![](https://assets.isu.pub/document-structure/240208095008-ad49aa04f44031202087cd750f4cbf91/v1/f58658b8897a847e8fb324acc7a4471e.jpeg?crop=&height=1231&originalHeight=1231&originalWidth=1200&width=720&zoom=&quality=85%2C50)
6 minute read
Gereja Berdayakan Masyarakat
Gereja Berdayakan Masyarakat Gereja Berdayakan Masyarakat
*) Pdt. Christiono: “Kehadiran Gereja Bukan untuk Diri Sendiri”
Siang itu (Jumat, 12/10) udara di Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta terik. Pendeta Christiono Riyadi sebagai Gembala Sidang Gereja Kristen Jawa (GKJ) Kemadang memperlihatkan sebuah gudang berukuran panjang empat meter dan lebar tiga meter serta tinggi tiga meter. Tidak terlalu luas. Namun gudang itu cukup untuk menyimpan gabah dan beras dari petani.
“Inilah salah satu gudang kami. Gudang di samping gereja yang menjadi pusat penampungan dari tiga gudang yang dimiliki lumbung pangan Desa Kemadang. Dua gudang lainnya ada di wilayah sini juga tak jauh dari gereja ini,” kata Pdt. Christiono.
Lumbung pangan Desa Kemadang, menurut Pdt. Christiono diawali sejak 2006 lewat kesepakatan jemaat yang profesinya kebanyakan sebagai petani, nelayan dan pedagang.
“Pada waktu itu kami mengadakan semacam sarasehan soal pertanian. Dan muncullah ide untuk membantu warga desa dengan membuat lumbung pangan ini. Prinsipnya warga jemaat yang kebanyakan berprofesi sebagai petani ingin hasil panen padi tadah hujan mereka dapat membantu, tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan mereka sepanjang tahun tapi juga membantu saat musim kering serta proses penanaman kembali berlangsung,” katanya.
Dari sarasehan itulah kemudian pelan-pelan terwujud. “Paling tidak lumbung itu menyimpan hasil panen petani sehingga tidak mengalami paceklik saat cuaca ekstrem seperti ini,” ujar Pdt. Christiono yang ditahbiskan menjadi pendeta pada 2005.
Lebih jauh Pdt. Christiono bercerita bahwa lumbung pangan yang digagas berasal dari perayaan unduh-unduh.
“Unduh-unduh atau hari panen dilakukan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen setiap tahunnya dan tradisi ini terus dilakukan hingga sekarang. Maka, hasil unduhunduh itulah yang dikumpulkan di lumbung pangan dan digunakan untuk jemaat juga. Karena musim tidak menanam itu antara Juli sampai Oktober. Nah, di sini sering muncul problem. Karena saat panen harga gabah itu rendah dan saat tidak musim tanam, harga gabah tinggi. Maka muncul gagasan, andai gereja bisa membeli hasil panen itu dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar lokal sehingga petani bisa memperoleh kesejahteraan dari hasil jual gabahnya. Ini yang kita kelola, ketika petani membawa hasil panennya dan menjualnya ke lumbung pangan. Pada perkembangannya tidak hanya diperuntukan bagi jemaat tapi juga masyarakat sekitar.”
Lumbung pangan yang dibentuk itu bernama Lumbung Pangan Artha Mandiri, yang dikembangkan di tiga desa, yaitu Desa Kemadang, Desa Planjan dan Desa Banjarejo.
“Anggota dari ketiga desa itu sudah 90-an orang. Ide dari jemaat itulah kemudian diwujudkan menjadi Lumbung Pangan Artha Mandiri sejak 2021 lalu, yang anggotanya bukan hanya warga jemaat gereja tetapi lintas agama. Dari testimoni anggota lumbung pangan yang masyarakat umum lintas agama, mereka itu merasakan bahwa kehadiran gereja memberikan perhatian buat semua, nda hanya mikir dirinya tapi juga bagi yang lain,“ ujar Pdt. Christiono.
Tujuan lumbung pangan
Lebih jauh Pdt. Christiono berkisah soal tujuan lumbung pangan dengan program simpan pinjam gabah yang semuanya dimaksudkan untuk membantu masyarakat petani di Gunung Kidul yang kondisi alamnya mudah terdampak kekeringan.
“Tiga hal yang dilakukan dari lumbung pangan yang fokusnya pada cadangan pangan masyarakat, yaitu pertama simpan pinjam gabah. Simpan pinjam ini, di mana anggota dapat menyimpan gabah dengan simpanan pokok 40 kilogram dan simpanan wajibnya lima kilogram gabah yang disetor dua kali setahun jadi jumlah sepuluh kilogram per tahun. Lalu mereka boleh pinjam untuk tiga keperluan, yaitu untuk konsumsi kebutuhan sehari-hari dengan maksimal pinjaman 40 kilogram gabah, kedua untuk kebutuhan hajatan dengan maksimal 100 kilogram dan dikenai bunga, serta ketiga untuk kedukaan dan bencana dengan maksimal pinjaman 100 kilogram tapi tidak dikenai bunga. Tujuan kedua, yaitu jual beli hasil pertanian. Produk petani di sini ada padi, kacang dan kedelai. Produk itu kita beli dari petani dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar lokal. Lalu hasil pembelian itu disimpan sebagai cadangan pangan dan diolah yang kemudian bisa dipinjam atau dibeli ke anggota atau yang bukan anggota. Khususnya saat musim kemarau seperti ini. Tentu saja kalau dijual ke anggota lebih murah. Dan tujuan ketiga, yaitu menyediakan dana untuk sosial dan kebencanaan bagi anggota. Tiga hal ini yang kita kembangkan di lumbung pangan hingga sekarang ini,” terangnya.
Modal awal ketika ide ini diwujudkan, kata Pdt. Christiono didukung oleh Sinode GKJ. “Kami mendapat tawaran modal dari sinode untuk mengembangkan lumbung pangan yang tujuannya bukan hanya pada warga jemaat tetapi untuk masyarakat secara umum, khususnya untuk ketahanan pangan. Dengan skema tiga tujuan tadi yang saya jelaskan. Maka kami menyambut baik tawaran bantuan itu sehingga lumbung pangan ini bisa terwujud hingga sekarang,” tandasnya.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/240208095008-ad49aa04f44031202087cd750f4cbf91/v1/bae7c29a721d7f6c15ef926b1242571f.jpeg?width=2160&quality=85%2C50)
mendapat tawaran modal dari sinode untuk mengembangkan lumbung pangan yang tujuannya bukan hanya pada warga jemaat tetapi untuk masyarakat secara umum, khususnya untuk ketahanan pangan. Dengan skema tiga tujuan tadi yang saya jelaskan. Maka kami menyambut baik tawaran bantuan itu sehingga lumbung pangan ini bisa terwujud hingga sekarang,” tandasnya.
Ketahanan pangan
Ketahanan pangan selalu berhubungan dengan kondisi di mana masyarakat tidak punya kemampuan untuk mengonsumi pangan sesuai kebutuhan standar diakibatkan beberapa hal, salah satunya karena bencana atau kondisi kemiskinan.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/240208095008-ad49aa04f44031202087cd750f4cbf91/v1/5d0f8ae8c9e5eadcf511c15bb1f87a64.jpeg?width=2160&quality=85%2C50)
Data lain menyebut ada sepuluh dari 100 orang Indonesia yang mengalami ketidakcukupan konsumsi pangan di Indonesia, dan ada 23 provinsi yang mengalami ketidakcukupan konsumsi pangan lebih dari angka Indonesia. Sebagian besar ada di wilayah Indonesia Timur.
Di Kabupaten Gunung Kidul tercatat menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) ada 72.611 kepala keluarga yang masuk dalam program pengentasan kemiskinan tahun 2022 dan 6.390 keluarga masuk dalam kemiskinan ekstrem.
Kondisi berbeda di Desa Kemadang. Menurut Pdt. Christiono adanya lumbung pangan ini sedikit banyak membantu dalam ketahanan pangan khususnya saat bencana.
“Saat panen kami menawarkan untuk membeli gabah dari petani dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar lokal. Mengapa itu dilakukan agar profesi petani ini juga bisa menjadi profesi yang diandalkan oleh warga di desa ini. Lalu kami menjualnya ketika kondisi kekeringan seperti saat ini. Jika beli di tengkulak maka petani kewalahan karena harganya tinggi. Saat musim tanam juga amat membantu para petani untuk membeli bibit gabah yang memang kami simpan sebelumnya dari hasil panen petani juga,” ujarnya.
Selain ketahanan pangan yang dijelaskan tadi, contoh konkret yang paling dirasakan masyarakat saat pandemi tahun 2021-2022 lalu.
“Waktu pandemi itu, pemerintah daerah membeli beras dari lumbung pangan kami untuk masyarakat. Jadi kami ikut pula membagikan telur, ikan kering dan juga beras, karena beras juga penting. Itu salah satu manfaat lumbung pangan ini,” ujar Pdt. Christiono yang memiliki satu putra yang duduk bangku di SMA.
Lumbung pangan Desa Kemadang masih terus berlanjut. Setiap pagi, selalu saja ada petani yang datang untuk menyimpan atau membeli gabah atau beras. Setidaknya apa yang telah dilakukan GKJ Kemadang berdampak bagi masyarakat sekitar dan bukan hanya untuk dirinya sendiri.
Penulis: Phil Artha