4 minute read

Lingkungan Hidup dalam Pusaran Kekuasaan

su terkait lingkungan hidup menjadi diskursus yang tak p e r n a h u s a i u n t u k diperbincangkan. Bak pisau bermata dua, kekayaan alam yang dimiliki oleh sebuah bangsa d a pa t m el a h i rka n d u a l i sm e kontradiktif, antara peluang atau tantangan. Kekayaan alam yang dimiliki ketika tidak diimbangi dengan kebijakan yang komprehensif serta moralitas masyarakat yang arif akan menimbulkan fenomena “resource curse” (kutukan sumber daya), sebab daerah dengan sumber daya alam m el i m p a h a ka n m en g a l a m i pertumbuhan yang rendah akibat disibukkan oleh konflik sosial, ketamakan serta keserakahan belaka. Mereka akan “dimanjakan” oleh lingkungan hingga tak tahu bagaimana cara mensyukurinya. Indonesia sebagai negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), masih dihadapkan pada lemahnya Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, baik secara ekonomi, politik, maupun budaya. Berbagai krisis multidimensi menjadi fakta y a n g s u l i t t e r b a n t a h ka n . Keti m pa n g a n beg i tu n ya ta , khususnya dalam hal penguasaan atas kekayaan alam dan sumbersumber agraria hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Saat ini yang terjadi adalah “Indonesia Darurat Ekologis” dimana telah terjadi situasi kegentingan yang diakibatkan hilangnya keseimbangan ekologis. Kita tidak bisa menutup fakta bahwa cita-cita mulia demokrasi ekonomi, yang tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI 1945, telah dibajak oleh kekuatan ekonomi politik kapitalis sehingga melahirkan sebuah oligarki yang menentukan nasib hidup rakyat. Aca p ka l i ked u a n ya sa l i n g berkelindan, politik transaksional m el a h i rka n keb i j a ka n ya n g berdampak buruk bagi lingkungan hidup dan rakyat. Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1 945 yang seharusnya menjadi prinsip dasar pengelolaan SDA, hanya

dibaca dan dimaknai parsial sebatas “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara” sehingga dalam praktiknya alam digadaikan dan didelegasikan hanya kepada segelintir orang dan korporasi berskala besar melalui “obra l ” i zi n . N eg a ra j u stru melegitimasi praktik perampasan tanah, air, dan seluruh sumber keh i d u p a n ra kya t. Pa d a h a l seharusnya bumi, air, dan kekayaan alam yang diamanatkan kepada Negara “dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Para “oknum” dan sistem politik telah mengabaikan anak-anak, bahwa sebagai generasi akan datang mereka juga punya hak hidup bahkan hak turut serta mengambil bagian dalam pengurusan kekayaan alam ini. Seharusnya mereka sadar bahwa generasi sekarang maupun yang akan datang berhak menempati bumi yang sehat. Demikian juga dengan alam, meski usia jauh lebih tua dari manusia, tetapi suaranya nyaris tak terdengar. Bumi, alam, atau lingkungan hidup, tak mampu bersuara, meski bisa mengekspresikan apa yang dirasakan dalam bentuk pesan berupa peristiwa-peristiwa bencana, termasuk bencana ekologis yang kini menempati angka tertinggi dari peristiwa bencana di Indonesia. Padahal bumi, alam, dan lingkungan juga punya hak hidup dan memberi penghidupan pada makhluk hidup. Melalui sebuah pilihan ekonomi dan politik, mereka, baik generasi mendatang maupun lingkungan, selalu diabaikan dan dipaksa untuk menanggung akibatnya. Meski begitu tak selayaknya kita bersikap idealis dengan hanya menyalahkan semua pada Negara melalui dialektika politiknya. Masyarakat juga turut bertanggung jawab atas pengelolaan lingkungan hidup. Tak sedikit kasus hancurnya lingkungan diakibatkan karena budaya masyarakatnya yang belum secara utuh mencintai lingkungan. Memang sudah ada beberapa masyarakat yang vokal tentang lingkungan, tetapi beberapa darinya tak dapat dipungkiri masih ada semacam “economic interest” dibaliknya. Masyarakat masih terbutakan dengan dalil “boleh m e n g e k s p l o i t a s i , a s a l memakmurkan”. Padahal hakikatnya lingkungan adalah instrumen yang mendukung kita untuk membentuk bangsa yang beradab, bukan yang biadab, membentuk masyarakat yang bermartabat, bukan yang khianat, apalagi terhadap lingkungannya sendiri. B a h w a N e g a r a y a n g menguasai bumi, air, dan kekayaan didalamnya, iya. Bahwa Negara harus hadir di garda terdepan pengelolaan lingkungan, baik secara politik dan praktik, iya. Namun bagaimanapun kita hidup di bumi yang sama. Seluruh elemen masyarakat bersamasama mempunyai tanggung jawab moril untuk melestarikan dan mengelola alamnya. Apalagi demokratisasi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup membutuhkan institusi masyarakat sipil yang kritis dan kuat. Agenda politik lingkungan hidup harus disuarakan dan diperjuangkan oleh seluruh elemen masyarakat. Semua harus sadar bahwa lingkungan tidak dapat bicara tentang dirinya sendiri. Pengetahuan tentang alam lingkungan tidak akan muncul dan menampakkan dirinya jika tidak terdapat sebuah proses perj u m pa a n . M u sta h i l , j i ka lingkungan selalu ditempatkan sebagai objek eksploitasi. Untuk itu perlu melihat secara holistik, melalui kesadaran diri. Terakhir, pertanyaan yang pantas untuk pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan hidup di Indonesia adalah “Apakah kita tidak mampu atau tidak mau untuk mengelola alam kita?” menurut saya jawabannya adalah kita sebenarnya mampu, tinggal kita mau atau tidak untuk memaknai dan mencintainya secara utuh.

Advertisement

This article is from: