4 minute read
Mengolah Kayu Limbah Menjadi
Mengolah Kayu Limbah Menjadi Wood Pellet
Inovasi dan kreativitas untuk menghasilkan karya dan pendapatan baru selalu dibutuhkan dalam proses industri. Termasuk ide untuk memanfaatkan kayu limbah penjarangan JPP (Jati Plus Perhutani). Hal itu yang dilakukan Puslitbang Perhutani bersama BBIA . Kayu limbah itu selanjutnya diolah sebagai bahan energi terbarukan. Jika sukses, hasil inovasi itu tentu juga akan menjadi sumbangsih penting untuk pengembangan energi baru dan terbarukan.
Advertisement
Cikaret, Bogor, Jawa Barat, menjadi lokasi terciptanya sinergi Perhutani dan Balai Besar Industri Agro (BBIA). Tepatnya pada Jumat, 22 November 2019, Pusat Penelitian Dan Pengembangan (Puslitbang) Perhutani menjalin kerja sama dengan BBIA untuk mengolah kayu limbah penjarangan JPP sebagai bahan energi terbarukan. Jalinan sinergi itu ditandatangani di Laboratorium BBIA, Cikaret, Bogor. Kapuslitbang Perhutani, Yahya Amin, didampingi Ketua Tim Pusat Unggulan Iptek (PUI), Murgunadi, diterima Kepala BB wood pellet, Siti Rochmah Siregar, di Laboratorium BBIA itu. Di hari itu, mereka meninjau pelaksanaan kerja sama
antar Lembaga PUI dalam rangka upaya pemanfaatan kayu limbah penjarangan JPP untuk bahan baku wood pellet. Jalinan kerja sama itu menjadi satu bukti komitmen Puslitbang Perhutani sebagai PUI Jati untuk berupaya memaksimalkan manfaat JPP. Yaitu dengan mengupayakan semua bagian JPP menjadi produk bernilai. Komitmen tersebut dalam hal ini juga sejalan dengan kebijakan Perhutani untuk mengembangkan produk energi terbarukan biomassa. Menurut Yahya Amin, kayu limbah penjarangan JPP dapat menjadi salah satu alternatif bahan baku wood pellet sebagai produk energi terbarukan. Sedangkan Kepala BBIA, Siti Rochmah Siregar, menyampaikan harapan agar di masa
depan sinergi BBIA dan Puslitbang Perhutani dapat terus berlanjut dan terus menghasilkan produk inovatif yang bernilai tinggi.
Mengatur Ruang Tumbuh
Di dalam Budi daya tanaman jati memang dikenal tindakan penjarangan. Penjarangan adalah suatu tindakan pengurangan banyaknya tanaman untuk memberi ruang tumbuh bagi tanaman yang tersisa. Penjarangan dilakukan pada saat tanaman mencapai umur tertentu, agar kepadatan populasi mencapai tingkat yang paling optimal untuk mencapai hasil yang maksimal. Jadi, penjarangan merupakan tindakan pemeliharaan untuk mengatur ruang tumbuh, dengan cara mengurangi kerapatan tegakan, untuk meningkatkan pertumbuhan dan kualitas pohon.
Sebagai tindakan pengurangan jumlah batang per satuan luas, proses penjaringan tanaman JPP perlu dilakukan untuk mengatur kembali ruang tumbuh pohon JPP dalam rangka mengurangi persaingan antarpohon dan meningkatkan kesehatan pohon dalam tegakan. Proses penjaringan sebenarnya umum dilakukan untuk tanaman-tanaman Budi daya. Pada umumnya, untuk jenis pohon yang cepat tumbuh dilakukan penjarangan pada umur 3-4 tahun, sedangkan pada jenis yang lambat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 5-10 tahun.
Pada dasarnya, penjarangan adalah suatu upaya pemeliharaan yang dilakukan manusia terhadap tegakan pohon dalam suatu areal hutan. Tujuan penjarangan adalah menciptakan keseimbangan antara kepentingan biologi dari pohon. Juga untuk kepentingan ekonomi, yaitu untuk memeroleh hasil yang maksimal di kemudian hari.
Penjarangan dilakukan agar tercipta fase-fase pertumbuhan secara baik yang meliputi fase
semai (seedling/youngstage), fase pancang, sapihan (saplings/ thickets), fase tiang (poles/pole stage), dan fase pohon (trees/ timber and old timber stage). Tindakan penjarangan dilakukan pada fase tiang dari pohon dengan menebang sebagian pohon, sehingga produksi kuantitatif semata-mata diarahkan ke produksi kualitatif.
Setiap kegiatan penjarangan, dilakukan penebangan terhadap sebagian dari pohon. Terdapat 6 metode pokok penjarangan, yaitu penjarangan rendah, penjarangan tajuk, penjarangan seleksi, penjarangan mekanis, penjarangan bebas, dan penjarangan jumlah batang. Adapun dasar pemilihan diadakan atau tidaknya tindakan penjarangan tergantung dari: kepentingan hasil, jenis pengelolaan, dan kebutuhan pasar. Berdasarkan kepentingan hasil, melihat volume total, kualitas, dan volume per pohon. Guna melihat volume total untuk hasil, tidak perlu dilakukan penjarangan, sedangkan untuk kepentingan kualitas dan volume per pohon, untuk vinir, kayu lapis (plywood), kayu gergajian (saw mill), dilakukan penjarangan. Sementara itu, jenis pengolahan di hutan tanaman dilakukan penjarangan, sedangkan di hutan alam tidak dilakukan. Praktik penjarangan ditekankan utamanya pada kesesuaian jumlah pohon.
Bahan Bakar Alternatif Wood pellet sendiri merupakan bahan bakar alternatif yang terbuat dari serbuk kayu. Bahan baku wood pellet adalah limbah industri penggergajian, limbah tebangan, dan limbah industri kayu lainnya. Bahan baku tersebut memiliki kadar ligan yang tinggi sebagai zat perekat alami. Tampilan wood pellet halus dengan sedikit retakan dan berkilau seperti warna crayon. wood pellet dapat mudah terbakar dengan nyala api yang bagus. Wood pellet dapat digunakan sebagai bahan bakar pembakaran boiler, pemasakan dan penghangat ruangan. Saat ini, banyak negara yang sudah beralih dari batubara menuju wood pellet. Banyak
pertimbangan yang mendasari penggunaan wood pellet sebagai bahan bakar alternatif di banyak
negara. Salah satunya adalah akibat yang ditimbulkan.
Akibat yang ditimbulkan maksudnya adalah limbahnya.
Limbah batubara tentunya lebih sulit ditangani daripada wood pellet.
Selain itu, umumnya penggunaan wood pellet dapat lebih menghemat
biaya daripada bahan bakar lain. Kini banyak perusahaan
kecil dan menengah yang sudah menggunakan Wood pellet
sebagai bahan bakar. Misalnya untuk produksi tahu, tempe, kripik,
pelayuan teh, dan sebagainya. Wood pellet juga dinilai lebih efektif
daripada kayu bakar, karena proses pembakarannya bisa lebih efektif.
Selain itu, penyimpanan bahan bakar wood pellet tidak terlalu
menyita tempat.
Dengan segala keunggulan
yang dimiliki, pemanfaatan limbah JPP hasil penjarangan untuk diolah menjadi wood pellet menjadi langkah inovasi yang layak ditepuktangani.