5 minute read

Perpeduur, Semahal Lada Putih Bangsa

Lada Putih - shutterstock_327386213 – ELAKSHI CREATIVE BUSINESS - https:// www.shutterstock.com/g/ecbpl

PERPEDUUR Peperduur (semahal lada) adalah ungkapan khas orang Bangka. Ungkapan ini menunjukkan betapa sahang (lada berbulir besar) lebih Semahal Lada mendatangkan banyak uang bagi orang Bangka”. (Hooyer DG--Residen Putih Bangka Bangka, 1928-1931).

Advertisement

Lada putih - shutterstock_1897520770 - FabrikaSimf - https:// www.shutterstock. com/g/FabrikaSimf

Lada Bangka adalah komoditas ekspor yang telah diperdagangkan sejak masa Sriwijaya. Hsin-tangshu, sejarah Dinasti Tang, Cina, pada abad ke-7 Masehi telah mencatat bahwa

Kedatuan Sriwijaya kala itu memiliki 14 kota dagang. Salah satu kota dagang yang tercatat adalah Kotakapur Bangka. Dalam catatan tersebut Kotakapur adalah salah satu pelabuhan pendukung (feeder point) bagi Kedatuan Sriwijaya. Berdasarkan ciri-ciri dan letak geografisnya, besar kemungkinan Kotakapur memang merupakan salah satu dari sekian kota pelabuhan pendukung penting bagi

Kedatuan Sriwijaya.

Konon, negeri Arab dahulu kedatangan berbagai produk dagang, seperti cengkeh, pala, kapulaga, pinang, kayu gaharu, kayu sapan, rempah-rempah, penyu, emas, perak, dan lada. Jika ditelusuri, komoditas tersebut Sebagian besar barasal dari Kedatuan Sriwijaya. Sebagian dari komoditas tersebut, seperti penyu, kayu gaharu, kemenyan, pinang dan timah adalah hasil bumi pulau Bangka. Demikian juga sahang (Piper ningrum), lada berbulir besar dan berkadar pedas tinggi yang merupakan tanaman warisan nenek moyang turun temurun, bukan sekedar produk perkebunan tetapi juga produk kebudayaan bagi orang Bangka.

Riwayat lada pindah sejenak ke Banten untuk melihat jalur rempah masa prakolonial hingga masa kolonial. Sejarah menyebutkan, kesultanan Banten mencapai puncak kejayaannya bersamaan dengan menguatnya pengaruh agama Islam, melemahnya Kesultanan Demak, dan menguatnya perdagangan intercontinental pada abad XVI. Sebelum menjadi satu kesultanan, Banten sudah menjadi negeri penghasil lada yang penting di dunia. Pada masa itu, perdagangan rempah-rempah, termasuk lada, dunia didominasi oleh bangsa Portugis dengan Lisbon sebagai pelabuhan utama. Di lain pihak, sebelum Revolusi Belanda, kota Antwerp merupakan pusat distribusi rempah-rempah di Eropa Utara. Akan tetapi, setelah tahun 1591, Portugis melakukan kerjasama dengan Jerman, Spanyol dan Italia dan menjadikan Hamburg sebagai pelabuhan pusat distribusi rempah-rempah dan mengabaikan Antwerp. Hal ini mendorong Belanda memasuki perdagangan rempah-rempah interkontinental.

Untuk itu, Belanda perlu menjaga pasokan dan distribusi lada mereka. Oleh karena itu, Belanda mengikat janji dengan Raja Samiam (Raja Sunda Penguasa Banten) dan dengan Henrique Lem utusan Jorge d’Albuquerque, Gubernur Portugis di Malaka. Sebagai imbalan bantuan Portugis karena telah membantu mereka melawan musuhnya, yaitu kerajaan Islam Demak, maka Portugis diperbolehkan oleh Raja Sunda mendirikan benteng dan diberi jaminan keamanan dalam melakukan pelayarannya menuju Banten.

Portugis kemudian mendirikan benteng di Pelabuhan Kalapa pada Tanggal 21

Peta Geologis Pulau Bangka dan Belitung – Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandshc-Indie : Atlas – D D 22,6, sheet 1

Agustus 1522 ditandai dengan peletakan batu peringatan (Padrao) dalam bahasa Portugis. Padrao ditemukan di Jalan Cengkeh, Jakarta (dahulu bernama Prinsen Straat). Sekarang, Padrao tersimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris 18423/26.

Rute pelayaran dari pulau Aur ke Banten dijamin. Pelabuhan persinggahan di Chang-yao shu (pulau Mapor), Lung-ya-tashait (Gunung Daik Pulau Lingga), Mant’ouhsu (pulau Roti), Chi-shu (pulau Tujuh) dan Peng-chia shan (gunung Bangka gunung Menumbing), bahkan di mulut sungai Palembang menjelang hulu ke Chiii-chiang (Palembang) diamankan.

Demikian juga perjalanan ke arah Selatan memasuki Selat Bangka melalui selat yang sempit antara Tanjung Tapa dan Tanjung Berarti, San-mai shu (pulau Maspari), Kuala Tu-ma-heng (Wai Tulang Bawang), dan Lin-ma to (Wai Seputih). Dilanjutkan melalui Kao-Ta-lan-pang (Wai Sekampung), Nu-sha la (Ketapang), Shihtan (pulau Sumur). Dari sini arah diubah ke Tenggara dan setelah Tujuh jam kemudian sampai di Shun-t’a (Sunda) juga dijamin aman.

Rute perdagangan ini tentu saja menyusuri kawasan di sekitar pantai Timur Sumatera, yaitu pulau Tujuh (Chishu) di Utara pulau Bangka kemudian berlanjut ke pulau Bangka dan rute perjalanan terus memasuki selat Bangka untuk kemudian terus menuju Sunda (Shun-t’a). Perjanjian ini hanya berlangsung singkat karena pada Tahun 1527 Masehi, karena kemudian Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa dari tangan Portugis.

Kawasan atau rute perdagangan lada ini tentu saja menjadi perhatian utama bagi Kesultanan Demak, Kesultanan Banten, Kesultanan Palembang serta kerajaan-kerajaan di pesisir Timur pulau Sumatera seperti Riau Lingga dan Jambi. Kerajaan-kerajaan tersebut berebut pengaruh dan kuasa atas pelayaran dan rute perdagangan dan itu menjadi penyebab utama terjadinya perang antara Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Sultan Maulana Muhammad gelar Kanjeng Ratu Banten Surosowan atau Pangeran Ratu ing Banten (1580-1596 M) melawan Kesultanan Palembang. Dalam pertempuran

di Palembang dan di sekitar sungai Musi, Maulana Muhammad tewas dan pasukannya kembali ke Banten. Pada perkembangan selanjutnya sekitar pertengahan Abad ke-17, perdagangan lada ditandai dengan campur tangan bangsa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Pada Tahun 1642 Masehi Kerajaan Palembang diperintah Pangeran Sedo ing Kenayan. Pada masa itu kerajaan Palembang mengikat perjanjian dagang lada dengan VOC di Batavia (1710). Menurut catatan Alfiah, perjanjian tersebut kemudian diperbaharui pemerintah Hindia Belanda dengan perdagangan Timah (1722) yang ditandatangani oleh wakil VOC dengan Sultan Ratu Anum Komaruddin dari Palembang. Kesepakatan ini membuka pintu lebih lebar bagi Belanda untuk memborong Timah dari wilayah-wilayah di Bangka, termasuk Toboali. Hal ini tercatat dalam arsip ANRI berdasarkan laporan K. Heynis, Residen Bangka dan Palembang kepada Comissarissen mengenai distrik Blinjoe, Soengi Liat, Marawang dan Pankal Pinang pada tahun 1818. Pada Tanggal 13 Februari 1682 Masehi, Pangeran Aria, putera sultan Abdurrahman mendirikan Benteng di Bangkakota, di sungai bernama sama, dengan satu unit pasukan dari Makassar. Pembangunan Benteng ini terutama bertujuan untuk mengamankan jalur sempit pelayaran, perdagangan lada dan timah di Selat Bangka yang terletak dekat dengan Bangkakota. Pembangunan benteng ini ditentang oleh VOC karena mengganggu alur perdagangan lada dan sebagai ancaman bagi kapal-kapal VOC di kawasan tersebut. Sultan Abdurrahman (1662-1706) berhasil meletakkan tata kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang kuat bagi masyarakat dalam wilayah Kesultanan Palembang Darussalam termasuk di wilayah Sindang, daerah yang berada di perbatasan wilayah kesultanan yang penduduknya berstatus mardika (bebas) di pulau Bangka. Tugas utama penduduk daerah Sindang adalah menjaga perbatasan. Sultan Abdurrahman mewajibkan bagi daerah-daerah kekuasaannya untuk mengembangkan tanaman Lada. Ia juga membuat sistem perairan yang dibuat antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang tidak saja digunakan untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan. Wilayah-wilayah batin di pesisir Barat pulau Bangka merupakan wilayah Sindang yang pada masa Sultan Abdurrahman diwajibkan menanam sahang/sang (lada). Akan tetapi, seiring dengan dimulainya eksploitasi timah, karena berharga tinggi dan laku di pasaran dunia, Kesultanan Palembang menerapkan kebijakan baru untuk wilayah pulau Bangka yaitu pengembangan sektor pertambangan timah. Lada lambat laun ditinggalkan dan penduduk pulau Bangka mulai beralih ke sektor pertambangan timah. Peralihan itu ditandai dengan dibukanya parit-parit penambangan timah dengan teknologi sederhana melalui sistem pelubangan berpindah (tobo-alih). Lada diperkenalkan kembali pada abad ke-19, dan secara perlahan lada kembali jaya seperti dulu. Bertanam lada kembali menjadi bagian dari kebudayaan Bangka. Orang Bangka kembali menggunakan peperduur sebagai ungkapan khas. Sebagai smallholding (tanaman rakyat) sahang telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Bangka. Berkat sahang, jumlah orang Bangka yang menunaikan ibadah haji meningkat. Seperti kata Residen Hooyer (1931), lada lebih menyejahterakan dibanding timah (Dato’ Akhmad Elvian,

DPMP, Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung Penerima Anugerah

Kebudayaan).

Lada putih - shutterstock_1897520770 - FabrikaSimf - https:// www.shutterstock. com/g/FabrikaSimf

This article is from: