5 minute read
Menanti Lagi Pendokumentasi “Carita Pantun” Sunda
Apa Kabar Pendokumentasi “Carita Pantun” Sunda
Pencerita Pantun Kaenti dari Baduy, Banten, Circa 1910, KITLV 5283
Advertisement
Mang Ayi Basajan, juru pantun dari Kabupaten Subang, membawakan cerita “Ciung Wanara” pada pertunjukan pantun Sunda di Gedung Perpustakaan Ajip Rosidi, 7 Juli 2020. (Foto: Dadan Sutisna)
Pada 1518, penulis atau penyalin Sanghyang Siksa Kandang Karesian, satu naskah Sunda kuno berbentuk prosa didaktis, menyebut empat judul carita pantun. Ia persisnya menulis seperti ini, “Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi, prepantun tanya” (Jika ingin tahu tentang carita pantun: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi, tanyalah juru pantun). Berdasarkan naskah itu, carita pantun dianggap sebagai tradisi lisan berbentuk sastra Sunda asli yang paling tua.
C. M. Pleyte (1911) memperkirakan bahwa carita pantun Sunda telah ada jauh sebelum masa Hindu. Sementara Wim van Zanten (1987) menduga bahwa penulisannya telah dilakukan sejak abad ke-16. Hingga kini (tahun 2021), carita pantun masih dibawakan oleh juru pantun dalam ritual-ritual sakral berkait penanaman/panen padi, pernikahan, sunatan, dan ruwatan, sebagaimana dapat ditemui di beberapa Kasepuhan Banten Kidul dan Baduy, Kabupaten Lebak, Banten. Meski demikian, angkanya terus menurun dan dikhawatirkan punah.
Carita pantun yang tersebar di Tatar Sunda itu, berbeda sama sekali dengan Pantun Melayu. Pantun dalam khasanah Melayu adalah jenis puisi pendek, yang dalam masyarakat Sunda setara dengan susualan atau sisindiran. Sementara carita pantun Sunda adalah kisah yang relatif panjang, berupa puisi bermetrum oktosilabis, yang dituturkan dan dinyanyikan oleh juru pantun dengan iringan musik kecapi yang ia petik sendiri. Dalam perkembangannya, irama kecapi dibarengi dengan tarawangsa, kecrek, suling, gamelan, dan bahkan pesinden. Mungkin hanya carita pantun dari Baduy yang hingga kini hanya dibawakan oleh seorang juru pantun yang “mantun” sembari memetik kecapi berdawai sembilan.
Pendokumentasian carita pantun telah diupayakan sejak akhir abad ke-19. Dalam catatan Hawe Setiawan dan Atep Kurnia (2018), Raden Aria Bratadiwidjaja dari Ciamis dapat dikatakan sebagai orang pertama yang mencatat carita pantun Lurung Kasarung, pada 1845, yang dituturkan secara verbatim oleh juru pantun Aki Kriawacana. Naskah tulisan tangannya itu menjadi koleksi Perpustakaan Leiden. Lalu pada 1882, Tjakrakusumah dari Rangkasbitung, mencatat sinopsis carita pantun Kuda Malela yang diperolehnya dari juru pantun asal Baduy. Naskahnya tersimpan di Perpustakaan Nasional. Pada 1891, Jacobs dan Meijer menerbitkan transkripsi carita pantun Ciung Wanara. Pada 1905, Pleyte menerbitkan Raden Moending Laja Di Koesoema dan Loetoeng
Ciung Wanara, salah satu kisah yang menjadi ciri khas Suku Sunda. – Dadan Sutisna
Kasaroeng. Perekaman, transkripsi, penerbitan, alih wahana, dan pengkajian carita pantun juga pernah diupayakan oleh Eringa (1949), Ajip Rosidi (1970— 1974), Kartini dkk. (1990), Andrew N. Weintraub (1990), Jakob Sumardjo (2013), dan Wim van Zanten (1987—2021).
Namun hingga kini, belum jelas berapa banyak carita pantun Sunda yang berhasil didokumentasikan. Hawe Setiawan dan Atep Kurnia dalam Kuliah Budaya Sunda (2018) bab “Panorama Pantun Sunda”, menyebut ada sekitar 70-120 judul carita pantun yang telah dicatat. Sementara Wim van Zanten dalam Music of the Baduy People of Western Java; Singing is a Medicine (2021) menyatakan bahwa lebih aman untuk membatasi 60-an judul saja yang diketahui, merujuk penelitian Eringa (1949), itu pun belum diketahui jumlah yang terdokumentasi dengan baik. Apalagi, empat judul yang disebut dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian sudah tidak lagi dikenal. Yang cukup menyedihkan, rekaman-rekaman carita pantun yang telah diupayakan Ajip Rosidi kini tak diketahui lagi keberadaannya, baik di Perpustakaan Ajip Rosidi di Bandung maupun di Perpustakaan Universitas Leiden/KITLV di Belanda.
Lutung Kasarung
Di antara sedikit carita pantun Sunda yang pernah direkam, ditranskripsi, diterbitkan, tampaknya hanya Lutung Kasarung yang paling popular dan memiliki berbagai versi yang telah dialihwahanakan ke berbagai genre. Pudentia MPSS (1992) menyebutkan bahwa dari sejarah resepsi teksnya, kisah Lutung Kasarung telah bertransformasi tidak hanya berupa lintas budaya (dari Sunda ke Belanda, Indonesia, dan Jawa) plus Inggris, tapi juga lintas bentuk (dari carita pantun lisan ke tulisan, dari tulisan ke prosa, puisi, drama, opera, novel,
dongeng, dan film). Perlu ditambahkan pula bentuk wawacan, gending karesnen, dan tembang cianjuran.
Sebagian peneliti menyebut bahwa kisah Lutung Kasarung dianggap sebagai cerita yang sakral oleh para juru pantun atau oleh masyarakat penyokongnya. Tampaknya ada paradoks di sini, bahwa Lutung Kasarung adalah carita pantun paling populer dan bertansformasi, tapi juga dianggap sakral. Danasasmita dan Djatisunda (1986) misalnya, mengatakan bahwa cerita Lutung Kasarung di daerah Baduy, Banten, tergolong sakral karena menceritakan tentang cara merawat padi. Pada saat menjalankan Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda, Ajip Rosidi (1973) pun menyebutkan bahwa tidak semua juru pantun mau menuturkan carita pantun Lutung Kasarung. Namun, ia berhasil merekamnya dari Ki Sajin, juru pantun asal Baduy pada 1973 dan menerbitkannya pada tahun itu juga. Wim van Zanten (2021) juga berhasil merekam audio Lutung Kasarung dari juru pantun yang sama pada Januari 1977. Memang, carita pantun harus dianggap sebagai bagian dari “agama” (bagi orang Baduy) dan bukan bagian dari “seni”, dan ia telah mendapatkan izin dari Baduy untuk merekam Lutung Kasarung.
Setelah itu, tampaknya belum ada lagi upaya untuk mendokumentasikan carita pantun dari para juru pantun yang masih hidup di Banten atau Jawa Barat. Sementara itu, bayang-bayang kepunahan carita pantun semakin kentara, seiring jumlah juru pantun terus menyusut dari tahun ke tahun. Adakah yang mewarisi carita pantun dari para juru pantun yang direkam Ajip Rosidi pada tahun 1970-an itu?
Kesukaran Metodologis
Dalam “Pengantar” Carita Buyut Orenyeng (1974), Ajip Rosidi mengungkapkan kesulitannya dalam mentranskripsi carita pantun yang dibawakan Ki Sajin dari Baduy. Bahkan ia membatalkan rajah (bagian “doa” dari sebuah carita pantun) pada terbitan Carita Lutung Kasarung yang terbit setahun sebelumnya, karena kekeliruan-kekeliruan dalam mentranskripsi. Wim van Zanten (2021) juga mengalami kendala yang sama. Barangkali kesulitan memahami itu muncul karena struktur kalimat dalam bahasa Sunda dialek Baduy berbeda dengan bahasa Sunda biasa. Kata Ajip, “Karena itulah sekali ini saya tidak akan menyertakan ringkasan cerita, karena harus saya akui terus terang— ringkasan cerita Lutung Kasarung yang saya buat tempo hari pun, lebih banyak berdasarkan rekonstruksi imajinasi saya sendiri. Banyak bagian-bagian yang tidak menyambung, atau tidak logis, saya buatkan logis dan menyambung. Tentu saja perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.”
Sekaitan dengan bahasa, Ayatrohaedi dalam Carita Pantun: “Roman Sejarah” Sastra Lisan Sunda (1993), menyatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam carita pantun adalah bahasa “masa kini” yang agak menyimpang dari bahasa awal ketika carita pantun itu dituturkan. Meski demikian, carita pantun seperti Paksi Keuling dan Lutung Kasarung dari Baduy memperlihatkan bahwa pengaruh bahasa Arab (apalagi Eropa) hampir tidak terlacak jejaknya. Tidak ada nama nabi, malaikat, atau tokoh yang berasal dari dunia keislaman hadir di dalamnya. Juga tidak tampil kosakata Arab dan Eropa.
Masih banyak hal belum diungkap perihal carita pantun, dari segi teks dan terlebih sisi sosiologis atau antropologis masyarakat penyokongnya. Bahkan, hingga kini, belum ditemukan satu pun penelitian yang berfokus pada kiprah sang juru pantun—yang masih tersisa—selaku pelaku aktif dalam mengaja, melestarikan, dan mewariskan pengetahuan tentang carita pantun. Meskipun, mungkin, carita pantun Sunda hanya dapat ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda (WBTb) dari Tatar Sunda (Jawa Barat dan Banten), tidak seperti pantun Melayu telah diakui UNESCO pada 2020 sebagai WBTb Indonesia dan Malaysia. [Niduparas Erlang, novelis]