6 minute read

Mengembalikan FFI Menjadi Milik Masyarakat

menjadi Milik MasyarakatMengembalikan FFI

Malam Anugerah - Arman Febryan

Advertisement

Dunia perfilman Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Begitu pula Festival Film

Indonesia (FFI) sebagai ajang pendukung promosi dan barometer prestasi, telah cukup lama diselenggarakan. Jika dihitung sejak pertama kali digelar tahun 1955, FFI berarti telah berumur 76 tahun, dipotong waktu jeda pada tahun 1993 - 2004, yang terkendala karena tidak ada produksi film.

Kebangkitan kembali FFI pada tahun 2004 merupakan upaya Badan Pengambangan Perfilman Nasional (BP2N) dengan ketuanya H. Djonny Syafruddin dan sekretaris Adisurya Abdi. Gagasan untuk menyelenggarakan kembali FFI waktu itu karena produksi film mulai menggeliat. Satu di antaranya, Ada Apa Dengan Cinta, bahkan menjadi film box office ketika itu.

Generasi muda perfilman yang merasa punya andil atas kebangkitan perfilman Indonesia pun memiliki “agenda tersembunyi”, ingin merebut penguasaan penyelenggaraan festival film yang selama bertahun-tahun di bawah kekuasaan pelaku-pelaku lama perfilman yang menguasai hulu hingga hilir perfilman di Indonesia.

Praktisi perfilman muda yang memiliki kemampuan teknis di bidang perfilman lalu membentuk Masyarakat Film Indonesia (MFI), lantas mulai melakukan gerakan-gerakan “politis”, seperti memprotes kemenangan film “Eskul” karya Nayato Fionula, pada tahun 2006. Mereka menilai Ekskul tidak layak sebagai film terbaik, di antara alasannya karena plagiat dan melanggar hak cipta sebab menggunakan ilustrasi musik dari filmfilm luar negeri yakni Taegukgi, Gladiator, dan Munich. MFI secara tegas menolak keputusan juri FFI 2006. Sejumlah anggota MFI mengembalikan Piala Citra yang mereka terima. Sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana yang meraih Piala Citra 2005 untuk film Gie mengembalikan piala pada 3 Januari 2005. Setelah itu, 22 peraih Piala Citra dari tahun 2004 hingga 2006 juga melakukan aksi yang sama. MFI juga mendesak pembubaran Lembaga Sensor Film. Para sineas muda menilai penyelenggaraan FFI oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tidak transparan dalam pelaksanaan dan pendanaan serta mendesak FFI dihentikan sementara. BP2N akhirnya mengeluarkan keputusan bernomor 06/KEP/BP2N/2007, tentang Pembatalan Piala Citra Utama untuk Film Terbaik (Eskul) dan mengubah bentuk Piala Citra. Akan tetapi, FFI tetap diselenggarakan karena produksi film nasional terus bertambah.

Lahirnya Undang-Undang Perfilman

Undang-Undang Nomor 33 Tentang Perfilman lahir pada 2009, dengan memunculkan nama Badan Perfilman Indonesia (BPI), suatu badan yang dibentuk oleh masyarakat perfilman dengan fasilitasi dari negara. BPI lahir pada tanggal 17 Januari 2014, melalui suatu musyawarah besar pada 15-17 Januari 2014. Satu tugas BPI adalah menggelar FFI.

BPI dengan ketua Alex Komang mulai menjadi penyelenggara FFI. Kemala Atmojo terpilih menjadi Ketua Panitia Pelaksana FFI, dan ia membuat aturan baru dalam penjurian film-film peserta. Ia bekerja sama dengan Delloite, sebuah lembaga survei. Juri FFI tidak harus menilai bersama-sama dalam sebuah

Joko Anwar - Arman Febryan Gunawan Maryanto - Arman Febryan

Merayakan penganugerahan- Arman Febryan

forum seperti pada sistem penjurian sebelumnya, tetapi bisa menilai di mana saja. Tim juri diberikan disket berisi film-film peserta untuk ditonton. Hasil penilaian dicemplungkan ke dalam drop box yang disediakan oleh Delloitte. Terdapat 100 orang juri yang dipilih dari asosiasi perfilman. Belakangan terungkap, tidak semua juri benar-benar menonton film yang diberikan, seperti diakui pula oleh Lukman Sardi, Ketua Pelaksana FFI 2016 pada 2 Agustus 2017. Sejak dipegang oleh BPI, FFI memang terkesan elitis.

Dalam hal penyampaian informasi kegiatan FFI, era Panitia Tetap (Pantap) FFI 1988 – 1992 merupakan yang terbaik. Ketika itu Pantap FFI memiliki empat bidang, yakni Bidang Acara, Bidang Luar Negeri, Bidang Penjurian, serta Bidang Humas / Dokumentasi dan Publikasi. Bidang Humas, Publikasi dan Dokumentasi yang diketuai oleh Ilham Bintang terus bekerja keras memberikan informasi tentang FFI kepada mediamedia melalui siaran pers atau bertemu langsung di Gedung Film, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat.

Pawai artis merupakan kegiatan penunjang FFI untuk mendekatkan artisartis dengan masyarakat. Pawai artis terakhir digelar di FFI 2014 Palembang. Pawai yang dimulai dari kantor Gubernur Sumatera Selatan, Griya Agung menuju Benteng Kuto Besak itu cukup menarik perhatian masyarakat karena diikuti 25 artis, diiringi drumband, komunitas ontel, komunitas motor besar, dan kendaraan jip.

Kemunculan AFI

Menurut UU Perfilman, urusan perfilman dinaungi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kemdikbudristek). Namun hingga 2014, FFI masih berada di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kemendikbud lantas merancang festival film yang skala dan gaungnya setara dengan FFI, plus embelembel budaya. Tidak lagi menggunakan nama festival, melainkan apresiasi. Pada tahun 2012, Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kemendikbud untuk pertama kalinya menggelar acara Apresiasi Film Indonesia(AFI). Penyelenggaraan AFI kurang jelas urgensinya, karena format dan film-film yang dinilai sama belaka dengan FFI. Mengapa tidak memperkuat FFI saja, festival yang memiliki sejarah panjang dan sudah diakui sebagai barometer produksi dan kualitas film nasional. Alhasil sejak 2012, pemerintah memiliki dua festival, FFI yang diselenggaran Kemenparekraf dan AFI di bawah Kemdikbud. Pada 2015, Kemendikbud membentuk unit kerja baru bernama Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang) Film. Pada tahun itu pula FFI dipegang penuh oleh Pusbang Film, sehingga Kemdikbud menyelenggarakan dua festival film dalam setahun. Bedanya, FFI dilaksanakan oleh BPI, sedangkan

AFI dipegang oleh pihak luar, dari insan perfilman juga, yang sejak awal menggagas AFI. Sama seperti FFI, AFI juga beberapa kali diadakan di daerah, yakni di Istana Maimoon, Medan (2014), Benteng Vredeburg Yogyakarta (2015), Manado (2016), dan di Banyuwangi (2017). Namun pada 2018, pemerintah tampaknya ingin berkonsentrasi pada satu festival saja, sehingga gaung AFI mulai berkurang. Jika mau jujur, FFI juga makin kehilangan daya tarik, dan masyarakat umum kurang peduli. Padahal, tujuan FFI selain menjadi barometer kualitas dan pertumbuhan film nasional, seharusnya juga menjadi alat untuk mendekatkan film dengan masyarakatnya. Konsep penyelenggaraan terkesan elitis, tidak mendekat ke masyarakat. Menurut Firman Bintang, kekuatan FFI itu ada di daerah. Tidak perlu merasa turun derajat jika harus ke daerah-daerah, ikut pawai-pawai. “Orang film harus melaksanakan FFI seperti tujuan para pendahulu. Enggak usah malulah. Cari orang yang paham, mau dan mampu bekerja, serta harus didukung. Tapi kan orang film itu sulit bersatu. Selalu berkelompok,” katanya. FFI adalah ajang silaturahim. Kita berkumpul, berpesta, setelah setahun bekerja. Kita berpesta. Petani aja berpesta, nelayan berpesta. Di dalam pesta itu ada penghargaan-penghargaan kepada orang yang mampu berkarya. Setelah pesta usai, kita kembali bekerja. Jika ada kekurangan, kelemahan, jangan dijadikan perkara besar. Mendekatkan film dengan masyarakatnya merupakan tujuan mulia yang bisa mempertahakan eksistensi film nasional pada tahun-tahun berikutnya. Ini dibuktikan ketika FFI pertama kali diadakan, tahun 1955. Ketika itu masyarakat “golongan atas” menonton film-film buatan Amerika, sedangkan masyarakat “kelas bawah” lebih menyukai film Malaya (Malaysia) dan India. Dengan adanya FFI, masyarakat pelan-pelan menggemari film Indonesia. Wartawan juga berperan besar dalam FFI, karena wartawanlah yang akan menjadi jembatan antara masyarat film dengan masyarakat umum. Di masa lalu wartawan tidak hanya jadi “corong” bagi kegiatan perfilman, tetapi terlibat di dalamnya. Ketika penyelenggaraan FFI mengalami kevakuman akibat kondisi politik yang tidak menentu, wartawan film membuat inisiatif membuat festival sendiri. Antara tahun 1970 sampai 1975 terdapat festival terbatas berupa Pemilihan Aktor/Aktris Terbaik yang diselenggarakan oleh PWI Jaya Seksi Film. Kegiatan ini memang akhirnya tersaingi oleh masyarakat film yang dikelola oleh Yayasan Film Indonesia (YFI), dan mendapat dukungan dari Departemen Penerangan Republik Indonesia, yang pada waktu itu merupakan institusi pembina perfilman nasional. Mengembalikan fungsi FFI menjadi ajang yang mendekatkan dunia perfilman dengan masyarakat adalah sebuah tantangan, apalagi di saat pandemi Korona saat ini. (Herman Wijaya, jurnalis dan pemerhati film)

Laura Basuki - Arman Febryan

This article is from: