7 minute read

Menangkap Embun di Kampung Pitu

Menjaring embun, menjaring wisatawan - Direktorat PPK

Menjaring Embun di Kampung Pitu

Advertisement

Penangkap Embun 1 Syefri Luwis

Ademe Gunung Merapi purba Melu krungu suaramu ngomongke apa Ademe Gunung Merapi purba Sing nang Nglanggeran Wonosari Yogyakarta

Sepenggal lirik lagu Banyu Langit karya Didi Kempot sengaja kami senandungkan sepanjang perjalanan menuju Kampung Pitu di Desa Nglanggeran, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak jauh dari Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba. Jika hendak ke Kampung Pitu, Gunung Api Purba bisa menjadi patokan. Gunung yang pernah aktif sekitar 20 – 60 juta tahun silam tersebut berbentuk bongkahan batu andesit raksasa, membentang sekitar 800 meter dengan ketinggian 300 meter.

Kami menyanyi mengikuti lagu di ponsel, sambil mencari sinyal yang tibatiba menghilang dan sesaat kemudian muncul lagi. Jika tidak berkomunikasi terus dengan Pak Aan, tokoh masyarakat Kampung Pitu, entah berapa kali lagi kami tersesat, setelah melewati jalanjalan sempit yang tidak rata, terus naik hingga ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut.

Akhirnya sampai juga, setelah Pak Aan menjemput kami di persimpangan jalan di dusun tetangga. Kampung Pitu merupakan satu wilayah RT, yakni RT 19 Desa Nglanggeran, yang memang hanya berisi tujuh kepala keluarga (KK). Jika hadir keluarga baru melalui pernikahan serta mendaftarkan KK baru, KK orang tuanya kemudian dicabut dan ikut anaknya sebagai kepala keluarga, termasuk juga adik-adik yang belum menikah. Banyak juga warga Kampung Pitu yang setelah menikah kemudian pindah, pergi dari kampung.

“Ada juga yang kemudian meninggal, lalu KK diganti atas nama anaknya. Pokoknya, secara alami terjadi begitu saja, selalu hanya tujuh KK di kampung ini, dengan jumlah warga 30-40 orang,” terang Aan.

Penangkap Embun 2 Syefri Luwis

Mengabadikan penjaring embun - Direktorat PPK

Juru kunci Telaga Guyangan Kampung Pitu, Yatnorejo (75) menuturkan sekelumit sejarah Kampung Pitu, khususnya terkait pohon kinah gadhung wulung yang dianggap keramat karena guguran daunnya tidak pernah terlihat warga namun “terbang” hingga ke wilayah Kraton Yogyakarta. Pohon itu dulu berjumlah lima, dan oleh warga dinamai sesuai hari pasaran Jawa yakni pon, wage, kliwon, legi, dan pahing. Mbah Yatno mengutip kisah yang disampaikan sesepuh kampung, almarhum Mbah Redjodimuljo. Kini, kinah gadhung wulung sudah tidak ada lagi, hilang begitu saja hingga ke akarnya, tanpa ada warga yang mengetahuinya.

Mbah Yatno dan Aan juga menceritakan silsilah Iro Dikromo yang diyakini sebagai orang yang “membabat desa” atau yang pertama kali datang ke kampung dan menjadi cikal bakal keberadaan Kampung Pitu. Pendek kata, sejak zaman Iro Dikromo hingga ke generasi berikutnya, jumlah KK di Kampung Pitu memang hanya tujuh saja, sesuai dengan empu pitu yang merupakan simbol dari pitung pusering jagad (tujuh pusarnya jagat).

Ekonomi Sulit

Seorang warga Kampung Pitu menceritakan suasana pada tahun 1978, ketika pertama kali ia datang, seperti dikutip dalam buku Komunitas Kampung Pitu Gunung Kidul karya Bambang H Suta Purwana, Theresiana Ani Larasati, dan Ambar Adrianto (BNPB DIY, 2019). Waktu itu namanya masih Telaga Guyangan Dusun Nglanggeran Wetan, karena Kampung Pitu baru “resmi” dipakai pada 2015 setelah memenangi lomba komunitas adat di Semarang.

“Kula mlebet mriki kawontenan ekonomi susah, sulit, jalan setapak. Penghasilan utama dados petani telo, gogo, jagung, kalih jambu klutuk. Masalahe panenan angel disade mergine namun dalan setapak, disade ting pasar kaling nyunggi, mulai jam 01.00 dugi Piyungan byar padang. Kalih welas jambu angsal limang gelo. Sade kajeng, sade areng, sedoyo disunggi. Nek nedine tiwul, nempur beras. Mriki nembe mulai Makmur rikala mlebet listrik, nggantol 700 meter, tahun 1997. Tahun 2001 mobil nembe saged mlebet”.

(Saya masuk ke sini saat keadaan ekonomi susah, sulit, jalan cuma setapak. Penghasilan utama menjadi petani ketela, padi gogo, jagung, dan jambu

biji. Masalahnya, hasil panen sulit dijual, karena hanya melalui jalan setapak. Dijual ke pasar dengan cara dipanggul di atas kepala. Berangkat dari jam 01.00 dini hari sampai di pasar Piyungan sudah terang-benderang. 12 jambu biji dijual lima rupiah. Kami juga menjual kayu, arang, semuanya dipanggul (sampai ke pasar). Kalau makanan sehari-hari tiwul atau mengecer beras. Di sini baru mulai makmur ketika listrik masuk tahun 1997, (itu pun) nyantol (kabel) sejauh 700 meter. Tahun 2001 barulah mobil bisa masuk”.

Betapa tidak mudahnya hidup di daerah terpencil di republik ini, luar biasa timpang dibandingkan kota-kota besar. Tahun 1997, ketika rezim Orba sudah berkuasa selama 30-an tahun, pembangunan ternyata jauh dari merata, listrik masih sulit didapat. Jangankan di Indonesia bagian Timur, di Yogyakarta saja masih susah mendapat fasilitas negara.

Swasembada

Jika tidak memutar otak sediri, berswasembada, bagaimana warga Kampung Pitu bisa bertahan hidup? Desa Nglanggeran secara umum makin tergolong maju, terutama karena wisata Gunung Api Purba. Namun Kampung Pitu, satu bagian kecil (satu RT saja) dari desa, tidak semaju itu.

Hingga sepuluh tahun lalu (merujuk Djoko Purwanggono, 2011), 70 persen penduduk Desa Nglanggran masih memiliki usaha pembuatan arang kayu. Kayunya diambil dari hutan rakyat, yang merupakan bagian dari proyek reboisasi tahun 1962 untuk menanggulangi erosi.

Salah satu rumah Penduduk Kampung Pitu Syefri Luwis Foto : Rumah tertua dan Kosong di Kampung Pitu, setelah penghuninya meninggal dunia (Syefri Luwis)

Foto : Pendopo Kampung Pitu (Syefri Luwis)

Terdapat jenis vegetasi jambu monyet (Anacardium accidentale) dan melanding (Acacia glauca) di sana.

Pada tahun 1965—1967 pemerintah memberikan bibit tanaman akasia (Acacia auriculiformis). Warga juga menanam secara swadaya pohon sono (Dalbergia latifoila), pohon jati (Tectona grandis), dan mahoni (Swietenia mahogany) yang masa pertumbuhannya relatif lama.

Mbah Yatno Rejo Syefri Luwis

“Sampai sekarang, sebagian besar matapencaharian warga Kampung Pitu dan Desa Nglanggeran secara luas, ya petani. Petani sawah maupun ladang. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan dijual juga,” tutur Aan, yang aktif menjadi pengelola wisata di Sekretariat Gunung Api Purba.

Selain mengandalkan sawah dan ladang untuk hidup dan menghidupi keluarga, warga Kampung Pitu dan Desa Nglanggeran secara luas makin pintar memanfaatkan potensi wisata alam dan ekowisata untuk menggaet tamu agar datang ke desa. Gunung Api Purba makin dikenal, dan berbagai penelitian mengenai tradisi serta pariwisata dilakukan, termasuk oleh Balai Pelesarian Nilai Budaya DIY. Media massa juga makin banyak menyebarkan kabar mengenai Kampung Pitu. Beberapa spot yang dikunjungi wisatawan selain Gunung Api Purba juga Telaga Guyangan dan jejak kaki kuda di dekat telaga yang diyakini sebagai jejak kuda sembrani, tungganan para bidadari.

“Sekarang, makin banyak orang datang, bahkan dari luar kota, dari Bali juga ke sini, hanya sekadar cuci muka di Telaga Guyangan. Maka kami mengembangkan hal lain yaitu budidaya anggrek,” papar Aan. Kini sudah ditemukan 21 species anggrek, menurut survei Taman Konservasi Anggrek.

Penangkap Embun

Pemerintah melalui Ditjen Kebudayaan Kemdikbud pada 2020 memberikan fasilitasi kepada para seniman agar tetap berdaya pada masa pandemi Covid-19. Satu di antara seniman-seniman yang mendapatkan kesempatan untuk membuat karya yang bermanfaat adalah Rudi Hendriatno, perupa lulusan Jurusan Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain Insitut Seni Indonesia Yogyakarta.

Perupa asal Padang kelahiran 1980

itu membikin gagasan kreatif tentang instalasi yang tidak hanya memenuhi unsur-unsur seni namun juga manfaat. Keahlian pemilik Studio_211 Yogyakarta tersebut adalah seni kriya, maka itu gagasannya sangat pas diterapkan di Kampung Pitu. Apa itu? Instalasi penangkap embun.

Ketika disodori tawaran untuk membuat karya seni yang berguna dan menggerakkan, Rudi tidak terlalu lama memikirkannya. Ia memang sudah terbiasa bereksperimen dengan karyakarya instalasi. “Seni dan bermanfaat. Saya langsung memikirkan lokasi-lokasi yang terpencil, misalnya ketika suatu desa sulit mendapatkan air, kira-kita apa yang bisa saya perbuat sebagai seniman. Lalu terpikir instalasi penangkap embun,” tutur Rudi di Kampung Pitu. Fungsi alat itu adalah menangkap air yang “terperangkap” di dalam kabut/ awan, lalu dialirkan melalui selang, terus turun ke bawah, lantas ditampung dalam ember besar. Agar kabut dapat ditangkap, ketinggian instalasi harus lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. “Jadi, fungsi pohon dipindahkan ke instalasi, menjadi semacam bank air. Tugas saya, bagaimana membuat instalasi ini tetap berseni, tidak asalasalan,” jelas Rudi.

Bahan-bahan yang dibutuhkan di antaranya pipa galvanis berbagai ukuran, plat strip, cat, jarring nilon, kabe, dan lampu. Butuh waktu hanya 45 hari untuk mengerjakan instalasi, sejak survei lokasi, berkonsultasi dengan ahli air dan cuaca, hingga eksekusi pembuatan instalasi. Adalah tepat menyerahkan pekerjaan tersebut kepada Rudi, yang pada tahun 2013 meraih penghargaan Indonesian Art Award dan karyakaryanya telah dipamerkan di berbagai galeri di Indonesia serta luar negeri. Keterampilannya mengolah kayu menjadi karya seni kontemporer telah mendapat pengakuan publik. “Saya memilih kayu karena membuat kita dekat dengan alam. Kayu juga bagian dari kehidupaan seharihari,” katanya.

Kini Kampung Pitu Desa Nglanggeran kian berbudaya. Warga membangun sendiri desanya supaya berdaya. (Jessika Nadya dan Susi Ivvaty)

Pemakaman tertua di Kampung Pitu Syefri Luwis

This article is from: