JEJAK ARSITEKTUR
RENOVASI RESTORASI TANPA MENGHILANGKAN NILAI HISTORI Text by Sekar Wangi Dwikarini Photos by Chandra Aditiya
“Seandainya Yogyakarta adalah sebuah rumah tinggal, Malioboro adalah ruang tamunya.” Augustinus Madyana Putra Ungkapan tersebut rasanya begitu tepat untuk menggambarkan Malioboro yang telah menjadi jantung kota Yogyakarta. Menjadi salah satu pusat wisata di kota Yogyakarta, Malioboro seperti tidak pernah tidur. Dari siang hingga larut malam selalu saja ramai pengunjung, baik itu wisatawan lokal maupun mancanegara. Berbagai macam hiburan ditawarkan di sana, mulai dari toko-toko yang berjejer di sepanjang jalan sampai jajanan lokal yang beraneka-ragam, bahkan hingga pertunjukkan musik yang dapat ditemui pada malam hari. Berbicara tentang Malioboro tentu kita tidak bisa lepas dari sejarah yang terdapat di dalamnya. Malioboro bukan hanya sekedar kawasan wisata melainkan sebuah zona budaya dengan ribuan sejarah dan filosofi yang telah berjalan selama ratusan tahun. Telah ada sejak abad ke-17, Malioboro menjadi sebuah koridor untuk menuju ke Keraton Yogyakarta. Terdapat empat jalan yang menghubungkan Tugu dengan Keraton, yaitu Jalan Margoutomo, Jalan Malioboro, Jalan Margamulyo, serta Jalan Pangurakan. Disepanjang jalan tersebut berjejer bangunan-bangunan yang menjadi saksi bisu sejarah perjalanan Malioboro hingga hari ini. 70 ARÇAKA #12 [ MARET 2020 ]
Bangunan-bangunan di sepanjang kawasan Malioboro merupakan bangunan peninggalan sejak tahun 1755. Sejak awal, Malioboro memang sudah menjadi kawasan perdagangan sehingga bangunan pertokoan yang ada saat ini merupakan peninggalan sejak awal Malioboro berdiri. Menurut Augustinus Madyana Putra, seorang arsitek yang kerap berkiprah dalam berbagai proyek renovasi di kawasan Malioboro, dahulu toko-toko tersebut berbentuk seperti bangunan khas Pecinan. Tetapi pada tahun 1890 saat Yogyakarta melakukan perluasan pembangunan sarana dan prasarananya, kawasan Malioboro menjadi salah satu kawasan yang mengalami perubahan. Akibat dari pembangunan yang terjadi itu malah menghilangkan wajah asli bangunan di Malioboro. Sampai akhirnya pada tahun 1925, wajah bangunan-bangunan berganti menjadi bergaya arsitektur Art Deco. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak lantas mengubah keseluruhan bangunan, bubungan khas Pecinan untungnya masih tetap dipertahankan. Dengan mempertahankan salah satu elemen tersebut membuat bangunan pertokoan di Malibooro tidak kehilangan identitas awalnya.
ARÇAKA #12 [ MARET 2020 ]
71