4 minute read

KPK Mendalangi Aksi Demo Mahasiswa, Fakta atau Hoaks?

Muhammad Salim Anhar

Demonstrasi adalah salah satu bentuk perlawanan dari mahasiswa atas ketidaksesuaian kinerja pemerintah dalam mengatur negara. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada 24 September 2019, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh seluruh mahasiswa di Indonesia. Mahasiswa dari Sabang sampai Merauke turut menyuarakan pendapat mereka atas “Revisi Bobrok” yang ingin dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu silam. Aksi demonstrasi ini diduga terorganisir atas perintah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditandai oleh video yang sempat viral di media sosial.

Advertisement

Dalam video tersebut, ditunjukan seorang pria berkepala plontos yang tengah berbicara di depan gabungan mahasiswa-mahasiswa dari beberapa kampus di wilayah Jabodetabek. Akun twitter bernama @faisalassegaf yang turut mengunggah video tersebut, menuliskan “oh ternyata oknum KPK & LSM berkedok anti korupsi jadi dalang penggerak demo anarkis mahasiswa. Makin terungkap KPK telah jadi sarang gerakan politik radikalis untuk menipu rakyat. Memalukan! Dan parahnya juga, ada Juru Bicara KPK dalam video tersebut.” Seiring beredarnya berita terkait video tersebut, hal ini pun kemudian menarik perhatian sejumlah media untuk menulusuri kebenaran akan apa yang terjadi. Apakah video tersebut sesuai dengan yang ditulis dalam takarir?

Berdasarkan penulusuran penulis di sejumlah artikel terkait, mereka menuliskan bahwa hal tersebut tidak sesuai antara video dengan takarir yang ditulis. Melansir dari situs kompas.com, mereka menuliskan bahwasannya berita tersebut setelah diklarifikasi lebih dalam merupakan berita palsu. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan video tersebut diambil pada 11-12 September 2019 lalu saat KPK menerima audiensi dari sejumlah tokoh terkait gerakan antikorupsi, termasuk mahasiswa.

“Informasi yang benar adalah pada tanggal 11-12 September 2019 KPK menerima audiensi sejumlah perwakilan masyarakat antikorupsi seperti GAK dan akademisi yang concern dengan isu antikorupsi, serta perwakilan Pimpinan Badan Eksekutif Mahasiswa,” kata Febri, dikutip dari Kompas.com, Rabu (25/9/2019). Pada artikel yang dirilis oleh

Tempo.co, juga mengatakan bahwa video tersebut adalah hoaks. Pemeriksaan fakta oleh Tempo.co ialah sebagai berikut:

Komisaris KPK, Alexandar Marwata, membantah tudingan atas video yang beredar. “Kejadiannya tidak seperti itu,” kata Alexander Marwata pada 25 September 2019 di Solo.

Alexandar mengakui menerima audiensi perwakilan mahasiswa dari beberapa kampus di gedung KPK. “Untuk menyampaikan aspirasi dan dukungan,” tegasny. KPK menerima kedatangan mahasiswa tersebut di Ruang Konfrensi Pers yang ada di KPK. Salah satu yang menerima mahasiswa tersebut adalah Juru Bicara KPK, Febri Diansyah. “Dia kan memang bagian humas,” ucap Alexander.

Febri mengatakan bahwa para mahasiswa itu datang pada 11-12 September 2019 ke KPK dalam rangka membahas isu antikorupsi. Ia pun mengajak semua pihak untuk menghargai niat tulus dari para mahasiswa dan masyarakat yang menyuarakan pendapatnya itu. “Jangan sampai mahasiswa dituduh digerakkan oleh pihak-pihak tertentu,” kata Febri.

Dari beberapa artikel yang penulis baca, semua pun mengatakan hal yang demikian terkait klarifikasi video tersebut, seperti Liputan6.com, Suara.com, Detik.com, dan lain sebagainya. Jadi berdasarkan seluruh data yang penulis cari dalam dunia maya, penulis berusaha menyimpulkan bahwasannya video tersebut tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam unggahan salah satu akun sosial media yang telah dijelaskan sebelumnya.

Literasi digital salah satunya adalah berbentuk tulisan, baik itu berita, informasi, bacaan, dan segala macam lainnya yang dikemas di dalam media digital. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi atau disingkat Iptek ini, menjadikan informasi sangat mudah untuk diketahui dalam tempo yang sangat singkat pada era digital sekarang.

Namun, dalam perkembangannya, kemudahan yang ditawarkan selalu memiliki dua sisi, baik dan buruk. Baiknya adalah kita dapat mencari data sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sempit, mempermudah komunikasi jarak jauh, dan dapat memungkinkan untuk memperoleh inovasi-inovasi pembelajaran. Kurang baiknya adalah kita terlalu banyak menemukan informasi, bahkan yang tidak kita butuhkan sekalipun tersimpan sehingga susah untuk mengingat informasi yang penting karena kapasitas otak kita. Lalu dalam aspek komunikasinya, perkembangan ini “menjauhkan yang dekat” sehingga lupa akan lingkungan sekitar. Selain itu, kemudahan ini memungkin menjamurnya informasi hoaks yang menjadi musuh bagi kita semua.

Perkembangan hoaks ini menjadi penyakit di dunia literasi digital saat ini, banyak orang yang masih belum bisa membedakan antara berita benar dengan berita salah, sehingga mereka gampang terjerat atau “termakan” berita palsu tersebut. Penulis melakukan riset terhadap dua mahasiswa yang sekiranya terlihat aktif dalam dunia maya terkait

dis-informasi yang penulis dapat pada saat Pra-FIGUR, sebuah tahapan Sosialisasi Almamater (pengaderan) di Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik). Penulis menanyakan beberapa pertanyaan kritis, seperti pendapat mereka tentang disinformasi tersebut, alasan dari pendapat mereka, dampak yang ditimbulkan dari berita seperti ini terhadap mereka, dan juga responsi ketika mereka mendapat dis-informasi ini.

Hasil wawancara tersebut seperti yang diharapkan penulis, sebagai mahasiswa kita harus kritis dan skeptis terhadap hal-hal yang belum pasti kebenarannya. Jawaban mereka walau baru pertama kali mendengar informasi tersebut, mereka tidak langsung menyimpulkan apakah ini benar atau tidak. Mereka mencari tahu terlebih dahulu dari beberapa artikel terkait dan kemudian mencoba menyimpulkannya. Alasan mereka pun bagi saya cukup logis. “Saya belum percaya kalau belum dicari” katanya. Pun dari mereka ada yang bilang bahwasannya dampak yang ditimbulkan dari dis-informasi tersebut bagi beberapa kalangan ada yang menanggapinya positif ada pula yang negatif. Maksud positif disini adalah membangkitkan rasa skeptis atau ragu, sehingga mencari kebenarannya dan malah menambah luas wawasannya.

Sebagai penutup, sekiranya riset ini menjadikan kita sebagai mahasiswa yang bertanggung jawab atas informasi yang ingin disebar, dipikirkan betul dampak yang ditimbulkan ketika menyebarkan informasi, baik buruknya, sehingga tidak menjadikan hal seperti: “saya hanya men-sharenya saja, saya membantu informasi itu beredar, kalau salah, salahin yang sebar pertama dong” sebagai alasan untuk membentengi diri dari kesalahan yang memang jelas salahnya.

This article is from: