5 minute read
Solusi Hunian di Tengah Kepadatan Urban
by ARÇAKA
Oleh: Rosalin Citra Utami Kapa dan Skolastika Gadis Tabita T | Text by Rosalin Citra Utami Kapa & Skolastika Gadis Tabita | Photos by Petra Gian
Kepadatan pembangunan seolah tengah menjadi momok tersendiri bagi arsitektur modern. Tingginya kebutuhan akan hunian tidak diiringi dengan ketersediaan lahan yang mumpuni untuk dibangun. Situasi inilah yang kemudian perlu mendapat sebuah upaya penyelesaian dari para penggiat arsitektur, karena meskipun lahan yang tersedia untuk dapat dibangun semakin sedikit, tetapi manusia pada dasarnya tetap akan membutuhkan tempat tinggal yang merupakan kebutuhan pokok selain makanan dan pakaian. Salah satu upaya penyelesaian masalah hunian ini datang dari Studio Akanoma, sebuah biro arsitektur yang terletak di Padalarang, Jawa Barat.
Advertisement
Yu Sing, selaku pendiri Studio Akanoma berpendapat bahwa efisiensi energi dapat dilihat dari perkembangan kota itu sendiri. Seiring berjalannya waktu, kota akan terus berkembang, begitu pula pada manusia. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa kedepannya kota-kota yang ada akan semakin padat. Kepadatan inilah yang kemudian akan berpotensi menimbulkan masalah di masa depan, seperti urban sprawl.
Urban sprawl merupakan pertumbuhan kota yang mulai bergerak ke desa sehingga fungsi kota yang awalnya lebih difokuskan sebagai pusat industri dan hunian menjadi tidak efisien. Hal ini yang kemudian memaksa desa memiliki fungsi penyangga bagi kota. Secara tidak disadari, pergeseran fungsi ini akan menimbulkan masalah lainnya yaitu pangan, yang pada akhirnya akan merembet ke masalah-masalah lainnya.
Dalam penuturannya mengenai urban sprawl, Yu Sing membandingkan perkembangan pembangunan di Indonesia dan negara tetangga, Singapura. Menurutnya, kendala yang dihadapi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh pengelolaan lahan yang tidak sesuai. Ia menambahkan, dalam perhitungan kepadatan permukiman, Indonesia sebaiknya tidak hanya memperhatikan KDB (Koefisien Dasar Bangunan), melainkan juga memperhatikan luasan bangunan terbangun. Kepadatan di Indonesia pada praktiknya lebih sering dihitung dengan kepadatan horizontalnya dan tak jarang mengabaikan kepadatan vertikal bangunan itu sendiri.
Ketidaksesuaian ini menimbulkan kepadatan permukiman di kota-kota besar di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, perumahan vertikal menjadi salah satu solusi di tengah kepadatan permukiman yang ada. Sayangnya, pengelolaan perumahan-perumahan vertikal ini tidak dijalankan sebaik di Singapura yang beberapa kali mendapatkan predikat negara hijau. Hal ini menegaskan di tengah galaknya pembangunan yang ada di Singapura, Singapura tetap sadar akan kebutuhan RTH (Ruang Terbuka Hijau) di negaranya. Ironisnya, hal ini justru berbanding terbalik dengan di Indonesia, di mana pembangunan yang seringkali tidak diimbangi dengan Ruang Terbuka Hijau. Apabila dilihat dari angka, Singapura memiliki Green View Index 29.3% dengan kepadatan populasinya 7.797/km2 berdasarkan hasil Treepedia hasil dari Lab Senseable milik Massachusetts Institute Technology serta bekerja sama dengan WEF (World Economic Forum) tertinggi di dunia. Hal ini justru berbeda dengan kota[1]kota besar di Indonesia yang kebanyakan memiliki ruang hijau hanya 10% dan dengan tingkat kepadatan yang relatif tinggi.
Sebagai upaya meminimalisasi dampak buruk dari kepadatan permukiman yang ada, Studio Akanoma berusaha membuat desain hunian hemat yang tidak memakan banyak tempat, namun bisa tetap memenuhi kebutuhan hunian manusia. Ide hunian hemat tersebut kemudian dihadirkan dalam wujud Rumah Mikro. Rumah Mikro diharapkan tidak hanya menjadi solusi permasalahan di tengah kepadatan urban, akan tetapi juga menjadi narasi baru bagi masyarakat. Dengan mengusung proyek ini, Studio Akanoma seolah berusaha mengedukasi masyarakat luas bahwa hidup hemat bukanlah hal yang mustahil untuk dijalankan.
Desain Rumah Mikro terinspirasi dari kehidupan padat penduduk di kampung kota, di mana dengan luasan bangunan yang relatif kecil tetapi mampu menampung banyak penghuni. Situasi ini dapat dicapai dengan menggabungkan beberapa ruang menjadi satu ruang yang multifungsi, sehingga dapat meminimalisir kebutuhan ruang yang berlebihan. Berbeda dengan rumah pada umumnya, Rumah Mikro tidak bergantung pada standar ruang konvensional, di mana besaran tiap ruang ditentukan oleh jumlah penghuni yang cenderung memiliki fungsi tunggal. Studio Akanoma menguji gagasannya dengan membuat 2 ukuran mock-up rumah mikro. Rumah pertama berukuran 22 meter persegi sedangkan rumah yang kedua berukuran 2,5 x 3,5 meter. Masing-masing tipe rumah mikro tersebut memiliki desain dua lantai atau tiga lantai. Lantai pertama digunakan sebagai ruang komunal, yang bisa berfungsi sebagai dapur dan ruang santai. Kemudian di lantai dua terdapat beberapa ruang kecil yang difungsikan sebagai kamar tidur.
Material-material dalam Rumah Mikro menggunakan bahan-bahan yang ringan namun kuat, seperti pada struktur utamanya yang menggunakan scaffolding. Meskipun hanya menggunakan scaffolding, kekuatan struktur rumah ini tidak perlu diragukan. Hal ini dibuktikan dengan kapasitas yang dapat ditanggung rumah ini yang mencapai 6-10 orang sekaligus. Selain itu, material-material bekas juga dimanfaatkan secara optimal pada desain bangunan ini. Hal tersebut dapat dilihat pada penggunaan kaca bekas mobil yang kemudian difungsikan sebagai jendela louver sebagai ventilasi pada rumah sekaligus variasi pada fasad rumah. Sekilas kaca mobil tersebut terkesan mewah dan mahal. Namun, Yu Sing menuturkan fakta bahwa kaca bekas mobil kurang diminati dan dijual dengan harga murah, sehingga dapat membantu menekan harga jual rumah tersebut. “Ini kan kaca bekas, siapa yang mau beli?” tutur Yu Sing
Tidak hanya mengusung konsep yang unik, bagian interior dari rumah mikro pun didesain secara menarik. Menyesuaikan ukuran rumah mikro tersebut, perabot yang digunakan dalam rumah ini juga dibuat multifungsi seperti yang dapat ditemui pada bagian tangga yang juga dapat difungsikan sebagai lemari penyimpanan. Beberapa fungsi lain seperti meja dapur yang juga dapat diperbesar ukurannya. Penggunaan perabot multifungsi tersebut dapat membantu meningkatkan fungsi ruang agar lebih maksimal tanpa harusmemakan banyak lahan
.Bagi Yu Sing, kehadiran rumah ini dapat menjadi alternatif rumah untuk keluargakeluarga baru. Rumah yang dulunya dikenal mahal dan mewah kini dapat dibangun dengan mudah dan terjangkau. Bahkan ia menuturkan bahwa semua orang dapat membangun rumah ini, “Nanti kalau sudah punya anak, ngga usah bikin kamar, tapi langsung aja bangun rumah di samping rumah orang tuanya” jelas Yu Sing.
Ia juga menambahkan, di masa depan bisa saja mahasiswa tidak lagi tinggal di rumah indekos tetapi membangun rumah mikronya sendiri. “Kalian nantinya bisa saja cari lahan kosong, terus disewa buat bikin rumah mikro bareng-bareng” tuturnya. Jika dikalkulasi, total biaya rumah mikro dan harga sewa tanah akan jauh lebih terjangkau. Selain itu, banyaknya rumah mikro yang terdapat di lahan yang sama juga akan memudahkan dalam sistem drainasenya di mana satu septic tank bisa digunakan untuk beberapa rumah.