5 minute read

Sanggring lamongan, Memelihara Lingkungan

Selamatan di mata air - Henry Nurcahyo

Mendhak sanggring adalah ritual tahunan di desa Tlemang, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Advertisement

Makna harfiah dari mendhak adalah peringatan “ulang tahun kematian” atau haul. Namun sesungguhnya ini adalah tradisi konservasi lingkungan hidup, kesenian rakyat, dan kuliner khas yang hanya satu tahun sekali dimasak.

Sanggring itu sendiri adalah nama masakan berkuah (orang Lamongan menyebut sayur) yang berbahan baku ayam dan dimasak dengan cara-cara khusus. Jadi mendhak sanggring adalah rangkaian ritual yang secara umum mirip Bersih Desa. Sayur sanggring dipercaya memiliki khasiat dapat

Wayang Kruciil - Henry Nurcahyo Selamatan Warga- Henry Nurcahyo

menolak penyakit atau sebagai obat, sesuai dengan asal kata sanggring, yakni ‘sangkaning wong gering’ atau obat orang sakit. Selain itu ritual ini juga dimaksudkan agar masyarakat desa beserta pemimpinnya selalu mendapat rahmat dan keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Juga harapan untuk hidup sehat, pertanian subur tanpa hama, rejeki lancar, dijauhkan dari balak dan bencana.

Aturan Unik Ritual Sanggring

Tlemang adalah sebuah desa di perbukitan kapur berhutan jati. Sekalipun desa ini memiliki banyak mata air namun sayangnya kondisi lahan kapur tidak ideal untuk bersawah. Oleh karena itu kebanyakan warga hanya menanam jagung.

Inti acara mendhak sanggring adalah memasak sayur sanggring dan makan bersama oleh warga desa serta berdoa di makam Ki Buyut Terik yang dipercaya sebagai pendiri desa. Proses memasak sanggring seluruhnya hanya boleh dilakukan oleh laki-laki. Pimpinan Juru Sanggring harus juga keturunan Juru Sanggring sebelumnya dan melakukan puasa sehari semalam. Tiga buah wajan besar yang digunakan pun merupakan peninggalan yang digunakan turuntemurun untuk memasak sayur sanggring.

Menurut tradisi jumlah laki-laki yang terlibat dalam proses memasak ditentukan 40 (empat puluh) orang. Sementara para perempuan memiliki tugas sendiri di dapur, menyiapkan ayam panggang utuh hasil sumbangan warga, menyiapkan suguhan makanan untuk tamu dan urusan lain yang tidak terkait langsung dengan ritual mendhak sanggring ini.

Setelah ayam dipotong, dicabuti bulunya, dan direbus air panas, maka daging ayam dipisah-pisahkan menggunakan tangan, kemudian dimasak bersama dengan aneka bumbu di tiga wajan besar yang harus dilakukan di tempat terbuka.

Ada aturan adat yang melarang Juru sanggring mencicipi hasil masakan, karena justru rasa masakan itulah yang nantinya menjadi isyarat masa mendatang. Kalau rasanya sedap, berarti persembahan mereka diterima. Hal yang sebaliknya kalau masakan terasa terlalu asin, terlalu manis atau bahkan tidak enak dirasakan.

Keyakinan terhadap sakralitas ini ditandai dengan keikhlasan warga desa memberikan sumbangan berupa uang, ayam (atau telor bagi yang tidak memiliki ayam), bahan masakan, makanan untuk slametan (ambeng) dan juga tenaga. Pimpinan ritual juga harus dipegang oleh kepala desa, sebagai legitimasi kedudukan dan kekuasaan kepala desa yang merangkap menjadi kepala adat.

Tradisi nyanggring seperti ini memang juga ada di Gresik, biasanya diselenggarakan pada bulan puasa dan dinikmati sebagai hidangan berbuka puasa. Tetapi yang ada di Tlemang berlangsung selama 4 (empat) hari berturut-turut berpedoman pada penanggalan Jawa, yaitu setiap tanggal 24 hingga 27 Jumadil Awal. Di samping

Penutupan ritual di makam - Henry Nurcahyo

itu, juga ada ritual ndhudhug sumber (membersihkan mata air) dan bersih makam serta pergelaran kesenian langka, yaitu wayang krucil selama dua hari berturut-turut.

Jalannya Ritual Sanggring

Pada hari pertama rangkaian acara dimulai membersihkan dua buah sendhang (mata air) yaitu sendhang wedok dan sendhang lanang. Sebelumnya diawali oleh Kepala Desa (Kades) dan sesepuh desa dengan sebuah ritual dengan cara menaburkan air kelapa muda yang dicampur dengan badheg (air tape) dan beberapa ramuan. Setelah itu dilakukan selamatan yang dipimpin oleh Modin, dengan hidangan yang dibawa masing-masing warga.

Hari kedua, ritual di makam punden desa, yaitu Ki Buyut Terik. Warga membersihkan semak-semak sehingga areal sekitar makam yang tadinya rimbun dan penuh semak belukar dalam waktu singkat berubah menjadi terang benderang. Maklum selama satu tahun tidak seorangpun diperbolehkan memasuki areal pemakaman. Sementara itu di bagian makam dilakukan penggantian kain pembungkus, mengganti atap daun alang-alang, melapisi kain merah putih dengan yang baru.

Menurut sesepuh desa, Mujiono (67 tahun), Buyut Terik (Raden Nurlali), konon berasal dari keluarga Raja Mataram yang sekitar tahun 1677 meninggalkan Kerajaan Mataram karena merasa kecewa campur tangan kolonial Belanda. Raden Nurlali lantas menuju ke arah timur, mengabdi dan berguru pada Sunan Giri di Gresik. Kemudian oleh Sunan Giri diberi tugas menyebarkan agama Islam di daerah Lamongan. Setelah areal makam bersih, sore harinya diselenggarakan pengajian berupa istighosah kaum muslimat. Ini memang acara tambahan yang menurut tradisi memang tidak ada. Baru diadakan sekitar sepuluh tahun yang lalu untuk mengadopsi kepentingan kaum agamawan.

Hari ketiga, pergelaran wayang krucil dimulai sejak pagi di halaman rumah kepala desa. Dua ekor kambing disembelih untuk “selamatan kambing” dengan menu khusus yang dipersembahkan untuk Ki Buyut Terik dengan cara dikunci dalam kamar. Ketika wayang krucil masih berlangsung, sejumlah warga dipimpin oleh kepala desa mengunjungi makam Ki Buyut Terik, memanjatkan doa sebagai pertanda acara mendhak akan dimulai. Usai dari makam, warga lantas menikmati hidangan khusus dengan menu daging

Menyiapkan ayam bakar - Henry Nurcahyo

kambing di halaman rumah kepala desa.

Hari keempat, adalah puncak acara mendhak sanggring. Kali ini digelar lagi pertunjukan wayang krucil dengan lakon yang berbeda dimana seluruh pendukung dan dalang berbusana adat, tidak sebagaimana pentas sebelumnya yang hanya mengenakan busana seharihari.

Di tempat dan waktu yang sama, sejak pagi hari masing-masing warga desa menyumbangkan seekor ayam dan sebungkus bumbu jangkep serta menyerahkan sekadar sumbangan untuk pelaksanaan acara ini. Juga ada yang menyumbang kayu bakar.

Menjelang tengah hari warga desa sudah berduyun-duyun mendatangi lokasi. Sebanyak 44 piring sayur sanggring sengaja disiapkan panitia sebagai suguhan untuk Ki Buyut Sanggring yang disimpan dalam sebuah kamar tertutup. Namun setelah didoakan makanan itu disuguhkan ke para tamu. Pergelaran wayang krucil yang mendekati puncaknya nyaris tidak ada yang memerhatikan. Semua warga konsentrasi menunggu pembagian sayur sanggring.

Setelah sambutan Kepala Desa dan doa yang disampaikan oleh Modin maka Juru Sanggring lantas satu persatu mengisi wadah yang disodorkan warga. Setelah semua sayur sanggring habis maka pimpinan Juru Sanggring lantas menggulingkan wajan sebagai bagian dari tradisi.

Tradisi mendhak sanggring ini menjadi sarana kerukunan warga. Bahkan warga yang bermukim di luar kota tak mau ketinggalan nimbrung dalam ritual tahunan ini. Mereka ikut berbaris mengikuti hingga membentuk barisan yang sangat panjang dalam acara ritual menuju makam. Mereka membawa sebungkus bunga tabur dan menyerahkan sedekah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memberikan sesaji untuk Ki Buyut Terik.

Sanggring - Henry Nurcahyo

Pamungkas acara adalah selamatan tutup gedhek yang merupakan ungkapan syukur karena upacara telah berjalan lancar. Sementara di tengah kerumunan ada warga yang melemparkan sejumlah uang logam untuk diperebutkan. Ini disebut udhik dan merupakan bagian takterlupakan dari ritual ini. Dengan acara berakhir, warga berangsur-angsur meninggalkan lokasi. (Henri Nurcahyo,

Ketua Komunitas Seni Budaya

BrangWetan)

This article is from: