6 minute read
Dalem Cageur
Indonesia sangat kaya dengan budaya, seni, dan kearifan lokal. Kekayaan budaya berupa kearifan lokal itu perlu terus dijaga dan dilestarikan. Kearifan lokal itu pula yang terkandung dengan sangat kental di Situs Budaya Buyut Eyang Dalem Cageur. Hal itu pula yang mendasari langkah Perhutani KPH Kuningan meresmikan pengembangan Situs Budaya Eyang Dalem Cageur menjadi rintisan wisata budaya.
Advertisement
Maret 2017, warga Desa Cageur menemukan sebuah situs makam kuno di wilayah desa mereka. Awalnya, pada 22 Maret 2017, seorang warga bernama Yoyo menemukan puluhan butir batu tersusun yang diduga makam tua di sebuah lembah kawasan hutan rimba di Desa Cageur, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan. Tempat itu merupakan lokasi wisata ziarah yang dikenal sebagai makam keramat Eyang Dalem Cageur.
Beberapa orang warga di desa itu menyebutkan, Yoyo (30) dan beberapa rekannya menemukan makam tua itu setelah mendapat informasi dari seseorang yang katanya pernah bermimpi jika di hutan itu terdapat dua makam tersembunyi. Selain makam tua, di dekat makam tua tersebut juga terdapat genangan mirip kolam persegi berukuran 4 x 4 meter persegi, dengan kedalaman antara 20 hingga 80 cm. Di tepi kolam itu terdapat satu batu dengan posisi berdiri tegak setinggi lebih kurang 50 cm. Dan di sisi genangan air dekat batu berdiri itu terdapat umpakan batu terendam genangan. Menurut warga sekitar, sebenarnya kolam dan batu-batunya itu sejak dulu sudah ada dan keberadaannya pun sudah diketahui banyak orang, baik warga setempat maupun para peziarah ke makam keramat Eyang Dalem Cageur. Tetapi sebelumnya makam dan batu-batu itu hanya terlihat sedikit, karena terkubur tanah dan humus. Sedangkan keberadaan susunan batu mirip makam tua itu sebelumnya sama sekali belum pernah ada yang mengetahui. Bentuk susunan batu yang diduga makam tua baru terungkap itu, hampir menyerupai sejumlah makam keramat yang ada di hutan itu. Puluhan batu yang tersusun membentuk makam itu terbelit akar-akar pohon.
Kawasan hutan tempat makam keramat Eyang Dalem Cageur itu berupa hutan rimba alami seluas lebih kurang 12,3 hektare milik Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kuningan. Hutan padat pehohonan tua dan semak belukar itu berbatasan langsung dengan tanah milik dan lahan permukiman penduduk. Kawasan hutan tersebut termasuk Petak 1A, wilayah kerja Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Haurkuning, BKPH Garawangi. Kelas hutannya termasuk hutan KPKh atau Kelas Hutan Khusus. Perlakuan terhadap hutan KPKh itu sama dengan perlakuaan terhadap hutan lindung.
Selain memiliki fungsi alami terhadap lingkungan di sekitarnya, kawasan hutan tempat makam keramat Eyang Dalem Cageur itu sangat potensial untuk dikembangkan menjadi obyek wisata terpadu. Di dalamnya meliputi wisata alam, religi, dan wisata pendidikan. Tetapi karena status hutannya tadi, tata kelola wisata dalam kawasan hutan itu harus diusahakan sedemikian rupa agar jangan sampai mengganggu apalagi merusak kelestarian alam, ekosistem dan fungsi hutannya.
Sarat Kearifan Lokal
Secara administratif, Situs Budaya Eyang Buyut Dalem Cageur termasuk wilayah Desa Cageur, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Perhutani
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kuningan serius melakukan langkah-langkah pelestarian situs budaya yang sarat muatan kearifan lokal itu. Hal itu terlihat saat mereka meresmikan pengembangan rintisan wisata Situs Budaya Buyut Eyang Dalem Cageur yang berada di Petak 1a, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Haurkuning, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Garawangi, KPH Kuningan, itu pada Selasa, 12 November 2019.
Selain Administratur Perhutani KPH Kuningan, Uum Maksum, beserta jajaran, kegiatan tersebut dihadiri pula oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Kuningan, Tedy Suminar; Camat Darma, Didin Bahrudin; Kepala Desa Cageur, Cicih Sumiarsih; perwakilan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Cageur, tokoh masyarakat setempat, dan masyarakat desa sekitar hutan. Saat memberikan penjelasan, Administratur Perhutani KPH Kuningan, Uum Maksum, menyatakan, Situs Budaya Buyut
Eyang Dalem Cageur sangat potensial untuk dikembangkan menjadi sebuah obyek wisata terpadu. Di antaranya situs budaya ini meliputi wisata alam, wisata religi, dan wisata pendidikan.
“Wisata dalam kawasan hutan itu harus diusahakan sedemikian rupa. Jangan sampai diganggu, apalagi merusak lingkungan, kelestarian ekosistem, dan fumgsi hutannya," tegas Uum. Sementara itu, Kepala Disparbud Kabupaten Kuningan, Tedy Suminar, menerangkan, di Kabupaten Kuningan terdapat 141 situs yang sudah ditata, serta banyak potensi alam dan budaya yang menarik. Data tersebut menjadikan lokasi-lokasi wisata itu menjadi andalan sektor pariwisata Kabupaten Kuningan. Potensi alam dan budaya tersebut sebagian sudah dikembangkan, namun sebagian lagi masih dalam tahap inventarisasi dan eksplorasi.
“Disparbud Kabupaten Kuningan saat ini sedang merencanakan penggalian seluruh potensi yang ada di Kabupaten Kuningan secara
bertahap, dengan cara meningkatkan mutu obyek wisata. Terima kasih juga kepada pihak Perum Perhutani KPH Kuningan yang akan merintis potensi wisata yang ada di kawasan hutan ini,” tuturnya.
Penyebar Agama Islam
Warga Desa Cageur mengatakan, Eyang Dalem Cageur merupakan tokoh penyebar agama Islam pada masa Kerajaan Islam Cirebon di masa lampau. Di antaranya disebutsebut ada makam Eyang Satori, Damarwulan (Syeh Datuk Kaliputah), dan Pulodamar. Sejak dulu, setiap bulan Maulid (Robi'ul awal) tahun Hijriyah, makam keramat di Desa Cageur itu selalu banyak dikunjungi para peziarah umat Islam dari berbaagi daerah. Mereka umumnya datang dari Cirebon, Majalengka, Ciamis, dan berbagai daerah lainnya. Kisah Eyang Buyut Dalem Cageur erat berkaitan dengan sejarah Kerajaan Pajajaran, Galuh, dan Cirebon. Menurut kisahnya, Wanaperih atau Raden Aria Kikis yang merupakan putra sulung dari Prabu Pucuk Umum dari Ratu Sunyalarang (putri Sunan Parung, saudara satu ayah dari Ratu Pucuk Umun suami Pangeran Santri) dan menjadi Raja di Kerajaan Talaga Manggung tahun 1553-1556 Masehi. Prabu Pucuk Umum atau Raden
Rangga Mantri merupakan cicit Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja.
Wanaperih mendirikan pesantren tertua di Majalengka serta memindahkan Ibu kota Kerajaan Talaga, dari Sangiang ke Wanaperih yang saat ini termasuk wilayah Desa Kagok. Setelah Ratu Sunyalarang meninggal dunia, Arya Kikis atau Sunan Wanaperih mendirikan pesantren dan mendatangkan guru mengaji Syekh Sayyid Faqih Ibrahim yang merupakan putra Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya. Ia dikenal dengan nama Sunan Cipager dan makamnya berjarak 1 kilometer dari makam Eyang Dalem Cageur. Masa-masa pemerintahan Sunan Wanaperih diwarnai dengan perkembangan Islam yang pesat. Di masa kepemimpinannya, seluruh rakyat di Talaga Manggung telah menganut agama Islam dan agama Islam di sana semakin berkembang. Sunan Wanaperih berputra 6 orang yaitu Dalem Cageur, Dalem Kulanata, Apun Surawijaya, Ratu Radeya, Ratu Putri, dan Dalem Wangsa Goparana. Keturunannya turut menyebarkan Islam, bahkan sampai ke luar wilayah Majalengka.
Ratu Radeya menikah dengan Arya Saringsingan, sedangkan Ratu Putri menikah dengan anak Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, yaitu Syekh Sayyid Faqqih Ibrahim yang dikenal sebagai Sunan Cipager dan mereka menjadi penyebar Islam di samping putranya, Dalem Wangsa Goparana, yang pindah ke Sagala Herang, Cianjur. Keturunannya lantas menjadi trah Bupati Cianjur semisal Bupati Arya Wiratanudatar I (Dalem Cikundul) dan seterusnya.
Tahun 1550 M, pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung (Ratu Sunyalarang), Talaga dipimpin oleh putra kedua Ratu Parung yaitu Raden Aria Kikis (Sunan Wanaperih). Arya Kikis adalah seorang Senapati dan Da'i Islam yang handal. Dia mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan, dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu dia adalah Raja Muda Cianjur yang dikenal sebagai Kanjeng Dalem Cikundul.
Obyek Wisata Religi
Sebelum dijadikan situs budaya, Makam Eyang Buyut Dalem Cageur merupakan makam yang dikeramatkan oleh masyarakat. Selain terdapat mushalla, di dalamnya terdapat empat makam keramat yang di antaranya adalah makam Mbah Damarwulan dan Mbah Satori. Pihak Perhutani KPH Kuningan sendiri akan mengembangkan situs budaya Eyang Buyut Dalem Cageur itu sebagai obyek wisata religi. Sebab, keberadaan makam keramat itu adalah bukti sejarah penyebaran Islam di Kuningan.
Pengelolaan obyek wisata religi Dalem Cageur melibatkan masyarakat melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan. Situs budaya Eyang Buyut Dalem Cageur yang berada di hutan yang masih lestari dan merupakan hutan sekunder. Di hutan ini banyak sekali terdapat pohon saninten, rotan, dan beringin. Pengelolaan obyek wisata religi itu tetap memerhatikan kelestariannya. Sebab, menjaga kelestarian hutan juga bagian dari kearifan lokal. Maka, situs budaya Eyang Buyut Dalem Cageur semakin sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal.
• Tim Kompersh Kanpus