4 minute read

Memaknai Jakarta sebagai Ruang Simbolik

Memaknai Jakarta

sebagai Ruang Simbolik

Advertisement

Lanskap kota sejak awal abad ke-19 berkembang sangat pesat dengan kompleksitas elemen dan permasalahannya. Satu persoalan perkotaan berikut masyarakatnya bisa dicermati melalui konsep modernitas, untuk menjelaskan lebih beragam mengenai sejarah perkotaan di Indonesia, seperti dikatakan ahli tata kota Ilham Makkelo. Dalam kacamata ilmu sejarah dan arkeologi, kota-kota merupakan representasi dari identitas dan jati diri bangsa karena budaya materinya (material culture).

Sejarah kota bersifat lokal, karena kota merupakan institusi kecil di bawah provinsi dan negara. Oleh karena itu, pembabakan sejarah kota berbeda dengan pembabakan sejarah nasional. Perubahan-perubahan dalam konteks negara dapat berdampak terhadap kota, namun bisa juga tidak, sehingga pembabakan sejarah kota harus mandiri, tidak perlu tergantung pada pembabakan sejarah nasional. Kota bisa dilihat pula sebagai ruang non-geografis. Para ahli post-struktural melihat kota sebagai sebuah ruang yang lebih kompleks. Henri Lefebvre memandang ruang bukan semata-mata sebagai ruang geografis, melainkan juga ruang sosial yang tidak hanya dihasilkan melalui hubungan produksi dan reproduksi, namun juga hubungan sosial yang kompleks. Secara serentak ruang adalah produksi, sarana produksi, bagian

Monas 1979 - Fridus Steijlen - KITLV D13240

Bundaran HI masa pembangunan MRT 2016 - Syefri Luwis

dari kekuatan sosial faktor produksi, dan objek untuk konsumsi.

Bukan Sekadar Ruang

Kajian mengenai ruang dilakukan misalnya oleh Hans-Dieter Evers dan Rudiger Korff dalam bukunya Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-ruang Sosial. Buku tersebut lebih banyak membahas kota sebagai ruang bermukim dengan segala problematikanya. Studi lain tentang citra kota juga terhimpun dalam buku yang disunting oleh Peter J.M. Nas, Urban Symbolism (1993). Pembabakan sejarah kota yang dijajah dapat dikaitkan dengan era kolonial. Secara umum pembabakannya adalah era kota tradisional (atau kota prakolonial), era kota kolonial, dan era kota pasca-kolonial. Kota tradisional adalah kota yang berkembang ketika berada di bawah kekuasaan penguasa-penguasa lokal, seperti raja dan bupati, sebelum datangnya penjajah. Kotanya secara fisik memiliki ciri khas yang berpusat di seputar pendopo tempat penguasa tradisional tersebut tinggal. Ciri sebagai kota tradisional tidak serta-merta menghilang manakala kolonialisme datang. Era kota kolonial adalah ketika kota-kota berada di bawah kendali pemerintah

Bundaran HI 2016 - Syefri Luwis

kolonial atau pemerintah jajahan. Untuk kasus di Indonesia, kota kolonial muncul pertama kali ketika Belanda mulai menancapkan kekuasaannya. Belanda mendarat pertama kali di Jayakarta, yang kemudian berganti menjadi Batavia, dan diubah lagi menjadi Jakarta semasa pendudukan Jepang. Kota Batavia mulai dibangun oleh Belanda pada awal abad ke-17 dan kemudian dijadikan pusat pemerintahan kolonial di Indonesia. Dari sudut pandang budaya materi (material culture) – khususnya ilmu arkeologi— perkembangan suatu kota merupakan bagian dari siklus panjang dari kehidupan kota, termasuk proses rusak (decay), revitalisasi (revitalization), dan pembaharuan (reclamation). Satu kecenderungan kontemporer dalam penulisan sejarah perkotaan adalah memakai pendekatan dalam antropologi perkotaan, yakni ekologi simbolik perkotaan (urban symbolic ecology), yang menekankan pada dimensi budaya kota, dan berorientasi pada pembentukan, distribusi, makna simbol, serta ritual dalam hubungannya dengan lingkungan binaan. Simbolisme perkotaan diekspresikan melalui tata letak kota, arsitektur, patung, nama jalan dan tempat, puisi, ritual, festival dan prosesi. Juga melalui untaian lain seperti mitos, novel, film, puisi, musik, lagu, dan situs web, yang semuanya dapat disebut sebagai pembawa simbol material, diskursif, ikonik, dan perilaku.

Kota Jakarta yang Penuh Makna

Kota Jakarta (khususnya Kota Jakarta Pusat) tampak penuh dengan simbol, termasuk makna atas monumen utama masa pemerintahan Soekarno. Markus Zahnd melihat dalam konteks sebagai ‘kota Jawa pasca-koloni’, yang secara umum dibangun di awal kemerdekaan Indonesia hingga memasuki zaman globalisasi. Kota Jakarta dapat dikatakan menjadi representasi kota Jawa yang merupakan simbol kuat dari sebuah negara modern Indonesia. Pada awal kemerdekaan Indonesia, Presiden Sukarno ikut merancang kota Jakarta sebagai kekuasaan pusat kota, yang pada masa itu merupakan pusat dari negara yang merdeka. Soekarno membangun tugu monumen nasional (Monas), masjid Istiqlal, dan Hotel Indonesia yang megah, namun dianggap kurang memperhatikan pembangunan fasilitas-fasilitas publik. Jakarta menjadi ‘kota tanpa urbanisme’ dengan menempatkan monumen di tengahtengah pusat kota. Menurut Eryudhawan, pada Perancangan Kota Tahun 1965-1985 Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) membawa perubahan baru dalam modernisasi kota. Kawasan lama seperti Kota Tua

berikut dan bangunan-bangunan bersejarah di dalamnya mendapatkan perhatian. Kemudian, pada tahun 1968 pemerintah daerah melakukan upayaupaya perlindungan dan pengembangan terhadap bangunan lama tersebut. Selanjutnya, pada masa Orde Baru Presiden Soeharto membangun Monumen Lubang Buaya untuk mengenang pengkhianatan PKI tahun 1965, membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sebagai miniatur suku dan budaya Indonesia. Perkembangan ekonomi masa 8090-an yang memunculkan kelas-kelas menengah baru terefleksikan dengan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dan apartemen mewah. Lambat laun, bermunculannya gedung-gedung pencakar langit (city skyline) menetralisir lapisan-lapisan simbolik yang pernah dibangun pada era sebelumnya, termasuk kawasan Kota Tua di pantai utara Jakarta. Kota Jakarta dipopulerkan dengan citra kota modern dan internasional, imajinasi untuk menjadi negara besar. Hal itu dipamerkan dalam bentuk iklan dan berita. Jakarta dalam pandangan Evers merupakan sebuah ‘negara teater’. Simbol-simbol menciptakan fasad modernitas dengan identitas sebagai kota Internasional, namun ada yang disembunyikan oleh Jakarta. Marsely L. Kehoe mengatakan bahwa Jakarta dibangun dalam identitas kolonial Belanda, yang direpresentasikan dengan revitalisasi Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, dan identitas nasionalisme dan kultur Indonesia yang direpresentasikan oleh pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun 1971 oleh Presiden Soeharto. Namun demikian, hingga kini elemen-elemen kolonial masih menjadi bagian dari identitas poskolonial Indonesia pada banyak bangunan-bangunan kolonial yang direvitalisasi. Identitas Kota Jakarta tidak lepas dari momen Kemerdekaan RI 1945, meski masih kuat dipengaruhi oleh unsur kolonial Belanda. Kota Jakarta Pusat merupakan kesatuan ruang dari berbagai peristiwa sejarah yang terwujud melalui tinggalan materi. Dalam SK Gubernur DKI Jakarta No 473/1993, terdapat 63 bangunan dan 4 struktur bersejarah di Jakarta Pusat. Jakarta Pusat pascakemerdekaan memang dirancang penuh simbol material, dengan Monas, masjid Istiqlal, dan bangunan-bangunan perkantoran, yang merepresentasikan kota pra-kolonial dengan keraton, alunalun, dan pusat aktivitas perekonomian yang berdekatan. Sayangnya, kemunculan gedung-gedung pencakar langit menetralisir simbol-simbol tersebut, termasuk di kawasan Kota Tua Jakarta dan Pelabuhan Sunda Kelapa. (Ary Sulistyo, Direktorat Perlindungan Kebudayaan Kemendikbudristek)

This article is from: