PERSPEKTIF
Solusi Hunian di Tengah Kepadatan Urban Text by Rosalin Citra Utami Kapa &
Oleh: Rosalin Utami Kapa dan Skolastika GadisCitra Tabita Skolastika Gadis Tabita Photos by Petra Gian Kepadatan pembangunan seolah tengah menjadi momok tersendiri bagi arsitektur modern. Tingginya kebutuhan akan hunian tidak diiringi dengan ketersediaan lahan yang mumpuni untuk dibangun. Situasi inilah yang kemudian perlu mendapat sebuah upaya penyelesaian dari para penggiat arsitektur, karena meskipun lahan yang tersedia untuk dapat dibangun semakin sedikit, tetapi manusia pada dasarnya tetap akan membutuhkan tempat tinggal yang merupakan kebutuhan pokok selain makanan dan pakaian. Salah satu upaya penyelesaian masalah hunian ini datang dari Studio Akanoma, sebuah biro arsitektur yang terletak di Padalarang, Jawa Barat. Yu Sing, selaku pendiri Studio Akanoma berpendapat bahwa efisiensi energi dapat dilihat dari perkembangan kota itu sendiri. Seiring berjalannya waktu, kota akan terus berkembang, begitu pula pada manusia. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa kedepannya kota-kota yang ada akan semakin padat. Kepadatan inilah yang kemudian akan berpotensi menimbulkan masalah di masa depan, seperti urban sprawl.
18 ARÇAKA #12 [ MARET 2020 ]
Urban sprawl merupakan pertumbuhan kota yang mulai bergerak ke desa sehingga fungsi kota yang awalnya lebih difokuskan sebagai pusat industri dan hunian menjadi tidak efisien. Hal ini yang kemudian memaksa desa memiliki fungsi penyangga bagi kota. Secara tidak disadari, pergeseran fungsi ini akan menimbulkan masalah lainnya yaitu pangan, yang pada akhirnya akan merembet ke masalah-masalah lainnya. Dalam penuturannya mengenai urban sprawl, Yu Sing membandingkan perkembangan pembangunan di Indonesia dan negara tetangga, Singapura. Menurutnya, kendala yang dihadapi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh pengelolaan lahan yang tidak sesuai. Ia menambahkan, dalam perhitungan kepadatan permukiman, Indonesia sebaiknya tidak hanya memperhatikan KDB (Koefisien Dasar Bangunan), melainkan juga memperhatikan luasan bangunan terbangun. Kepadatan di Indonesia pada praktiknya lebih sering dihitung dengan kepadatan horizontalnya dan tak jarang mengabaikan kepadatan vertikal bangunan itu sendiri.
Ketidaksesuaian ini menimbulkan kepadatan permukiman di kota-kota besar di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, perumahan vertikal menjadi salah satu solusi di tengah kepadatan permukiman yang ada. Sayangnya, pengelolaan perumahan-perumahan vertikal ini tidak dijalankan sebaik di Singapura yang beberapa kali mendapatkan predikat negara hijau. Hal ini menegaskan di tengah galaknyapembangunan yang ada di Singapura, Singapura tetap sadar akan kebutuhan RTH (Ruang Terbuka Hijau) di negaranya. Ironisnya, hal ini justru berbanding terbalik dengan di Indonesia, di mana pembangunan yang seringkali tidak diimbangi dengan Ruang Terbuka Hijau. Apabila dilihat dari angka, Singapura memiliki Green View Index 29.3% dengan kepadatan populasinya 7.797/km2 berdasarkan hasil Treepedia hasil dari Lab Senseable milik Massachusetts Institute Technology serta bekerja sama dengan WEF (World Economic Forum) tertinggi di dunia. Hal ini justru berbeda dengan kotakota besar di Indonesia yang kebanyakan memiliki ruang hijau hanya 10% dan dengan tingkat kepadatan yang relatif tinggi.
ARÇAKA #12 [ MARET 2020 ]
19