6 minute read
Memori Korespondensi: “Kring Kring Pos…. “
Wajah Kantor Pusat PT Pos Indonesia - Jessika Nadya
Generasi bunga dan gen-X tentu masih dapat mengingat tukang pos dengan sepeda kayuhnya, mendatangi rumahrumah warga, untuk mengantarkan surat atau wesel. Begitu besar jasanya dipandang, hingga muncul lagu “Aku tukang pos rajin sekali. Surat kuantar naik sepeda. Semua rumah aku datangi. Tidak kupilih miskin dan kaya. Kring kring pos,,,”, yang melodinya mirip lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut” karya Ibu Sud. Lambat laun, kereta angin itu diganti dengan sepeda motor, yang seiring waktu juga tertelan zaman dan bahkan dilelang. Di abad ke-21 ini, segala memori akan kartu pos, perangko, telegraf, giro, berikut sejarah pengantaran surat sejak zaman Hindia Belanda dapat dipanggil kembali melalui Museum Pos Indonesia, di Bandung.
Advertisement
Museum Pos Indonesia berada di satu bangunan dengan Kantor Pusat PT Pos Indonesia (Persero) di Jalan Cilaki Bandung, satu kompleks dengan kantor pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang dikenal dengan Gedung Sate.
Pada Maret 2021, redaksi majalah Indonesiana menyambangi Museum Pos Indonesia untuk melongok suasana terkini. Kami sebelumnya telah mencari informasi awal melalui Google. Ketika mengetik “museum pos Indonesia”, frasa yang muncul paling atas dalam riwayat pencarian adalah “museum pos Indonesia angker”. Rasanya geli, tapi mafhum. Barangkali orang penasaran dengan lokasi penyimpanan koleksi lawas di lantai bawah tanah (lampu harus dinyalakan meski siang), dan berada di gedung tua pula, yang termasuk benda cagar budaya. Pikiran langsung mengarahkan: angker….
Sejarah Tua di Gedung Tua
Berwisata ke Museum Pos Indonesia berarti meraup dua hal sekaligus: sejarah pos di Indonesia yang jauh lebih tua dari umur Republik Indonesia itu, serta sejarah gedung tua yang dimanfaatkan sebagai Kantor PT Pos Indonesia. Kita bisa mengenal Abdurahim Djodjodipoera serta R Dijar, petinggi Jawatan PTT semasa Hindia Belanda yang mendapat penghargaan karena semangat kebangsaan dan jasa-jasanya. Selain membahas soal sejarah dan arkeologi, kita dapat mengulik kembali keindahan arsitektur gedung pos. Paket komplit.
Arsitektur seperti kita tahu adalah paduan karya seni, ilmu pengetahuan, dan teknologi dalam menciptakan ruang sebagai tempat aktivitas manusia. Arsitektur kolonial, lebih khusus lagi, merupakan arsitektur cangkokan dari negeri induknya, Eropa, ke daerah jajahannya. Adapun arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda yang dikembangkan di Indonesia ketika Indonesia dikuasai Belanda sekitar awal abad ke-17 sampai 1942, seperti ditulis oleh Djoko Soekiman dalam Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni sampai Revolusi (2011). Ciri paling menonjol adalah facade dan denah bangunan yang simetris serta gerbang masuk dengan dua daun pintu.
Data dari pemerintah Kota Bandung menyebutkan, terdapat sedikitnya 1.700 bangunan warisan budaya di Bandung, satu di antaranya adalah Kantor PT Pos Indonesia, yang berada di kompleks Gedung Sate, gedung yang di puncak menaranya terdapat enam ornamen bertumpuk seperti sate berbentuk jambu air. Gedung Sate sendiri hanya bagian kecil atau sekitar 5% dari “Kompleks Pusat Perkantoran Instansi Pemerintah Sipil” Hindia Belanda yang menempati lahan Bandung Utara seluas 27.000 meter persegi (Harastoeti DH dalam 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung, 2011).
Gedung-gedung tersebut menjadi bukti berlangsungnya proses dan tahapan pembangunan, perkembangan, serta pertumbuhan Kota Bandung. Pemerintah kolonial Belanda melalui “The International Congresses of Modern Architecture” (CIAM) pada tahun 1931 menunjuk Bandung sebagai satu prototipe kota kolonial di dunia, seperti
Salah satu koleksi Museum Pos Indonesia - Jessika Nadya
dikutip Rizky Pratama dalam Bangunan Cagar Budaya di Kawasan Jalan ABC Bandung (2019).
Sama dengan Gedung Sate, Gedung PT Pos Indonesia juga dirancang oleh arsitek Ir J. Berger. Dibutuhkan hingga 2.000an pekerja untuk membangunnya, dan di antara mereka terdapat sekitar 150 pekerja dari Cina Konghu atau Kanton, tukang-tukang kayu dan pemahat batu yang trampil di negerinya. Arsitek Belanda, Dr.Hendrik Petrus Berlage, menyebut bahwa rancangan kompleks Pusat Perkantoran Instansi Pemerintahan Sipil Hindia Belanda di Bandung merupakan karya yang gigantik.
Museum pos telah ada sejak masa Hindia Belanda pada tahun 1933 dengan nama Pos Telegraph dan Telepon (PTT). Pada masa Perang Dunia II hingga masa Jepang di Indonesia tahun 1942, museum tidak terurus, dan terus terbengkelai hingga akhir tahun 1979. Pada awal tahun 1980 museum direvitalisasi. Pada 27 September 1983 bertepatan dengan Hari Bhakti Postel ke-38, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Achmad Tahir mengubah namanya menjadi Museum Pos dan Giro, yang kemudian berubah lagi pada tahun 1995 menjadi Museum Pos Indonesia.
Pengunjung Museum Pos Indonesia - Jessika Nadya
Kiosk Informasi Pos - Jessika Nadya
Dari Perangko hingga Manuskrip
Satu di antara koleksi museum yang hingga kini masih dikenal adalah perangko. Jumlahnya mencapai 131.000.000 lembar dari Indonesia dan 178 negara sejak tahun 1933. Selain itu, terdapat 200-an koleksi berbagai peralatan, seperti timbangan paket dan alat cetak perangko, lantas surat-surat berharga, armada pengantar surat, dan bahkan manuskrip. Koleksi lain meliputi buku-buku, visualisasi dan diorama kegiatan pengeposan, perlengakapan baju zaman kolonial, patung tokoh Pos Indonesia, Mas Soeharto, pertugas pos yang pernah diculik oleh Belanda.
Kami memasuki museum dengan ditemani Pak Cucu, penjaga gedung. Museum tutup pada Minggu, dan pemandu pun libur, namun kami diizinkan masuk. Kami mulai menuruni tangga, dan mendapati pemandangan pertama: foto Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, Pendiri Kantor Pos Batavia pada 26 Agustus 1746, yang
juga kantor pos pertama Hindia Belanda. Turun tangga lagi, kami mendapati sejumlah peralatan lawas seperti mesin transaksi perangko dengan uang koin pecahan 50, 100, 500, dan 1.000 rupiah dan timbangan paket manual.
Jika berbelok ke kiri, kita dapat melihat sepeda kayuh dan sepeda motor pengantar surat yang nostalgik itu. Sebagian koleksi prangko dipajang dalam papan-papan kayu yang dilindungi kaca sehingga bisa dilihat langsung. Namun ada sebagian koleksi yang hanya bisa dilihat dengan bantuan petugas, sebab koleksi itu ditempel pada papanpapan yang disatukan secara vertical, menyerupai lemari kayu berukuran 1,5 x 1 x 2,5 meter.
Satu koleksi yang langka adalah lukisan perangko pertama di dunia yang digambar oleh Ratu Victoria. Perangko yang dinamai The Penny Black itu diterbitkan oleh pemerintah Inggris pada tahun 1840. Meski demikian, gagasan pemakaian perangko sebagai penggantian biaya kirim surat sebetulnya sudah tercetus jauh sebelum itu, yakni pada 3 Desember 1795, oleh Sir Rowland Hill, petinggi di Dinas Perpajakan Inggris.
Koleksi yang juga sangat berharga adalah sejumlah manuskrip berupa surat-surat dari raja-raja Nusantara untuk pejabat Inggris yang dibingkai kaca dan dipajang di dinding museum. Satu di antaranya adalah surat dari raja terakhir kerajaan Riau-Johor, Sultan Mahmud Syah, kepada Raffles pada tahun 1811, yang menyatakan bahwa akan dikirim sebuah kapal perang dengan senjata lengkap untuk membantu pasukan Inggris. Surat ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Jawi, di atas kertas Inggris. Dari Lingga, Engku Sayid Muhammad Zain al-Kudsi, penasihat Sultan Mahmud Syah, juga mengirim surat kepada Raffles tahun 1811. Waktu itu, wilayah Riau, Lingga, dan Pahang berada dalam kekuasaan Kerajaan Johor, yang diperintah tidak hanya oleh sultan dari Melayu namun juga pangeran dari Bugis, yang justru lebih berpengaruh. Perjanjian London pada 1824 menyatakan bahwa semenanjung Melayu dan Singapura dipisahkan dari Sumatra dan Kepri, sehingga Riau dan Johor pun terbagi dua.
Reproduksi dari surat-surat emas raja-raja tersebut, di antaranya dari Aceh, Riau, Lingga, Palembang, Banten, Yogyakarta, Banjarmasin, Ambon, dan Ternate, serta naskah-naskah kuno dari Batak, Melayu, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Bugis, dan Makassar pernah dipamerkan pada tahun 1991. Pameran manuskrip tersebut merupakan kerjasama British Library London, Perpustakaan Nasional Indonesia, dan Pos Indonesia.
Begitulah lawatan ke museum. Masa lalu terasa menjadi aktual kembali, mengisi memori masa kini kita. Sejarah bercerita melalui koleksinya. Bukan semata-mata meromantisasi, namun menjadikannya pijakan untuk perbaikan dan kebaikan di masa depan. Ayo ke museum! (Susi
Ivvaty dan Jessika Nadya, Redaksi Majalah Indonesiana).
Timbangan Paket - Jessika Nadya