AndIndonesiaCompared,” Journal of Constitutional Review, Vol. 5, No. 1 (Mei 2019), hlm. 58.

37 Pasal ini berisikan ketentuan yang mengatur tentang standing to sue, yaitu mereka yang berhak mengajukan tuntutan untuk menguji peraturan perundang undangan apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Lihat Henry Campbell Black dalam Sri Soematri, Hak Uji Materiel di Indonesia, ed. 2 (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 42 43.

38 Sebenarnya tidak ada perbedaan bentuk maupun tata cara pembentukan antara undang undang organik dengan undang undang biasa yang bukan organik. Secara umum dan formal suatu undang undang disebut undang undang organik apabila dibuat atas perintah UUD. Lihat Sri Soematri, Hak Uji, hlm. 41. Selain itu dalam Boldizsar Szentgali Toth dijelaskan bahwa sebagian besar undang undang organik mencakup bidang kelembagaan, antara lain: fungsi Parlemen, status anggota peradilan, status Dewan Konstitusi, fungsi Dewan Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, dan kekuasaan serta tindakan Pembela Hak. Kemudian pembatasan kedaulatan Prancis juga termasuk dalam lingkup hukum organik. Lihat Boldizsar Szentgali Toth,“Organic Laws and the Principle of DemocracyinFranceandSpain,” Pro Futuro Journal, Vol. 9, No. 4 (2019), hlm. 66 67.

39 Siti Adelia Pratiwi, “Gagasan Judicial Preview dalam Sistem Hukum Indonesia (Studi Refleksi Terhadap Dewan Konstitusi Prancis),” (Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh, Banda Aceh, 2021), hlm. 39.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

61

Dari berbagai contoh mengenai penerapan judicial preview terhadap ratifikasi perjanjian internasional di negara lain di atas, yang apabila dibandingkan dengan Indonesia, maka akan didapatkan beberapa hal, yakni sebagai berikut:

Tabel 1. Perbandingan Judicial Preview Berbagai Negara dengan Indonesia

Jenis Kewenangan Rusia Jerman Hongaria Prancis Indonesia Judicial Preview Ada (Dalam Konstitusi)

Praktik Ketatanegaraan Ada (Dalam Konstitusi)

Ada (Dalam Konstitusi)

Tidak Ada Judicial Review UU PI

Tidak ada Praktik Ketatanegaraan Ada Tidak Ada Ada Doktrin HI yang dianut Monisme Monisme Dualisme Monisme Dualisme (Dalam Praktik PI)

Dari tabel di atas dapat dilihat beberapa hal yang menjadi perbedaan dan persamaan antara Indonesia dengan Rusia, Jerman, Hongaria, dan Prancis. Misalnya terkait doktrin Hukum Internasional yang dianut, Indonesia dan Hongaria sama sama menganut doktrin dualisme. Akan tetapi Indonesia tidak menerapkan konsep judicial preview. Begitupun antara Indonesia dengan ketiga negara lainnya, yang mana ketiga negara tersebut menganut doktrin monisme dan juga judicial preview sementara Indonesia tidak. Akan tetapi yang menjadi penekanan mengapa Penulis menggunakan keempat negara tersebut sebagai contoh adalah untuk melihat bagaimana konsep judicial preview yang digunakan oleh negara yang menganut doktrin

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

62

monisme dan dualisme. Sehingga meskipun Indonesia tidak mengadopsi doktrin monisme, namun dalam proses ratifikasi perjanjian internasional, tidak ada proses peninjauan kembali baik yang dilakukan oleh lembaga legislatif maupun lembaga lainnya dalam memastikan bahwa tidak ada pertentangan antara perjanjian internasional yang sudah disepakati dengan hukum nasional yang ada. Oleh karena itu, pengadopsian konsep judicial preview ke dalam hukum nasional merupakan suatu urgensi dan sebagai bentuk pembaharuan hukum dalam pengujian peraturan perundang undangan di Indonesia, layaknya negara Hongaria yang juga menerapkan konsep judicial preview ke dalam sistem hukum nasionalnya meskipun menganut doktrin dualisme.

C. Penutup

Dengan dilakukannya pengujian terhadap UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara), menunjukkan adanya potensi di kemudian hari Mahkamah Konstitusi membatalkan perjanjian internasional yang dibuat Indonesia dengan negara lain. Untuk menghindari dampak pembatalan tersebut, maka gagasan judicial preview merupakan suatu mekanisme yang tepat diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dalam rangka mengawal setiap perjanjian internasional yang dibuat agar tidak bertentangan dengan konstitusi, hukum nasional, maupun nilai nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Di samping itu, dengan melihat berbagai praktik di negara lain seperti Rusia, Jerman, Hongaria, dan Prancis tentu dapat menjadi rujukan bagi Indonesia dalam merumuskan konsep judicial preview, yakni apakah melalui rekonstruksi instrumen hukum mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi atau cukup hanya dengan memasukkan kewenangan judicial preview ke dalam tubuh Mahkamah Konstitusi sebagai kebiasaan dalam hukum ketatanegaraan.

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

63 Volume

A. Buku

Asshiddiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang Undang. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang Undang. Depok: Rajawali Pers, 2010.

Aust, Anthony. Modern Treaty Law and Practice. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.

Fabre, Cécile. Social Rights Under the Constitution: Government and the Decent Life. Oxford: Clarendon Press, 2004.

Morgenthau, Hans dan Kenneth Thompson. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Ed. 6. New York: McGraw Hill, 1985.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012.

Sefriani. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Depok: Raja Grafindo Persada, 2012.

Shaw, Malcolm. International Law. Ed. 8. Cambridge: Cambridge University Press, 2017.

Sidharta, Noor. Judicial Preview terhadap UU Ratifikasi Perjanjian Internasional. Depok: Raja Grafindo Persada, 2020. Soematri, Sri. Hak Uji Materiel di Indonesia. Ed. 2. Bandung: Alumni, 1997.

B. Jurnal atau Majalah

Atmaja, Dewa Gede. “Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum.” Kertha Wicaksana. Vol. 12, No. 2 (Agustus 2018). Hlm. 145 155.

C. Calliess in Isensee & Kirchhof (n 9 above) sec 83 para 52.

Fauzia, Ana, Fathul Hamdani, dan Gama Rizky. “The Revitalization of the Indonesian Legal System in the Order of Realizing the Ideal State Law.” Progressive Law Review. Vol. 3, No. 1 (April 2021). Hlm. 12 25.

Klein, HH. “Stellung und Aufgaben des Bundestags.” in Handbuch des Staatsrechts. Vol. III (3rd edn 2005) sec 50 paras 23ff.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

64
Daftar Pustaka

Kurniawan, A. K. “Judicial Preview sebagai Mekanisme Verifikasi Konstitusionalitas suatu Rancangan Undang Undang.” Jurnal Konstitusi. Vol. 11, No. 4 (Desember 2014). Hlm. 632 649.

Maja. Nastic “ECHR and National Constitutional Court.” German Law Journal, Faculty of Law University of Nis.

Savitri, Dewi Nurul. “Constitutional Preview and Review of International Treaties: France And Indonesia Compared.” Journal of Constitutional Review. Vol. 5, No. 1 (Mei 2019). Hlm. 39 68.

Sidharta, Noor. et al. “Judicial Preview on the Bill on International Treaty Ratification.” Constitutional Review. Vol. 3, No. 1 (Mei 2017). Hlm. 24 42.

Situngkir, Daniel Aditia. “Asas Pacta Sunt Servanda dalam Penegakan Hukum Pidana Internasional.” Jurnal Cendekia Hukum. Vol. 3, No. 2 (Maret 2018). Hlm. 153 165. Szentgali Toth, Boldizsar. “Organic Laws and the Principle of Democracy in France and Spain.” Pro Futuro Journal. Vol. 9, No. 4 (2019). Hlm. 62 74.

Wulandari,Desy. “EXANTEREVIEWdalamMewujudkanKonstitusionalitas Peraturan Perundang Undangan di Indonesia.” Indonesian State Law Review. Vol. 1, No. 1 (Oktober 2018). Hlm. 37 52.

Yulianto, Alfian. “Judicial Preview sebagai Mekanisme Penakaran Konstitusionalitas Rancangan Undang Undang.” Journal of Indonesian Law Vol. 1, No. 1 (Juni 2020). Hlm. 1-34.

Yulida, Devi, Ratna Herawati, dan Indarja. “Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Konstitusionalitas Rancangan Undang Undang Pengesahan Perjanjian Internasional melalui Judicial Preview.” Diponegoro Law Journal. Vol. 10, No. 2 (April 2021). Hlm. 342 354.

65 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

C. Skripsi, Tesis, atau Disertasi

Corkin, Nicola Christine. “Developments in Abstract Judicial Review in Austria, Italy, and Germany.” Thesis Department of Political Science Birmingham University. 2010.

Hamdani, Fathul. “Studi Komparasi Pengujian Undang Undang dalam Sistem Hukum Prancis dan Indonesia dalam Rangka Pembaruan Hukum di Indonesia.” Skripsi Sarjana Universitas Negeri Mataram. Mataram. 2021.

Mujaddidi, Sipghotulloh. “Judicial Preview sebagai Mekanisme Verifikasi Konstitusionalitas Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional.” Skripsi Sarjana Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. 2017. Pratiwi, Siti Adelia. “Gagasan Judicial Preview dalam Sistem Hukum Indonesia (Studi Refleksi Terhadap Dewan Konstitusi Prancis).” Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh. Banda Aceh. 2021.

D. Internet

Beckman, Robert and Dagmar Butte. “Introduction to International Law.” http://www.ilsa.org/jessup/intlawintro.pdf. Diakses 10 April 2022

Hamdani, Fathul. “Studi Komparasi Pengujian Undang Undang dalam Sistem Hukum Prancis dan Indonesia dalam Rangka Pembaruan.” https://fh.unram.ac.id/wp content/uploads/2021/08/FATHUL HAMDANI D1A017096.pdf. Diakses 14 April 2022.

E. Peraturan Perundang Undangan

Federasi Rusia. Undang Undang Dasar Tahun 1993.

Federasi Rusia. Undang Undang Federal Tahun 1995 tentang Perjanjian Internasional (Federal Law on International Treaties No. 101 FZ July 15, 1995).

Hongaria. Konstitusi Hongaria Tahun 2011 (Magyarország Alaptörvénye).

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

66

Indonesia. Peraturan MK tentang Tata Cara Beracara dalam Perkara

Pengujian Undang Undang, Peraturan MK No. 09/PMK/2020.

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Indonesia. Undang Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, LN No. 216 Tahun 2020, TLN No. 6554.

Jerman. Basic Law for the Federal Republic of Germany. Prancis. Undang Undang Dasar Republik Kelima Tahun 1958.

F. Dokumen Internasional

Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi Montevidio Tahun 1933 (The Convention on Rights and Duties of State).

Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties).

Perserikatan Bangsa Bangsa. Statuta Mahkamah Internasional Tahun 1945 (Statute of the International Court of Justice).

G. Putusan Pengadilan

Mahkamah Konstitusi. Putusan No. 33/PUU IX/2011 tentang Pengujian Undang Undang No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan perjanjian internasional Charter of The Association of Southeast Asian Nations.

Federasi Rusia. Keputusan RCC No. 21 P/ 2015 14 Juli 2015, CDL REF (2016) 019.

Jerman. BVerfG Case 2 BvE 2/51 (n 28 above) 388ff.

Jerman. BVerfG Case 2 BvL 8/77 (8 August 1978) (1979) 49 Entscheidungen des Bundesverfassungsgerichts 89 126.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

67

BIOGRAFI PENULIS

Ana Fauzia lahir di Pasuruan, 8 November 1999. Ia merupakan lulusan S1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Saat ini aktif di bidang kepenulisan, dan telah menerbitkan lebih dari 20 artikel ilmiah di berbagai jurnal nasional bereputasi dan jurnal internasional. Baru baru ini ia juga sudah menerbitkan buku denganjudul“AValueofAwareness(Petuahuntuk Anak Muda di Abad ke 21) bersama dengan Fathul Hamdani dan Widodo Dwi Putro.

Fathul Hamdani lahir di Erat Mate, Kabupaten Lombok Barat, 17 Agustus 1998. Ia merupakan mahasiswa Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Mataram. Saat ini aktif di bidang kepenulisan dan di bidang sosial. Di bidang kepenulisan, ia sudah menerbitkan lebih dari 20 artikel ilmiah di berbagai jurnal nasional bereputasi dan jurnal internasional. Di bidang sosial, ia aktif sebagai pengajar di Komunitas Bale Aksara, komunitas yang bergerak di bidang literasi dan pengabdian sosial yang ada di Lombok Barat.

68 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

PELARANGAN EKSPOR MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA OLEH

UNI EROPA AKIBAT RENEWABLE ENERGY DIRECTIVE II

BERDASARKAN HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura Abstrak

Permasalahan Indonesia dan Uni Eropa muncul dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II). Indonesia sebagai pengekpor minyak sawit mengklaim bahwa kebijakan Uni Eropa merupakan tindakan diskriminatif dalam perdagangan internasional akan tetapi Uni Eropa berpendapat bahwa kebijakan tersebut merupakan langkah Uni Eropa untuk konsisten pada Paris Agreement sehingga permasalahan tersebut menjadi isu hukum yang menarik untuk di bahas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) oleh Uni Eropa merupakan pelanggaran terhadap Prinsip Most Favored Nation pada produk minyak sawit Indonesia. Uni Eropa berpendapat (RED II) merupakan Exceptions sebagai bentuk komitmen Uni Eropa pada Paris Agreement dan menyatakan bahwa alih fungsi lahan gambut dapat menyebabkan pemanasahan global yang diakibatkan oksidasi gambut yang melepaskan CO2 ke Atmosfer. Maka dapat dipahami bahwa pemberlakukan (RED II) bukanlah tindakan yang diskiminatif yang melanggar hukum perdagangan internasional.

Kata Kunci : Perdagangan Internasional, Renewable Energy Directive II, Minyak Kelapa Sawit

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

69

THE PROHIBITION OF PALM OIL EXPORTS IN INDONESIA BY THE EUROPEAN UNION DUE TO RENEWABLE ENERGY DIRECTIVE II BASED ON INTERNATIONAL TRADE LAW

Abstract

The problems between Indonesia and the European Union emerged from the Renewable Energy Directive II (RED II) policy. Indonesia as a palm oil exporter claims that the EU's policy is a discriminatory act in international trade but the European Union argues that this policy is a step by the European Union to be consistent with the Paris Agreement so that the issue becomes an interesting legal issue to discuss. This study aims to determine whether the Renewable Energy Directive II (RED II) policy by the European Union is a violation of the Most Favored Nation Principle on Indonesian palm oil products. The European Union argues (RED II) is an exception as a form of the European Union's commitment to the Paris Agreement and states that the conversion of peatland can cause global warming which causes peat oxidation which releases CO2 into the atmosphere. So it can be understood that the implementation of (RED II) is an act that violates international trade law.

Keywords: International trade, Renewable Energy Directive II, Palm Oil

70 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Perdagangan internasional merupakan faktor terpenting dalam perkembangan globalisasi di dunia dengan ditandai mudahnya kerjasama internasional antar negara sehingga perdagangan internasional dapat meningkatkan perekonomian setiap negara. Perdagangan internasioal biasanya identik berhubungan dengan kegiatan bisnis yaitu ekspor,impor, jasa, lisensi, hak cipta dan lain sebagainya. Selain itu perdagangan internasional mewujudkan negara untuk menjadi negara sejahtera (welfare state).1 Dalam perkembangan perdagangan internasional tentunya terdapat Organisasi internasional yang mengatur mengenai mekanisme tentang perdagangan internasional yaitu WTO (World Trade Organization) yang mempunyai kerangka pengaturan yang tercantum didalam GATT, GATS dan TRIPS. Dalam perkembangan perdagangan internasional atau dikenal dengan era liberalisasi perdagangan saat ini memudahkan negara untuk meningkatkan ekonomi setiap negara terutama pada sektor impor dan ekspor barang 2 Perdagangan internasional tentunya akan memberikan kesempatan kepada setiap negara baik negara maju, berkembangan dan Low Income agar meningkatkan pendapatan devisa negaranya. 3 Perdagangan internasional juga bemanfaat untuk memenuhi kebutuhan setiap warga negara dengan terpenuhinya produktivitas barang dan jasanya serta meningkatan taraf hidup manusia dengan mudahnya setiap orang memenuhi kebutuhan pokoknya. Untuk mendukung liberalisasi perdagangan internasional, WTO (World Trade Organization) dalam kerangka aturan hukumya mewajibkan kepada setiap anggota WTO (World Trade Organization) untuk patuh dalam prinsip perdagangan internasional. Salah

1 Muhamaad Sood, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm.1.

2 Joseph E. Stiglitz and Andrew Charlton, ‘Fair Trade For All How Trade Can Promote Development’ (Oxford University Press inc, 2005), hlm 11.

3 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013). hlm.19.

71 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

satu prinsip utama perdagangan bebas yaitu Non diskriminasi yang terdiri dari dua : Most Favored Nation dan National Treatment.4

WTO (World Trade Organization) memberikan pengucualian atas pelanggaran prinsip prinsip perdagangan bebas yaitu yang tercantum General Exceptions yaitu pada pasal 20 GATT yang menjelaskan beberapa komponen setiap negara boleh melakukan hambatan atau penghentian dalam perdagangan dengan beberapa alasan.5 Salah satunya adalah pasal 20 GATT huruf b berbunyi “necessary to protect human, animal or plant life or health”. 6 Dan pasal 20 GATT huruf g berbunyai “relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption”. 7 WTO (World Trade Organization) mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan ini didalam Preamble of the World Trade Organization yang menjelaskan bahwa setiap perdagangan internasional harus meningkatkan taraf hidup secara optimal dengan memperhatikan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan berkomitmen untuk melindungi dan melestarikan lingkungan dalam setiap pembangunan ekonomi. 8 Salah kasus yang berhubungan dengan lingkungan dan perdagangan adalah kasus Indonesia melawan Uni eropa. Kasus ini bermula dengan dikeluarkan suatu kebijakan oleh Uni Eropa yaitu Renewable Energy Directive II (RED II) yang bertujuan untuk meningkatkan pengunaan sumber daya energi terbarukan sebagai mana komitmen Uni Eropa pada Paris Agreement.9 Indonesia keberatan dengan Pasal 26 ayat (2) RED II turunan dari pengaturan Indirect land use change (ILUC) yang menjelaskan bahwa setiap negara membatasi penggunaan lahan gambut dan lahan basah untuk biofuels, bioliquid atau biomass yang menyebabkan stok karbon yang tinggi. Uni Eropa berpendapat bahwa negara negara anggota Uni Eropa tidak boleh mengkonsumsi bahan bakar biofuels, bioliquid atau biomass yang dalam proses penamannya yang menggunakan lahan

Nikel

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

Dan Diskriminasi

Perekonomian

72
4 Ibid 5 Joseph E. Stiglitz and Andrew Charlton, Ot Cipt,. hlm 14 15. 6 Pasal 20 GATT huruf b The General Agreement On Tariffs And Trade 7 Pasal 20 GATT huruf g The General Agreement On Tariffs And Trade 8 Ibid 9 Sekar Wiji Rahayu dan Fajar Sugianto, ‘Implikasi Kebijakan
Pelarangan Ekspor Dan Impor Minyak Kelapa Sawit Dan Bijih
Terhadap
Indonesia’. Jurnal Ilmu Hukum. Volume 16 Nomor 2. 2020. hlm. 205

gambut dan lahan basah, kecuali disertifikasi sebagai bahan bakar yang berisiko rendah .

Kebijakan Uni Eropa ini akan terus melakukan pembatasan hingga tahun 2030 mentargetkan penggunaan bahan bakar ini sebanyak 0%. Sehingga pada akhirnya kebijakan RED II menyebabkan hambatan perdagangan internasional di Eropa untuk tidak lagi melakukan ekspor impor biofuels, bioliquid atau biomass yang masih menggunakan lahan gambut dan lahan basah dalam alih fungsi lahannya10. Permasalahan Indonesia dan Uni Eropa muncul dari kebijakan ini Renewable Energy Directive II (RED II) mengingat bahan bakar sawit merupakan bakan bakar berbentuk biofuels, bioliquid, atau biomass 11 Perlu dipahami bahwa berdasarkan data ekspor minyak sawit merupakan penyumbang devisa negara yang besar bagi Indonesia mengingat ekspor minyak sawit mencapai 70% melebihi kebutuhan dalam negeri yang cukup 30% telah memenuhi kebutuhan dalam negeri.12 Hal ini tentunya dapat mempengaruhi devisa Indonesia mengingat target eropa pada tahun 2030 mentargetkan penggunaan bahan bakar ini sebanyak 0%.13

Indonesia sebagai negara pengekpor minyak sawit membuat suatu pernyataan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Uni eropa yaitu Renewable Energy Directive II merupakan tindakan yang diskriminatif dalam perdagangan internasional. Sehingga indonesia melakukan konsultasi pada WTO dengan melakukan Request For Consultation. Indonesia menganggap bahwa Uni eropa melakukan hambatan dalam perdagangan internasional yang dianggapnya aturan tersebut melanggar pasal I:1 GATT. Pasal I:1 GATT menjelaskan Prinsip Most

Favored Nation yang berarti bahwa setiap negara anggota WTO tidak boleh memperlakukan berbeda sesama anggota WTO dalam suatu produk barang yang

10 Philippe Dusser, “Review The European Energy Policy for 2020 2030 RED II : What Future for Vegetable Oil as A Source of Bioenergy?”, Oilseeds and Fats, Crops and Lipids Journal. Volume 26. No 51. 2019. hlm. 4

11 Ibid

12 European Commission.“Report From The Commission To The European Parliament, The Council, The European Economic And Social Committee And The Committee Of The Regions On The Status Of Production Expansion Of Relevant Food And Feed Crops Worldwide”, Report From The Commission (European Commission 2019). hlm 3

13 Hari Widowati, “Sejarah dan Kontroversi Kampanye Anti Minyak Sawit Uni Eropa”https://katadata.co.id/hariwidowati/berita/5e9a50331f13c/sejarah dan kontroversi kampanye anti minyak sawit uni eropa, diakses pada 05 Juni 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

73

masuk kedalam negaranya. Maka dari kasus ini dapat kita pahami posisi kasus antara Indonesia dan Uni eropa berkenaan dengan produk minyak sawit yang menjadi permasalahan dimana kedua negara memposisi kasus ini dalam dua pandangan. Padangan pertama Uni Eropa mengeluarkan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) untuk melindungi lingkungan sebagai mana yang diatur dalam Paris Agreement, sedangkan indonesia beranggapan tindakan yang dilakukan oleh Uni Eropa merupakan suatu tindakan diskriminasi dalam produk minyak sawit yang tidak sesuai dengan Prinsip Most Favored Nation.

2.1 Rumusan Masalah

Pada kasus Indonesia dan Uni eropa terdapat isu hukum menarik yang perlu dibahas terutama tentang permasalahan kasus pembatasan impor minyak kelapa sawit oleh Uni Eropa. Uni Eropa memberikan kebijakan tersebut ditujukan kepada negara negara yang masih menanam sawit dengan penggunaan lahan gambut dan lahan basah untuk biofuels, bioliquid atau biomass yang menyebabkan stok karbon yang tinggi. Adapun isu hukum dalam artikel ini, yaitu :

1. Apakah Kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) Oleh Uni Eropa Merupakan Pelanggaran Terhadap Prinsip Most Favored Nation Pada Produk Minyak Sawit Indonesia ?

2.2 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Apakah Kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) Oleh Uni Eropa Merupakan Pelanggaran Terhadap Prinsip Most Favored Nation Pada Produk Minyak Sawit Indonesia

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normative, penelitian yuridis normatif sendiri adalah penelitian yang membahas tentang doktrin doktrin atau asas asas, penelitian ini kerap disebut sebagai penelitian Teoritis. Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) 14Pendekatan perundang undangan adalah pengkajian terhadap suatu undang undang atau konvensi internasional, serta perkembangan historis tentang

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017), hlm. 133

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

74

pengaturan tentang hukum lingkungan dan perdagangan internasional.15 Pendekatan konseptual berasal dari pandangan pandangan dan doktrin doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.16 Penggunaan konseptual yang digunakan oleh penulis di harapkan menemukan pemikiran mengenai pengertian hukum, konsep hukum dan asas asas hukum dalam konteks perdagangan internasional dan lingkungan internasional.

3. Analisis Dan Pembahasan

Kasus indonesia dan Uni eropa muncul dikarenakan suatu kebijakan oleh Uni Eropa yaitu Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Act yang bertujuan untuk meningkatkan pengunaan sumber daya energi terbarukan sebagai mana komitmen Uni Eropa pada Paris Agreement atau Paris Agreement on Climate Change following the 21st Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Indonesia menganggap bahwa Uni eropa melakukan hambatan dalam perdagangan internasional yaitu dengan melakukan tindakan diskriminasi yang melanggar pasal I:1 GATT. Pasal I:1 GATT menjelaskan Prinsip Most Favored Nation yang berarti bahwa setiap negara anggota WTO tidak boleh memperlakukan berbeda sesama anggota WTO dalam suatu produk barang yang masuk kedalam negaranya.17 Sedangkan Padangan Uni Eropa mengeluarkan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) untuk melindungi lingkungan sebagaimana yang diatur dalam Paris Agreement dan mewajibakan negara negara pengimpor untuk patuh dalam Renewable Energy Directive II (RED II).18 Sebelum menganalisa kasus Indonesia dan Uni Eropa tentunya perlu dipahami terlebih dahulu prinsip utama dalam GATT yaitu Prinsip Most Favored Nation yang menjelaskan bahwa setiap anggota WTO harus berkomitmen pada aturan WTO untuk tidak melakukan dikriminasi kepada anggota WTO dengan tidak melakukan dikriminasi produk. Secara implisit pengertian dari Prinsip Most Favored Nation adalah prinsip non diskirminasi yang memberikan ketentuan dan

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

75
15 Ibid., hlm. 136. 16 Ibid., hlm. 177. 17 Pasal 1 ayat 1 The General Agreement On Tariffs And Trade 18 Pasal 20 The General Agreement On Tariffs And Trade

perberlakuan yang sama terhadap setiap anggota WTO tanpa syarat syarat (immediately and unconditionally).19

Pada kasus ini Indonesia menganggap bahwa Pihak Uni Eropa telah melakukan dikriminasi produk minyak sawit terutama Indonesia keberatan dengan Pasal 26 ayat (2) RED II turunan dari pengaturan Indirect land use change (ILUC) yang menjelaskan bahwa setiap negara membatasi penggunaan lahan gambut dan lahan basah untuk biofuels, bioliquid atau biomass yang menyebabkan stok karbon yang tinggi. Uni Eropa juga dalam pasal ini menjelaskan bahwa negara negara anggota Uni Eropa tidak boleh mengkonsumsi bahan bakar biofuels, bioliquid atau biomass yang dalam proses penanamannya yang menggunakan lahan gambut dan lahan basah, kecuali disertifikasi sebagai bahan bakar yang berisiko rendah. Kebijakan Uni Eropa ini akan terus melakukan pembatasan hingga tahun 2030 mentargetkan penggunaan bahan bakar ini sebanyak 0%.20 Sehingga pada akhirnya kebijakan RED II menyebabkan hambatan perdagangan internasional di Eropa untuk tidak lagi melakukan ekspor impor biofuels, bioliquid atau biomass yang masih menggunakan lahan gambut dan lahan basah dalam alih fungsi lahannya.

Perlu dipahami bahwa kebijakan Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) sangat merugikan Indonesia mengingat bahan bakar sawit merupakan bakan bakar berbentuk biofuels, bioliquid, atau biomass. Perlu dipahami bahwa berdasarkan data ekspor minyak sawit merupakan penyumbang devisa negara yang besar bagi Indonesia mengingat ekspor minyak sawit mencapai 70% melebihi kebutuhan dalam negeri yang cukup 30% telah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Indonesia mendapatkan devisa negara pertahunya dari minyak sawit sebesar US$ 20,54 miliar atau Rp 289 triliun rupiah.

21Adapun tujuan eskpor minyak sawit Indonesia adalah Tiongkok sebanyak 4,41juta ton, Uni Eropa sebanyak 4,78 juta ton dan India sebanyak 6,71 juta ton. Sehingga secara tidak langsung Indonesia kehilangan atau akan merugi 4,78 juta ton dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni eropa yaitu Renewable

19 Huala Adolf, Ot Cipt., hlm.21.

20 Hari Widowati, “Sejarah dan Kontroversi Kampanye Anti Minyak Sawit Uni Eropa”, https://katadata.co.id/hariwidowati/berita/5e9a50331f13c/sejarah dan kontroversi kampanye anti minyak sawit uni eropa, diakses pada 05 Juni 2022.

21 Sekar Wiji Rahayu and Fajar Sugianto, Ot Cipt, hlm.230.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

76

Energy Directive II (RED II) tentunya dapat mempengaruhi devisa Indonesia mengingat target eropa pada tahun 2030 mentargetkan penggunaan bahan bakar ini sebanyak 0%. Sehingga dapat didilihat pemasukan indonesia sebagai negara pengekspor sawit akan merugi sebanyak 4,78 juta ton. Dari kebijakan tersebut maka Indonesia akan mengalami kerugian sebesar US$ 858 juta atau sekitar Rp. 12 triliun setiap tahunnya. 22

Secara tidak langsung Uni Eropa dalam Renewable Energy Directive II (RED II) mengindikasikan bahwa minyak kelapa sawit Indonesia dapat merusakan lingkungan global terutama penggunaan lahan gambut dan lahan basah yang digunakan oleh perusahan perusahan yang digunakan untuk menanam sawit. Dapat dipahami bahwa perkebunan sawit Indonesia dalam pengusaannya terbagi menjadi 3 penguasaan yaitu : 1. Perkebunan Rakyat menguasai 6,9% lahan sawit, 2. Perkebunan Negara menguasai 41,5% lahan sawit dan Perkebunan Swasta menguasai 51,6% lahan sawit dari total 14,68 juta hektar. 23Umumnya Pohon sawit di Indonesia tumbuh di lahan basah dan lahan gambut sehingga secara tidak langsung minyak kelapa sawit Indonesia termasuk pelarangan impor yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (2) RED II turunan dari pengaturan Indirect land use change (ILUC) yang menjelaskan bahwa setiap negara membatasi penggunaan lahan gambut dan lahan basah untuk biofuels, bioliquid atau biomass yang menyebabkan stok karbon yang tinggi.

Indonesia beargumentasi bahwa anggapan tersebut tidak didasarkan pada penelitian dampak linglungan yang memadai, mengingat budidaya minyak kelapa sawit merupakan tumbuhan yang ramah lingkungan terutama dalam proses produksi, pengumpulan bahan baku minyak sawit, pengolahan sawit, distribusi hingga taraf konsumsi minyak dari pada dampak lingkungan pada biji rapa dan biji matahari sehingga Indonesia menanggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh Uni eropa adalah tindakan diskirminatif. 24Indonesia menyangkan kebijakan untuk menghentikan dan melakukan ekspor minyak sawit oleh Uni Eropa.

22 Ibid, hlm.233.

23 Gisa Rachma Khairunisa and Tanti Novianti, ‘Daya Saing Minyak Sawit dan Dampak Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa Terhadap Ekspor Indonesia di Pasar Uni Eropa’, Jurnal Agribisnis Indonesia. Vol. 5 No. 2, Desember 2017. hlm. 130.

24 Hari Widowati, “Sejarah dan Kontroversi Kampanye Anti Minyak Sawit Uni Eropa”,( katadata.co.id, 2019) diakses pada 05 Juni 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

77

Indonesia berkesimpulan bahwa Renewable Energy Directive II (RED II) merupakan tindakan yang melanggar pasal I:1 GATT yang menjelaskan Prinsip

Most Favored Nation yang berarti bahwa setiap negara anggota WTO tidak boleh memperlakukan berbeda sesama anggota WTO dalam suatu produk barang yang masuk kedalam negaranya. Indonesia juga menitikberatkan kepada Uni Eropa mengapa Lahan gambut dan lahan basah menjadi permasalahan hambatan terhadap terhadap perdagangan internasional mengingat dalam proses proses produksi, pengumpulan bahan baku minyak sawit, pengolahan sawit, distribusi hingga taraf konsumsi penanaman sawit Indonesia lebih baik dari pada dampak lingkungan pada biji rapa dan biji matahari.

Sebelum merujuk pada posisi Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) tentunya harus dipahami terlebih dahulu bahwa Prinsip

Most Favored Nation bukanlah Prinsip yang tidak boleh dilanggar secara absolut mengingat setiap negara berhak memberikan Exceptions pada suatu produk tertentu yang diperbolehkan dan tercantum dalam The General Agreement On Tariffs And Trade. 25Pemberlakukan General Exceptions tentu memberikan padangan padangan WTO (World Trade Organization) bahwa suatu produk boleh diberikan hambatan atau melarang produk tersebut masuk kedalam negaranya. Salah satunya yang tercantum dalam pasal 20 GATT huruf b berbunyi “necessary to protect human, animal or plant life or health”, pasal ini menjelaskan bahwa setiap negara boleh melakukan Exceptions pada suatu produk apabila produk tersebut diperlukan untuk melindungi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh tumbuhan. 26Selain itu terdapat pasal 20 GATT huruf g berbunyai “relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption”. 27 kedua Pasal ini tentunya sangat berhubungan dengan aspek lingkungan mengingat dalam perkembangan perjanjian WTO, WTO berupaya untuk memberikan perlindungan lingkungan dan memperhatikan prinsip prinsip hukum lingkungan internasional yaitu prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam

E. Stiglitz and Andrew Charlton, Ot Cipt,. hlm.14 15.

20 GATT huruf b The General Agreement On Tariffs And Trade

20 GATT huruf g The General Agreement On Tariffs And Trade

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

78
25 Joseph
26 Pasal
27 Pasal

perdagangan internasional 28 WTO (World Trade Organization) mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan ini tercantum didalam Preamble of the World Trade Organization yang menjelaskan bahwa setiap perdagangan internasional harus meningkatkan taraf hidup secara optimal dengan memperhatikan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan tetap berkomitmen untuk melindungi dan melestarikan lingkungan dalam setiap pembangunan ekonomi. 29

Uni Eropa memberikan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) bukan tanpa alasan dan memberikan Exceptions pada produk minyak sawit indonesia dengan alasan lingkungan internasional. Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Act yang bertujuan untuk meningkatkan pengunaan sumber daya energi terbarukan sebagai mana komitmen Uni Eropa pada Paris Agreement atau Paris Agreement on Climate Change following the 21st Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change. 30Salah satu pasal yang memberatkan Indonesia sebagai negara pengeskpor sawit ke Uni Eropa adalah recitals RED II no 8 yang menjelaskan bahwa ketikan perubahan penggunaan lahan basah dan lahan gambut untuk ditanami biofuel, bioliquids dan bahan bakar biomassa dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca sehingga kegiatan tersebut dapat menyebabkan pemanasan global Climate Change dan menyebabkan kerugian pada aspek lingkungan.31

Uni Eropa menyatakan bahwa negara negara anggota Uni Eropa tidak boleh mengkonsumsi bahan bakar biofuels, bioliquid atau biomass yang dalam proses penamannya yang menggunakan lahan gambut dan lahan basah, kecuali disertifikasi sebagai bahan bakar yang berisiko rendah . Kebijakan Uni Eropa ini akan terus melakukan pembatasan hingga tahun 2030 mentargetkan penggunaan bahan bakar ini sebanyak 0%. Sehingga pada akhirnya kebijakan RED II menyebabkan hambatan perdagangan internasional di Eropa untuk tidak lagi melakukan ekspor impor biofuels, bioliquid atau biomass yang masih

Ismelina Farma Rahayu,

Wiji Rahayu

cipt .hlm.230.

Fajar Sugianto, Ot Cipt, hlm.210.

Environmental Diplomacy: Case Study Of The Eu Indonesia Palm Oil Dispute.Jurnal Hubungan Internasional. Vol.2 No.1 Januari Juni 2019. Hlm

Robertua

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

79
28Mella
Ot
29 Ibid 30 Sekar
and
31 Verdinand
,
3

menggunakan lahan gambut dan lahan basah dalam alih fungsi lahannya. Adapun isi Pasal 26 ayat (2) RED II, yaitu :32

“For the calculation of a Member State's gross final consumption of energy from renewable sources referred to in Article 7 and the minimum share referred to in the first subparagraph of Article 25(1), the share of high indirect land use change risk biofuels, bioliquids or biomass fuels produced from food and feed crops for which a significant expansion of the production area into land with high carbon stock is observed shall not exceed the level of consumption of such fuels in that Member State in 2019, unless they are certified to be low indirect land use changerisk biofuels, bioliquids or biomass fuels pursuant to this paragraph. From 31 December 2023 until 31 December 2030 at the latest, that limit shall graduallydecreaseto0 %...”

Uni eropa berpendapat bahwa tindakan Exceptions (pengecualian) yang dilakukan oleh Uni Eropa bukanlah tindakan yang dikriminatif atau melanggar Prinsip Most Favored Nation yang dituduhkan oleh Indonesia. 33Tindakan Exceptions sejatinya sejalan dengan Paris Agreement on Climate Change following the 21st Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change dimana indonesia juga telah meratifikasinya dalam bentuk Undang Undang Nomor 16 Tahun 2016 tanggal 24 Oktober 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement .34 Sehingga Uni Eropa meminta komitmen indonesia untuk mempehatikan selain melakukan perdagangan internasional bebas dan adil, akan tetapi Indonesia juga harus memperhatikan aspek lingkungan terutama adanya indikasi bahwa lahan gambut yang dalih fungsi akan meningkat gas rumah kaca secara berlebih. Adanpun tindakan Uni Eropa sendiri dikarenakan Indonesia menjadi negara yang mempunyai lahan gambut kedua terbesar di dunia yang mencapai 22,5 juta hektare (ha). Lahan gambut di Indonesia ini tersebar diberbagai pulau di Indonesia

32

Pasal 26 ayat (2) Recitals Renewable Energy Directive II (RED II)

33 Akbar Kurnia Putra, “Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization”, Jurnal Hukum & Pembangunan. Vol. 46 No. 1 tahun 2016. Hlm.93.

34 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2016 tanggal 24 Oktober 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

80

yaitu: Papua yang mempunyai lahan gambut seluas 6,3 juta hektare (ha), Riau yang mempunyai lahan gambut seluas 2,2 juta hektare (ha), yang mempunyai lahan gambut seluas 2,2 juta hektare (ha), Kalimantan Tengah yang mempunyai lahan gambut seluas 2,7 juta hektare (ha), Kalimantan Barat yang mempunyai lahan gambut seluas 1,8 juta hektare (ha), Kalimantan Utara, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan masing masing mempunyai lahan gambut seluas 0,6 hektare (ha) dan Sumatera Selatan yang mempunyai lahan gambut seluas 1,7 hektare (ha). lahan gambut sendiri terbentuk dari bahan bahan organik selama ribuan tahun yang mengendap didalam tanah yang bertujuan untuk menyimpan 30 persen karbon dunia. 35

Saat ini Uni Eropa memperhatikan Indonesia yang mulai mengembangkan lahan gambut menjadi pohon sawit yang di Indikasikan akan menggunakan lahan gambut sebanyak 14 hektare (ha) di seluruh Indonesia. Tindakan Indonesia tersebut tentunya akan sangat mempengaruhi keadaan lingkungan global di dunia mengingat Indonesia menjadi negara kedua terbesar yang mempunyai lahan gambut sebanyak 22,5 juta hektare (ha). maka secara tidak langsung 40 50% lahan gambut di Indonesia berpotensi untuk dialih fungsikan untuk tanaman kelapa sawit sehingga menjadi persoalan lingkungan internasional.

Uni Eropa juga sangat mempertimbangkan bahwa alih fungsi lahan gambut sebagai tanaman kelapa sawit akan membuat perubahan pada fisik, kimia dan biologi tanah. Perubahan pada fisik, kimia dan biologi tanah pada era gambut yang telah dialih fungsikan sebagai tanaman kelapa sawit akan menyebabkan gambut kering sehingga akan mengalami oksidasi gambut sehingga gambut akan melepaskan CO2(karbon dioksida) ke atmosfer. Lepasnya CO2 (karbon dioksida) ke atmosfer akan menghasilakan 20 ton CO2 (karbon dioksida) perhektare (ha)/pertahun sehingga tindakan ini akan menyembabkan pemanasan global. 36

Uni Eropa berupaya untuk mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) untuk menghindari pemanasan global sehingga tindakan yang dilakukan oleh

35 Soni Sisbudi Harsono. Mitigation and Adaptation Peatland through Sustainable Agricultural Approaches in Indonesia. Asian Journal of Applied Research for Community Development and Empowerment. Vol. 4 No.1 tahun 2020 hlm.10.

36 Oksariwan Fahrozi.'Analisis Karakteristik Lahan Gambut Di Bawah Tegakan Perkebunan Kelapa Sawit Di Provinsi Riau'. Fakultas Pertanian Universitas Riau.Vol.7 No 31.Tahun 2013. Hlm 9

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

81

Uni Eropa bukanlah suatu tindakan yang melanggar Prinsip Most Favored Nation. Dapat dilihat bahwa dengan alasan Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) mengindikasikan bahwa setiap negara yang ingin melakukan ekspor ke anggota Uni Eropa harus memperhatikan aspek lingkungan. Perlu diingat bahwa setiap perdagangan internasional tentunya harus mempehatikan lingkungan internasional, hal ini tercantum di dalam Preamble of the World Trade Organization dengan menyatakan:37 “.....expanding the production of and trade in goods and services, while allowing for the optimal use of the world resources in accordance with the objective of sustainable development, seeking both to protect and preserve the environment and enhance the means of doing so in a manner consistence with their respective needs and concerns at different levels economic development” Maka dapat dipahami bahwa pemberlakukan Renewable Energy Directive II (RED II) bukanlah tindakan yang diskiminatif dan dalih Indonesia yang menyatakan bahwa tindakan yang melanggar pasal I:1 GATT yang menjelaskan Prinsip Most Favored Nation tidak dapat dibenarkan. Mengingat tindakan Uni Eropa melakukan Exceptions oleh pihak Indonesia pada produk minyak sawit didasarkan pada pasal 20 GATT huruf (b) dan pasal 20 GATT huruf (g) yang fokus pada aspek lingkungan dan sumber daya alam yaitu tanah gambut bila tidak diperhatikan kelestariannya akan menyebabkan pemanasan global. 38Pada kasus ini, Indonesia harus cermat dalam melakukan Konservasi lingkungan terutama kebijakan untuk menjadikan tanah gambut untuk dijadikan pohon sawit. Selain itu apabila Indonesia ingin menggugat Uni Eropa di WTO (World Trade Organization) harus dapat membuktikan bahwa tindakan Renewable Energy Directive II (RED II) benar benar melakukan diskriminasi akan tetapi pada penulisan ini dapat dilihat bahwa bukti bukti diskriminasi yang di sampaikan oleh Indonesia tidak sejalan dengan kebijakan Indonesia sendiri sebagai negara yang telah bergabung dalam Paris Agreement on Climate Change following the 21st

Hanif Faishal. Penerapan Prinsip Non Diskriminasi Dalam Perdagangan Kelapa Sawit Antara Indonesia Dan Uni Eropa PalArch's Journal of Archaeology of Egypt

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

82 Volume
37 Preamble of the World Trade Organization 38 Muhammad
.Vol.17 No 3. 2020 hlm. 12 24

Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change dimana indonesia telah meratifikasinya dalam bentuk Undang Undang Nomor 16 Tahun 2016 tanggal 24 Oktober 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement.

4. Kesimpulan

Uni Eropa memberikan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) bukan tanpa alasan akan tetapi Renewable Energy Directive II (RED II yang bertujuan untuk meningkatkan pengunaan sumber daya energi terbarukan sebagai mana komitmen Uni Eropa pada Paris Agreement. Uni Eropa juga sangat mempertimbangkan bahwa alih fungsi lahan gambut sebagai tanaman kelapa sawit akan membuat perubahan pada fisik, kimia dan biologi tanah. Perubahan pada fisik, kimia dan biologi tanah pada area gambut yang telah dialih fungsikan sebagai tanaman kelapa sawit akan menyebabkan gambut kering sehingga akan mengalami oksidasi gambut sehingga gambut akan melepaskan CO2(karbon dioksida) ke atmosfer. Lepasnya CO2 (karbon dioksida) ke atmosfer akan menghasilakan 20 ton CO2 (karbon dioksida) perhektare (ha)/pertahun sehingga tindakan ini akan menyembabkan pemanasan global.

Maka dapat dipahami bahwa pemberlakukan Renewable Energy Directive II (RED II) bukanlah tindakan yang diskiminatif dan dalih Indonesia yang menyatakan bahwa tindakan yang melanggar pasal I:1 GATT yang menjelaskan Prinsip Most Favored Nation tidak dapat dibenarkan. Memingat Uni Eropa melakukan Exceptions oleh pihak Indonesia pada produk minyak sawit didasarkan pada pasal 20 GATT huruf (b) dan pasal 20 GATT huruf (g) yang fokus pada aspek lingkungan dan sumber daya alam yaitu tanah gambut bila tidak diperhatikan kelestariannya akan menyebabkan pemanasan global. Sehingga Uni Eropa berupaya untuk mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) untuk menghindari pemanasan global dan tindakan yang dilakukan oleh Uni Eropa bukanlah suatu tindakan yang melanggar Prinsip Most Favored Nation. Dapat dilihat bahwa dengan alasan Uni Eropa mengeluarkan Renewable Energy Directive II (RED II) mengindikasikan bahwa setiap negara yag ingin melakukan ekspor ke anggota Uni Eropa harus memperhatikan aspek lingkungan

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

83

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Muhamaad Sood. Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: Rajawali Press, 2011)

Joseph E. Stiglitz and Andrew Charlton. ‘Fair Trade For All How Trade Can PromoteDevelopment’ (Oxford University Press inc, 2005)

Huala Adolf. Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).

Peter Mahmud Marzuki Penelitian Hukum Edisi Revisi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2017)

Jurnal :

Mella Ismelina Farma Rahayu, ‘Isu Penegakan Hukum Lingkungan dalam Kerangka Perdagangan Bebas di Era Globalisasi’. Jurnal Sosial dan Pembangunan. Volume. 19 No. 3 Juli September 2003

Sekar Wiji Rahayu and Fajar Sugianto. ‘Implikasi Kebijakan Dan Diskriminasi Pelarangan Ekspor Dan Impor Minyak Kelapa Sawit Dan Bijih Nikel Terhadap Perekonomian Indonesia’. Jurnal Ilmu Hukum. Volume 16 Nomor 2. 2020.

Dusser, Philippe. “Review The European Energy Policy for 2020 2030 RED II : What Future for Vegetable Oil as A Source of Bioenergy?”. Oilseeds and Fats, Crops and Lipids Journal. Volume 26. No 51. 2019

European Commission.“Report From The Commission To The European Parliament, The Council, The European Economic And Social Committee And The Committee Of The Regions On The Status Of Production Expansion Of Relevant Food And Feed Crops Worldwide”, Report From The Commission (European Commission 2019)

Dwi F. Moenardy. Determination of Restrictions on Palm Oil Biofuel Imports by the European Union Through RED II (Reneweable Energy Directive) Against CPOPC (the Council of Palm Oil Producing Countries) Review of International Geographical Education.Vol. 11 No. 5 Tahun 2021

Gisa Rachma Khairunisa and Tanti Novianti, ‘Daya Saing Minyak Sawit dan Dampak Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa Terhadap Ekspor Indonesia di Pasar Uni Eropa’, Jurnal Agribisnis Indonesia. Vol 5 No 2, Desember 2017

Verdinand Robertua. Environmental Diplomacy: Case Study Of The Eu Indonesia Palm Oil Dispute.Jurnal Hubungan Internasional. Vol.2 No.1 Januari Juni 2019.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

84

Akbar Kurnia Putra, “Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization”, Jurnal Hukum & Pembangunan. Vol. 46 No. 1 tahun 2016 Jurnal Hukum & Pembangunan.

Undang Undang Nomor 16 Tahun 2016 tanggal 24 Oktober 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement

Soni Sisbudi Harsono. Mitigation and Adaptation Peatland through Sustainable Agricultural Approaches in Indonesia. Asian Journal of Applied Research for Community Development and Empowerment. Vol 4 No.1 tahun 2020

Oksariwan Fahrozi.'Analisis Karakteristik Lahan Gambut Di Bawah Tegakan Perkebunan Kelapa Sawit Di Provinsi Riau'. Fakultas Pertanian Universitas Riau.Vol.7 No 31.Tahun 2013.

Muhammad Hanif Faishal. Penerapan Prinsip Non Diskriminasi Dalam Perdagangan Kelapa Sawit Antara Indonesia Dan Uni Eropa. PalArch's Journal of Archaeology of Egypt .Vol.17 No 3. 2020

Dasar Hukum :

The General Agreement On Tariffs And Trade

Preamble of the World Trade Organization

Internet:

Hari Widowati. ‘Sejarah dan Kontroversi Kampanye Anti Minyak Sawit Uni Eropa’.( katadata.co.id, 2019) https://katadata.co.id/hariwidowati/berita/5e9a50331f13c/sejarah dan kontroversi kampanye anti minyak sawit uni eropa. Diakses pada 05 Juni 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

85

BIOGRAFI PENULIS

R. Yahdi Ramadani, S.H lahir di Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, 05 Desember 1997. Ia adalah merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Saat ini Ia aktif bekerja di PT. Jembatan Nusantara Group sebagai Staf Legal. Ia juga bekerja sebagai Asisten Peneliti Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Di bidang sosial, ia pernah menjadi anggota kacong jebbing bangkalan pada tahun 2014 yang fokus untuk memberikan edukasi untuk melestarikan budaya dan adat istiadat Kabupaten Bangkalan.

Dr. Aktieva Tri Tjitrawat, S.H, M.Hum Lahir 07 Januari 1964. Ia adalah dosen di Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga dimana beliau menjadi staf pengajar sejak tahun 1989. Ia meraih gelar Magister dan Doktor di Universitas Padjadjaran dan studi sarjana di Universitas Airlangga. Beliau meraih gelar doktor pada tahun 2005, jurusan perdagangan internasional dan hukum lingkungan. Menjabat sebagai Ketua Program Sarjana Hukum dari tahun 2014 hingga 2020, setelah menjadi Ketua Departemen Hukum Internasional pada tahun 2011. Saat ini, beliau menjabat sebagai Ketua Program Magister Hukum.

86 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

PERAN KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ATAS PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

DALAM PRAKTIK HUKUM INTERNASIONAL (STUDI TERKAIT KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI INDONESIA)

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran hlbotua@gmail.com

Abstrak

Berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia masih belum terselesaikan dikarenakan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan pondasi bagi langkah penyelesaian yang berkelanjutan dan komprehensif. Kasus kasus yang ada selain perlu diselesaikan melalui Pengadilan HAM, perlu pula untuk mampu diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyediakan keadilan transisional bagi para korban. Mekanisme KKR pada akhirnya terbentuk melalui UU nomor 27 tahun 2004, meskipun demikian, KKR pada kenyataannya berumur pendek pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU IV/2006. Selama hampir dua dekade sejak dihapuskannya KKR, inisiatif untuk menghidupkan KKR terus bermunculan meskipun belum menghasilkan wujud konkrit. Terlepas dari proses yang sedang berlangsung, adalah perlu untuk melakukan studi mengenai praktik KKR berdasarkan kerangka hukum internasional dan perkembangan praktik oleh negara negara untuk menyediakan rujukan atas reformasi hukum bagi KKR di Indonesia yang nantinya akan terbentuk. Penelitian ini menerapkan metode yuridis normatif dengan mengkaji berbagai literatur hukum. Penelitian ini juga menerapkan metode deskriptif analisis serta studi kepustakaan melalui berbagai data sekunder yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menghidupkan kembali KKR di Indonesia, pemerintah perlu untuk merujuk pada praktik yang telah ada untuk menyelesaikan kasus secara efektif, beberapa yang perlu dipersiapkan adalah manajemen dalam kompleksitas teknis, jaminan ganti kerugian bagi para korban dan pemberian amnesti bagi pelaku.

Kata Kunci: Amnesti, Hukum Internasional, Keadilan Transisional, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pelanggaran HAM Berat.

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

87 Volume

THE ROLE OF THE TRUTH AND RECONCILIATION COMMISSION TO SETTLE GROSS VIOLATIONS OF HUMAN RIGHTS UNDER INTERNATIONAL LAW (STUDY RELATED TO THE TRUTH AND RECONCILIATION COMMISSION IN INDONESIA)

Abstract

Various cases of gross violations of human rights in Indonesia are still unresolved due to the government's inability to provide the foundation for a sustainable and comprehensive settlement. The existing cases, other than the necessity to resolve them through the Human Rights Court, are also necessitated through the Truth and Reconciliation Commission (TRC) to provide transitional justice for the victims. The TRC mechanism was finally formed through Law No. 27 of 2004, however, TRC was in fact short lived after the issuance of the Constitutional Court's Decision No. 006/PUU IV/2006. For almost two decades since the dissolution of TRC, initiatives to revive TRC have continued to emerge, although they have not yet produced concrete results. Regardless of the ongoing process, it is necessary to conduct studies on TRC practices based on international legal frameworks and developments in practice by countries to provide a reference for legal reforms for TRC in Indonesia that will later be formed. This study applies a normative juridical method by reviewing various legal literature. This research also applies descriptive analysis method and literary research through various relevant secondary data. The results show that in order to revive the TRC in Indonesia, the government needs to refer to existing practices to resolve cases effectively, some of which need to be prepared, namely management in the complex technical aspects, the guarantee of compensation for victims and granting amnesty for perpetrators.

Keywords: Amnesty, Gross Violations of Human Rights, International Law, Transitional Justice, Truth and Reconciliation Commission.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

88

A. Pendahuluan

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat (selanjutnya disebut dengan pelanggaran HAM berat) di Indonesia masih belum terselesaikan secara berkelanjutan dan komprehensif sejak beberapa dekade lalu. Bahwa untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut, pemerintah berkewajiban untuk menyelesaikannya dengan menjamin pertanggungjawaban hukum para pelaku dan ganti kerugian kepada para korban yang terlibat pada berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Dengan memperhatikan sejarah terjadinya kasus yang sebagian besar memiliki keterlibatan pejabat pemerintah maupun militer sebagai pelaku, keberadaan impunitas dan ego institusional menghambat adanya proses hukum terhadap para pejabat yang terlibat.1 Rekam jejak impunitas pemerintah atas pelanggaran HAM berat sejak beberapa dekade terakhir cukup beragam, beberapa diantaranya pada kasus pembunuhan masal pada tahun 1965 1966, kejahatan di sekitar era reformasi, konflik di Papua, dan belasan kasus lainnya yang terdokumentasi oleh Komnas HAM yang sebagian besar belum terselesaikan.2

Apabila mempertimbangkan kompleksitas di atas, rezim hukum penyelesaian pelanggaran HAM berat perlu dibentuk secara khusus.3 Bahwa selain dibentuknya Pengadilan HAM untuk memperoleh pertanggungjawaban secara pidana bagi para pelaku yang upayanya sering terhambat, maka perlu pula dibentuk mekanisme alternatif melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (selanjutnya disebut dengan KKR). KKR di Indonesia telah diupayakan pada tahun 2004,4 pembentukannya diharapkan menjadi komplemen Pengadilan HAM

1 Joyner, Christopher C. "Redressing Impunity for Human Rights Violations: Universtal Declaration and the Search for Accountability." Denv. J. Int'l L. & Pol'y (1997), hlm. 611.

2 Komnas HAM. "Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat." Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2014); Komnas HAM. "Merawat Ingatan Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat." Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2020).

3 Undang undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

4 Undang undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dicabut oleh Putusan MK Nomor 006/PUU IV/2006 tanggal 7 Desember 2006.

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

89 Volume

untuk mendorong para pelaku pelanggaran HAM berat dalam mengakui kesalahannya serta menyesali perbuatannya untuk kemudian diberikan amnesti.5 Meskipun demikian, KKR dibubarkan dua tahun kemudian tanpa memiliki kemajuan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat.6 Pembatalan UU KKR didasari atas permasalahan krusial dalam peran KKR terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat. Beberapa permasalahan tersebut berada pada hak korban atas ganti kerugian yang bergantung pada dikabulkannya amnesti, bukan pada substansi perkara (Pasal 27). Selanjutnya, pada pemberian amnesti yang memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan pengadilan telah menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial (Pasal 44).7

Pasca pembatalan UU KKR, keberadaan KKR di Indonesia hanya memiliki lingkup yang sempit sebatas pada Provinsi Aceh,8 namun perlu diketahui bahwa KKR di Aceh tidak berwenang untuk melakukan pemeriksaan pada kasus pelanggaran HAM berat,9 melainkan terbatas pada pelanggaran HAM yang mendasar seperti hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil dan politik selama memiliki keterkaitan dengan konflik Aceh.10 Berkaitan dengan Provinsi Aceh, perlu diingat bahwa sejarah pembentukan beberapa daerah otonomi khusus di Indonesia berkaitan dengan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat (Aceh dan Papua). Upaya tersebut bergantung pada Pengadilan HAM dan KKR terhadap kasus di dua wilayah tersebut. Meskipun konflik di Aceh telah selesai, upaya pemenuhan keadilan pada kenyataannya masih melalui proses yang panjang. Lebih lanjut, perkembangan saat ini perlu untuk meninjau konflik berkepanjangan di Papua. Mengacu pada pendapat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, salah satu akar permasalahan di Papua berkaitan dengan akuntabilitas

5

Pasal 29 ayat 3 Undang undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

6

Putusan MK Nomor 006/PUU IV/2006 tanggal 7 Desember 2006.

7 Putusan MK Nomor 006/PUU IV/2006 tanggal 7 Desember 2006, hlm. 104.

8

Undang undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh jo. Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.

9 Pasal 30 ayat 1 Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.

10

Pasal 19 Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

90

atas kekerasan yang mengganggu efektivitas pelaksanaan otonomi khusus.11 KKR penting untuk diwujudkan dengan mempertimbangkan amanat dari UU OTSUS

Papua yang mana pasca dua dekade pelaksanaannya hingga beberapa kali revisi belum menemui penyelesaian atas berbagai kasus pelanggaran HAM berat.12 Terlepas dari berbagai potensi untuk menghidupkan kembali KKR di Indonesia, perlu dipahami bahwa perkembangan KKR sejak beberapa tahun terakhir telah mendapat perhatian yang cukup dari sistem hukum internasional dan praktiknya semakin pesat di bagian dunia yang lain yang mana menjadi penting untuk dijadikan acuan. Untuk itu, artikel ini akan menyediakan rujukan bagi transformasi hukum atas praktik KKR Indonesia di masa mendatang.

Artikel ini akan terlebih dahulu membahas mengenai KKR yang pernah ada di Indonesia sebagai pedoman dasar untuk melakukan evaluasi berdasarkan praktik yang telah berkembang (B). Selanjutnya, akan dibahas mengenai kerangka praktik KKR dalam hukum internasional dan peran Perserikatan Bangsa Bangsa (selanjutnya disebut dengan PBB) sebagai organisasi internasional yang secara signifikan berperan dalam mempromosikan pelindungan HAM (C). Dengan mempertimbangkan kerangka hukum di Indonesia yang menjadikan Pengadilan HAM dan KKR sebagai institusi yang saling berkomplemen dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat, artikel ini akan membahas bagaimana praktik berbagai pengadilan pidana dalam hukum internasional terhadap mekanisme KKR untuk memberikan rujukan yang lebih komprehensif (D). Meskipun memperoleh suatu landasan yuridis yang cukup komprehensif, sangat disayangkan bahwa berdasarkan referensi poin C dan D pada kenyataanya kurang “praktis” untuk diterapkan di Indonesia. Maka dari itu, untuk memperoleh pemahaman yang lebih praktis, akan dibahas bagaimana praktik KKR di beberapa negara sebagai rujukan berdasarkan“best practice”untukKKRndonesiadimasamendatang (E)

11 Widjojo, Muridan S., Adriana Elizabeth, Amirudin Al Rahab, Cahyo Pamungkas, and Rosita Dewi. Papua road map: Negotiating the past, improving the present, and securing the future Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.

12 Pasal 45 Undang undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua jo. Undang undang Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

91

B. KKR di Indonesia

KKR di Indonesia terbentuk pada tahun 2004, pembentukannya memiliki esensi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang menekankan perlunya pelaku dan korban untuk saling memaafkan guna terwujudnya rekonsiliasi nasional dalam rangka memantapkan persatuan dan kesatuan nasional.13 Indonesia menetapkan sistem komplementer atas hubungan KKR dengan Pengadilan HAM untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat, artinya segala urusan yang tidak dapat diselesaikan pada KKR akan diarahkan pada Pengadilan HAM.14 Meskipun demikian, KKR dibubarkan pada tahun 2006 karena permasalahan substantif dalam kerangka hukumnya tanpa memiliki kemajuan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat.15

Permasalahan KKR di Indonesia pada dasarnya terdiri atas tujuh pokok substantif dari UU KKR sendiri,16 yang dapat diringkas menjadi dua poin utama:

1. Prioritas antara pemberian ganti kerugian dengan amnesti, bahwa ketentuan Pasal 27 UU KKR membuat hak korban atas ganti kerugian bergantung pada dikabulkannya amnesti, bukan pada substansi perkara. Ketentuan ini telah mendudukkan korban dalam keadaan yang tidak seimbang dan tertekan sebab korban diberikan persyaratan berat untuk mendapatkan haknya, yakni bergantung pada pemberian amnesti. Implikasi dari perumusan Pasal 27 UU KKR telah mendisriminasikan hak atas pemulihan yang melekat pada korban sehingga tidak menghargai korban yang telah menderita akibat pelanggaran HAM berat yang dialaminya; serta

2. Permasalahan pemberian amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM berat, bahwa Pasal 44 UU KKR memposisikan KKR sebagai lembaga yang sama dengan lembaga pengadilan telah menutup akses setiap orang untuk mendapat penyelesaian melalui proses yudisial. Pengaturan Pasal 44 UU KKR yang tidak memperkenankan lagi pemeriksaan di Pengadilan HAM Ad Hoc, apabila

13 Ketetapan MPR RI Nomor V/TAP/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

14 Pasal 29 ayat 3 Undang undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

15 Putusan MK Nomor 006/PUU IV/2006 tanggal 7 Desember 2006.

16 Putusan MK Nomor 006/PUU IV/2006 tanggal 7 Desember 2006, hlm. 104 105.

12, No. 1,

Juris LK2

92 Volume
2022
FHUI

pemeriksaan tersebut telah diselesaikan melalui KKR, maka menghilangkan hak negara dalam menuntut pelaku pelanggaran HAM berat.

Dari dua permasalahan tersebut, pada kenyataannya Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut dengan MK) menjawab permasalahan kedua bahwa amnesti merupakan hal yang rasional untuk diterapkan dalam praktik KKR. MK berpendapat bahwa KKR merupakan satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif, yang akan menyelesaikan pelanggaran HAM berat secara amicable dan apabila berhasil akan menutup mekanisme penyelesaian secara hukum. Telepas dari kaitannya dengan impunitas, praktik pemberian amnesti atas pelanggaran HAM berat telah diterima secara praktik, misalnya pada KKR di Afrika Selatan.17 Lebih lanjut, MK juga mempertimbangkan bahwa pada umumnya, penyelesaian dengan mekanisme hukum terhadap pelanggaran HAM berat sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, telah mengalami kesukaran dengan berlalunya jangka waktu yang lama yang menyebabkan hilangnya alat alat bukti untuk dijadikan dasar pembuktian dalam pendekatan pertanggungjawaban pidana. KKR juga dengan pengaturan dalam UU KKR, bertujuan untuk menegakkan keadilan sejauh masih dimungkinkan dalam mekanisme penyelesaian secara alternatif.18 Meskipun demikian, KKR tetap dibatalkan dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 27 UU KKR yang bertentangan dengan konstitusi.19 Hal ini karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut, maka dengan dinyatakannya Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan. Lebih lanjut, permasalahan UU KKR berlanjut pada lima bentuk permasalahan teknis yang yang mana menyebabkan praktiknya akan saling kontradiktif apabila dilanjutkan.20

Truth and Reconciliation Commission (TRC), https://www.justice.gov.za/trc/

Putusan MK Nomor 006/PUU IV/2006 tanggal 7 Desember 2006, hlm. 123.

Ketentuan bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (1), Ayat (4), dan Ayat (5), yang merupakan kewajiban negara untuk menghindari atau mencegahnya, dan timbulnya korban yang seharusnya HAM nya dilindungi negara, telah cukup untuk melahirkan kewajiban hukum baik pada pihak negara maupun individu pelaku yang dapat diidentifikasi untuk memberikan restitusi, kompensasi, serta rehabilitasi kepada korban, tanpa persyaratan lain

Putusan MK Nomor 006/PUU IV/2006 tanggal 7 Desember 2006, hlm. 126 131.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

93
17
18
19
20

Penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia selalu menjadi topik atas kampanye presiden di setiap tahunnya, termasuk pada inisiatif atas menghidupkan kembali KKR. Wacana tersebut telah muncul sejak beberapa tahun terakhir, meskipun kerangka regulasinya maupun RUU belum terpublikasi.21 Political will dalam membentuk UU KKR baru kenyaataannya cukup rendah dengan beberapa kali penempatan statusnya sebagai RUU prioritas sejak 2007 2017 namun pada kenyataannya tidak pernah termanifstasi.22 Terlepas dari permasalahan demikian, adalah perlu untuk menyediakan rujukan studi berdasarkan hukum internasional yang berfokus pada poin mengenai prioritas antara pemberian amnesti dan ganti kerugian, keabsahan pemberian amnesti, dan urusan lain yang dirasa perlu untuk dipelajari dalam pembentukan KKR kedepannya dengan mempertimbangkan berbagai transformasi hukum yang akan dijabarkan di bagian selanjutnya. C. KKR dalam Hukum Internasional dan Peran Perserikatan Bangsa Bangsa

Perkembangan KKR dalam hukum internasional berasal dari inisiatif untuk melawan impunitas yang kemudian mengembangkan hak untuk tahu (right to know) yang selanjutnya berkembang menjadi hak atas kebenaran (right to truth) sebagaimana telah dipromosikan melalui berbagai perjanjian internasional dan putusan pengadilan.23 KKR dalam hukum internasional pertama kali disebutkan pada tahun 2004, keberadaannya merupakan bagian dari kerangka keadilan transisional (transitional justice).24 Rujukan utama atas kerangka tersebut mengacu pada Laporan Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 2004 yang dibentuk

21 Ali, “MPR Dukung UU KKR Dihidupkan Kembali” https://www.hukumonline.com/berita/a/mpr dukung uu kkr dihidupkan kembali lt4da4718922dc9. Diakses 20 April 2022; Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Siap ke DPR”, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10951. Diakses pada 20 April 2022; Hukumonline.com, “Pemerintah Bahas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah bahas ruu komisi kebenaran dan rekonsiliasi lt5e6a223e4f42d?page=all. Diakses 20 April 2022.

22 Abdurrahman, Ali, and Mei Susanto. "Urgensi Pembentukan Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia dalam Upaya Penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu." Padjadjaran Journal of Law 3, no. 3 (2016): 509 530.

23 United Nations Economic and Social Council, E/CN.4/Sub.2/1997/20. Final report on the Question of the impunity of perpetrators of human rights violations (civil and political); E/CN.4/2004/88; E/CN.4/2006/91.

24 Report of the Secretary General to the Security Council on the rule of law and transitional justice in conflict and post conflict situations (S/2004/616).

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

94

untuk mengkaji peran konkrit PBB dalam penegakan hukum dan keadilan di wilayah pasca konflik. PBB mendefinisikan keadilan transisional sebagai:25

“the full range of processes and mechanisms associated with a society’s attempts to come to terms with a legacy of large scale past abuses, in order to ensure accountability, serve justice and achieve reconciliation. These may include both judicial and non judicial mechanisms, with differing levels of international involvement (or none at all) and individual prosecutions, reparations, truth seeking, institutional reform, vetting and dismissals, or a combination thereof.”

Berdasarkan pengertian di atas, kerangka “truth seeking” dalam wujud konkrit merupakan prinsip dasar dari KKR sebagai salah satu metode untuk mencapai keadilan transisional. KKR didefinisikan dengan beberapa elemen, diantaranya:26

“Truth commissions are official, temporary, non judicial fact finding bodies that investigate a pattern of abuses of human rights or humanitarian law committed over a number of years. These bodies take a victim centred approach and conclude their work with a final report of findingsoffactandrecommendations.”

Terlepas dari konsep keadilan transisional yang baru dinyatakan oleh Sekjen PBB pada tahun 2004 dan menggolongkan KKR sebagai salah satu metode pencapaiannya, perlu diketahui bahwa praktik KKR sendiri telah berlangsung lama dan setidaknya ada pada 30 negara, beberapa diantaranya Argentina, Chile, Afrika Selatan, Peru, Ghana, Maroko, El Salvador, Guatemala, Sierra Leone, Ekuador, Nigeria, Panama, Peru, dsb. Tujuan dari KKR diantaranya adalah untuk membantu masyarakat pasca konflik menetapkan fakta tentang pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, mendorong akuntabilitas, menjaga keberadaan sumber daya untuk pembuktian, mengidentifikasi pelaku dan merekomendasikan ganti kerugian dan reformasi kelembagaan. KKR juga dapat menyediakan platform publik bagi para korban untuk berbicara kepada masyarakat secara langsung dan dapat memfasilitasi kebutuhan publik tentang bagaimana berdamai dengan masa lalu.

Pasca dilakukan studi terhadap beberapa praktik, Sekjen PBB menekankan beberapa poin dalam permasalahan KKR, diantaranya masyarakat sipil yang

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

95 Volume
27
25 Report…¶8. 26 Report…¶50. 27 Report…¶50.

lemah, ketidakstabilan politik, ketakutan korban dan saksi untuk bersaksi, sistem peradilan yang lemah atau korup, waktu yang tidak cukup untuk melakukan investigasi, kurangnya dukungan publik dan pendanaan yang tidak memadai. Komisi kebenaran selalu dikompromikan jika diangkat melalui proses yang terburu buru atau dipolitisir. Maka dari itu, KKR paling baik dibentuk melalui proses konsultatif yang menggabungkan pandangan publik tentang mekanisme kerja KKR itu sendiri.28

Lebih lanjut, KKR perlu menjadi lembaga independen. Strategi informasi dan komunikasi publik yang kuat sangat penting untuk mengelola harapan publik dan korban serta untuk memajukan kredibilitas dan transparansi. Kepekaan dan daya tanggap terhadap permasalah gender terhadap korban yang terdiskriminasi harus terjamin. Dalam perkembangannya, dengan mempertimbangkan instabilitas pasca konflik, KKR membutuhkan dukungan internasional untuk berfungsi.29

Salah satu poin penting yang ditekankan oleh Sekjen PBB adalah menolak adanya pemberian amnesti yang menjadi ciri khas atas praktik KKR di beberapa negara. Pada dasarnya, Sekjen PBB menolak amnesti untuk genosida, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk yang berkaitan dengan kejahatan internasional berbasis etnis, gender, dan seksual. Hal ini dikarenakan amnesti merupakan penghalang untuk penuntutan di hadapan pengadilan.30

Terlepas dari inisiatif di atas, sangat disayangkan bahwa kerangka KKR dalam hukum internasional sendiri belum memiliki landasan konkrit dan komprehensif dalam wujud baik perjanjian internasional maupun kebiasaan internasional dikarenakan basis bentuk pelanggaran HAM, keadaan politik dan kelembagaan yang kompleks dan berbeda di berbagai negara. Meskipun demikian, PBB setidaknya telah memberikan gagasan awal atas kerangka hukum internasional terkait KKR melalui dokumen yang disediakan atas organ di bawah naungan PBB. Bahwa karakter keadilan transisional yang luas mengacu pada keahlian PBB dalam urusan pelindungan HAM, pembangunan berkelanjutan, pertanggungjawaban pidana dan reformasi hukum. Salah satu kekuatan terbesar

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

96 Volume
28 Report… ¶ 51 29 Report…¶51. 30 Report… 64.

PBB dalam keadilan transisional adalah kemampuannya untuk berkontribusi secara politik dan finansial. Pada saat yang sama, entitas PBB yang luas yang dipanggil untuk mendukung mekanisme keadilan transisional di suatu negara juga dapat menyebabkan kebingungan mengenai mandat dan peran di seluruh sistem.31 Terlepas dari hal tersebut, peran PBB dalam lingkup ini telah menerapkan kebijakan dan kerangka normatif, dan berperan menjadi promotor pelindungan HAM dengan luasnya jangkauan kerja di negara negara pasca konflik dan dengan menjadi perantara bagi banyak pemangku kepentingan, yang memungkinkannya memperkuat sinergi antara keadilan transisional dan program pembangunan, kemampuannya untuk meningkatkan hubungan dekat dengan negara negara anggota dan badan antar pemerintah lainnya, untuk memberikan dukungan langsung kepada proses keadilan transisional; dan kekuatannya yang menyediakan platform bagi para korban dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk terlibat langsung dengan pemerintah dalam keadilan transisional.32

D. Pengadilan Pidana Internasional dan Praktik KKR

Dengan mempertimbangkan kerangka hukum di Indonesia yang menjadikan Pengadilan HAM dan KKR sebagai institusi yang saling berkomplemen dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat, maka adalah perlu untuk meninjau bagaimana praktik berbagai pengadilan pidana internasional terhadap mekanisme KKR. Dalam lingkup hukum internasional, PBB telah membentuk berbagai pengadilan pidana khusus. Salah satu tujuan adalah membawa pelaku pelanggaran HAM berat untuk bertanggung jawab secara hukum dan mencegah terulangnya kembali, melindungi martabat bagi para korban, dan menegakkan kembali supremasi hukum untuk berkontribusi pada pemulihan perdamaian. Untuk tujuan tersebut, berbagai pengadilan pidana internasional ad hoc yang telah terbentuk diantaranya di Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR), serta pengadilan hybrid yang dibentuk dengan mempertahankan pengaruh sistem hukum nasional dan internasional satu sama lain,33 beberapa diantaranya pengadilan di Sierra Leone (SCSL), Kamboja (ECCC), pengadilan hybrid dalam

Research

Alison, and Emily Kenney.

Transitional Justice

Aaron.

United Nations and transitional justice."

Edward Elgar Publishing,

justice

Transitional Justice

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

the end of impunity: Hybrid tribunals."

Edward Elgar Publishing, 2017.

97
31 Davidian,
"The
In
Handbook on
.
2017. 32 Ibid 33 Fichtelberg,
"Transitional
and
dalam Research Handbook on
.

bentuk Kamar Khusus di Pengadilan Negeri Bosnia dan Herzegovina (BWCC), Panel dengan Yurisdiksi Eksklusif atas Tindak Pidana Serius di Timor Leste (SPSC) yang dibentuk oleh Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa Bangsa di Timor Timur (UNTAET), serta penggunaan hakim dan jaksa internasional untuk pengadilan di Kosovo (IJP) sesuai dengan peraturan Misi Administrasi Sementara PBB di Kosovo (UNMIK). Keberadaan pengadilan pidana memiliki posisi sentral memberikan kepercayaan publik yang lebih besar terhadap kemampuan dan kemauan negara untuk menegakkan hukum. Pengadilan juga dapat membantu masyarakat untuk pemulihan konflik, mendorong transisi menuju perdamaian dan pencegahan atas peristiwa serupa dengan efek pemidanaan. Namun, penuntutan yang komprehensif juga tidak mungkin karena sumber daya keuangan dan manusia yang terbatas, kapasitas dan kemauan politik yang terbatas, dan retensi kekuasaan politik atau militer oleh rezim pendahulu.34

Memandang permasalahan tersebut, perlu dilakukan alternatif untuk memperoleh rasa keadilan yang kemudian dikenal sebagai keadilan transisional yang menjamin nilai nilai akuntabilitas, perdamaian, dan rekonsiliasi.35 Inisiatif tersebut diwujudkan dengan KKR sebagai alternatif pengadilan pidana yang karena kompleksitasnya, kejahatan yang dilakukan oleh ribuan pelaku, dan berpotensi memiliki ratusan ribu korban, sehingga tidak mungkin untuk menyediakan suatu proses pemeriksaan yang panjang dan fasilitas pemidanaan yang memadai.36

Praktik KKR untuk menjamin keadilan transisional perlu untuk dirancang dengan tepat, PBB berperan untuk mempertimbangkan melalui perencanaan dan konsultasi bagaimana mekanisme keadilan transisional yang berbeda akan berinteraksi untuk memastikan agar tidak bertentangan dengan kenyataan di lapangan. Namun berbeda dengan pengadilan pidana, KKR dalam praktik hukum internasional belum pernah terbentuk sebagai suatu organisasi internasional yang kedudukannya serupa dengan pengadilan pidana. Melainkan hanya terbentuk

Pablo de Greiff, ‘Report of the Special Rapporteur on the Promotion of Truth, Justice, Reparation and Guarantees of Non recurrence’,A/HRC/27/56, ¶ 18 26.

Ruti Teitel, Transitional Justice (Oxford University Press 2001). Hlm. 215.

Schabas, William A. "The Rwanda case: Sometimes it’s impossible." In Post conflict justice. Brill Nijhoff, 2002. Hlm. 499.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

98
34
35
36

sebagai organ nasional yang menerima donor internasional baik secara finansial maupun bantuan teknis dalam pelaksanaannya. Sepanjang praktik dari berbagai pengadilan internasional dan KKR yang terbentuk di berbagai negara, pembahasan teoritis banyak berfokus pada pertanyaan mengenai bagaimana pengadilan akan menghormati mekanisme nasional khususnya pada pemberian amnesti sebagai alternatif dari pertanggungjawaban pidana yang bersifat kontradiktif dengan prinisp hukum internasional sebagaimana dijabarkan pada bagian sebelumnya.37 Pertanyaan lain adalah permasalahan teknis mengenai sinergi atas praktik keduanya, pada praktik di Yugoslavia (ICTY), pengadilan berpendapat apabila KKR tidak dibentuk selama penuntutan belum selesai, untuk menghindari proses yang tumpang tindih.38 Lebih lanjut, muncul kekhawatiran bahwa KKR dapat melemahkan pengadilan dengan kenyataan bahwa Bosnia belum siap untuk memiliki KKR dan bahwa prosesnya kemungkinan akan dimanipulasi oleh faksi faksi politik lokal. Selain itu, kekhawatiran juga mengarah pada pelaksanaan KKR yang bergantung pada pendanaan internasional dapat menarik sumber daya dari pengadilan.39 Mempertimbangkan beberapa contoh di atas, pada kenyataannya praktik sinergi atas pengadilan dan KKR cukup sulit untuk diterapkan secara universal. Selain karena kenyataan mendasar dari wujud konflik sendiri yang memerlukan penyesuaian terhadap sistem yang akan dibentuk, hal ini dikarenakan mandat dari pengadilan sendiri yang bersifat terbatas. Bahwa berbagai pengadilan pidana internasional dibentuk oleh konstitusi secara khusus yang artinya kewenangan pengadilan terbatas pada kerangka hukum tersebut.40 Hubungan pengadilan dengan KKR selama ini telah dipermasalahkan pada beberapa negara, diantaranya

37 Robinson, Darryl. "Serving the interests of justice: Amnesties, truth commissions and the International Criminal Court." European Journal of International Law 14, no. 3 (2003): 481 505; Dukic, Drazan. "Transitional justice and the International Criminal Court in the interests of justice." Int'l Rev. Red Cross 89 (2007): 691.

The Need for and Possibility of Truth and Reconciliation Commissions in the Territory of the Former Yugoslavia,” Conference on War Crimes Trials, Belgrade, November 7 8, 1998; Ivanisevic, Bogdan. "The War Crimes Chamber in Bosnia and Herzegovina: From Hybrid to Domestic Court (2008)." International Center for Transitional Justice (2008): 11.

Ibid

Sebagai contoh Rome Statute of the International Criminal Court, Statute of The International Tribunal for Rwanda, Statute of The International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia dsb.

LK2

99 Volume 12, No. 1, 2022 Juris
FHUI
38
39
40

di Sudan, Sierra Leone dan Peru yang sama sama muncul dari masalah pada kewenangan dan tujuan dari pengadilan dengan KKR.41

Hingga terbentuknya pengadilan pidana dalam kerangka hukum internasional yang tersentralisasi oleh International Criminal Court (ICC) berpraktik sejak 2002,42 solusi dari permasalahan teknis sulit untuk terjawab dengan tidak adanya kasus nyata atas benturan pengadilan dengan KKR sebagai rujukan praktik.

Meskipun praktik ICC terhadap mekanisme KKR sendiri masih belum jelas, intuk dapat membuat ICC mampu berkontribusi lebih banyak dengan mekanisme KKR bergantung pada manajemen yang efisien dan responsif oleh ICC atas kebutuhan korban, keselarasan praktik dan politik dan dukungan keuangan dari masyarakat internasional. Upaya tersebut lebih lanjut dapat dilakukan melalui negosiasi dan koordinasi yang cermat dengan mempertimbangkan politik internasional dan domestik.43 Lebih lanjut, beberapa pendapat menekankan bahwa hubungan ICC dengan KKR dalam hukum nasional perlu untuk membentuk perjanjian untuk menjamin kebebasan dan sinergi dalam praktik.44

E. Perbandingan Praktik Rekonsiliasi di Beberapa Negara Berdasarkan penjabaran dari dua bab di atas, pada kenyataanya rujukan atas praktik KKR dalam lingkup hukum internasional dinilai kurang “praktis” untuk diterapkan di Indonesia. Maka dari itu, untuk memperoleh pemahaman yang lebih praktis, akan dibahas bagaimana praktik KKR di beberapa negara untuk menyediakan rujukan berdasarkan “best practice” untuk KKR di Indonesia. Perlu diingat kembali bahwa penelitian ini perlu untuk mendapatkan rujukan atas

41 Witness to Truth: Report of the Sierra Leone Truth and Reconciliation Commission, vol. 3b, chap. 6, ¶ 224; Cueva, Eduardo González. "The Peruvian Truth and Reconciliation Commission and the challenge of impunity." Transitional Justice in the Twenty First Century: Beyond Truth versus Justice 70 (2006). Hlm. 71.; Totten, Christopher D. "The International Criminal Court and truth commissions: a framework for cross interaction in the Sudan and beyond." Nw. UJ Int'l Hum. Rts. 7 (2009): 1.

42 Beberapa pengadilan pidana sebelum ICC masih memiliki kewenangan residual untuk menangani kasus yang tesisa, diantaranya Residual Special Court for Sierra Leone untuk SCSL serta International Residual Mechanism for Criminal Tribunals untuk ICTR dan ICTY.

43 Gallen, James. "The International Criminal Court: In the interests of transitional justice?." dalam Research Handbook on Transitional Justice. Edward Elgar Publishing, 2017.

44 Priscilla, Hayner. "Unspeakable Truths: Transitional Justice and the Challenge of Truth Commissions." (2011). Hlm. 119; Flory, Philippe. "International criminal justice and truth commissions: From strangers to partners?."

Journal of International Criminal Justice 13, no. 1 (2015): 19 42.

100 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

prioritas antara pemberian amnesti dan ganti kerugian, keabsahan pemberian amnesti, dan urusan lain yang dirasa perlu untuk dipelajari dalam pembentukan KKR kedepannya dengan mempertimbangkan berbagai transformasi hukum yang dirasa perlu untuk diterapkan di Indonesia. Bagian ini akan menjabarkan pada contoh praktik negara yang dinilai relevan untuk dijadikan rujukan dengan mengambil contoh terbatas pada konflik vertikal dimana kejahatan dilakukan oleh pihak yang terafiliasi dengan pemerintah dan korban adalah masyarakat.

Perihal pemberian amnesti, hukum internasional menentang amnesti menyeluruh dan ketentuan yang merampas upaya penuntutan pidana dan hak hak keperdataan dari korban atas pelanggaran HAM berat. Sistem KKR tanpa amnesti diterapkan pada sistem Argentina yang berarti sistem KKR memang dibentuk dengan tujuan bahwa penuntutan pidana akan dilakukan mengikuti proses KKR. Dengan sistem ini, KKR dipandang sebagai suatu langkah menuju penuntutan pidana dengan didapatkannya sumber daya seperti saksi, fakta dasar dan potensi tersangka yang mana berkas dapat diserahkan kepada jaksa untuk mempersiapkan proses pemeriksaan.45

Meskipun demikian, dengan mempertimbangkan konstelasi politik yang beragam, beberapa praktik KKR tetap memberikan amnesti dengan jaminan ganti kerugian pada korban. Sistem demikian berarti bahwa amnesti sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana dan hak keperdataan akibat pelanggaran hak asasi manusia dapat didamaikan hanya apabila negara secara bersamaan telah menyediakan mekanisme mengungkap kebenaran dan pemberian ganti kerugian bagi para korban. Pemberian amnesti telah diterapkan pada beberapa sistem seperti di Afrika Selatan, Liberia dan Kenya.46

Amnesti ini bersifat timbal balik yang berarti sistem demikian menekankan kewajiban negara untuk menghormati dan memastikan penghormatan terhadap

45 Crenzel, Emilio. "Argentina's National Commission on the Disappearance of Persons: Contributions to transitional justice." The International Journal of Transitional Justice 2, no. 2 (2008): 173 191.

46 Sarkin, Jeremy Julian. "Amnesties and Truth Commissions." In The Oxford Handbook of Atrocity Crimes dalam Holá, Barbora, Hollie Nyseth Nzitatira, and Maartje Weerdesteijn, eds. The Oxford Handbook on Atrocity Crimes. Oxford University Press, 2022; Gready, Paul. The era of transitional justice: The aftermath of the truth and reconciliation commission in South Africa and beyond. Routledge, 2010.

101 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

korban untuk memperoleh ganti kerugian.47 Meskipun tidak ada kebijakan ganti rugi yang konsisten yang telah berkembang dalam hukum internasional, namun ada konsensus yang masuk akal tentang kewajiban negara untuk memberikan ganti kerugian atas pelanggaran HAM berat. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, sebagai dokumen acuan tentang hak asasi manusia internasional, menyatakan bahwa:48 “Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for acts violating the fundamental rights granted him by the constitutionorbylaw.”

Rujukan lebih lanjut atas ganti kerugian dapat ditemukan dalam Kovenan

Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966); Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1966); Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Genosida (1948); Konvensi Menentang Penghukuman dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat (1984); Deklarasi Prinsip Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (1985); Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Pembentukan Komisi Kompensasi PBB (1991), dan studi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCHR) tentang hak atas restitusi, kompensasi dan rehabilitasi bagi korban kejahatan berat pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan fundamental (1993).

Oleh karena itu, karena proses amnesti merampas akses para korban ke pengadilan, legitimasi internasionalnya bergantung pada ketentuan ganti kerugian yang memadai bagi para korban. Dalam konteks Afrika Selatan, memperbaiki luka luka korban pelanggaran HAM berat dimana kemampuan mereka untuk mencari reparasi telah diambil dari mereka dengan demikian merupakan kewajiban moral yang tak terhindarkan sebagai negara demokrasi pasca apartheid. Pelindungan hak asasi manusia secara luas diakui sebagai tujuan mendasar dari hukum internasional modern yang meminta negara bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran yang mereka atau agen yang

Declan.

of Criminology

commission

no.

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

(2005): 565 581.

International Criminal

102 Volume
47 Roche,
"Truth
amnesties and the
Court." British Journal
45,
4
48 Article 8 Universal Declaration of Human Rights

secara atributif berkaitan dengan negara. Maka dari itu, konsep KKR di Afrika Selatan menekankan bahwa kerangka amnesti ditambah dengan ketentuan yang memadai dan efektif untuk reparasi dan rehabilitasi memenuhi kewajiban pemerintah untuk menjamin keadilan bagi para korban di masa lalu. Dengan kata lain, amnesti tanpa program reparasi dan rehabilitasi yang efektif akan menjadi ketidakadilan dan pengkhianatan terhadap pelindungan HAM. Selanjutnya, perihal prioritas atas pemberian amnesti dan ganti kerugian. Sejak diserahkannya Laporan Akhir Komisi KKR di Afrika Selatan dengan proposal ganti kerugian, ada penundaan yang signifikan di pihak pemerintah dalam menetapkan visinya untuk program Reparasi dan Rehabilitasi.49 Penundaan ini telah menyebabkan perdebatan publik dan kritik luas. Sebagian besar kritik ini ditujukan kepada Komisi, karena persepsi publik, terus melihat reparasi sebagai tanggung jawab KKR daripada tanggung jawab pemerintah. Fakta bahwa penundaan ini terjadi dengan latar belakang proses amnesti juga disayangkan. Fakta bahwa korban terus menunggu reparasi sementara pelaku menerima amnesti telah memicu perdebatan tentang keadilan bagi korban dalam proses komisi. Bahwa poin penting KKR sendiri adalah untuk memaafkan pelaku dengan disertai pemberian ganti kerugian bagi para korban, tanpa komponen tersebut, KKR tidak seimbang. Dengan mempertimbangkan dua rujukan di atas, maka putusan MK telah tepat untuk memperbolehkan pemberian amnesti dengan mempertimbangkan konstelasi politik di Indonesia. Lebih lanjut, adalah tepat untuk menganggap bahwa prasyarat ganti kerugian dengan pemberian amnesti bagi pelaku merupakan praktik yang tidak wajar. Sebagaimana praktik di Afrika Selatan, meskipun amnesti tidak dijadikan prasyarat, dengan mempertimbangkan bahwa amnesti diberikan terlebih dahulu daripada ganti kerugian, dapat dilihat bahwa penundaan pemberian ganti kerugian sendiri adalah masalah yang dapat diprediksi dan merupakan ancaman atas pemenuhan rasa keadilan.

Dikarenakan akar permasalahan dari pelanggaran HAM berat, keadaan politik dan budaya institusional dari negara yang menerapkan sistem KKR, adalah

49 Truth and Reconciliation Commission, South Africa (TRC), Report of the Reparation and Rehabilitation Committee, hlm. 96.

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

103 Volume

sulit untuk mendapatkan rujukan yang beragam untuk menjawab situasi di Indonesia. Lebih lanjut, upaya tersebut memerlukan penelitian yang lebih mendalam dan melebihi kapasitas penelitian sederhana saat ini. Meskipun demikian, keberagaman tersebut dapat disediakan dengan beberapa rujukan atas praktik KKR di negara lain yang dinilai sebagai beberapa KKR terkuat selain di Afrika Selatan, diantaranya praktik di Guatemala, Peru, Timor Leste dan Maroko,.50 Secara singkat, praktik beberapa negara di atas menekankan pada beberapa poin teknis atas praktik KKR yang mencakup pada kapasitas investigasi, transparansi dengan penyedian katalog data yang dapat diakses dengan mudah oleh publik, serta sistem pelaporan yang baik. Beberapa poin penting yang lain adalah kapasitas KKR dalam sensitivitasnya atas kasus terkait Sexual and gender based violence (SGBV), dan jaminan kerahasiaan data. Merujuk pada putusan MK terkait pada permasalahan teknis pada kerangka hukum KKR di Indonesia,51 maka perlu untuk terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan tersebut dan melakukan revisi struktural agar lebih lanjut dapat mempersiapkan kapasitas KKR dalam melakukan perannya seara efektif. Perlu diingat bahwa pelaksanaan KKR berlangsung hingga bertahun tahun menyesuaikan kasus yang ada, dengan demikian kapasitas sumber daya manusia dan finansial perlu untuk kembali disesuaikan yang mana termasuk pada peran serta pemerintah secara keseluruhan.

F. Penutup

Praktik KKR dalam hukum internasional pada kenyataannya tidak menyediakan rujukan yang praktis untuk diadopsi dalam sistem KKR di Indonesia di masa mendatang. Meskipun demikian, terdapat beberapa rujukan yang dapat dipergunakan. Dari kerangka hukum internasional sendiri, Indonesia kedepannya dapat merujuk pada prinsip prinsip umum yang telah dipromosikan oleh PBB. Terlepas bahwa usulan PBB sendiri kurang konkrit dan praktis untuk diterapkan. Peran PBB dalam membantu pengembangan KKR di berbagai negara cukup signifikan, terutama pentingnya untuk meninjau evaluasi PBB atas praktik KKR

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

104 Volume
50 Priscilla, Hayner, hlm. 27 44. 51 Putusan MK Nomor 006/PUU IV/2006 tanggal 7 Desember 2006, hlm. 126 130.

secara keseluruhan yang penting untuk ditinjau ulang dalam praktik di Indonesia di masa mendatang

Berkaitan dengan praktik Pengadilan Pidana Internasional dan praktik

KKR. Sistem tersebut pada kenyataannya tidak apple to apple untuk ditetapkan di Indonesia. Bahwa kewenangan Pengadilan Pidana Internasional sendiri bergantung pada konstitusinya, untuk mampu berkontribusi pada suatu sistem KKR, maka diperlukan kerangka hukum lebih lanjut (e.g. perjanjian) untuk dijadikan dasar kewenangan pengadilan. Kerangka hukum di Indonesia sendiri cukup memadai untuk mendasari sinergi Pengadilan HAM dengan KKR untuk bekerja secara komplementer.

Dengan mempertimbangkan bahwa praktik hukum internasional kurang praktis untuk diterapkan, maka perlu untuk mencari rujukan lain untuk transformasi praktik KKR di Indonesia untuk masa mendatang. Rujukan tersebut mengarah pada praktik KKR di beberapa negara sebagai rujukan “best practice” dalam menjalankan KKR. Permasalahan pada UU KKR sendiri pada akhirnya terjawab, diantaranya yakni pemberian amnesti adalah hal yang dapat diterima dan diadopsi untuk praktik kedepannya. Lebih lanjut, mengenai ganti kerugian adalah hal yang perlu diprioritaskan daripada pemberian amnesti, bahwa pemberian amnesti tidak boleh dijadikan prasyarat atas ganti kerugian. KKR bukanlah suatu sistem yang tidak memiliki rujukan universal dan dapat diterapkan di semua negara. Rekonsiliasi bukanlah konsep yang dapat diimpor ke suatu negara dari luar negeri. Ia harus muncul dari dalam masyarakat dan dimiliki oleh masyarakat itu dan dibentuk secara khusus untuk memenuhi penyelesaian konflik yang terjadi. Rujukan lebih lanjut yang perlu diadopsi pada sistem KKR di Indonesia untuk masa mendatang adalah perihal teknis dari KKR sendiri, berdasarkan evaluasi PBB, evaluasi dari KKR di negara lain serta Putusan

MK yang telah menerapkan lima poin permasalahan teknis yang sebaiknya tidak boleh terulang. Menindaklanjuti reformasi dari permasalahan tersebut, Indonesia perlu mempersiapkan segala sumber daya finansial dan manusia untuk dapat memberikan suatu sistem KKR yang memuaskan dengan mempertimbangkan jangka waktunya dan jumlah kasus yang perlu diselesaikan.

105 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal

Abdurrahman, Ali, and Mei Susanto. "Urgensi Pembentukan Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia dalam Upaya Penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu." Padjadjaran

Journal of Law 3, no. 3 (2016): 509 530.

Crenzel, Emilio. "Argentina's National Commission on the Disappearance of Persons: Contributions to transitional justice." The International Journal of Transitional Justice 2, no. 2 (2008): 173 191.

Cueva, Eduardo González. "The Peruvian Truth and Reconciliation Commission and the challenge of impunity." Transitional Justice in the Twenty First Century: Beyond Truth versus Justice 70 (2006).

Davidian, Alison, and Emily Kenney. "The United Nations and transitional justice." dalam Research Handbook on Transitional Justice. Edward Elgar Publishing, 2017.

Dukic, Drazan. "Transitional justice and the International Criminal Court in the interests of justice." Int'l Rev. Red Cross 89 (2007): 691.

Fichtelberg, Aaron. "Transitional justice and the end of impunity: Hybrid tribunals." dalam Research Handbook on Transitional Justice. Edward Elgar Publishing, 2017.

Flory, Philippe. "International criminal justice and truth commissions: From strangers to partners?." Journal of International Criminal Justice 13, no. 1 (2015): 19 42

Gallen, James. "The International Criminal Court: In the interests of transitional justice?." dalam Research Handbook on Transitional Justice. Edward Elgar Publishing, 2017.

Gready, Paul. The era of transitional justice: The aftermath of the truth and reconciliation commission in South Africa and beyond. Routledge, 2010.

Ivanisevic, Bogdan. "The War Crimes Chamber in Bosnia and Herzegovina: From Hybrid to Domestic Court (2008)." International Center for Transitional Justice (2008): 11

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

106

Joyner, Christopher C. "Redressing Impunity for Human Rights Violations: The Universtal Declaration and the Search for Accountability." Denv. J. Int'l L. & Pol'y 26 (1997).

Komnas HAM. "Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat." Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) (2014).

"Merawat Ingatan Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat." Jakarta: Komisi Nasional HakAsasi Manusia (Komnas HAM) (2020).

Priscilla, Hayner. "Unspeakable Truths: Transitional Justice and the Challenge of Truth Commissions." (2011).

Robinson, Darryl. "Serving the interests of justice: Amnesties, truth commissions and the International Criminal Court." European Journal of International Law 14, no. 3 (2003): 481 505.

Roche, Declan. "Truth commission amnesties and the International Criminal Court." British Journal of Criminology 45, no. 4 (2005): 565 581. Ruti Teitel, Transitional Justice (Oxford University Press 2001).

Sarkin, Jeremy Julian. "Amnesties and Truth Commissions." In The Oxford Handbook of Atrocity Crimes dalam Holá, Barbora, Hollie Nyseth Nzitatira, and Maartje Weerdesteijn, eds. The Oxford Handbook on Atrocity Crimes. Oxford University Press, 2022. Schabas, William A. "The Rwanda case: Sometimes it’s impossible." In Post conflict justice. Brill Nijhoff, 2002.

Totten, Christopher D. "The International Criminal Court and truth commissions: a framework for cross interaction in the Sudan and beyond." Nw. UJ Int'l Hum. Rts. 7 (2009): 1.

Widjojo, Muridan S., Adriana Elizabeth, Amirudin Al Rahab, Cahyo Pamungkas, and Rosita Dewi. Papua road map: Negotiating the past, improving the present, and securing the future. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.

107 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

Dokumen Nasional

Ketetapan MPR RI Nomor V/TAP/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.

Putusan MK Nomor 006/PUU IV/2006 tanggal 7 Desember 2006.

Undang Undang Dasar NRI tahun 1945, amandemen ke IV.

Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.

Undang undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

Papua jo. Undang undang Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Undang Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Undang undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dicabut oleh Putusan MK Nomor 006/PUU IV/2006 tanggal 7 Desember 2006.

Dokumen Internasional

Pablo de Greiff, ‘Report of the Special Rapporteur on the Promotion of Truth, Justice, Reparation and Guarantees of Non recurrence’,A/HRC/27/56.

Report of the Secretary General to the Security Council on the rule of law and transitional justice in conflict and post conflict situations (S/2004/616).

Truth and Reconciliation Commission, South Africa (TRC), Report of the Reparation and Rehabilitation Committee, Volume 6, Part 2, Chapter 1. Universal Declaration of Human Rights.

United Nations Economic and Social Council, E/CN.4/Sub.2/1997/20 Final report on the Question of the impunity of perpetrators of human rights violations (civil and political); E/CN.4/2004/88; E/CN.4/2006/91.

The Need for and Possibility of Truth and Reconciliation Commissions in the Territory of the Former Yugoslavia,” Conference on War Crimes Trials, Belgrade, November 7 8, 1998.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

108

Witness to Truth: Report of the Sierra Leone Truth and Reconciliation Commission, vol. 3b, chap. 6.

Sumber Lain Ali. “MPR Dukung UU KKR Dihidupkan Kembali ” https://www.hukumonline.com/berita/a/mpr dukung uu kkr dihidupkan kembali lt4da4718922dc9. Diakses 20 April 2022. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Siap ke DPR”, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10951. Diakses pada 20 April 2022. Sahbani, Agus, “Pemerintah Bahas RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” https://www.hukumonline.com/berita/a/pemerintah bahas ruu komisi kebenaran dan rekonsiliasi lt5e6a223e4f42d?page=all. Diakses 20 April 2022.

Truth and Reconciliation Commission (TRC), https://www.justice.gov.za/trc/.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

109

BIOGRAFI PENULIS

Hafidz Laksamana Botua menempuh studi pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Program Kekhususan Hukum Internasional). Penulis lulus dengan predikat pujian pada tahun 2022. Selama perkuliahan, penulis aktif pada organisasi kemahasiswaan, diantaranya Asian Law Students' Association dan Moot Court Society dimana Penulis banyak terlibat dalam penulisan publikasi hukum serta mengadakan seminar dan workshop bagi mahasiswa. Penulis juga aktif pada kompetisi peradilan semu baik sebagai pelatih maupun peserta, kompetisi yang penulis ikuti diantaranya National Moot Court Competition Piala Tjokorda Raka Dherana ke 5 pada tahun 2018 dan The Willem C. Vis (east) International Commercial Arbitration Moot ke 17 pada tahun 2020. Dalam mendukung pemahaman penulis dalam praktik hukum, penulis memiliki pengalaman magang di Pengadilan Negeri Magelang (2019), SSEK Legal Consultants (2021) dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (2021). Saat ini penulis merupakan Associate di Solon Law, suatu konsultan hukum di Guernsey yang berfokus pada regulasi dan analisis kebijakan publik, penulis menangani proyek terkait lingkungan dan hak asasi manusia

110 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

PERBANDINGAN ANTARA PRINSIP PRINSIP KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL MENURUT UNIDROIT DAN CISG DENGAN ASASASAS HUKUM PERJANJIAN MENURUT BURGERLIJK WETBOEK

VOOR INDONESIE (BW) SERTA IMPLEMENTASINYA Septy Putri Permatasari

Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pancasila Email: septyputripermatasari@gmail.com

Abstrak

Dalam dunia korporasi, tidaklah lepas dari kontrak dan berlaku untuk semua bidang industri manapun di dunia, khususnya untuk kepentingan komersial, menjalin kerja sama baik nasional maupun tingkat internasional. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana perbandingan prinsip prinsip kontrak dagang internasional, khususnya UNIDROIT dan CISG dengan hukum perjanjian di Indonesia, serta implementasinya dalam perancangan kontrak. Penulisan ini menggunakan metode yuridis empiris dengan tipe penelitian yuridis normatif. Terdapat ketentuan ketentuan dalam prinsip prinsip hukum kontrak internasional yang mempunyai kesamaan dengan Buku III KUHPerdata, namun terdapat ketentuan ketentuan dalam Konvensi CISG 1980 yang perlu diratifikasi dalam peraturan hukum Indonesia.

Kata Kunci: CSIG, Internasional, Kontrak, Perjanjian, UNIDROIT

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

111

COMPARISON BETWEEN THE PRINCIPLES OF INTERNATIONAL TRADE CONTRACT ACCORDING TO UNIDROIT AND CISG WITH THE LEGAL PRINCIPLES OF AGREEMENTS ACCORDING TO BURGERLIJK WETBOEK VOOR INDONESIE (BW) AND THEIR IMPLEMENTATION Abstract

In the corporate world, it is inseparable from contracts, and applies to all industrial fields in the world, especially for commercial purposes, establishing cooperation both at national and international levels. The purpose of this writing is to find out the principles of international trade contacts, especially UNIDROIT and CISG with treaty law in Indonesia, as well as their implementation in contract drafting. This writing uses empirical juridical methods and the type of research is normative juridical. There are provisions in the principles of international contract law which have similarities with Book III of the Civil Code, but there are provisions in the 1980 CISG Convention that need to be ratified in Indonesian regulations.

Keywords: CSIG, International, Contract, Agreement, UNIDROIT

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

112

1.Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Dalam dunia perdagangan, agar terlaksananya pengoperasian bisnis, baik untuk menjaga hubungan bisnis maupun dalam memilih bentuk penyelesaian sengketa bisnis, perjanjian menjadi pegangan dan tolak ukurnya. Oleh karena itu, dalam membuat perjanjian untuk menjaga dan menyelesaikan sengketa haruslah didasarkan kepada ketentuan ketentuan hukum. Berkembangnya perdagangan internasional saat ini memberikan segi positif dan dampak negatif yang luas di segala aspek kehidupan masyarakat dunia. Perkembangan tersebut antara lain terdapat dalam pembuatan kontrak internasional. Transaksi perdagangan internasional tertuang dan tertutup dalam kontrak internasional. Hal itu sesuai dengan perkembangan (hukum) kontrak internasional yang sedikit banyak bergantung pada perkembangan transaksi perdagangan internasional berikut hukum yang mengaturnya. Jika ingin melakukan perdagangan internasional, maka kontrak merupakan suatu bagian penting dalam transaksi internasional karena berkaitan dengan aturan hukum yang berlaku di masing masing negara. Kontrak dalam perdagangan internasional merupakan suatu bagian penting dalam transaksi internasional. Oleh karena itu, secara alamiah peraturan perundang undangan berkaitan dengan perdagangan telah lama menjadi perhatian. Kontrak adalah peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai hal hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut perikatan (verbintenis). Dengan demikian, kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut. Oleh karena itu, kontrak yang mereka buat adalah sumber hukum formal asal kontrak tersebut adalah kontrak yang sah.1

1

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, “Teori dan Contoh Kasus”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 45.

113 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

Hukum kontrak merupakan hukum yang sangat penting dalam era perdagangan bebas saat ini, di mana transaksi bisnis yang dilakukan antar individu maupun badan usaha termasuk negara dilakukan dengan pembuatan kontrak, baik dalam skala nasional maupun skala kontrak internasional. Kontrak merupakan suatu jaminan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya apabila dilaksanakan dengan itikad baik dan didukung oleh hukum yang mengatur mengenai kontrak 2 Terdapat beberapa perjanjian terkait dengan kontrak internasional, antara lain konvensi tentang jual beli internasional, yaitu United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods yang dikenal sebagai Konvensi CISG 1980 dan konvensi tentang prinsip prinsip kontrak internasional, yaitu The International Institute for The Unification of Private Law (UNIDROIT) Principles of International Commercial Contracts dalam The International Institute for the Unification of Private. UNIDROIT adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. Lembaga UNIDROIT dibentuk sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa Bangsa (LBB). Sewaktu LBB bubar, UNIDROIT dibentuk pada tahun 1940 berdasarkan suatu perjanjian multilateral, yakni Statuta UNIDROIT (The UNIDROIT Statue). Lembaga UNIDROIT ini berkedudukan di kota Roma dan dibiayai oleh lebih dari 50 (lima puluh) Negara.3 Menurut Taryana Soenandar, CISG berlaku terhadap kontrak jual beli barang yang para pihaknya memiliki tempat usaha di negara yang berbeda. Ruang lingkup jual beli barang dibatasi hanya untuk tujuan komersial bukan untuk tujuan pribadi atau kepentingan pemerintah.4 Sementara prinsip prinsip UNIDROIT merupakan prinsip umum bagi kontrak komersial internasional yang dapat diterapkan ke dalam aturan hukum nasional atau dipakai oleh para pembuat kontrak untuk mengatur transaksi komersial internasional sebagai pilihan hukum.5

2 N.IkeKusmiati,“KedudukanUNIDROITsebagaiSumberHukumKontrakdalam Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia yangAkanDatang,” Jurnal Litigasi 18 (2017), hlm. 146

3 Victor Purba, “Kontrak Jual Beli Barang Internasional Konvensi Vienna 1980,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2002), hlm. 1.

4 Melly May, “Persamaan dan Perbedaan Prinsip Unidroit dengan Prinsip Hukum Kontrak di Indonesia“ https://www.kompasiana.com/melianawaty/5512b106a333116f5fba7dbf/persamaan dan perbedaan prinsip unidroit dengan prinsip hukum kontrak di indonesia, diakses 16 April 2021

5 Taryana Soenandar, Prinsip prinsip Unidroit: sebagai sumber hukum kontrak dan penyelesaian sengketa bisnis internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm 34 35.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

114

Pengaturan tentang kontrak di Indonesia masih mengacu pada ketentuan Buku III KUHPerdata yang merupakan produk Belanda sampai sekarang masih berlaku, termasuk ketentuan ketentuan peninggalan jaman Belanda sampai saat ini masih berlaku, sebagaimana ketentuan dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 berkenaan dengan kontrak masih berlaku.6 Saat ini keberadaan Buku III KUHPerdata sudah usang di mana sejak diundangkan 1 Mei 1848 hingga sekarang masih berlaku. Menurut Menteri Sahardjo menyatakan bahwa Burgerlijk Wetboek (BW) bukan lagi sebagai “Wetboek” tetapi sebagai “Rechtboek” yang hanya digunakan sebagai pedoman saja. Keadaan hukum kontrak dalam Buku III BW sudah tidak dapat menampung perkembangan kepentingan kontrak dalam praktek yang sudah berkembang, di mana hubungan para pihak sudah melintas batas negara, dengan sistem hukum yang kompleks.7

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa perbedaan antara prinsip hukum kontrak internasional dalam UNIDROIT dengan prinsip yang ada di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata?

2. Apa persamaan antara prinsip hukum kontrak internasional dalam UNIDROIT dengan prinsip yang ada di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata?

3. Apa dampak perbedaan dan persamaan tersebut dalam implementasi perancangan kontrak?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menjawab perbedaan dan persamaan dari prinsip prinsip kontrak internasional dan prinsip prinsip kontrak dan implementasinya

Ike Kusmiati,

Ibid., hlm.

, hlm.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

115
6 N.
Ibid
150. 7
147.

2.Pembahasan

2.1Prinsip prinsip dalam Kontrak Internasional

1. Prinsip Kebebasan Kontrak

Prinsip ini berlandaskan pada Pasal 1.1 UNIDROIT, yang menyatakan bahwa

The parties are free to enter into a contract and to determine its content.” Pasal ini menegaskan bahwa kebebasan para pihak untuk membuat kontrak, termasuk kebebasan untuk menentukan apa yang mereka sepakati.8 Prinsip kebebasan diwujudkan dalam 5 (lima) bentuk prinsip hukum, yaitu: (1) Kebebasan menentukan isi kontrak; (2) Kebebasan menentukan bentuk kontrak; (3) Kontrak mengikat sebagai undang undang; (4) Aturan memaksa (mandatory rules), sebagai pengecualian. Mandatory rules yaitu ketentuan ketentuan yang tidak boleh dikesampingkan dalam kesepakatan perjanjian yang mana dalam hukum privat lebih cenderung pada ketentuan ketentuan tertentu yang bersifat memaksa. Apabila jika mengenyampingkan mandatory rules dalam kontrak, maka kontrak dapat dibatalkan/batal9; dan (5) Sifat internasional dan tujuan prinsip prinsip UNIDROIT yang harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak10 Prinsip ini juga diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 2 CISG, yang menyatakan bahwa:

“This Convention applies to contracts of sale of goods between parties whose places of business are in different States, (a) when the States are Contracting States; or (b) .”

The fact that the parties have their places of business in different States is to be disregarded whenever this fact does not appear either form the contract or from any dealings between, of from information disclosed by, the parties at any time before or at the conclusion of the contract”.

Penjabaran pasal pasal tersebut memberikan ketentuan bagi negara negara peserta anggota CISG dan negara negara bukan anggota untuk secara bersama sama dapat melakukan atau menjalankan perjanjian tersebut, atau untuk tidak mengikuti ketentuan tersebut dengan didasarkan pada kesepakatan para pihak, serta negara

8 Huala Adolf, Dasar dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: PT Refika Aditama, 2008), hlm 90.

9 Chintya Indah Pertiwi dan F.X.JokoPriyono,“ImplikasiHukumKontrak Bisnis Internasional yang dibuat dalamBahasaAsing.” Notarius, Vol 11 No 1 (2018), hlm. 17

10 Taryana Soenandar, Prinsip prinsip Unidroit, hlm 37.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

116

negara dengan tempat usaha/kegiatan perdagangan yang berbeda untuk tetap menjalankan kegiatannya sesuai kesepakatan.

2. Prinsip Pengakuan Hukum terhadap Kebiasaan Dagang

Prinsip ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kebiasaan dagang bukan saja secara fakta mengikat tetapi juga karena ia berkembang dari waktu ke waktu. Prinsip ini dilandaskan pada Pasal 1.8 UNIDROIT yang berisi “a usage which they have widely known to and regularly observed in international trade by parties in the particular trade concerned, except where the application of such a usage would be unreasonable.”

3. Prinsip Itikad Baik (Good Faith) dan Transaksi Jujur (Fair Dealing)

Prinsip ini dilandasi Pasal 1.7 UNIDROIT yang menyatakan “(e)ach party must act in accordance with good faith and fair deal ing in international trade.” Tujuan utama prinsip ini sebagaimana yang dicitakan oleh UNIDROIT adalah tercapainya suatu keadaan yang adil dalam transaksi transaksi dagang internasional.11Terdapat 3 (tiga) unsur dari prinsip itikad baik dan transaksi jujur, yaitu: a) Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak; b) Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam UPICCs ditekankan pada praktik perdagangan internasional; c) Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa12

4. Prinsip Keadaan Kahar (Force Majeure)

Prinsip ini termuat dalam Pasal 7.1.7 UNIDROIT, yang berbunyi sebagai berikut:

“(1) Non performance by a party is execused if that party proves that the non performance was due to an impediment beyond its control and that it could not reasonably be expected to have taken the impediament into account at the time of the conclusion of the contract or to have avoided or overcome it or its consequences.

(2) When the impediment is only temporary, the execuse shall have effect for such period as is reasonable having regard to the effect of the impediment on the performance of the contract.

(3) The party who fails to perform must give notice to the other party of the impediment and its effect on its ability to perform. If the notice is not received by the other party within a reasonable time after the party who fails to perform knew or ought to have known of the impediment, it is liable for damages resulting from such non receipt.

11 Huala Adolf, Dasar dasar Hukum Kontrak Internasional, hlm. 90 91.

12 Taryana Soenandar, Ibid, hlm 42.

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

117 Volume

(4) Nothing in this article prevent a party from exercising a right to terminate the contract or to withhold performance or request interest on money due.”

Intisari dari pasal tersebut ialah sebagai berikut: (1) Peristiwa yang menyebabkan force majeure merupakan peristiwa yang di luar kemampuannya; dan (2) Adanya peristiwa tersebut mewajibkan pihak yang mengalaminya untuk memberitahukan pihak lainnya mengenai telah terjadinya force majeure 13

2.2Prinsip prinsip Perjanjian dalam Hukum Perdata Indonesia

Pengaturan hukum perjanjian dalam Buku III KUHPerdata diatur mulai dari Pasal 1313 KUHPerdata tentang pengertian perjanjian sampai dengan Pasal 1381 KUHPerdata tentang hapusnya perikatan. Sesuai dengan perkembangan masyarakat, perlu dibuat aturan aturan berkenaan dengan kontrak yang belum diatur dalam Buku III KUHPerdata sebagai upaya pemerintah dalam mengisi kekosongan hukum yang terjadi dari Buku III KUHPerdata tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan dalam praktik sesuai dengan perkembangan yang terjadi, pemerintah menyusun berbagai peraturan perundang undangan berkaitan dengan kontrak. Pengaturan yang tidak ada dalam Buku III KUHPerdata adalah pengaturan tentang itikad buruk dalam prakontraktual karena ini penting di mana pada saat negosiasi sangat dibutuhkan agar dapat menghindari adanya pihak yang dirugikan sehingga penting adanya pengaturan tentang itikad baik pada saat prakontraktual, baik berupa keterbukaan, kejujuran dari para pihak, sehingga para pihak dapat melaksanakan kontrak dengan adil dan adanya kepastian hukum bagi para pihak yang membuat kontrak.14 Berikut merupakan Prinsip Prinsip Hukum Kontrak di Indonesia:

1. Prinsip Konsensualisme (Concensualism) Prinsip ini berlandaskan pada Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat antara kedua bela pihak. Prinsip ini merupakan prinsip yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

13 Huala Adolf, Dasar dasar Hukum Kontrak Internasional, hlm. 91.

14 N.IkeKusmiati,“KedudukanUNIDROIT”,hlm.152 153.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

118

2. Prinsip Kebebasan Kontrak (Freedom of Contract)

Prinsip ini berlandaskan pada Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya. Namun, pada pasal ini, pihak pihak yang membuat perjanjian tidak berlaku bagi mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Hal tersebut tercantum pada Pasal 1330 KUHPerdata, mereka yang dimaksud ialah: (1) orang orang yang belum dewasa; (2) mereka yang berada di bawah pengampuan; dan (3) orang orang perempuan, dalam hal hal yang ditetapkan oleh undang undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang undang telah melarang membuat perjanjian perjanjian tertentu.

3. Prinsip Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Prinsip ini merupakan prinsip yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Prinsip ini juga bisa dikatakan sebagai suatu yang sakral atau suatu perjanjian yang titik fokusnya dari hukum perjanjian adalah kebebasan berkontrak atau yang dikenal dengan prinsip otonomi (Aziz T. Saliba: 2009, 162). Prinsip ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:

1. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang undang berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya;

2. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan alasan yang ditentukan oleh undang undang.”

Dari penjelasan di atas, para pihak yang melakukan perjanjian harus mematuhi perjanjian yang mereka buat. Perjanjian yang dibuat tidak boleh diputuskan secara sepihak tanpa adanya kesepakatan bersama. Apabila ada salah satu pihak mengingkari atau tidak menjalankan perjanjian yang telah disepakati bersama, maka pihak lainnya bisa mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memaksa pihak yang melanggar perjanjian itu tetap menjalankan perjanjian yang telah disepakatinya.15

4. Itikad Baik (Good Faith)

Prinsip itikad baik tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang undang berlaku sebagai undang

15 Abdul Rasyid, “Asas Pacta Sunt Servanda dalam Hukum Positif dan Hukum Islam”, https://business law.binus.ac.id/2017/03/31/asas pacta sunt servanda dalam hukum positif dan hukum islam/, diakses 18 April 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

119

undang bagi mereka yang membuatnya.” Persetujuan ini tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan alasan yang ditentukan oleh undang undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Maksud dari dilaksanakannya perjanjian dengan itikad baik adalah bagi para pihak dalam perjanjian terdapat suatu keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang tidak masuk akal sehat, yaitu tidak bertentangan dengan norma kepatutan dan kesusilaan sehingga akan dapat menimbulkan keadilan bagi kedua belah pihak dan tidak merugikan salah satu pihak.16

2.3Perbandingan antara Prinsip Hukum Kontrak Internasional dan Implementasi terhadap Perancangan Kontrak

Pada dasarnya, prinsip prinsip kontrak UNIDROIT memiliki persamaan dengan prinsip prinsip kontrak di Indonesia, baik dalam tujuan pembentukannya maupun dalam prinsip pengaturannya. Persamaan tujuannya, yaitu bahwa kedua prinsip yang berlainan teritorial tersebut diciptakan sebagai upaya untuk memudahkan para pihak dalam bertransaksi sehingga perbedaan sistem yang ada tidak menjadi penghalang untuk menciptakan harmonisasi. Persamaan aspek pengaturan antara prinsip UNIDROIT dengan prinsip prinsip hukum kontrak di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Adanya Prinsip Konsensualisme. Dalam kontrak UNIDROIT, kesepakatan para pihak merupakan hal yang mutlak bagi terbentuknya suatu kontrak meskipun tidak dibuat secara formal (tertulis). Demikian juga dalam prinsip hukum kontrak di Indonesia, konsensus para pihak yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian yang salah satunya adalah adanya sepakat para pihak, merupakan sesuatu yang paling penting meskipun tidak dilakukan secara tertulis karena dalam ketentuan pasal tersebut pun tidak menyebutkan adanya kewajiban para pihak untuk menuangkan kesepakatannya dalam bentuk tertulis. Formalitas tulisan hanya dibutuhkan sebagai alat pembuktian jika terjadi sengketa yang mengharuskan dibuktikannya suatu alasan persengketaan.

I Gede Krisna Wahyu Wijaya dan Nyoman Satyayudha Dananjaya, “Penerapan Asas Itikad Baik dalam PerjanjianJualBeliOnline”,[s.l.:s.n.,s.a.].

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

120 Volume
16

2. Adanya Prinsip Kebebasan Berkontrak. Prinsip tersebut pada intinya memberikan peluang kepada para pihak untuk menentukan apa yang mereka sepakati, baik berkaitan dengan bentuk maupun isi dari kontrak itu sendiri. Prinsip kebebasan berkontrak ini dilandasi oleh teori kehendak dan teori pernyataan sebagaimana juga sesuai diterapkan pada prinsip konsensualisme karena tanpa adanya kehendak dan pernyataan, maka tidak akan timbul konsensus diantara para pihak. Apabila tidak ada kesepakatan, maka daya mengikat dari suatu kontrak akan tidak berlaku.

3. Adanya Prinsip Itikad Baik. Prinsip tersebut pada intinya bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi para pihak dalam bertransaksi. Prinsip ini merupakan landasan utama untuk para pihak mengadakan kontrak, sesuai dengan teori kepercayaan sebagai daya mengikatnya suatu kontrak karena diawali dengan itikad baik, maka akan menumbuhkan saling kepercayaan sehingga kontrak dapat direalisasikan dengan baik. Setiap pihak harus menjunjung tinggi prinsip ini dalam keseluruhan jalannya kontrak mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan, sampai kepada berakhirnya kontrak.

4. Prinsip Kepastian Hukum. Adanya prinsip kepastian hukum memberikan perlindungan bagi para pihak dari itikad tidak baik pihak pihak bersangkutan ataupun pihak ketiga. Kontrak yang telah disepakati dianggap berlaku mengikat seperti undang undang bagi para pembuatnya dan tidak bisa diubah tanpa persetujuan dari pihak pihak yang membuatnya. Perbedaannya dapat dilihat dari aspek teritorial di mana penerapan prinsip prinsip kontrak UNIDROIT sasaran utamanya adalah teritorial internasional, sedangkan prinsip prinsip hukum kontrak Indonesia berada dalam teritorial Indonesia sehingga hanya berlaku secara nasional. Namun, bukan berarti prinsip prinsip nasional secara mutlak tidak dapat digunakan untuk transaksi internasional, justru prinsip prinsip yang terakumulasi sebagai hukum nasional ini merupakan akar dari pembentukan kontrak internasional karena kontrak internasional muncul sebagai hukum nasional yang diberi unsur asing, yaitu berbedanya kebangsaan, domisili, pilihan hukum, tempat penyelesaian sengketa, penandatanganan kontrak, objek, bahasa, dan mata uang yang digunakan semuanya dilekati oleh unsur asing sehingga menimbulkan perbedaan sistem diantara kontrak internasional dengan

121 Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

ketentuan kontrak di Indonesia. Lalu, tidak adanya prinsip force majeure dalam prinsip hukum kontrak di Indonesia. Namun, dalam prakteknya prinsip ini selalu dicantumkan dalam proses perancangan kontrak di Indonesia sehingga memiliki harmonisasi di dalamnya meskipun belum ada dasar hukum dalam KUHPerdata yang jelas dalam prinsip ini. Ruang lingkup jual beli barang dibatasi hanya untuk tujuan komersial bukan untuk tujuan pribadi atau kepentingan pemerintah. CISG tidak berlaku terhadap jual beli barang untuk dipakai sendiri, kepentingan keluarga, atau untuk kebutuhan rumah tangga, kecuali ketika menutup kontrak si penjual tidak mengetahui penggunaan barang. CISG juga tidak berlaku terhadap jual beli melalui lelang, eksekusi oleh otoritas tertentu, jual beli saham, sekuritas investasi, surat berharga atau uang, kapal laut, hovercraft, pesawat udara, dan listrik. Sementara prinsip prinsip UNIDROIT merupakan prinsip umum bagi kontrak komersial internasional yang dapat diterapkan ke dalam aturan hukum nasional, atau dipakai oleh para pembuat kontrak untuk mengatur transaksi komersial internasional sebagai pilihan hukum.17

Ruang lingkup hal hal yang diatur di dalam KUHPerdata lebih luas dibandingkan dengan UNIDROIT Principles dan CISG 1980. Hal ini dapat dilihat dari UNIDROIT Principles yang hanya mengatur kontrak perdagangan.18 Dalam KUHPerdata, khususnya mengenai perikatan, tidak hanya diatur mengenai jual beli ataupun perdagangan saja. Buku III KUHPerdata juga mengatur mengenai perdamaian, sewa menyewa, pinjam meminjam, pinjam pakai, pemberian kuasa dan lainnya. Namun terdapat kelemahan pada Pasal 1313 KUHPerdata dikarenakan: 1.) terdapat kalimat 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya berarti bahwa perjanjian sepihak saja. Hal ini diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri” yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja tidak dari kedua belah pihak yang mana seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri” sehingga ada consensus antara kedua belah pihak; 2) kata “perbuatan”

17 Taryana Soenandar, Prinsip prinsip UNIDROIT, (Jakarta: Jakarta Thomson Gale, 2004), hlm. 34 35

18 Lihat Preamble dari UNIDROIT Principles 2010 alinea pertama yang menyatakan “These Principles set for the general rules for international commercial contracts.” (terjemahan bebas penulis, Prinsip prinsip ini ditetapkan untuk aturan umum kontrak dagang internasional).

12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

122 Volume

mencakup pula perbuatan melawan hukum, perwakilan suka rela dan bukan merupakan perjanjian karena tidak mengandung suatu consensus, sehingga seharusnya dipakai istilah “persetujuan”; 3) pengertian perjanjian yang terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diaur dalam bidang hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian; 4) tidak disebutkan tujuan perjanjian sehingga pihak pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.Dari penjabaran prinsip prinsip di atas, hal ini mempunyai dampak positif dalam perancangan kontrak, yakni selain memiliki fundamental yang kuat untuk merancang sebuah kontrak agar para perancang kontrak mempunyai pedoman yang kuat dan tepat dalam merancang kontrak juga menghindari para pihak dari hal hal yang tidak diinginkan atau bahkan konflik berkepanjangan.

3.Penutup

Harmonisasi hukum kontrak merupakan jalan tengah yang dapat ditempuh dalam rangka pembaharuan hukum kontrak Indonesia. Dengan harmonisasi, berarti tidak memaksakan suatu ketentuan atau aturan hukum kontrak dari suatu negara untuk berlaku pada negara lain, demikian juga sebaliknya. Selain itu, melalui harmonisasi hukum kontrak, secara khusus Indonesia tetap dapat melakukan pembaharuan terhadap hukum kontrak Indonesia. Berdasarkan dari penjabaran di atas bahwa baik prinsip prinsip kontrak internasional dengan prinsip prinsip hukum kontrak di Indonesia memiliki banyak sekali persamaan, yang mana hal ini sangatlah menguntungkan bagi para perancang kontrak di Indonesia. Meskipun memang belum ada landasan hukum dalam KUHPerdata mengenai prinsip force majeure, namun pada prakteknya, prinsip ini kerap kali dicantumkan dalam proses perancangan kontrak.

LK2

123 Volume 12, No. 1, 2022 Juris
FHUI

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adolf, Huala. Dasar dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: PT. Refika

Aditama, 2008.

Erman Radjagukguk. Hukum Kontrak Internasional, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2006.

Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis untuk Perusahaan “Teori dan Contoh Kasus”.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press), 2008. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press, 2010. Taryana Soenandar. Prinsip prinsip UNIDROIT. Jakarta: Jakarta Thomson Gale, 2004.

Soenandar, Taryana. Prinsip prinsip UNIDROIT: sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Wijaya, I Gede Krisna Wahyu dan Nyoman Satyayudha Dananjaya. Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli Online, [s.l.: s.n., s.a.].

Artikel Jurnal Kusmiati, N. Ike. Kedudukan UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dalam Pembaharuan Hukum Kontrak Indonesia yang Akan Datang Jurnal Litigasi 18 (2017).

Simanjuntak, Putri Lestari BR. Prinsip Prinsip Hukum dalam Kontak Internasional (2014).

Disertasi

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

124

Purba, Victor. “Kontrak Jual Beli Barang Internasional Konvensi Vienna 1980.” Disertasi Doktor Universitas Indonesia. Jakarta, 2002.

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Staatsblad No. 23 Tahun 1847.

Dokumen Internasional

Perserikatan Bangsa Bangsa. United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods 1980

UNIDROIT. Principles of International Commercial Contracts 2016.

Internet

May, Melly. “Persamaan dan Perbedaan Prinsip Unidroit dengan Prinsip Hukum Kontrak di Indonesia.“ https://www.kompasiana.com/melianawaty/5512b106a333116f5fba7dbf/persamaa n dan perbedaan prinsip unidroit dengan prinsip hukum kontrak di indonesia. Diakses 16 April 2021.

Rasyid, Abdul. “Asas Pacta Sunt Servanda dalam Hukum Positif dan Hukum Islam.” https://business-law.binus.ac.id/2017/03/31/asas-pacta-sunt-servandadalam hukum positif dan hukum islam/. Diakses 18 April 2022.

Volume 12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

125

Volume

BIOGRAFI PENULIS

Septy Putri Permatasari, S.H, lahir di Jakarta, 26 September 1997. Ia merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Pancasila mengambil konsentrasi Hukum Internasional. Saat ini Ia sedang bekerja di PT Jawa Pos Multi Media sebagai Legal Officer. Sebelumnya, Ia pernah bekerja di sebuah perusahaan kontraktor migas sebagai Legal Staff dan law firm sebagai Junior Associate serta magang di salah satu BUMN bagian gas sebagai Legal Intern. Di bidang organisasi, Ia pernah menjadi Tim Sekretariat & Legal di Indonesian Youth Diplomacy (IYD) untuk mempersiapkan Y20 2022 di Indonesia.

126
12, No. 1, 2022 Juris LK2 FHUI

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.