5 minute read

• Menjaga Situs Mbah Gandrung Wicaksono Tetap Lestari

Menjaga Situs Mbah Gandrung Wicaksono Tetap Lestari

Situs budaya yang termasuk ke dalam kawasan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest) kembali ditemukan di kawasan hutan Perum Perhutani. Kali ini, situs budaya tersebut ditemukan di wilayah hutan Perhutani KPH Kedu Selatan. Situs peninggalan budaya masyarakat yang ada di Desa Gunung Jati, Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, itu adalah Situs Mbah Gandrung Wicaksono. Dan Perhutani KPH Kedu Selatan pun ikut melestarikan situs peninggalan budaya itu, sebagai salah satu identitas budaya masyarakat lokal di dalam kawasan hutan. Hal itu sangat penting untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

Advertisement

Wilayah kerja Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Selatan cukup banyak memiliki lokasi situs budaya tradisi masyarakat. Di wilayah hutan Perhutani KPH Kedu Selatan sejauh ini telah teridentifikasi sebanyak 33 situs, yang tersebar di 5 Kabupaten, yaitu Purworejo, Wonosobo, Banjarnegara, Kebumen, dan Banyumas. Kebanyakan dari situs tersebut berupa situs ekologi dan budaya.

Salah satunya adalah situs Mbah Gandrung Wicaksono. Perhutani KPH Kedu Selatan ikut melestarikan peninggalan budaya masyarakat, yaitu Situs Mbah Gandrung Wicaksono, yang terdapat di Desa Gunung Jati, Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Aktivitas pemeliharaan situs itu antara lain terlihat pada Kamis, 17 Juni 2021.

Situs Mbah Gandrung Wicaksono masuk dalam kawasan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest). Sebab, situs itu dinyatakan sebagai salah satu identitas budaya tradisi masyarakat lokal di dalam kawasan hutan yang sangat penting untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari.

Administratur Perhutani KPH Kedu Selatan, Komarudin, menyampaikan, di dalam kawasan hutan Perhutani terdapat beberapa tempat yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk melaksanakan kegiatan spiritual maupun budaya. Komarudin menambahkan, kawasan hutan yang merupakan kawasan budaya, ekologi, ekonomi, dan agama bagi masyarakat lokal perlu dijaga. Dan hal itu sesuai dengan visi Perhutani.

“Seperti halnya Situs Mbah Gandrung Wicaksono yang secara administratif berada di Desa Gunung Jati, Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara, masuk ke

Foto : Niken Angraini/Kompersh KPH Kedu Selatan

dalam Petak 2J, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Watubelah, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Banjarnegara, merupakan bukti bahwa Perhutani peduli kepada kepentingan masyarakat, di antaranya masyarakat Gunung Jati dan Pondok Pesantren Al-Irsyad Gunung Jati,” jelas Komarudin.

Sementara itu, juru kunci Punden Mbah Gandrung Wicaksono, Turohman, menceritakan bahwa Ki Gandrung Wicaksono adalah keturunan Prabu Brawijaya. Dahulu kala Ki Gandrung Wicaksono pernah melakukan tirakat di daerah tersebut. “Oleh masyarakat Gunung Jati bersama Pondok Pesantren AlIrsyad, dibangunlah cungkup untuk keperluan meneruskan ritual atau tirakat punden mereka,” katanya.

Di kesempatan itu, Turohman juga menyampaikan terima kasih kepada pihak Perhutani atas izin tempat yang diberikan. Pemberian izin tempat membuat masyarakat Gunung Jati bisa melestarikan budaya yang dimiliki.

Prabu Brawijaya

Brawijaya atau Prabu Brawijaya adalah gelar yang dianggap melekat pada penguasa Kerajaan Majapahit, khususnya Brawijaya V. Raja Brawijaya V dipercaya merupakan penguasa terakhir Kerajaan Majapahit. Nama lengkapnya adalah Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.

Nama “Dyah” di nama raja Ranawijaya itu menunjukkan dirinya seorang raja yang menguasai kerajaan besar. Seorang raja dalam tradisi Majapahit memiliki gelar kerajaan dan nama muda yang dicirikan dengan penggunaan gelar kebangsawanan atau abhiseka “Dyah”. Terutama hal itu berlaku baik untuk tokoh laki-laki dan perempuan.

Sedangkan gelar “Bhre” merujuk kepada bangsawan yang menjadi pemimpin atas beberapa kawasan tertentu atau disebut “Mancanagara”. Jika dirujuk ke kondisi sekarang ini, istilah tersebut mungkin setingkat dengan provinsi. Daerah setingkat provinsi tersebut ketika itu diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhaţāra yang bergelar “Bhre”.

Bhre sendiri merupakan singkatan dari Bhra i atau Bhaţāra ring. Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola daerah, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola pertahanan di daerah perbatasan.

Ketika telah menjadi raja, Prabu Dyah Ranawijaya masih dikenal dengan sebutan Bhre Wijaya atau Brawijaya. Prabu Brawijaya atau Dyah Ranawijaya memerintah Majapahit tahun 1474—1498. Saat itu, ibu kota Kerajaan Majapahit berada di Daha. Nama Prabu Brawijaya dikenal melalui Prasasti Jiyu I, Prasasti Petak, Serat Pararaton, Kakawin Banawa Sekar, Suma Oriental, Babad Tanah Jawi, Serat Kanda dan Serat Pranitiradya.

Prabu Dyah Ranawijaya memiliki banyak putra, di antaranya adalah Raden Patah. Raden Patah adalah pendiri dan pemimpin pertama Kesultanan Demak. Ia mendapat legitimasi dari Wali Songo untuk menjadi Sultan Demak. Raden Patah menjadi Sultan Demak dari tahun 1478/1500 hingga 1518.

Cucu Prabu Dyah Ranawijaya yang terkenal antara lain adalah Sultan Trenggono. Trenggono alias Tung Ka Lo atau Pate Rodim lahir tahun 1483 dan wafat tahun 1546. Trenggono adalah raja Demak ketiga. Ia memerintah Kerajaan Demak tahun 1521-1546. Trenggono (Pate Rodim) adalah adik Pati

Foto : Niken Angraini/Kompersh KPH Kedu Selatan

Foto : Niken Angraini/Kompersh KPH Kedu Selatan

Unus dari Jepara. Trenggono menikah dengan putri dari bupati Palembang, Arya Damar. Di bawah kepemimpinan Trenggono, wilayah kekuasaan Demak meluas sampai ke Jawa Timur.

Sulit Literasi

Desa Gunungjati merupakan salah satu desa di Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara. Saat ini, desa itu dihuni oleh 3.228 jiwa. Dari jumlah itu, 1.650 orang adalah laki-laki dan 1.578 orang perempuan. Seratus persen penduduk Desa Gunungjati beragama Islam. Kini, desa itu menjadi menarik perhatian, karena keberadaan Situs Ki Gandrung Wicaksono.

Situs tersebut merupakan petilasan tempat Ki Gandrung Wicaksono dulu melakukan tirakat. Di tempat itu kemudian dibangun cungkup untuk keperluan meneruskan ritual atau tirakat punden mereka. Petilasan adalah istilah yang diambil dari bahasa Jawa. Kata dasarnya adalah “telas” atau bekas, yang menunjuk pada suatu tempat yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang (tokoh yang penting). Tempat yang layak disebut petilasan itu biasanya adalah tempat tinggal, tempat beristirahat yang relatif lama saat sang tokoh dalam pengembaraan, tempat pertapaan, tempat terjadinya peristiwa penting, atau—terkait dengan legenda— tempat moksa.

Karena petilasan merupakan tempat yang pernah ditinggali oleh orang penting, maka dalam perkembangannya masyarakat sekitar memandang bahwa lokasi tersebut wajib untuk dihormati dan dijaga. Di dalam perkembangannya, ada saja orang-orang yang menggunakan tempat tersebut sebagai lokasi untuk mencari atau meminta sesuatu. Meminta sesuatu secara instan, yang pada akhirnya menjadikan petilasan tersebut mengalami pergeseran makna sesungguhnya. Perkembangan ini tidak lepas dari pengaruh budaya materi yang kian mendesak manusia, sehingga pada kenyataannya kerap kali mereka mengharapkan sesuatu secara instan. Padahal, sejatinya petilasan bukan dimaksudkan untuk itu, melainkan menjadi tempat untuk dapat diingat bagi generasi selanjutnya, bahwa di tempat itu pernah terjadi peristiwa penting yang menyangkut tokoh yang penting.

Ki Gandrung Wicaksono diyakini sebagai keturunan Prabu Brawijaya. Sayangnya, nama Ki Gandrung Wicaksono sulit ditemukan dalam literatur sejarah. Tepatnya, ia keturunan ke berapa dari Prabu Brawijaya? Di mana ia tinggal ketika itu? Bagaimana ia bisa sampai di daerah yang kini menjadi Desa Gunung Jati, Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara itu? Lalu apa kondisi yang mendorong Ki Gandrung Wicaksono melakukan tirakat di daerah tersebut? Semua pertanyaan tersebut masih merupakan serpihanserpihan puzzle yang belum menemukan jawaban.

Tetapi tentu saja sulitnya menemukan rujukan sejarah yang menunjukkan siapa sebenarnya Ki Gandrung Wicaksono itu tak lantas membuat kita bisa mengabaikan situs budaya yang ada di Desa Gunung Jati, Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara itu. Justru sebaliknya, keberadaan situs tersebut perlu diperhatikan dan dipelihara dengan baik agar tetap lestari. Sebab, di sana terdapat kearifan lokal dan nilai budaya tradisi masyarakat yang sangat penting untuk selalu dipertahankan. • DR/Kds/Rwi

This article is from: