9 minute read
Opini TH SUMARTANA DAN DEMOKRASI INDONESIA
Judul di atas disingkat dari judul buku “Demokrasi Indonesia: Persimpangan Antara Pluralisme Agama dan Politik Negara”. Buku ini adalah tulisan Pdt. Victor Rembeth tentang pemikiran Th Sumartana perihal kebebasan beragama dan keyakinan, yang ditulis kembali dari tesis penulis pada Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pada sekitar 2007.
Penulisan kembali tesis dalam bentuk buku kajian populer seperti ini sangat bermanfaat bagi masyarakat luas. Potret pertama yang dikehendaki oleh penulis buku ini, supaya masyarakat memahami dinamika Indonesia pada era kekuasaan Orde Baru sejak 1965-1990. Terutama bagaimana hampir semua sudut ruang publik termasuk agama diintervensi oleh negara. Jika ruang publik demikian sempit, dapat dipastikan demokrasi tidak tumbuh, apalagi partisipasi rakyat menjadi mati suri tentunya.
Potret kedua adalah proses historis masuknya kekristenan oleh zending pada masa kolonialisme. Pada masa zending masih kental keterlibatan pemerintah kolonial dalam pengaturan kebijakan, baik yang mendorong atau mengekang tugastugas zending. Namun di sisi lain mereka tidak ingin perihal kristenisasi yang adalah tugas misiologis gereja menjadi terkait erat dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan.
Orang Jawa yang mula-mula menjadi Kristen mendapat predikat pengikut agama Belanda atau orang Belanda tanggung. Seseorang yang menjadi Kristen, sekaligus mengambil budaya zending menjadi budaya lokalnya. Tesis Pdt. Victor dalam membaca Th Sumartana menunjukkan proses kolonialisme seperti ini berlanjut setelah nusantara merdeka.
Usaha buku ini memotret bingkai dialog agama sebagai kekuatan hadirnya demokrasi negara pada masa Orde Baru, dapat dibaca bukan saja dari kacamata lampau, tetapi juga dari kacamata kini. Pada masa Orde Baru, agama “dipakai” oleh kekuasaan menekan gerakan sipil yang kritis terhadap penguasa.
Buku ini menghadirkan sebagian potret itu melalui teolog Protestan, lulusan Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, yang demikian lantang bersuara ke dalam gerakan Kristen dan ke luar kepada negara dan masyarakat. Setidaknya saya menangkap tulisan Pdt. Victor dalam bukunya tentang basis pemikiran teologis Pak Tono (panggilan akrab Th Sumartana oleh kawan-kawannya seperti M. Sobari, Gus Dur dan lainnya), yang diulas penulis pada halaman 4375 akan menuntun pemahaman pembaca dalam membedah Pak Tono seperti yang dimaksud oleh Pdt. Victor.
Pertama, gerakan misiologis yang membuka jalan dialog agama-agama. Bagi Pak Tono, model misiologi gereja Protestan dan semua dinamika sejarah yang menyertainya harus mendapat tempat utama dalam kajian dialog agama-agama. Apalagi jika memperhatikan tawaran menuju teologi agamaagama Pak Tono, jika tanpa membedah akar misiologis, maka pemahaman kita tidak akan utuh.
Dari semua gerakan zending pada masa kolonial, Pak Tono memberi perhatian pada dua gerakan misi. Pertama, model misionaris Baptis pada zaman Gubernur Raffles mewakili model misiologi Eropa dan model misiologi budaya dalam hidup pelayanan Kiai Sadrach.
Dalam sejarah misi di Nusantara, The Baptist Missionary Society mengutus Thomas Trowt dan G. Bruckner berkarya di Semarang. Keduanya bekerja dengan tenang dan berfokus pada penguasaan bahasa, sehingga sekalipun tidak ada yang dibaptiskan selama 43 tahun karya misi Bruckner di Jawa, tetapi karya kebudayaan mereka dipuji oleh Pak Tono. Terutama penerjemahan Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa dan huruf Jawa.
Model misi Baptis yang tidak bergantung pada dukungan negara dan berkarya pada budaya menjadi model alternatif bagi teologi dialog, di mana karya misi bisa dengan leluasa berinteraksi pada ruang-ruang publik yang terbuka. Dengan demikian, perjumpaan gerakan misi, Injil dan masyarakat luas membawa perubahan konstruktif bagi dialog jujur dan terbuka.
Model gerakan misi kedua adalah model pribumi yang dilakukan oleh Kiai Sadrach. Model kultural dengan cara ngelmu, di mana agama dipandang sebagai pengetahuan esoterik mengedepankan alam rasa dan olah batin dalam syiarnya.
Ngelmu, di mana seorang guru seperti Sadrach berkeliling mencari murid dan menyempurnakan (Injil), bersoal jawab dengan sekelompok guru kebatinan dan muridnya. Jika guru tersebut mengakui keunggulan elmu Sadrach, maka dia beserta muridnya memeluk elmu Kiai Sadrach.
Ada pun elmu yang dibawa Sadrach berupa kutipan Perjanjian Baru dari terjemahan misi Baptis Bruckner, lalu Doa Bapa Kami, Dasa Titah, dan Pengakuan Iman Rasuli. Guru ngelmu ini pun selain mengajar juga meramal dan mendoakan orang sakit.
Menurut catatan sejarah, belasan ribu orang dijangkau oleh Sadrach dengan ngelmu Injil, dan menjadi cikal bakal Gereja Kristen Jawa sekeluarga (GKJ, GKJTU, GKJW). Walaupun dalam perkembangan berikutnya Kiai Sadrach dinilai guru penyesat oleh gereja Barat, Nederlandsche Gereformeerde Zendingsvereeniging (NGZV). Misi Barat tidak dapat menahan perkembangan Injil dalam cara ngelmu seperti yang dibawa Sadrach, karena kebutuhan spiritual masyarakat agraris pedesaan tidak dapat menerima pola Injil asing dibawa NGZV.
Dari kedua pengalaman gerakan misi seperti yang disajikan dalam buku tulisan Pdt. Victor, kita boleh belajar tentang bagaimana gereja hari ini membangun karya misi di tengah masyarakat yang beragam. Baik beragam dalam sosial, ekonomi, budaya, alam dan agama.
Gerakan misi hari ini mengedepankan kekuatan ekonomi dalam menyokong gerakan misi, baik oleh gereja-gereja pengutus maupun oleh mitra penyedia dana lainnya. Jika pola ini dilanjutkan di mana daerah misi (rintisan) digolongkan dengan pinggiran dan ditopang oleh gereja pengutus atau denominasi sebagai pusat, dalam pola ketergantungan penuh, maka hal ini dapat disebut sebagai siklus koloni.
Dalam istilah ilmuwan sosial Amerika Latin, Anibal Quijano, disebut Colonial Matrix of Power. Di mana struktur wewenang, kontrol melanggengkan kuasa bukan saja pada para utusan, tetapi pada pola yang berlangsung panjang. Hegemonik. Sampai kapan pun karya misi di suatu daerah dapat kuat sepanjang dukungan masih berlangsung dan bangkrut saat dukungan pusat berakhir.
Jika daerah utusan dipandang sebagai subjek Injil, pusat sejarah keselamatan Allah, maka penguatan selekas mungkin pada keterlibatan orang lokal, penguatan tata kelola lazim pada proses produksi lokal, dilakukan oleh badan misi/gereja pengutus.
Hal di atas berlaku juga pada pertarungan budaya dan agama lokal. Kerendahan hati mendengar dan belajar tanpa harus bersegera menaklukkan pengikut budaya dan agama-agama lokal perlu dipertimbangkan, karena bukankah Injil adalah Kabar Baik? Injil bukanlah kabar penaklukan dan peperangan. Injil yang merangkul dan hidup bersama masyarakat apa pun dan di mana pun.
Kedua, telaah kritis konsep misiologi Hendrik Kramer. Hendrik Kramer adalah seorang misiolog Belanda yang merupakan tokoh kunci dan berperan sebagai formulator dan perencana strategi misi di Indonesia pada masa kolonial. Konsep Kramer sangat berpengaruh pada misi saat itu sampai hari ini. Kramer menyebut misiologi Kristen adalah misiologi yang paternalistik. Bagi Kramer, hubungan antara gereja pengutus atau zending (Barat) dan jemaat Kristen Jawa adalah misionaris sebagai guru mutlak dan jemaat Jawa sebagai murid. Pola ini mewajibkan murid, mengikuti semua perkataan guru, termasuk dalam produksi pengetahuan (teologi).
Pemikiran misiologis dan teologis Kramer sangat dibatasi dengan kepentingan yang jelas, bahwa dia adalah agen asing pendukung kepentingan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, Kramer memandang hubungan Kristen dan Islam lebih negatif, bukan dialektis. Bagi Kramer, iman nonKristen berlawanan dengan iman Kristen, Kramer rejeksionis bukan dialektis tetapi bersaing. Pendekatan ini membuat gereja saat itu dan hari ini juga menjadi anti dialog. Kalaupun dialog terjadi, itu karena terpaksa berdialog, yang kemungkinan disebabkan ketakutan pada pihak mayoritas atau sikap minder sebagai minoritas.
Th Sumartana seperti yang dibahas Pdt. Victor menawarkan sikap kritis terhadap teologi misi Kramer yang eksklusif. Kemudian Pak Tono menawarkan posisi yang positif terhadap Islam, tidak memandang Islam sebagai musuh tetapi teman.
Sikap terbuka dan menerima sesama yang oleh Pdt. Victor mengutip Paulus, memakai istilah kenosis. Kerelaan mengosongkan diri menjadi hamba. Akar historis biblis menuntun gereja pada hati dan jiwa hamba yang membangun solidaritas dengan sesamanya.
Sikap kedua dari pemikiran Pak Tono yang diuraikan dalam buku ini mengajak kita untuk menelaah akar historis kita sebagai umat Baptis, akar yang relatif muda, tetapi perlu kritis dan partisipatif mengurainya.
Kritis berarti jujur menyatakan bahwa kita memang masih menjadi gereja Baptis di Indonesia. Kontennya termasuk misinya apakah sudah mengakar dan bersama masyarakat? Sikap positif terhadap masyarakat luas hendaknya dalam ketulusan solidaritas (kenosis). Ilmuwan sosial, Ramon Grosfoguel memperkenalkan dekolonisasi pengetahuan yang bukan saja menyerang “jalan tunggal”, tetapi juga membangun pengetahuan harian dari dan bersama orang pinggiran (subaltern).
Konsekuensi logis dari pemahaman di atas, kita memang perlu berproses menjadi gereja Baptis Indonesia, bukan di Indonesia. Dan itu dikerjakan terutama pada produksi pengetahuan yang bukan saja oleh profesional lulusan STT, tetapi oleh layperson, orang biasa, jemaat biasa.
Ketiga, Kartini dan dialog kemanusiaan. Pandangan Pak Tono tentang Kartini melampaui soal emansipasi. Sebagai gadis muda Jawa, ningrat, Islam, dan pengagum Barat dalam hal budaya emansipasi, Kartini dalam semua dialog lewat tulisan yang tajam tidak saja mengangkat peran perempuan. Lebih menakjubkan, Kartini berdialog melintasi batas agamanya. Seperti kata Niels Murder, “Orang Jawa bisa saja berstatus Islam, tetapi berkeyakinan Jawa.” Kartini memang penganut Islam yang monoteistik (Tauhid), berperilaku harian perempuan Jawa dan sekaligus melek peradaban Barat.
Kultur priyayi yang merakyat dari Kartini membedakan gadis ini pada zamannya maupun hari ini. Dia spesial. Islam tidak dipandang sebagai mutlak dan anti Barat, tetapi Islam dihidupi dengan menyapa kawan-kawan Baratnya dalam dialog kemanusiaan adiluhur.
Saya berpendapat, seharusnya pendidikan gereja menghasilkan wanita dan pria Kristen hybrid semacam Kartini. Tidak hanya tergila-gila pada budaya pop Barat dan Asia, tetapi gagap menyapa dan hidup dalam dialog bersama rakyat.
Kesimpulan
Th Sumartana seorang Kristen Protestan yang menjadikan nilai-nilai kemanusiaan yang diyakininya menjadi aksi nyata dalam masyarakat. Pak Tono bertindak secara universal, karena baginya dialog bukan sekadar agenda kerukunan, tetapi dialog adalah spiritualitas yang ditawarkan. Pada gilirannya banyak pihak teman maupun lawan melakukan dialog-dialog yang terbuka dan jujur lintas agama, ras dan suku bangsa.
Spiritualitas yang diyakini Th Sumartana sering dianggap aneh baik oleh gerejanya, maupun tradisitradisi gereja yang ada. Berbagai macam tuduhan ditujukan kepada Pak Tono, salah satunya dia disebut bukan Kristen tetapi seorang humanis. Namun bagi orang-orang yang mengenal perjuangan Sumartana, justru memahami dekonstruksi kultural terhadap protestanisme di Indonesia, yang menolong gereja menghidupi nilai reformasi secara nyata. Gereja dalam misinya harus tetap membarui diri sendiri, kemudian masyarakatnya.
Melumat buku “Demokrasi Indonesia: Persimpangan Antara Pluralisme Agama dan Politik Negara”, setebal 310 halaman, seperti mengembalikan saya pada era 1989 akhir di sekitaran Jawa Tengah (Semarang, Salatiga, Yogyakarta), di mana ratusan kelompok diskusi lahir, menggeliat, membaca, berdiskusi saling mengagitasi ide, aksi, lalu kembali mengevaluasi gagasan. Gerakan wacana yang menjadi unsur yang mempercepat demokrasi Indonesia.
Pdt. Victor Rembeth mengulas dengan runtut dan lembut, tidak ada kemarahan dalam diksi dan pilihan kalimatnya. Rupanya 16 tahun keterlambatan penerbitan buku ini, memperkuat kesamaan Th Sumartana dan Pdt. Victor Rembeth dalam gagasan dan karya nyata di masyarakat Indonesia.
Selamat atas terbitnya buku bagus ini, Bung Victor!
Penulis: Martinus Ursia Anggota Gereja Baptis Indonesia Cipaganti, Bandung
Editor: Trisanti Karolina Napitu