10 minute read
Membangun Partisipasi Masyarakat Desa Hutan dengan Komunikasi
Sebagai mahluk sosial yang hidup bermasyarakat dan berkelompok, manusia menjalin hubungan dengan sesamanya. Itu bukti adanya keinginan berkelompok yang sudah menjadi kebutuhan sifat, identitas, dan falsafah hidup manusia. Selama manusia masih menjunjung tinggi nilai-nilai, dia tak mau terpisah atau terisolasi dari sesamanya. Tanpa sokongan orang lain, martabat manusianya akan terasa menurun dan kebahagiaannya suram. Manusia tanpa sesamanya tak punya fungsi apa-apa.
Advertisement
Untuk menghubungkan diri dengan manusia lain, perlu ada jalinan komunikasi, agar saling mengerti, saling menolong, dan saling melengkapi (take and give). Komunikasi merupakan sarana vital untuk mengerti diri sendiri, mengerti orang lain, memahami apa yang ia butuhkan dan apa yang orang lain butuhkan, serta apa yang menjadi pemahaman kita dan pemahaman semua.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, pengertian komunikasi sama dengan perhubungan. Tetapi beberapa ahli mengemukakan pemahaman lain. Noel Gist dalam bukunya “Fundamentals Sociology” mengatakan, "Bilamana interaksi sosial meliputi pengoperan arti-arti dengan menggunakan lambang-lambang itulah komunikasi". Sedangkan Carl J Hovland, dalam bukunya “Social Communications”, menjelaskan, komunikasi adalah proses bilamana seseorang individu (komunikator) mengoper stimulan untuk mengubah tingkah laku individu lainnya (komunikan).
Jadi, ada dua nilai yang selalu ada dalam komunikasi. Nilai pertama dalam informasi yang berupa lambang-lambang atau gambaran yang menjadi stimulan. Nilai kedua adalah persuasive, yaitu proses pemindahan pesan itu mencapai satu sasaran; orang yang menerimanya dan memahaminya.
Pengertian secara ontologis, komunikasi adalah proses pemindahan dan pengoperan arti, nilai, pesan, melalui media atau lambang-lambang baik dengan bahasa lisan, tulisan, atau isyarat. Sedangkan pengertian secara aksiologis, merupakan proses pemindahan pesan dari komunikator kepada komunikan. Secara epistemologi, komunikasi bertujuan mengubah tingkah laku, pola pikir, atau sikap orang lain, untuk dapat mencapai ide yang sama demi tujuan yang sama pula.
Kata “Partisipasi” sering diartikan sebagai ambil bagian dari suatu kegiatan. Suatu arti yang mengandung arti pasif. Padahal tidak demikian. Semangat pasif dapat berkembang ke arah aktif bersama-sama dengan yang mengambil inisiatif.
Oleh: Ir. Mubarak N.A. Sigit, MM*)
Pola Hidup MDH
Hampir seluruh sumber mata pencaharian utama masyarakat desa sekitar hutan (MDH) ada pada daya produksi dari tanah di lingkungannya. MDH punya kebiasaan hidup lamban sesuai alam lingkungan yang tak banyak berubah sepanjang masa. Namun, dengan kondisi masyarakat yang berbeda, akan terjadi perbedaan-perbedaan kebiasaan dan motivasi.
Umumnya MDH menghormati tata batas hutan di dalam lingkungannya. Sebab, tata batas hutan tersebut diproyeksikan di lapangan sesuai kebiasaan, kemampuan, dan motivasi-motivasi yang ada pada kelompok masyarakat tersebut. Kebiasaan kelompok masyarakat ini adalah bertani secara menetap dan kemampuannya dibatasi tenaga tangan dan kaki tanpa alat yang dapat menggandakan daya kerjanya.
MDH khususnya kelompok tani hutan menjadikan garis merah adanya partisipasi masyarakat untuk kegiatan kehutanan di dalam kawasan hutan Perum Perhutani. Pada perkembangan selanjutnya, tampak adanya disharmoni di dalam hubungan antara Perhutani dan MDH. Pertumbuhan penduduk dan kesempatan kerja di dalam desa maupun di dalam hutan dengan pola kepengurusan lama tak lagi memelihara keseimbangan semula, maka timbul kejadian pencurian kayu,
perencekan, penyerobotan tanah, yang pada saat tertentu memuncak pada kegiatan penjarahan hutan, penyerobotan tanah, serta adanya kegagalan-kegagalan tanaman.
Partisipasi masyarakat desa hutan dalam kegiatan di bidang kehutanan, semisal kegiatan pembuatan tanaman hutan, masih dilakukan berdasarkan pola kebiasaan mereka di desa yaitu individual di dalam kerja dan pemanenannya. Ikatan antara anggota masyarakat di dalam hubungannya dengan partisipasi kegiatan kehutanan terbatas ikatan bertetangga baik. Babat, penggebrusan tanah dan seterusnya, sama sekali untuk tiap bagian andil tanaman dilakukan oleh tenaga keluarga sendiri-sendiri.
Yang terjadi di daerah hutan rimba khususnya yang menghasilkan sayur-sayuran semisal kol, kentang, wortel, petani hutan langsung berkaitan dengan perdagangan jarak
jauh. Pelaksanaan tumpangsari tidak lagi dilakukan oleh petani-petani kecil yang didapati pada hutan jati. Umumnya pengambil andil tanaman pada daerah penghasil sayur-sayuran adalah pengusaha-pengusaha besar di kota. Para petani di desa dalam melaksanakan pekerjaan tumpangsari di tanaman hutan hanya menerima order borongan atau kerja harian yang diupah oleh pengusahapengusaha sayuran tersebut.
Nilai-nilai sosial yang ditimbulkan oleh pelaksanaan kegiatan tumpangsari telah berbeda satu sama lain. Di wilayah hutan jati, petani tidak kehilangan identitasnya sebagai petani, namun pada daerah yang masyarakatnya lapar lahan semisal di Kabupaten Tuban, kadangkala ada 1-2 masyarakat tukar menukar andil tanaman, rata-rata per orang 4-5 andil, sehingga di antara pesanggem secara informal/di bawah tangan ada yang menukar andil dengan alasan tentang jarak/aksesibilitas lahan garapan dengan rumah pesanggem dan memerhatikan kondisi produktifitas lahan tersebut. Jika kita menilik di daerah penghasil sayur-sayuran, para petani ibarat sudah seperti buruh-buruh tani lain, yang hanya dapat upah harian dari pedagang sayuran.
Dari sudut perkembangan ekonomi nasional, pelaksanaan tumpangsari yang di dalamnya ada unsur pengusaha yang punya “sense of business”, kemampuan bersaing (mampu menghasilkan barang secara kompetitif) dan kemampuan untuk menembus pasar dengan jaringan tata niaga yang luas. Disadari pula, petani-petani yang terkait kegiatan tanaman tumpangsari ini terlepas, dan mereka telah kehilangan identitas sebagai petani merdeka. Namun petani-petani tersebut juga telah masuk mata rantai bisnis sayursayuran. Artinya, mereka telah terlibat
Foto : Dok ?????
Foto : Dok ?????
dalam kegiatan yang menunjang pertumbuhan perekonomian nasional.
Peran Komunikasi
Peran komunikasi di masyarakat sekarang dalam bentuk alat penerangan masyarakat, alat pendidikan dan penyuluhan masyarakat, alat untuk memengaruhi masyarakat dan alat hiburan. Penggunaan komunikasi yang berkaitan dengan upaya dalam pembinaan masyarakat desa hutan adalah media komunikasi sebagai alat pendidikan dan penyuluhan masyarakat. Media komunikasi sebagai alat pendidikan masyarakat lebih menekankan masalah pembinaan atau pendidikan masyarakat. MDH diarahkan untuk lebih positif, lebih sehat, lebih produktif, dan lebih luas wawasan pandang mereka perihal persiapan dan kebutuhan mereka di masa depan.
Komunikasi mendidik dan cara berpikir masyarakat membuat mereka lebih kritis dalam memahami
masalah dan keberadaannya. Masyarakat dididik agar menjadi lebih mandiri dalam setiap persoalan kehidupan.
Usaha pendidikan dan pembinaan MDH, di Perum Perhutani telah lama dirintis dalam kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan Perhutanan Sosial. Bentuknya, mengadakan kegiatan pelatihanpelatihan usaha produksi, sosialisasi dan pengembangan hutan rakyat, mengadakan demplot-demplot, pembinaan bersama dengan instansi terkait maupun produk pesantren, produk LMDH, binaan PKBL, pembuatan pupuk bokashi, penggemukan sapi kereman, pembangunan mini PMKP yang dikelola LMDH, bantuan pinjaman lunak PKBL, dan lain-lain.
Dengan media tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, Perum Perhutani mendidik masyarakat desa hutan agar terampil dalam bidang pertanian, peternakan, perkoperasian dan usaha produksi lain yang menunjang tercapainya peningkatan pendapatan masyarakat. Partisipasi Sosial ini menjadi “buah” yang lebih nyata. Masyarakat Desa Hutan (MDH) dirangsang untuk turut serta dan berpartisipasi dan ambil bagian dalam setiap bentuk pembangunan hutan semisal pembuatan tanaman, keamanan hutan, pemeliharaan, sampai ke produksi hasil hutan. Serta pelaksanaan kegiatan pembangunan di desa semisal pembangunan jalan, masjid, embung, klinik berobat, dan sarana fasilitas umum dapat dikerjasamakan dengan partisipasi MDH dan Perum Perhutani.
Upaya mengajak MDH dalam kegiatan pembangunan perekonomian di pedesaan butuh kemampuan para petugas lapangan (Mandor, KRPH, dan Asper) dalam bidang komunikasi sosial. Para petugas lapangan harus mampu menciptakan suasana dialogis seperti peran seorang ayah dengan anak-anaknya yang sedang terlibat dalam pembicaraan pembentukan kehidupan di masa depan. Komunikasi dirancang secara khusus untuk mencapai tujuan-tujuan pembinaan dan pendidikan, yaitu membentuk suasana kebersamaan, kerukunan, dan upaya menimbulkan sikap kemandirian dan meningkatkan
produktifitas. Gambaran suasana dialogis menunjukkan proses komunikasi yang berlangsung dalam suasana bebas, akrab, bertujuan, dan bertanggungjawab. Di sini komunikasi berlangsung tanpa adanya paksaan. Masing-masing pihak secara bebas dan tanpa tekanan mengungkapkan gagasan dan perasaannya kepada pihak lain. Sebagai pihak penggagas/ pengambil inisiatif, tentunya sang petugas tidak mengungkapkan idenya dengan asal bicara tanpa arah, namun telah merencanakannya dengan baik, paling tidak mempunyai tujuan untuk mencapai taraf pemahaman pada pihak masyarakat binaannya. Bukan sekadar berbagi informasi secara berimbang seperti pada dialog antara orangorang berlevel sama. Tetapi lebih khusus pada upaya sang petugas memahamkan MDH terhadap target atau tujuan yang diinginkannya.
Perwujudan komunikasi pembinaan dan pendidikan selain diupayakan dalam bentuk dialogis, juga bisa berbentuk keteladanan. Contoh perbuatan terpuji dan membangun, termasuk perbuatan memberi semangat, dorongan yang dapat menumbuhkan motivasi seseorang untuk berbuat sesuai norma-norma yang berlaku.
Untuk hal tersebut, petugas Perhutani harus belajar dan memahami betul budaya dan pranata sosial di mana dia bertugas. Pranata sosial adalah suatu sistem hubungan antara norma-norma dan perananperanan, menyajikan pedomanpedoman dan wadah untuk bertindak sesuai masing-masing kebutuhan yang akan dipenuhi oleh para warga masyarakat yang bersangkutan, dengan mengacu pada kebudayaan yang dipunyai masyarakat tersebut.
Hal tersebut antara lain meliputi beberapa hal. Pertama, normal aturan yang digunakan sebagai pedoman untuk melakukan serangkaian tindakan dan kegiatan yang relevan dengan pemenuhan kebutuhan tertentu. Secara lebih khusus norma-norma tersebut mengatur
Foto : Dok ?????
kegiatan apa yang harus dilakukan, bagaimana urutannya, hubungan kerja sama di antara pelaku yang terlibat. Contohnya, larangan mencuri pohon di hutan, penggembalaan liar, membakar hutan, penyebutan hak dan kewajiban pesanggem dalam pembuatan tanaman, dan lain-lain.
Kedua, sejumlah aturan dan peran yang relevan dengan kegiatan pemenuhan kebutuhan tertentu, spesifikasi status, dan peran pelaku yang terlibat berkaitan erat dengan pembagian kerja yang harus ada dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan. Ketiga, sejumlah peralatan yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan tertentu. Keempat, spesifikasi tentang sumber daya yang dibutuhkan sebagai input pemenuhan kebutuhan dan aturan tentang bagaimana sumber daya itu harus dimanfaatkan.
Selain para petugas Perum Perhutani harus paham kebudayaan dan pranata sosial, juga peran mereka di lingkungan kerjanya (MDH) adalah
sebagai Agents of Development (Duta Pembangunan) juga sebagai Agents of Change. Petugas Perum Perhutani berperan sebagai Agents of Developments ataupun Agents of Change yaitu bahwa pembangunan bidang kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan semesta, sehingga petugas Perum Perhutani dalam tugasnya akan menerapkan strategi-strategi pendekatan kemasyarakatan secara khusus sesuai local specific. Strategi-strategi pendekatan kemasyarakatan tersebut sebagai berikut:
Pertama, Strategic Paternalistic Approach yang berasumsi masyarakat masih rendah kemampuan teknologinya dan sebaiknya dibangun dengan mengikuti petunjuk dan metode tawaran Agents of Change. Kedua, Strategic Traditional Community Development Approach yang berasumsi masyarakat masih rendah kemampuan teknologinya dan sebaiknya dibangun mengikuti dan menggerakkan sumber daya lokal, pemimpin dan organisasi lokal guna
Salah satu strategi yang dilakukan dengan ingin dicapai dalam rangka pembangunan MDH adalah pengembangan program kegiatan yang lebih ditujukan/ didahulukan pada perubahan menuju penguatan institusi/ kelembagaan desa hutan seperti LMDH, KTH, Koperasi KTH, Lumbung Desa, BUMDes dan lain-lain,
mewujudkan kemandirian masyarakat yang akan dibangun. Sebagai legitimasi, biasanya petugas Perum Perhutani memakai pendekatan dengan tokoh informal semisal sesepuh desa, ulama/kiai/tokoh pondok pesantren, pamong desa, dan lain-lain dalam melakukan misinya.
Satu, Engineering Physical Infrastructure Approach, yang berprinsip bahwa karena pihak perencana pembangunan mempunyai teknologi dan menyediakan modal untuk pembangunan, kebijakan dan program pembangunan sebaiknya dilakukan menurut versi masyarakat desa sendiri (pelaksanaan PRA/ PDP). Kedua, Fasilitator Assistance Approach yang berprinsip setiap MDH sudah mengembangkan strategi penyelesaian masalah sendiri sehingga para petugas perhutani sebagai Agents of Change hanya membantu dengan posisi sebagai pendamping/fasilitator atau partner yang siap membantu para pemimpin lokal.
Strategi pertama dan ketiga banyak diadopsi oleh petugas Perum Perhutani, tetapi secara signifikan tak memberikan hasil memuaskan, karena MDH menjadi makin tergantung pada pihak luar (Perum Perhutani) dan berubah secara sosiokultural tetapi tanpa kemajuan. Strategi kedua menjadi alternatif karena menempatkan MDH sebagai subyek pembangunan dan memberi prioritas penyelesaian masalah kemasyarakatan/pembangunan perekonomian desa dalam versi MDH setempat.
Strategi keempat sepintas lebih baik dari strategi kedua, dengan penekanan pada idealisme bahwa konsepsi kerja petugas Perum Perhutani (petugas lapangan) tidak selalu lebih baik dari MDH yang ia bangun (maka konsepsi kerja tidak harus selalu Top Down) dan MDH tersebut punya strategi penyelesaian masalah sendiri.
Salah satu strategi yang dilakukan dengan ingin dicapai dalam rangka pembangunan MDH adalah pengembangan program kegiatan yang lebih ditujukan/didahulukan pada perubahan menuju penguatan institusi/kelembagaan desa hutan seperti LMDH, KTH, Koperasi KTH, Lumbung Desa, BUMDes dan lain-lain, dibandingkan program pembangunan sarana fisik dan kemajuan secara ekonomis. Dan tentunya strategi pembangunan yang diterapkan merupakan pengakuan dan pemberdayaan terhadap sumber daya dan kepemimpinan MDH setempat. Hal ini guna mengurangi efek ketergantungan kepada bantuan-bantuan Perhutani, sehingga masyarakat desa hutan dapat lebih mandiri dan berproduktivitas tinggi.
Kesimpulan
Komunikasi merupakan unsur yang sangat penting dan besar peranannya dalam menentukan keberhasilan pembinaan MDH, dengan partisipasi dalam pembangunan hutan dan kehutanan. Komunikasi merupakan usaha secara sadar, terencana, terkendali dan terevaluasi dari petugas Perum Perhutani (sebagai Agents of Change) dalam membantu mengubah perilaku MDH menuju kemandiriannya.
Petugas Perum Perhutani dituntut menjadi patron maupun sebagai promotor dalam setiap kegiatan/ tahap pembangunan desa hutan. Untuk hal tersebut, baik sebagai tokoh masyarakat yang ditauladani bagi MDH juga mampu mengubah penghidupan MDH menjadi lebih baik/lebih makmur dan sejahtera. • DR
*) Ir. Mubarak N.A. Sigit, MM
Penulis adalah Tenaga Profesional Pusdikbang SDM Perum Perhutani