6 minute read

To Be Xaverian

St. Guido Conforti bersama para Misionaris.

TO BE XAVERIAN

Advertisement

Pada tahun ini secara khusus keluarga besar Misionaris Xaverian memperingati 125 tahun pengesahan peraturan-peraturan dasar yang memberi bentuk model kehidupan bagi para anggotanya. Inilah saat yang sangat tepat untuk merenungkan kembali semangat awal dan mengambil titik pijak yang diperbarui dengan kharisma dan cita-cita pendiri.

Beberapa kekhasan yang terlihat dalam perjumpaan yang hidup dengan para Misionaris Xaverian, bisa dikenali beberapa karakter berikut ini:

Totalitas untuk karya misi

eminari misi St. Guido Conforti dibuka oleh Uskup Parma, Mgr. Francesco Magani pada 3 Desember 1895, kemudian sebagai kongregasi religius untuk misi-misi di luar negeri di tingkat Keuskupan pada 3 Desember 1898. «Decretum Laudis» kemudian menyusul disahkan Kongregasi Propaganda Fide pada tanggal 4 Maret 1906. Konstitusi dari Institut untuk karya misi di luar negeri ini dieksaminasi kemudian oleh Prefek Hidup Bakti dan memperoleh pengesahan pada tahun 1921, yang menempatkan keberadaan Institut ini dibawah naungan Kongregasi Propaganda Fide.

Peraturan dan Norma dasar dari seminari misi yang didirikan Guido Conforti pada mulanya serupa dengan sebuah seminari diosesan. Bahkan di tahuntahun awal, tempat pendidikan para frater maupun para pendampingnya juga masih berasal dari Seminari Tinggi Keuskupan Parma. Hal mendasar yang membedakan antara para seminaris dio

sesan dan seminaris misi adalah tujuan pembinaannya. Bagi para seminaris diosesan, mereka diminta untuk secara total mengabdi kepada pengembangan umat Allah di Keuskupan, sementara bagi para xaverian, tujuan tunggal dan eksklusifnya untuk karya misi apostolik terutama mereka yang belum mengenal Yesus Kristus.

Perjalanan konstitusional yang cukup panjang dan alot dilatarbelakangi oleh kekhasan tidak lazim yang ditawarkan oleh Sang Pendiri, St. Guido Conforti, sebagai Uskup Agung di Ravenna kemudian Parma. Kekhasan itu berupa kehidupan imamat misioner yang dikombinasikan dengan kehidupan religius dengan kaul-kaul Injili. Hal ini sulit diterima pada waktu itu karena dua bentuk kehidupan ini memiliki karakter dan jalan hidup yang berbeda. Kita patut bersyukur bahwa Konsili Vatikan II telah memberikan angin pembaruan yang menyejukkan di dalam Gereja sehingga saat ini hal itu menjadi hal yang lazim.

Pertanyaannya, mengapa St. Guido Conforti berani menganyam dua jalan hidup ini menjadi satu tenunan dalam diri para misionarisnya? Ia tentu sangat berharap agar para misionaris itu berkarya di dunia dengan mempersembahkan karya-karya terbaik mereka untuk membawa terang ke dalam dunia, memperkenalkan Yesus Kristus kepada mereka yang masih tinggal dalam kegelapan kesesatan dan bayangan maut, serta sekaligus membaktikan diri mereka seutuhnya dengan terlibat dalam karya keselamatan yang dibawa oleh Yesus Kristus. Karya-karya yang baik harus disertai dengan pembaruan spiritual, pertobatan diri terus menerus dalam kepekaan membaca tanda-tanda zaman yang berubah.

Di sinilah seorang xaverian diharapkan untuk bersedia berjalan bersama dengan Yesus Kristus di dalam sejarah. Hal ini menuntun pembaruan karya dan

St. Guido Conforti

kata terus menerus agar pewartaan Injil kepada mereka yang belum mengenal Yesus Kristus menemukan bentuk-bentuk yang konkret dan aktual. Katekese yang kokoh, dialog kehidupan dan pewartaan, merintis dan mengembangkan sebuah komunitas umat Allah menuju kemandirian, siap sedia melepaskannya ketika komunitas sudah menjadi dewasa, pengembangan paroki dan pemantapan «sensus ecclesiae» -rasa memiliki pada Gereja», percaya sepenuhnya pada Penyelenggaran Ilahi dengan tidak memiliki aset dan jaminan pribadi, siap pergi kapan saja dan kemana saja Gereja mengutus adalah beberapa ungkapan khas dari totalitas misi.

Kesiapsediaan untuk diutus

Pergi, meninggalkan dan berpisah adalah kelompok kata yang tidak kita sukai, karena membawa kesan yang sedih. Namun inilah realitas dan tantangan yang harus kita hadapi semua. Suatu saat, seorang anak pun akan meninggalkan rumah dan mulai tinggal di kost untuk kuliah di luar kota. Suatu saat mereka pun akan pamit pada orang tuanya dan mulai membangun bahtera kehidupan berkeluarga.

Saat keterpisahan menjadi tidak enak karena kita dituntut untuk meninggalkan kenyamanan. Demikianpun para misionaris xaverian diundang untuk siap meninggalkan segala fasilitas yang membuat dia nyaman demi sebuah cita-cita ideal yang diperintahkan oleh Yesus Kristus kepada para muridNya: “Pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala mahluk!” (Mk 16:20). Bagi para xaverian, ini adalah sebuah imperatif, sebuah perintah yang harus dilaksanakan.

Maka selama masa pembinaan, para frater sudah mulai dibekali, dilatih, ditempa untuk berani meninggalkan kenyamanan dan menempatkan diri mereka dalam karya misi dan perutusan Gereja. Mereka diajak untuk makin berkembang dalam kedewasaan pribadi, makin matang dalam relasi dengan Allah dan makin siap sedia untuk menjadi pelayan Gereja dengan memberikan kualitas terbaik dalam berbagai bentuk pelayanan yang dipercayakan kepadanya.

Dasar kesiapsediaan maksimal ini belajar dari Yesus Kristus sendiri, «yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia» (Fil 2:6-7). Allah yang maha sempurna berinkarnasi dan menjadi sangat terbatas dalam kerapuhan kemanusiaan. Bagaimana dengan kita?

Kerap orang mengatakan: untuk apa pergi jauh-jauh bahkan sampai mengambil resiko nyawa sendiri, kalau di sini saja orang Katolik masih minoritas? Pertama, hal yang perlu diwaspadai saat ini adalah mengendornya semangat berkorban diantara orang muda, juga para imam dan religius. Hal ini menjadi peringatan serius bagi masa depan Gereja yang bercita-cita makin membumi. Kedua, tindak misioner Gereja universal itu tidak berdasar pada kuantitas, melainkan kualitas hidup umat beriman. Tantangan kehidupan di Eropa yang konon mayoritas kristiani itu juga tidak semudah berpastoral di Indonesia dimana kita masih minoritas. Ketiga, pembaptisan yang kita terima merupakan buah kesaksian dari Gereja melalui orang-orang di sekitar kita. Gereja Katolik di Indonesia ada karena buah karya para misionaris yang datang ke tanah air. Misalnya, pelagianisme orang-orang saleh maupun superfisialitas kaum gnostik baru yang menciptakan budaya light christian merupakan tantangan yang sangat aktual. Kemudian, apakah Mk 16:20 menjadi tidak berlaku lagi kalau semua bangsa di bumi sudah dibaptis? Tentu tidak. Rasa syukur akan anugerah baptis itu hendaknya justru makin mendesak kita untuk pergi dan memberi kesaksian tentang iman yang kita yakini dengan sungguh, bahkan sampai ke ujung dunia!

Kita menyadari bahwa menjadi misionaris xaverian itu bukan panggilan untuk semua orang. Tantangan untuk pergi meninggalkan rumah tercinta, orang-orang terkasih, makanan kesukaan, kenyamanan relasi dan fasilitas di daerah sendiri itu memang ditawarkan untuk semua, namun setiap orang memiliki kharismanya sendiri-sendiri seturut dengan kedalaman relasinya dengan Allah. Dengan demikian, perjalanan kita untuk mencari kehendak Allah itu tidak pernah berhenti karena perputaran dunia terus menuntut suatu kesiapsediaan hati untuk berkorban.

Misionaris dan Religius

Mempersembahkan buah dengan pohonnya. Inilah inti pokok perjuangan Guido Conforti dalam pengesahan Konstitusi pertama Serikat Xaverian. Apakah manfaatnya kaul-kaul religius bagi karya misioner diantara orang-orang yang tidak beriman menurut pemikiran St. Guido Conforti?

Kaul berarti penyerahan diri secara total dari seseorang demi sebuah ideal

kehidupan. Dengan kaul religius, seseorang itu memutuskan untuk tinggal bersama dengan Allah dan bersembunyi di jalan kerendahan hati bersama dengan Yesus Kristus yang tersalib. Ia memutuskan segala ikatan dan belenggu harta duniawi dan bahkan relasi afektif dengan orang-orang yang paling dikasihinya. Ketika St. Guido Conforti mendirikan seminari khusus untuk misi di Parma, ia tidak menerima para kandidat yang ingin membuat jenjang karier gerejawi.

Maka, ketika kaul untuk misi diperkaya dengan kaul-kaul religius, seorang misionaris itu diajak untuk tinggal bersama dengan Allah, menggantungkan hidup sepenuhnya kepada Allah dan menjalankan tugas perutusannya dengan segenap hidup dan matinya. Tidak hanya kehidupan yang akan memberikan kesaksian perutusannya, melainkan kematiannya pun juga akan terus menggemakan kehidupan yang telah dijalaninya.

Pada zaman dahulu ketika seorang misionaris berangkat, sungguh-sungguh hari itu merupakan hari yang tidak dapat terlupakan bagi keluarga. Mengapa? Karena keberangkatannya itu adalah sebuah keberangkatan definitif, tidak pernah akan kembali. Ia tidak menuntut cuti tiga tahun sekali seperti sekarang ini, karena menyadari bahwa hidupnya

sudah dipersembahkan kepada Allah.

Menjadikan dunia satu keluarga

Barangkali ini sebuah utopia yang entah kapan akan terwujud. Tantangan di lapangan tidak mudah. Di tengah maraknya isu rasisme dan sektarian yang makin berkembang dalam konteks global dimana dunia serasa menjadi seperti kampung, bumi terasa makin menjadi kotak. Migrasi ke dunia digital semakin memberikan PR besar bagi kita untuk memahami siapakah aku, siapakah sesamaku dan kemana kita akan pergi.

Orang makin tersekat-sekat berdasarkan hobi yang sama, ide yang sama, bakat yang sama, pola hidup yang sama, asal daerah yang sama, agama yang sama, parpol yang sama dst. Media sosial makin memfasilitasi hal ini. Meskipun bisa diambil makna positif dan membantu perkembangan diri, kepribadian dan komunitas, kehadiran kampung digital ini masih menyisakan tantangan sosial yang tidak mudah. Inilah tantangan yang memberi kesempatan untuk berkembang bagi para misionaris, yang hadir sebagai simbol persaudaraan universal. Kita menjadi keluarga karena kita disatukan oleh Yesus Kristus. (tim animasi SX)

This article is from: