3 minute read
Iklim Memburuk! Ayo Ubah Lifestyle jadi
Dok. Tindy
stainless sebagai pengganti sedotan plastik Penggunaan sedotan
Advertisement
IKLIM MEMBURUK! IKLIM MEMBURUK! Ayo Ubah Lifestyle jadi Ramah Lingkungan
Oleh : Ambar Ningrum Desainer : Riris Metta K.
Mengawali tahun 2020, kita disuguhkan pemberitaan mengenai bencana alam yang menjadi langganan di Indonesia, apalagi kalau bukan banjir. Sebelum banjir terjadi, pada tahun 2019 Indonesia telah dilanda kekeringan yang berdampak pada ketersediaan air bersih. Musim hujan yang datang terbilang sedikit telat, semakin menambah daftar buruk dari dampak perubahan iklim di negara ini. Tak terkecuali di Kota Semarang. Menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH)
Kota Semarang, tercatat sebanyak 1200 ton sampah dihasilkan warga Semarang setiap harinya. Jumlah tersebut diperoleh dari hasil perkalian 0,7 (hitungan sampah per
20
orang sehari) dengan jumlah seluruh warga. Sampah tersebut tersebar diantaranya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang sebanyak 870 ton, 70 bank sampah dimana setiap bank sampah mampu mengelola 40 ton/hari, pengepul yang didominasi sampah non organik, dan sisanya masih berceceran tidak terolah. Banyaknya sampah tersebut tentu saja menyumbang gas rumah kaca dalam jumlah yang tidak kecil, belum lagi emisi karbon dari asap kendaraan bermotor dan industri.
Berbicara mengenai perubahan iklim di Kota Semarang, Kepala Bidang Pemulihan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Thomas
Aquino Wahyu Harso Prakoso, menjelaskan bahwa pemerintah melalui DLH telah melakukan upaya mitigasi dan adaptasi. Pembangunan bank sampah, biopori, penanaman pohon, dan pembuatan aplikasi SIMLAMPAH (Sistem Lapor Sampah) sebagai wadah pelaporan masyarakat. Selain itu, DLH juga menyelenggarakan lomba Kampung Iklim demi memotivasi masyarakat untuk melakukan pengelolaan sampah dengan baik.
Namun, kenyataannya hal tersebut tidak mudah untuk diterapkan. Masyarakat cenderung acuh dengan bahaya yang nyatanyatanya sudah di depan mata. Seperti yang terjadi di Kampung Rejosari, Kecamatan Semarang Timur, sebagian masyarakat di sana masih membuang sampah di sungai. Ellen, selaku inisiator komunitas Jarilima yang bergerak di bidang iklim dan lingkungan di Kota Semarang menilai bahwa keadaan tersebut terjadi lantaran pola hidup warga Semarang sama dengan kota-kota lain. Di mana masyarakatnya relatif belum teredukasi tentang krisis iklim. Edukasi yang semestinya diadakan secara terus-menerus dan merata tentunya akan membuahkan hasil.
Seolah tidak berpangku tangan kepada pemerintah, masyarakat yang hidup di tempat dengan fasilitas kemudahan mengakses informasi seperti Semarang diharapkan lebih bisa menggali pengetahuan sebanyakbanyaknya tentang keadaan bumi sekarang. Di samping itu, mereka juga diharapkan sadar akan gentingnya persoalan krisis iklim yang kita alami sehingga menjadi tergerak untuk berubah. ”Beragam solusi sudah dirumuskan oleh para ilmuwan, sekarang pertanyaannya tinggal kapan dan bagaimana kita mau melaksanakannya," tambah Ellen. Perubahan Pola Hidup Melalui Sustainable Lifestyle
Dilansir dari laman Gunite and Shotcrete Services Limited (GSSL), sustainable lifestyle ialah gaya hidup yang sadar terhadap lingkungan dan menyadari konsekuensi atas pilihan yang dibuat akan membuat pilihan yang nantinya memiliki potensi negatif yang paling sedikit. Konsep ini berangkat dari konsep yang dikemukakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di tahun 2015, sustainable development merupakan sebuah konsep yang mampu untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi hak-hak atau kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhanya.
Peraturan Walikota (Perwal) Semarang nomor 27 tahun 2019 tentang pelarangan menggunakan kantong plastik di Alfamart dan Indomaret cukup bagus untuk mendukung pola hidup tersebut. Masyarakat kemudian beralih menggunakan tas spunbond yang sebetulnya juga berbahan plastik. “Pengendalian sampah harus dimulai sejak dari hulu dan sebisa mungkin tidak menimbulkan sampah,” ujar Ellen.
Lain halnya dengan Perwal, pemerintah dan warga Semarang seolah tidak sadar dengan menjamurnya minuman kekinian seperti thai tea, kopi, sampai boba yang semuanya menggunakan cup plastik. Betapa banyaknya sampah plastik yang dihasilkan setiap harinya hanya untuk wadah sekali pakai. Cup plastik yang biasanya oleh kalangan milenial dijadikan sebagai ajang pamer di instastory ternyata menambah timbunan sampah plastik di bumi. Masalah sedotan plastik sudah mulai dialihkan ke sedotan stainless steel lalu mengapa tidak dengan cup-nya?
Diakui ataupun tidak, kita perlu melakukan refleksi diri, alih-alih mengkambinghitamkan pemerintah atas apa yang terjadi. Pola hidup hemat emisi karbon seyogyanya sudah mulai kita terapkan dengan beralih ke moda transportasi umum, beralih ke sumber bahan bakar non-fosil, dan hemat penggunaan listrik. Kita perlu berpindah moda transportasi dari kendaraan pribadi ke angkutan umum, terutama kereta api. “Kebijakan naik pesawat terbang harus diperketat karena itu sangat boros emisi. Lalu, beralih ke kereta api dan memperluas hutan terutama mangrove,” pungkas Ellen.