1 minute read

B. Pembatasan Akses Adminduk Penghayat Kepercayaan

Next Article
BAB 4. PENUTUP

BAB 4. PENUTUP

B. Pembatasan Akses Adminduk Penghayat Kepercayaan

Selain melakukan kontrol melalui pembatasan definisi, negara juga mengatur pencatatan administrasi kependudukan penghayat kepercayaan terkait dengan akta kelahiran, pernikahan, kematian, Kartu Keluarga hingga Kartu Tanda Penduduk. Dalam UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) misalnya, dituliskan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Meski undangundang tersebut merujuk kepada agama dan kepercayaan secara umum, namun dalam implementasinya, undang-undang masih merujuk kepada agama yang didefinisikan oleh Depag dan tidak memberi ruang bagi pengurusan perkawinan bagi pemeluk penghayat kepercayaan. Undang-undang tersebut kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/ 74054 tanggal 18 November 1978 tentang petunjuk pengisian kolom “agama” pada lampiran SK Mendagri No: 221a/1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil (Subagya, 1981: 276; Sudarto dkk, 2017: 38).

Advertisement

Selain perkawinan, penguburan jenazah juga diatur menurut agama masing-masing. Pada 1978, Menteri Agama mengeluarkan surat edaran No. B.VI/11215/978 tanggal 18 Oktober 1978 yang ditujukan kepada seluruh gubernur di Indonesia yang menjelaskan bahwa “…dan mengingat pula bahwa masalah-masalah penyebutan agama, perkawinan, sumpah, penguburan jenazah adalah menyangkut keyakinan agama, maka dalam negara RI yang berdasar Pancasila tidak dikenal adanya tata cara perkawinan, sumpah dan penguburan menurut aliran kepercayaan, dan tidak dikenal pula penyebutan ‘Aliran Kepercayaan’ sebagai ‘agama’ baik dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan lain-lain” (Sutanto, 2020: 28).

This article is from: