3 minute read

RENOVASI RESTORASI TANPA MENGHILANGKAN NILAI HISTORI

Text by Sekar Wangi Dwikarini Photos by Chandra Aditiya

“Seandainya Yogyakarta adalah sebuah rumah tinggal, Malioboro adalah ruang tamunya.” - Augustinus Madyana Putra

Advertisement

Ungkapan tersebut rasanya begitu tepat untuk menggambarkan Malioboro yang telah menjadi jantung kota Yogyakarta. Menjadi salah satu pusat wisata di kota Yogyakarta, Malioboro seperti tidak pernah tidur. Dari siang hingga larut malam selalu saja ramai pengunjung, baik itu wisatawan lokal maupun mancanegara. Berbagai macam hiburan ditawarkan di sana, mulai dari toko-toko yang berjejer di sepanjang jalan sampai jajanan lokal yang beraneka-ragam, bahkan hingga pertunjukkan musik yang dapat ditemui pada malam hari.

Berbicara tentang Malioboro tentu kita tidak bisa lepas dari sejarah yang terdapat di dalamnya. Malioboro bukan hanya sekedar kawasan wisata melainkan sebuah zona budaya dengan ribuan sejarah dan filosofi yang telah berjalan selama ratusan tahun. Telah ada sejak abad ke-17, Malioboro menjadi sebuah koridor untuk menuju ke Keraton Yogyakarta. Terdapat empat jalan yang menghubungkan Tugu dengan Keraton, yaitu Jalan Margoutomo, Jalan Malioboro, Jalan Margamulyo, serta Jalan Pangurakan. Disepanjang jalan tersebut berjejer bangunan-bangunan yang menjadi saksi bisu sejarah perjalanan Malioboro hingga hari ini.

Bangunan-bangunan di sepanjang kawasan Malioboro merupakan bangunan peninggalan sejak tahun 1755. Sejak awal, Malioboro memang sudah menjadi kawasan perdagangan sehingga bangunan pertokoan yang ada saat ini merupakan peninggalan sejak awal Malioboro berdiri. Menurut Augustinus Madyana Putra, seorang arsitek yang kerap berkiprah dalam berbagai proyek renovasi di kawasan Malioboro, dahulu toko-toko tersebut berbentuk seperti bangunan khas Pecinan. Tetapi pada tahun 1890 saat Yogyakarta melakukan perluasan pembangunan sarana dan prasarananya, kawasan Malioboro menjadi salah satu kawasan yang mengalami perubahan. Akibat dari pembangunan yang terjadi itu malah menghilangkan wajah asli bangunan di Malioboro. Sampai akhirnya pada tahun 1925, wajah bangunan-bangunan berganti menjadi bergaya arsitektur Art Deco. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak lantas mengubah keseluruhan bangunan, bubungan khas Pecinan untungnya masih tetap dipertahankan. Dengan mempertahankan salah satu elemen tersebut membuat bangunan pertokoan di Malibooro tidak kehilangan identitas awalnya.

Image by jogjainside.comSeiring dengan berjalannya waktu, bangunan pertokoan yang menjadi ikon dan identitas Malioboro itupun kian menghilang. Entah itu melalui renovasi yang dilakukan oleh pemilik sehingga menghilangkan wajah asli bangunan, maupun aspek-aspek lain seperti terjadinya kebakaran yang memakan habis seluruh bangunan. Namun beberapa tahun belakangan ini kesadaran pemerintah Yogyakarta, pemilik bangunan, dan masyarakat akan nilai historis Malioboro dan bangunan-bangunan di dalamnya mulai bertambah. Pembangunan dan renovasi di kawasan Malioboro dan bangunan-bangunan di dalamnya

kini mulai gencar dilakukan, mulai dari pembangunan area pejalan kaki sampai dengan renovasi pertokoan di sepanjang Jalan Malioboro.

Toko Cherry di Jalan Malioboro dan Toko Dynasty di Jalan AM Sangaji adalah dua dari sekian proyek yang ditangani oleh Agus. Pada kedua toko ini dilakukan renovasi pada wajah bangunan dengan tetap mempertahankan bagian dalam bangunan. Renovasi ini dilakukan untuk mengembalikan wajah toko-toko tersebut ke wajah aslinya.

Bukan hanya renovasi wajah bangunan saja, Agus juga seringkali mendapat proyek yang mengharuskannya untuk merenovasi keseluruhan bangunan. Renovasi ini dilakukan jika bangunan sudah mengalami kerusakan yang parah dan tidak bisa tertolong. Starbucks dan Dynasty Malioboro adalah beberapa contoh kasusnya. Bangunan Starbucks mengalami keruntuhan sehingga mengharuskan pembangunan ulang dari awal, sedangkan bangunan Dynasty mengalami kebakaran yang memakan habis hampir seluruh bangunan. Pembangunan ulang yang dilakukanpun bukan berarti mengembalikan bentuk bangunan menjadi sama persis seperti dahulu, tetapi mengembalikan identitas bangunan dengan perbaharuan yang mengikuti zaman.

Mengembalikan identitas awal adalah hal penting dalam melakukan renovasi khususnya pada bangunan yang memiliki nilai sejarah. Dalam wawancaranya, Agus bercerita bahwa tugas seorang arsitek tidaklah sama dengan seorang arkeolog yang mempertahankan keaslian suatu benda sepenuhnya seperti bagaimana bentuk asli benda tersebut, tetapi sebagai seorang arsitek mempertahankan identitas yang ada dalam suatu benda. Dalam mempertahankan identitas sebuah bangunan, seorang arsitek harus memiliki banyak vocabulary mengenai gaya bangunan. Selain itu pengumpulan data-data lama mengenai bangunan dan lingkungan yang akan direnovasi penting untuk dilakukan.

Pengalihan fungsi seperti kasus pada Toko Dynasty dapat dilakukan. Jikalau fungsi bangunan sudah tidak sesuai dengan bangunan itu sendiri dan lingkungan di sekitarnya dan memiliki potensi lain,maka pendefinisian ulang bangunan perlu untuk dilakukan. Pengalihan fungsi itu tidak kemudian mengubah identitas awal dari bangunan tersebut. Lebih lanjut Agus menambahkan, identitas suatu bangunan tidak selalu bergantung pada kesamaan bentuk, wajah, maupun tipologinya. Yang terpenting bukanlah bangunan sebagai bangunan, tetapi bangunan sebagai sebuah pesan

This article is from: