8 minute read
Mengulik Lebih Dalam Upaya Hemat Energi
by ARÇAKA
PERSPEKTIF
Text by Patricia Karenina Photos courtesy of RAW Architecture
Advertisement
Realrich Sjarief adalah seorang arsitek, pengajar, dan penulis berbasis Jakarta yang lahir di Surabaya. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana nya di Institut Teknologi Bandung kemudian bekerja dengan Norman Foster di London. Ia juga mendapatkan gelar magister Urban Design nya dari University of New South Wales, serta mendapatkan penghargaan Planning Workshop International Award pada tahun 2011. Sejak tahun 2011, Realrich sudah berpraktik sebagai arsitek di Realrich Architecture Workshop (RAW). Praktik ini merupakan upaya membangun kembali sejarah panjang keahlian dalam keluarga pembangunnya yang telah berlangsung selama 3 generasi, 60 tahun praktik sejak Kemerdekaan Indonesia.
Proyek Arsitektur RAW berusaha untuk memberi keunikan dan karakter sederhana dari bahan lokal. Gagasan RAW adalah bahwa setiap bangunan yang dikembangkan dengan sepenuh hati akan menciptakan kualitas yang abadi, surealis, dan penguasaan dalam bentuknya yang paling sederhana, pendekatan yang paling sederhana. RAW Architecture telah bekerja untuk berbagai macam proyek, mulai dari bangunan tempat tinggal hingga pengembangan mixed-use skala besar dan masterplan. Beberapa karya RAW Architecture yang masuk nominasi penghargaan adalah Bare Minimalist pada IAI Jakarta Award 2012, Galeri Nasional Indonesia pada IAI Jakarta Recognition Award 2015, Akanaka dan The Guild pada IAI Jakarta Award 2017, yang kemudian dimenangkan oleh The Guild sebagai pemenang IAI Jakarta Award 2017. Selain itu, proyek Alfa Omega juga masuk nominasi dua penghargaan bergengsi yaitu World Architecture Festival di Amsterdam dan Fibre Award led by Laetitia Fontaine and Dominique Gauzin-Muller.
REFURBISHMENT MENURUT REALRICH SJARIEF
Menurut Realrich Sjarief, tema refurbishment memiliki tantangan berupa melepaskan diri dari jargon - jargon, kulit - kulit luar dan mulai melakukan elaborasi yang kritis untuk justru menguliti desain dari sudut pandang arsitektur berkelanjutan. Oleh karena itu pengolahan metodologi desain menjadi penting. Ia merujuk gerakan Design Methods Movement yang berkembang pada tahun 1960-1970 yang menyatakan bahwa metode adalah jawaban dari permasalahan desain. Gagasan itu melahirkan istilah arsitektur berkelanjutan pada tahun 1987 yang didefinisikan sebagai sebuah desain yang tidak mengorbankan kebutuhan masa depan untuk generasi di masa depan. Gagasan itu dipakai hingga saat ini dan memerlukan elaborasi yang lebih oleh generasi di masa depan.
Realrich berpendapat bahwa Refurbishment sangat mungkin untuk dilakukan di Indonesia, mengingat banyaknya aset bangunan historis. Namun, perlu dilakukan investigasi struktur dan MEP (mechanical, electrical, and plumbing) untuk mengetahui apakah bangunan tersebut masih layak atau sudah masuk ke tahap yang membahayakan. Menurutnya, pola pikir seperti desain berdasar refurbishment perlu hati - hati untuk tidak defensif sebagai alat pembenaran di dalam desain, namun bisa dijadikan titik awal untuk membuat desain yang inovatif. Ia pun memberikan contoh kasus berupa Reichstag, British Museum, Smithsonian Museum yang didesain Norman Foster dengan teknologi desain yang lebih efisien, efektif sesuai dengan jamannya. Arsitek ini juga menambahkan bahwa Ilmu arsitektur perlu dibangun tanpa rasa takut dengan perhitungan pertimbangan desain yang matang. Ia menuliskan bahwa para arsitek tidak harus berpaku dengan kemegahan Candi Prambanan dan Borobudur di Indonesia sehingga arsitek hanya menelan mentah-mentah tradisi tanpa belajar dan malah menutup diri dari kebaruan.
Mengingat kegiatan refurbishment memerlukan keterlibatan beberapa pihak seperti ahli arkeolog, teknik sipil, serta MEP untuk dilakukan pengecekan menyeluruh bersama dengan tim arsitektur cagar budaya, Realrich pun mengatakan bahwa bangunan yang dihasilkan akan sebanding dengan usaha tersebut karena dengan memanfaatkan bangunan yang sudah ada, arsitek bisa mendapatkan bangunan yang lebih baik.
MENJAGA CITRA BANGUNAN HERITAGE
Salah satu proyek RAW Architecture yang mengusung tema refurbishment adalah Galeri Nasional Indonesia. Perancangan Galeri Nasional Indonesia dimaksudkan untuk menjaga citra dari bangunan heritage. Lahan yang memiliki lebar 70 meter ini tergolong kecil jika dibandingkan dengan lebar bangunan pusaka yakni sebesar 22 meter, sehingga desain yang dipilih untuk melengkapi kompleks ini adalah landsekap sebagai arsitektur sisi museum yang mengapit bangunan heritage. Konektivitas dipertahankan dengan akses publik dari Monas (jalur bawah tanah) menuju toko cinderamata yang terdapat pada ruang tengah galeri. Di dalam masterplan, isu keterhubungan ini berlanjut ke sisi Sungai Ciliwung sehingga memungkinkan adanya aktivitas seni di samping sungai. Secara umum, pembangunan masterplan terbagi menjadi dua tahap. Tahap pertama berfokus pada bagian utama yaitu area galeri nasional. Pada tahap ini diasumsikan pembebasan lahan masih dalam proses, sehingga pembangunan difokuskan pada pengembangan galeri nasional saja. Tahap pertama dapat berjalan secara mandiri yaitu sebagai fungsi pokok dari galeri nasional. Tahap kedua dilakukan setelah pembebasan lahan sudah terlaksana. Pada tahap ini, pembangunan dilakukan sebagai pendukung fasilitas galeri. Gedung konferensi, auditorium, dan hotel diletakkan di sisi utara dengan eksposure ke arah landmark Kota Jakarta yaitu Monas dan Stasiun Gambir. Massa bangunan merespon dua aksis utama yaitu aksis Monumen Nasional dan bangunan eksisting galeri nasional yang terhubung dengan Stasiun Gambir. Aksis terhadap Monas direalisasikan dengan jalur bawah tanah. Bagian depan dan belakang galeri nasional merupakan plaza terbuka yang dibhubungkan sebagai respon terhadap kawasan Monas (depan) dan Sungai Ciliwung (belakang).
PROYEK HEMAT ENERGI
Selain mengusung tema refurbishment, RAW Architecture juga memiliki proyek yang bertujuan untuk menghemat energi. Proyek tersebut adalah Sekolah Alfa Omega. Sekolah Alfa-Omega adalah bangunan edukasional dengan jiwa lokalitas. Terletak di kota Tangerang pada lahan seluas 11.700 meter persegi pada tanah rawa-rawa dan sawah, sekolah ini dirancang untuk merespon persoalan tanah yang tidak stabil dengan menaikkan struktur hingga 2,1 meter diatas permukaan tanah. Sekolah ini juga dirancang merespon keadaan natural di site, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan anak-anak pada alam yang dapat memicu pengalaman pembelajaran di luar ruangan. Bangunan ini mengintegrasikan 4 bangunan modular dan memiliki akses yang efisien dengan satu halaman utama di tengah karena terbatasnya zonasi lahan yang dapat dibangun. Sekolah ini dirancang menggunakan penghawaan pasif, yang bergantung pada ventilasi udara silang dan konstruksinya. Langit-langit tinggi yang terbuka dirancang sebagai jalur udara, diikuti oleh dinding solid-void yang berpori pada setiap sisi kelas. Dengan ini, sirkulasi udara di dalam ruangan dapat berjalan secara optimal tanpa penggunaan penghawaan buatan.
UPAYA MENGHEMAT ENERGI
Arsitek ini memaparkan bahwa ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membangun sebuah proyek hemat energi, yaitu dengan melakukan tujuh langkah metodologi desain. Tujuh langkah tersebut berupa respon terhadap tapak dan iklim agar desain dapat selaras dengan alam, olah massa dan bentuk, desain selubung bangunan untuk mengolah fasad bangunan, desain susunan ruang dalam, integrasi sistem terhadap lingkungan, optimalisasi energi dan air, serta pemilihan material. Pemilihan material penting dilakukan untuk mengurangi jejak karbon. Realrich menyatakan bahwa material yang baik adalah material bekas yang tahan cuaca dan material natural yang bisa mereduksi carbon footprint seperti kayu, bambu maupun adaptasi pencampuran dengan material lain yang digabungkan dengan kemajuan teknologi bangunan. Ia juga mengatakan bahwa proyek yang memiliki kombinasi material fiber (bambu dan kayu) dan industri (besi, kaca, beton, metal, plastik, gypsum) akan menunjukkan adaptasi yang total mengenai bagaimana sikap kritis muncul di dalam arsitektur yang hemat energi. Hal ini ditandai dengan munculnya teknik - teknik akibat naiknya skala bangunan (besar dan jumlah lantai) dengan menggunakan adaptasi material hidup (fiber natural) dan mati (industri). Indonesia memiliki material lokal yang dapat digabungkan dengan adaptasi terhadap elemen industri. Praktek ini dapat dilihat dengan kemunculan teknik penggunaan lem untuk merekatkan bambu dengan bambu, teknik pembuatan screed menggunakan bubuk kayu untuk memperingan konstruksi, serta teknik penggunaan polimer untuk lapisan pelindung material fiber (bambu atau kayu) dari cahaya matahari dan curah hujan. Material-material ini digunakan RAW Architecture dalam proyek Alfa Omega, Piyandeling, serta Sacred Project. Bangunan-bangunan yang hemat energi ini dapat berpengaruh banyak bagi lingkungan sekitar. Ia berpendapat bahwa desain berkualitas tinggi adalah yang mampu menghasilkan kualitas ruang yang efisien dan efektif meskipun bahan-bahan dihemat secara ekstrim. Realrich merujuk Laurie Baker di India yang berusaha untuk mengadakan rumah murah, maupun karya-karya Romo Mangun yang berdasarkan misi sosial. Ia juga memaparkan bahwa ada beberapa pengaruh positif yang dihasilkan dari bangunan hemat energi.
PENTINGNYA HEMAT ENERGI
Satu di antara pengaruh positif hemat energi adalah munculnya proyek memiliki iterasi panjang dari konsep hingga terbangunnya karya sehingga karya tersebut terus berubah dengan adanya pencarian yang optimal. Bangunan karya RAW Architect yang menerapkan iterasi ini adalah Setian House, Henry Kusuma House, The Guild, dan Rumah Wing Ira. Melalui metodologi desain komprehensif dari proses pengenalan klien dan jati diri arsitek hingga proses implementasi, kedua proses tersebut bisa berjalan dua arah sehingga solusi desain menjadi semakin optimal dari segi kualitas konsep dan kualitas detail dalam waktu yang optimal. Hal ini mengakibatkan kestabilan dari segi ekonomi dan berkelanjutan bagi ekosistem desain dan ekosistem implementasi menghadapi revolusi industri 4.0. Aspek hemat energi sangat penting dalam membangun suatu bangunan. Hal ini pun disetujui oleh Realrich bahwa kita seharusnya sudah memikirkan arsitektur berkelanjutan sebagai definisi baru post modernism, sehingga ada narasi yang lain tentang arsitektur melalui bingkai lingkungan, bukan hanya bentuk dan style tertentu yang eksklusif terlihat dari luar namun tidak menggambarkan kedalaman pendekatan desain.
HARAPAN UNTUK GENERASI MUDA
Realrich berharap bahwa di masa depan, Anak - anak muda memiliki kepekaan akan etika, estetika, dan kemampuan untuk merunut etimologi, yang mana ketiganya adalah gambaran besar tentang, kebaikan, keindahan dan kejujuran. Buku ‘Craftgram’ karangannya dengan Jo Adiyanto membahas sikap ini kedalam sebuah harapan anak - anak muda untuk melalui 3 tingkatan hierarki jenjang menjadi ahli yaitu: Apprentice (kenek), Journeymen (tukang) dan Master (pemimpin) dengan tiga ‘ruang kerja’/sarang yang: strong production, strong service dan strong idea. Ruang-ruang kerja ini terdiri dari ruang apprentice sebagai ruang ‘belajar’ akan segala hal, ruang journeymen sebagai ruang ‘kelangsungan hidup’, serta ruang mastery sebagai ruang ‘produksi ide kehidupan’. Ketiga ruangan ini saling mengisi sebagai lingkaran kehidupan, mengingat ruang apprentice tidak dapat bekerja secara maksimal tanpa ide segar dari ruang mastery.