3 minute read
Kelakar: Insecure Akan Perlahan
Brm.
Insecure Akan Perlahan
Advertisement
Mengikis MIMPIMU!
Oleh: Wahyu Nurul | Ilustrator: R. Satrya Bramantya | Desainer: Zakiyah
Pernahkah kita dibandingkan dengan orang lain? atau ketika ‘mereka’ sudah berhasil dengan prestasi dan capaiannya, diri ini masih saja diam, tak ber-progress, atau tidak melakukan hal yang kebanyakan orang anggap itu hal luar biasa? jika kalian merasakan yang sama, itu adalah perasaan tidak aman dalam diri yang kerap disebut dengan insecure. Dalam kondisi pandemi seperti ini, jiwa dan raga rawan sekali terkena sakit. Setiap orang mau tidak mau diharuskan bisa adaptasi dengan kenormalan baru. Banyak dari ‘mereka’ yang selalu produktif atau bahkan masih bisa berprestasi meski dalam situasi yang tidak menentu ini. Hal itulah yang terkadang menimbulkan kecemasan yang eksesif karena terlalu menyoroti kelebihan orang lain.
Perasaan cemas, takut, dan khawatir yang berlebihan pasti pernah dialami semua orang. Anak usia dini pun bahkan telah mengalami perilaku insecurity. Alih-alih ingin terlihat sempurna di mata orang-orang sekitarnya, mereka menciptakan ‘topeng’ untuk menutupi kekurangan. Hal ini juga dapat menyerang anak-anak yang masih pemalu dan punya rasa rendah diri berlebihan. Lalu, bagaimana jika ini terjadi hingga ia dewasa? Bila terjadi secara berulang apakah itu hal yang lumrah? tentu tidak. Apabila sejak kecil, diri ini telah dibiasakan dengan perasaan insecure atau semacamnya, maka saat dewasa akan berdampak pada psikologi mereka sendiri. Lalu, mengapa merasakan insecure? Banyak dari mereka yang tidak tahu alasannya. Tetapi sebenarnya faktor penyebab insecure sangat banyak, mari ulas satu per satu. Pertama, kita terlalu takut menghadapi kegagalan dan sulitnya menerima penolakan. Gagal bisa saja memberi dampak berlebih apabila diri memaknai sebuah kegagalan dengan keliru. Contohnya saja, menjadi tidak berani melangkah kembali atau mengambil risiko yang lebih besar lagi karena diri ini tahu, bahwa tidak akan mampu semenjak kegagalan itu menghampiri. Padahal sejatinya, tahapan gagal akan selalu hidup berdampingan dengan manusia. Dengan pernah gagal, kita bisa mengerti bagaimana agar tidak menemui kegagalan berikutnya. Jangan jadikan kegagalan menjadi alasan takutnya menerima keputusan besar di hidupmu. Kedua, adanya kecemasan sosial dan stigma masyarakat yang kerapkali mendiskreditkan jika orang yang berhasil adalah mereka yang punya standar tertentu. Fenomena ini tidak sekali dua kali terjadi, bahkan di Indonesia pun yang notaben masyarakatnya masih lekat dengan budaya ‘people pleasure’, ba nyak yang meyakini jika standar yang diyakini masyarakat memang benar adanya. “Lihat anaknya Bu Ina, dia berhasil menikah dengan pengusaha sukses. Kamu harus jadi perempuan seperti dia. Bukan malah mengejar karir yang tiada habisnya,” Dari petikan dialog itu, dapat dimaknai jika ukuran standar dari keberhasilan seseorang adalah menikah dengan orang sukses. Padahal taraf sukses setiap orang pun berbeda-beda. Tak perlu memenuhi standar keberhasilan atau pencapaian orang lain karena tak akan ada habisnya. Kita juga tidak bisa memaksa orang lain puas dengan hasil yang dicapai, mereka bukan kita yang tahu akan diri sendiri.
Ketiga, senang sekali membandingkan dengan orang lain. Terkadang, orang merasa insecure karena terlalu memikirkan kelemahan diri hingga ia lupa memahami kelebihan apa yang dimiliki. Sebenarnya itu hal yang wajar terjadi, karena setiap orang pasti ingin menilai diri dengan cara melihat orang lain. Namun yang perlu digaris bawahi adalah membandingkan untuk memotivasi diri, bukan ajang untuk mengerdilkan diri. Pastinya tidak akan pernah merasa cukup, tidak pernah merasa puas, atau bahkan yang paling tinggi tarafnya adalah diri ini lupa bagaimana cara untuk bersyukur kepada sang Pencipta. Mari bersama-sama belajar mencintai diri sendiri dengan cara mensyukuri apapun yang telah dicapai pada titik ini. Berhenti berpikir negatif yang berlebihan dalam situasi apapun karena akan berdampak pada pola pikir (mindset) kita sendiri. Jangan sampai pikiran negatif akan mengendalikan hidupmu. Menjadi dewasa bukan diukur dengan usia melainkan seberapa yakin kalian berhasil menyelesaikan permasalahan. Ciptakan pikiran-pikiran positif sebagai sarana untuk berdamai dengan diri. Semua orang pasti punya passion dan tidak bisa disamakan. Selalu asah dan gali passion yang dimiliki, karena tidak ada kata terlambat untuk terus berproses. Dengan begitu, kalian akan merasa baik-baik saja, pikiran menjadi lebih jernih, dan lebih nyaman untuk tidak terkonsentrasi memenuhi stigma masyarakat. Selalu lakukan evaluasi dari apapun yang dilakukan setiap harinya dan yakinlah bahwa diri ini mampu untuk melampaui tembok kokoh yang kalian buat sendiri.