4 minute read

Mungkinkah Membangun Duplikat Stasiun Radio Pemancar Malabar?

Oleh: Gandi Sugandi *)

* Gandi Sugandi Saat ini ia bertugas sebagai Staf Komunikasi Perusahaan di Perhutani KPH Bandung Selatan. Alumnus Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran, Bandung, tahun 2000. Dua tahun setelah lulus, tepatnya tahun 2002, ia mulai bekerja di Perum Perhutani. Tahun 2014, 2015, mendapatkan penghargaan sebagai karyawan berprestasi.

Advertisement

Mungkinkah Membangun Duplikat Stasiun Radio Pemancar Malabar?

Selaku pencari nafkah sehari-hari untuk keluarga, umumnya aktivitas kepala keluarga (ayah/ suami) adalah bekerja sejak pagi hingga sore. Namun, ada juga yang menjalani profesi dengan jam kerja di malam hari, semalam suntuk bahkan sampai pagi. Misalnya nelayan, supir bus malam, masinis, penjaga mercu suar, penjaga palang pintu perlintasan kereta api, dan profesiprofesi lainnya.

Tak dapat dimungkiri, setelah rutin menjalani aktivitas itu pasti ada rasa penat di badan dan jenuh di pikiran. Hal itu juga bisa menimpa anak-anak saat menjalani rutinitas belajar di sekolah. Karena itu, manusia kiranya perlu refreshing. Maka, sudah tepat waktunya untuk anak-anak me-refresh tubuh dan pikiran mereka. Sebab, menjelang akhir tahun mereka sedang libur sekolah. Saat yang tepat untuk berwisata bersama keluarga, meskipun sebetulnya wisata termasuk kebutuhan tersier atau kebutuhan mewah. Namun, soal biaya bisa diantisipasi dengan menabung sejak jauh-jauh hari.

Dahulu, wisata—atau piknik— dominan paling terkenal dilakukan dengan pergi ke pantai. Memang deburan ombak dan keluasan laut yang biru, dengan cepat bisa membuat hati dan pikiran terhibur. Bahkan hanya dengan memandangnya selama beberapa menit. Selain itu, ke kebun binatang juga dulu menjadi primadona tujuan wisata. Sejalan dengan zaman yang terus berganti, kini beraneka macam wisata dapat dilakukan, antara lain misalnya wisata hutan.

Jika Anda sedang berada di Bandung, ada banyak pilihan jenis wisata yang dapat Anda pilih. Jenisjenis wisata di seputaran Bandung boleh dibilang berjubel. Banyak jumlahnya. Dari banyak pilihan jenis wisata itu, penulis hanya sedikit ingin mengulas wisata alam Stasiun Radio Pemancar Malabar, Kabupaten Bandung. Juga sedikit mengenal sejarah stasiun radio yang berjarak sekitar 30 Kilometer dari pusat Kota Bandung itu.

Warisan Hindia Belanda

Ternyata tak banyak catatan sejarah tentang stasiun radio pemancar Malabar. Karena keterbatasan bahan pustaka dari berbagai sumber, penulis hanya menuliskan sejarah Stasiun Radio Pemancar Malabar ini secara ringkas. Awalnya, seorang pria bernama Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot, yang ketika itu menjabat Kepala Departemen Pos Telepon dan Telegraph (PTT) Hindia Belanda, hendak membangun stasiun komunikasi radio untuk menghubungkan Hindia Belanda dengan Belanda. Pertama kali, di Situbondo-lah ia mulai merintis pembangunan stasiun komunikasi radio tersebut. Namun, upaya merintis pembangunan stasiun komunikasi radio di Situbondo gagal karena tak cukup tersedia air untuk menggerakkan turbin yang menjadi sumber tenaga untuk menyalakan alat transmisi sebagai penghasil sinyal. Kendala air membuat pembangunan itu akhirnya dihentikan.

Proyek tersebut kemudian beralih ke Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Tetapi juga dihentikan karena air dari Curug Sawer juga tidak cukup untuk dapat menggerakkan turbin untuk menyalakan transmisi, meskipun sinyal baik.

Pada akhirnya, lalu di tahun 1916 dibangunlah Stasiun Radio Pemancar di Gunung Malabar, Kabupaten Bandung, dan berhasil. Pada 5 Mei 1923, stasiun yang pada masanya merupakan stasiun pemancar radio terbesar di Asia Tenggara itu pun diresmikan oleh Gubernur Jenderal Dirk Fock. Radio Malabar kemudian membuka jasa komunikasi publik bagi warga Belanda di Indonesia.

Saat Perang Dunia II meletus, Stasiun Radio Malabar menjadi rebutan negara penjajah. Ketika Jepang hengkang dan Belanda ingin kembali berkuasa, tahun 1946 Stasiun Radio Malabar dihancurkan oleh Laskar Hizbullah bersamaan dengan peristiwa Bandung Lautan Api.

Di Radio Malabar ini pula ungkapan “Hallo Bandung” bermula dan kemudian masyur.

Saat Perang Dunia II meletus, Stasiun Radio Malabar menjadi rebutan negara penjajah. Ketika Jepang hengkang dan Belanda ingin kembali berkuasa, tahun 1946 Stasiun Radio Malabar dihancurkan oleh Laskar Hizbullah bersamaan dengan peristiwa Bandung Lautan Api. Sejak itu, stasiun radio Malabar pun tinggal menyisakan puing.

Membangun Duplikat

Kini, lokasi puing-puing sisa Stasiun Radio Pemancar Malabar berada di Gunung Puntang, tepatnya di hutan yang termasuk wilayah RPH Logawa, BKPH Banjaran, Perum Perhutani KPH Bandung Selatan. Secara administratif, ia termasuk wilayah Desa Campaka Mulya, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Sekarang, ia menjadi salah satu destinasi wisata alam dan sejarah. Namun selain itu, di sekitar puingpuing tersebut yang berserak di tanah seluas 20 hektare itu juga banyak terdapat tempat tujuan

wisata lain, semisal Curug Siliwangi, Gua Belanda, area camping, mendaki gunung, tempat selfie kolam cinta, tempat selfie sarang burung, dan aliran Sungai Cigeureuh yang jernih, sehingga nyaman digunakan sebagai lokasi untuk bercengkerama. Apalagi, Gunung Puntang juga banyak menyimpan keanekaragaman satwa. Jenis satwa yang ada di Gunung Puntang antara lain burung walik, kadanca, walet, saeran, lutung, babi hutan, kijang (mencek), landak, monyet ekor panjang, surili, kadal, ular sanca, owa jawa (sebagai koservasi yang dilepasliarkan), bahkan macan tutul.

Hal-hal yang menjadi daya tarik wisata itu sangat potensial untuk dioptimalkan menjadi lokasi wisata unggulan. Dan tak salah pula jika catatan sejarah yang ada di Gunung Puntang itu dibuka kembali. Caranya dengan membangun duplikat bangunan stasiun komunikasi radio Malabar. Mungkinkah?

Seandainya bekas bangunan Stasiun Radio Pemancar Gunung Malabar itu dibuat duplikat, direkontruksi, tentulah bisa lebih menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Bahkan mereka bisa lebih puas berwisata. Kiranya perlu keberpihakan sejumlah pihak yang terkait untuk mewujudkannya. Bukankah sebagian bangunan candi yang kini sudah berdiri pun, awalnya ketika ditemukan pertama kali hanya berupa batu-batu yang berserakan atau bahkan terpendam di dalam tanah, bahkan di dasar sawah?

Saat ini, pembangunan duplikat stasiun komunikasi radio Malabar itu mungkin hanya sekadar wacana. Tetapi satu saat perlu untuk dipikirkan serius dan diwujudkan. Sebagai wahana untuk anak muda memelajari sejarah. Sebab, anak muda sangat perlu mengetahui sejarah bangsanya. • DR

This article is from: