3 minute read

Milenial Terancam Tidak Punya Rumah

Teks by Stella Maris Photos by Petra Gian

Tagline tersebut mulai digadang-gadangkan oleh banyak media dewasa ini. Banyak k e k h a w a t i r a n b e r m u n c u l a n a k i b a t pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah. Lantas apa hubungannya dengan kaum milenial yang ditakutkan tidak dapat m e m i l i k i r u m a h ? D e n g a n a d a n y a pertumbuhan penduduk yang terus meningkat tentu berpengaruh dalam berbagai bidang. Manusia akan memiliki kebutuhan yang semakin kompleks demi mengikuti perkembangan jaman. Bangunan-bangunan akan terus berkembang, tidak hanya sebatas untuk tempat bernaung manusia, namun juga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Sayangnya, lahan yang kita pijak ini tidak mampu untuk terus bertambah luas. Oleh karena itu densitas penduduk akan berbanding terbalik dengan jumlah lahan yang tersedia. Dengan situasi yang sedemikian rupa, maka ditakutkan lahan yang tersedia tersebut tidak mampu untuk memenuhi permintaan konsumen.

Advertisement

Banyak lahan menjadi sasaran untuk didirikan suatu bangunan dalam upaya pengembangan dari berbagai sektor. Berbagai macam kebutuhan tersebut sayangnya malah seolah menekan manusia untuk tetap membangun-bagaimanapun caranya tanpa melihat permasalahan yang akan hadir kedepannya. Manusia masih terkurung

sebuah paradigma: bila hendak melakukan pembangunan maka ia harus menyediakan lahan kosong, kemudian mendirikan bangunan di atasnya. Sedangkan di kota-kota besar dengan densitas penduduk yang sudah tinggi, makin sempitnya lahan dan jarang ditemuinya ruang terbuka hijau mulai menjadi polemik yang cukup sering dibicarakan sebagai tantangan bagi para arsitek kedepannya. Kita tidak bisa melulu mencari lahan kosong dan mengolah menjadi sebuah bangunan hanya untuk memenuhi kebutuhan s e n d i r i . P a r a a r s i t e k h a r u s m a m p u mengoptimalkan pembangunan tanpa memberi dampak yang semakin buruk kepada lingkungan dengan mengurangi lahan. Ada berbagai macam cara untuk menjawab tantangan tersebut, salah satunya adalah dengan Refurbishment.

Refurbishment memang menjadi salah satu alternatif bagi para arsitek dalam mengupayakan penghematan lahan. Seorang arsitek yang melaksanakan proyek Refurbishment tidak perlu lagi mencari lahan baru untuk melaksanakan pembangunan. Meski menjadi solusi, Refurbishment juga menjadi tantangan yang cukup kompleks bagi arsitek kedepannya. Seorang arsitek ditantang untuk tetap mempertahankan struktur asli, tradisi, dan sejarah bangunan itu s e n d i r i . S e m e n t a r a d i s a a t y a n g bersamaan, seorang arsitek juga harus bereksperimen untuk memperbarui struktur dan material agar sesuai dengan teknologi dan standar yang berkembang saat ini.

De Majestic adalah salah satu contoh nyata telah berhasilnya pelaksanaan refurbishment di Indonesia. Gedung yang

bergaya art deco tersebut dulunya adalah sebuah bioskop yang terletak di Jalan Braga, Bandung. Gedung tersebut didirikan pada tahun 1925 oleh arsitek Prof. Ir. Wolf Schoemaker, guru besar T e c h n i s c h e H o o g e s c h o o l t e Bandoeng(sekarang ITB). Gedung yang berkapasitas 300 orang tersebut merupakan salah satu karya Schoemaker dari aliran Indo Europeescheen Architectuur Stijil. Gedung ini dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap “jajahan” aliran Internasionalisme yang dinilai Schoemaker sebagai tidak efisien dan terlalu borosnya ornamen.

Sebelum berubah nama menjadi De Majestic, gedung ini awalnya bernama Bioscoop Concordia. Bioscoop Concordia inilah yang menjadi saksi pemutaran film pertama Indonesia, “Loetoeng Kasarung”. Pemutaran

perdana tersebut dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 1926. Gedung yang juga sempat berganti nama menjadi Oriental Bioskop tersebut sempat terbengakalai hingga kemudian pada tahun 2002 dialihfungsikan sebagai gedung serbaguna. Kemudian pada tahun 2010 gedung ini mulai direvitalisasi oleh kerjasama antara pengelola gedung dengan PT. Centra Aksara Komunikasi dan berubah nama kembali, menjadi New Majestic.

Revitaslisasi tersebut sebagai upaya p e m e r i n t a h p r o v i n s i u n t u k mengoptimalkan gedung. Stuktur asli gedung ini tidak berubah, hanya terdapat penambahan balkon bagian dalam yang dilakukan pada 2015 silam, dan ditambahkannya beberapa sekat di beberapa ruang, seperti toilet, dan lorong untuk sisi samping kanan-kirinya. Kemudian ornamen juga sedikit ditambahkan agar New Majestic tidak terlalu tampak lawas untuk dinikmati di jaman sekarang. Lalu demi tetap menjaga historis gedung bioskop 1920-an ini, proyektor yang digunakan pada masa itu dipajang pada pintu masuk gedung.

Kini gedung New Majestic kembali melaunching nama baru, De Majestic, dan dikelola oleh instistitusi milik Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, yaitu PT. Jaswita Jabar. Kewajiban utama gedung De Majestic adalah sebagai layanan edukasi dan publikasi karya seni budaya. Dan untuk langkah kedepannya dalam rangka menjaga kejayaan gedung bersejarah ini, PT. Jaswita Jabar sedang melakukan perencanaan agar gedung tersebut dapat memutarkan film-film sejarah Indonesia secara berkala untuk menarik minat masyarakat.

This article is from: