4 minute read
Evansius Abi: “Menjadi Sahabat Bagi Orang Lain
MENJADI SAUDARA BAGI ORANG LAIN
ama saya Evansius Abi. Lahir di Sunbaki (Naibeno, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur) 03 April 1988. Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara. Bapak saya seorang petani dan ibu seorang ibu rumah tangga.
Advertisement
Berikut ini saya sampaikan kisah saya, pengalaman saya ketika berkarya sampai ke benua Afrika; ke Negara Kamerun (5 tahun) dan Chad (3 bulan). Sungguh sebuah pengalaman tentang kemanusiaan yang berharga. Di tengah kondisi yang serba sulit; kemiskinan, pengangguran, dan situasi hidup yang serba sulit saya masih bisa menemukan kebahagiaan. Kondisi yang berat justru menyatukan mereka untuk berbagi. Selalu ada yang bisa dibagi di antara mereka yang menderita.
Pengalaman pendidikan
Pendidikan dasar dari tahun 1994-2000 di SDN Sunbaki. Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Pendidikan Menengah Pertama dari tahun 2000-2003 di SMP Negeri 2 Bansone, Kabupaten TTU. Pada tahun 2003- 2004 saya berhenti sejenak dari sekolah untuk membantu keluarga. Kemudian tahun 2004-2007 saya melanjutkan pendidikanku ke SMA Katolik Suria Atambua, Kabuaten Belu. Pada tahun 2007-2008 saya memulai dengan tahap Formasi Awal di Kongregasi Misionaris Xaverian (Tunas) di Yogyakarta. Pada tahun 2008-2010 saya menjalani masa Pranovisiat dan Novisiat di Bintaro, Tangerang Selatan. Pada periode ini teruta
ma tanggal 1 Juli 2010 saya membuat profesi pertama (ikrar kaul pertama) sebagai anggota Misionaris Xaverian. Pada Tahun 2010-2014 saya menjalani masa pendidikan Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Pusat. Setelah menyelesaikan pendidikan filsafat saya menjalani Tahun Orientasi Misioner (TOM) di Paroki Aeknabara, Sumatera Utara selama setahun (2014- 2015). Setelah menyelesaikan masa TOM dari pihak Direksi Jenderal mengirim saya ke Kamerun (Afrika-Tengah) untuk melanjutkan Studi Teologi Internasional. Di tahun pertama (2015-2016) saya memulai belajar bahasa setempat (bahasa perancis). Di tahun berikutnya (2016-2020) saya menjalankan studi teologi di Sekolah Tinggi Teologi St. Cyprian Ngoya Kamerun (Afrika Tengah). Pada tanggal 5 November 2019 saya mengikrarkal kaul kekal sebagai anggota tetap Misionaris Xaverian dan satu bulan kemudian tepatnya tanggal 5 Desember 2019 saya menerima tahbisan diakonat di Yaoundé, Kamerun.
Pengalaman Panggilan
Semenjak kecil saya tidak membayangkan bahwa suatu saat saya akan menjadi seorang pelayan Tuhan. Namun demikian pengalaman hidup sebagai seorang anak kecil yang selalu bersahabat dengan alam membuatku banyak bertanya tentang keajaiban di balik semuannya itu. Selain itu juga pengalaman hidup dalam keluarga teristimewa kesederhanaan, keharmonisan juga cinta dan kasih sayang dari sang ayah dan sang ibu yang tanpa batas membuatku bertanya tentang sumber dari kebahagiaan dan cinta itu sendiri. Pengalaman mendasar lainnya adalah kado berharga yang saya peroleh dari orang tua sewaktu saya menerima komuni pertama. Saya diberi kado sebuah Kitab Suci dan kado inilah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan saya seputar sumber kehidupan, cinta dan kebahagiaan manusia di dunia ini. Akhir kata, saya ingin mengatakan bahwa perjumpaan pertama saya dengan Tuhan adalah lewat Kitab Suci. Ingin kukatakan sejujurnya bahwa semenjak saya menerimanya, saya sepertinya menemukan seorang pembimbing hidup dan itulah titik awal saya merasa bahwa Tuhan memanggilku. Alhasil, berkat kesetiaan saya untuk selalu membaca dan memeditasikan isi Kitab Suci, pada akhirnya saya dituntun untuk mengambil keputusan dan awal keputusanku untuk menjadi imam itu terjadi setelah membaca bacaan tersebut (Kis. 19: 13-20). Saat itu saya masih di kelas 2 SMP. Dari bacaan tersebut, saya terinspirasi untuk menjadi seperti St. Paulus teristimewa untuk mewartakan Kristus kepada mereka yang belum mengenal-Nya. Suatu hal yang tidak kusangka selanjutnya bahwa Tuhan menemukanku sebuah Kongregasi Misioner yang misinya sama dengan mimpiku yakni untuk mewartakan Kristus kepada mereka yang belum mengenalNya. Akhir kata ingin kukatakan bahwa Tuhan akan melakukan apapun untuk mereka yang selalu mencari, mencintai dan mewartakan-Nya.
Pengalaman Kerasulan
Pada momen terindah ini, ingin kubagikan apa yang kualami sebagai anggota Misionaris Xaverian. Semenjak saya masuk Xaverian pada tahun 2007 sampai saat ini tahun 2020 saya menemukan sesuatu yang berharga untuk dibagikan yakni tentang cara pandang hidup manusia terhadap kebenaran dari kebahagiaan itu sendiri. Seringkali saya menjumpai orang-orang tertentu yang mengukur kebahagiaan dari kata ‘memiliki’ daripada kata ‘menjadi atau berada’.
Berdasarkan pengalaman kerasulan dengan orang-orang sederhana, (anak-anak
jalanan dan orangorang miskin) baik sewaktu di Indonesia maupun di Kamerun (Afrika Tengah) saya akhirnya memahami bahwa kebahagiaan mendasar manusia itu diukur dari kata ‘menjadi atau berada’.
Sebagai misionaris, kami tidak memiliki harta material untuk dibagi-bagi tetapi hanya kehadiran kami yang nyata itulah harta sejati kami terutama dengan mereka yang menderita, dan yang berkekurangan dalam hal materi dan cinta atau kasih sayang. Kehadiran tersebut di satu sisi tidak hanya membuat mereka sadar bahwa Tuhanlah yang memberikan segalanya namun di sisi lain mereka menemukan bahwa kehadiran kami sebagai sahabat mereka untuk selalu memberi dukungan, arahan, jalan, motivasi, atau rasa hidup, itulah yang mereka dambakan dari kami para misionaris.
Pengalamanku selama lima tahun di Negara Kamerun juga tiga bulan di Negara Chad membawa saya pada sebuah refleksi yang mendalam soal arti menjadi dan berada bagi orang lain. Kenyataan bahwa dari kedua negara tersebut terlihat angka kemiskinan yang paling tinggi, banyak pengangguran dan situasi hidup yang berat dan sulit. Namun demikian, dalam situasi tersebut mereka selalu terlihat bahagia dan gembira. Selain itu mereka selalu memiliki sesuatu untuk dimakan dan dibagi-bagikan di antara mereka yang menderita.
Saya sendiri, juga para konfrater misionaris bersaksi tentang hal yang sama bahwa meskipun hidup mereka berat dan sulit tetapi mereka bertahan hidup dan lebih dari itu bahwa kami para misionaris tidak pernah merasa kelaparan ketika hidup dan tinggal bersama mereka.
Kebahagiaan mendasar sebagai seorang Misionaris Xaverian adalah berada dan menjadi saksi cinta Kristus di tengah orang-orang yang kehilangan cinta, harapan dan orientasi hidup.