5 minute read

Serampang Duabelas, Riwayatmu Dulu Kisahmu Kini

Serampang 12 - shutterstock_1440998126 - https://www. shutterstock.com/g/Sony+Herdiana – Sony Herdiana

Serampang Duabelas

Advertisement

Riwayatmu Dulu, Kisahmu Kini

Masa pembatasan kegiatan karena pandemi covid-19 yang meskipun menghambat peneliti dalam pengumpulan data, ternyata membawa pemikiran baru tentang tari serampang duabelas. Sebagai tari, serampang duabelas memiliki makna tersendiri dalam penulisan tari pergaulan yang bermula pada sekitar 1959 tersebut

Pemaknaan terhadap serampang duabelas mau tidak mau harus dikaitkan dengan kebijakan kebudayaan Bung Karno, Presiden I RI, yaitu pengembangan tari tradisi menjadi tari pergaulan nasional. Kebijakan ini diambil sebagai perlawanan budaya terhadap invasi musik dengan tari rock and roll Bill Hayley yang masuk ke Indonesia melalui populerisasi filmnya. Musik dan tari rock and roll tersebut dianggap tidak senonoh dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Serampang duabelas diciptakan oleh Sauti Daulay, seorang guru sekolah asal Perbaungan, Medan, pada tahun 1938 sebelum Perang Dunia II. Sauti merasa perlu membuat tarian yang lebih teratur berdasarkan gerak tari Melayu, sebagaimana terdapat di Sumatera Utara, di antara komunitas rakyat pedesaan maupun di lingkungan istana Melayu, misalnya Istana Serdang. Saat itu, taritarian yang masih berfungsi sebagai ritual sosial, dipertahankan sebagai upaya mengangkat budaya Melayu dan upaya menghimpun pergaulan antarkomunitas. Sauti kemudian menggarapnya dengan tema kisah kasih muda mudi dan menjadikannya semacam ‘tari perkawinan’. Menurut Tengku Lukman Sinar, budayawan Melayu dan penulis buku Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu, tari Melayu yang ada saat ini hanya menggunakan gerak kaki melompat-lompat dan kelincahan gerak tangan mengutamakan lirikan mata mengikuti irama seperti lagu dua. Tari serampang duabelas terdiri atas duabelas ragam irama/lagu Melayu seperti senandung, mak inang, atau irama yang terpengaruh oleh irama Portugis seperti lagu dua, pulau sari, dan pengaruh Arab zapin, barodah, serta juga pengaruh Karo patam patam, gubang.

Keduabelas ragam irama dalam tari menyampaikan kisah kasih mdua sejoli dari: pertemuan, meresap, memendam rasa, mabuk payang, tanda cinta, balasan isyarat, menduga, masih belum percaya, jawaban, pinangan, mengantar pengantin bersanding, pertemuan kasih mesra dengan sapu tangan. Tari serampang duabelas sebagai tari berpasangan memiliki kerumitan gerak kaki yang lincah dan dinamis, bisa menjadi tari pergaulan yang bersifat hiburan ataupun lenggang lenggok penyanyi pop, maupun ditingkatkan menjadi seni pertunjukan.

Masuknya budaya pop dari Barat melalui radio dan film dianggap memberi pengaruh yang tidak sesuai dengan ideologi yang dicanangkan pada tahun 1959 dan tidak sejalan dengan promosi kepribadian nasional. Tari serampang duabelas dirancang untuk menangkis hiburan pergaulan dansa-dansi yang mulai populer. Tari ini memang akhirnya cocok dengan zaman itu, serta menjadi daya tarik kuat bagi para pemuda dan pelajar termasuk golongan tuanya.

Hiburan Populer dan juga Tradisi

Dinamika ragam irama dengan kelincahan gerak kaki banyak mengisi pertunjukan hiburan populer di tahun 60-an dengan berbagai variasi oleh grup hiburan Melayu, dan mungkin bisa dikatakan semacam prolog terhadap “boom” musik dan joget dangdut di kemudian hari. Ragamnya disukai khalayak muda karena dinamis, lincah, dan menggairahkan.

Para selebriti Melayu-Minang seperti Elly Kasim, Nuskan Syarief, dan Yuni Amir populer berkat jogetan serampang duabelas ini. Koreografer semacam Syaugi Bustami, Yuni Amir, Nurdjajadi yang terkenal dengan tari senandung kipas menjadi selebriti berkat pengembangan serampang duabelas melalui media populer dan film. Demikian juga Nani Widjaja selebritas film, pada

Sajembara Serampang 12 se-Indonesia ke-3 di Medan 21-28 April 1963 - Perpusnas RI

awalnya adalah bintang serampang duabelas bersama Yuni Amir dan Nizmah pada masa itu.

Tari ini kemudian berkembang ke Singapura dan Malaysia berkat tangan dingin Tengku Yohanit, penari asal Medan, dan Suryanti Liu Cun Wai (Acun). Suryanti Liu Cun Wai yang pernah jadi juara bertahan lomba Festival Serampang Duabelas kemudian menjadi maestro pengembang tari ini di Singapura dan Malaysia. Kini Suryanti promotor tari Indonesia di Hongkong bersama The Southeast Asia Dance Troupe. Pada masa 60-an, bersama tari Indonesia lainnya, tari serampang duabelas ikut dalam berbagai Misi Muhibah Kebudayaan Indonesia ke luar negeri. Misi kebudayaan tersebut memengaruhi perkembangan budaya Melayu di negara tetangga, utamanya Singapura dan Semenanjung Melayu.

Siapa pun yang bisa menari dan mengalaminya pada masa itu tahu bahwa tari serampang duabelas ibarat ‘demam Covid’ yang merasuki anak muda. Perkembangan tarian ini sempat terhenti sejenak pada tahun 1965, namun syukurlah, serampang duabelas bangkit kembali sebagai tari tradisional dan ramai dibahas.

Puncaknya, Dewan Kesenian Jakarta di tahun 1976 Lokakarya Tari Melayu dalam perhelatan Pesta Seni Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Diskusi ini diharapkan menjadi dorongan kreativitas untuk mengejar ketertinggalan tari pergaulan nasional ini sekaligus menjawab perubahan zaman yang serba cepat. DKJ berharap agar tari Melayu bertumbuh dan menjadi faktor pembangkit kebudayaan nasional. Selanjutnya, pada tahun 80-an Tom Ibnur hadir dan membangkitkan alternatif

lain dalam pengembangan tari Melayu melalui zapin yang merupakan satu ragam serampang duabelas. Kini, di 2021, tiba-tiba muncul suatu gagasan untuk menggelar Zapin Award.

Tantangan Masa Kini

Jika pada masa serampang duabelas, rock and roll saja yang dihadapi, maka sekarang ada berbagai varian ballroom dance yang latino seperti cha cha cha, samba, salsa, bachata, dan zumba, baik sebagai tari pergaulan, maupun pertunjukan kompetitif di ranah olimpiade sebagai program dari “World Dancesport Federation”. Namun demikian, yang menggembirakan, bermunculan pula line dance gaya budaya lokal Indonesia. Bermula dari Poco Poco, lalu Lenggang Jakarta, dan Maumere.

Kemajuan media dan teknologi membawa serampang duabelas meluas ke dalam ekspresi seni hiburan termasuk seni pertunjukan populer yang pasang surutnya pun bisa cepat berganti sesuai dinamika terhadap selera yang baru dan inovatif. Di Barat, dapat disaksikan perkembangan seni hiburan dan pertunjukan populer yang dahsyat itu, yang juga memberi pengaruh ke negara kita, berkat proses globalisasi yang ditunjang oleh ekonomi kreatif, yang menunjang komoditas politik perdagangan.

Masa telah berubah dan ideologi tidak memberi pengaruh lagi pada hiburan populer, kelihatannya. Namun demikian kreativitas yang bersumber pada tari lokal bisa menjadi pertimbangan untuk dikemas sebagai kompetisi untuk meraih berbagai kompetensi, seperti melalui ekonomi kreatif. Menarik untuk diperhatikan, agar line dance gaya lokal Indonesia di arena kebugaran maupun kesenian dapat dikedepankan, mengingat bahwa serampang duabelas dulu dapat ‘merasuki’ siapa pun ibarat ’covid’.

Adalah penting untuk mengangkat seni hiburan populer ke arena yang lebih luas dan akan lebih baik jika ditunjang dengan kebijakan dalam ekonomi kreatif, terutama untuk pengembangan seni tari. Jika tidak, serampang duabelas akan tinggal kenangan saja, tertinggal dalam ranah tradisional. Tari itu hanya cukup dijunjung dalam peringatan “Hari Tari Serampang Duabelas” sambil mengenang “boom serampang duabelas” yang dahsyat tahun 60-an itu. Kita memberi apresiasi kepada Bung Karno yang pernah mencanangkannya sebagai tari pergaulan nasional serta Sauti Daulay yang pertama kali menampilkannya pada tanggal 9 April 1938 di Medan. (Julianti

Parani Ph.D. koreografer-penari,

peneliti- penulis, dosen senior IKJ)

Peserta Sajembara Serampang 12 tahun 1963 - Perpusnas RI

This article is from: