5 minute read
Pesta “Ma’a Ta’a”, Sukacita Warga Hendea
Sukacita Warga Hendea
Advertisement
Ma’a ta’a merupakan tradisi masyarakat Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang dalam bahasa suku Cia-cia berarti acara makan bersama. Seiring waktu, ma’a ta’a lebih dikenal sebagai nama pesta kampung. Acaranya memang makan-makan. Tiap rumah menyiapkan makanan dan kue-kue yang dihidangkan untuk sanak saudara, kerabat, dan tamu yang datang bertandang. Adapun puncak acara makan bersama diselenggarakan di baruga (galampa). Tradisi ma’a ta’a juga menjadi ajang pertemuan bagi warga yang memiliki sanak keluarga di daerah rantau.
Ma’a ta’a digelar setahun sekali oleh masyarakat Desa Hendea, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara secara turun-temurun dan tetap lestari hingga kini. Secara geografis, Desa Hendea di Kabupaten Buton Selatan berada di daerah pegunungan yang cocok untuk lahan pertanian dengan jumlah penduduk 2.017 jiwa pada tahun 2019. Biasanya ma’a ta’a dilaksanakan seusai panen padi atau hasil bumi, seperti lazimnya ritual-ritual masyarakat agraris.
Victor Turner berpandangan bahwa ritual dalam sudut pandang antropologi merupakan salah satu bentuk drama sosial yang menampilkan peran-peran simbolik. Melalui drama sosial itu, berbagai segi kehidupan masyarakat dipertunjukkan untuk ditanggapi bersama (The Forest of Symbols, Aspects Of Ndembu Ritual, 1987, halaman 32-33). Secara spesifik di dalam ritual peralihan atau the rites of passages terjadi proses pengolahan batin yang menyebabkan manusia mampu keluar dari berbagai konflik akibat adanya perubahanperubahan yang dihadapi manusia dalam hidupnya (halaman 94).
Pesta adat ma’a ta’a atau mata’a (bersenang-senang) dilakukan sebagai rasa syukur karena masa panen musim timur dan musim barat telah berhasil dilalui dengan baik. Pesta adat ini sudah dilakukan secara turun-temurun sejak ratusan tahun lalu, yang dimulai atas izin dan kebijakan Sultan Buton saat itu. Makanan dan minuman yang disajikan dalam ritual adat ini merupakan wujud terima kasih kepada Yang Maha Kuasa (Suku Cia-cia Gelar Pesta Adat Mata’a, 2010, kompas.com).
Ma’a Ta’a untuk Cia-cia -
Bersuka cita dalam rasa
Beberapa Tahapan Ritual
Puncak acara tradisi ma’a ta’a dihelat selama tiga hari dengan berbagai tahapan pelaksanaannya. Tahapan pertama adalah to oano ma’a ta’a atau musyawarah penentuan hari baik yang dipimpin oleh pemangku adat dan dihadiri oleh masyarakat di galampa (baruga). Dalam tahapan ini, setelah ada kesepakatan dalam musyawarah adat, maka acara ma’a ta’a diputuskan dua belas hari kemudian (dikutip dari laman desabudaya.kemdikbud.go.id, diakses Agustus 2021).
Tahap berikutnya adalah nduano ganda atau dalam Bahasa Indonesia diartikan tabuh atau membunyikan kendang. Instrumen yang digunakan dalam acara ini adalah kendang yang disebut lakanterega, satu alat musik tradisional yang terbuat dari kayu dan kulit kambing yang berdiameter 50 cm. Acara tabuh kendang itu dilakukan pada malam hari di rumah adat (galampa) yang dihadiri oleh pemangku adat (mancuana popa’ano) dan para tokoh masyarakat dari kaum laki laki (sarano anamhane). Nduano ganda adalah pertanda bahwa acara puncak ma’a ta’a akan dimulai empat hari kemudian. Tahapan ketiga adalah tampoano api yang bermakna bakar dupa. Proses ini dilaksanakan oleh tetua adat di (baruga) atau galampa, dengan membakar dupa sembari membacakan doa kepada arwah para leluhur yang telah gugur. Masyarakat yang keluarganya telah meninggal juga melakukan ritual bakar dupa dan berziarah ke makam orang tua atau anggota keluarga lain pada sore hari. Setelah proses ziarah selesai, masingmasing silsilah keluarga berkumpul di rumah saudara tertua perempuan dengan membawa talang berisi makanan untuk melakukan baca doa dan makan bersama. Ritual ini bertujuan agar masyarakat tetap mengingat anggotaanggota keluarga yang telah meninggal.
Seusai bakar dupa, acara selanjutnya adalah posambua. Tokoh-tokoh adat duduk saling berhadapan lalu saling suap makanan berupa ketupat besar (kauru), yang diiringi dengan doa. Para tetua adat lalu saling berbalas syair dengan kalimat-kalimat nasihat atau ajakan kepada seluruh masyarakat untuk saling berbagi dan menghargai, menghormati, dan menjaga tali silaturahim demi kokohnya tali persaudaraan.
Acara puncak ma’a ta’a yang dinanti pun tiba. Karamea a’alono atau pesta sehari semalam pada pukul 08:00 pagi hingga 05:30 pagi berikutnya. Ritual itu diawali dengan pipalikiano bicubitara, yakni pengumpulan hasil panen yang digantung di tiap-tiap rumah warga, seperti ubi kayu, jagung, kacang tanah, kelapa, dan tanaman lainnya. Pipalikiano bicubitara tersebut hanya dilakukan oleh pemuda (sarano anamhane). Setelah itu, seluruh sarano anamhane diarahkan kembali ke galampa untuk melakukan bongka barata.
Pelaksanaan acara bongka barata diawali dengan mengelilingi halaman galampa
Tua muda turut berpesta Segala unsur masyarakat dalam Ma’a Ta’a
tiga kali oleh seorang tetua adat sebagai pembuka acara pangencei atau mangaru, pilinda atau tari linda, dan manca atau pencak silat. Kegiatan menari linda dan pencak silat ini terus dilakukan secara bergantian oleh seluruh lapisan masyarakat mulai anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua dengan iringan gendang lakanterega sampai esok pagi. Terakhir adalah kalepa, yakni cara penyuguhan makanan di atas talang sekaligus baca doa bersama yang dipimpin oleh pemangku adat sebagai wujud syukur atas berhasilnya pesta panen dalam setahun. Pelaksanaan acara ini hanya dihadiri orang tua (kepala keluarga) di galampa yang terdiri dari bebagai macam profesi. Baca doa ini bertujuan untuk menjaga keselamatan para petani, pedagang, polisi, tentara, dan semua warga ketika mencari nafkah baik itu di kampung atau di perantauan. Setelah baca doa dan makan bersama, mereka pun saling bersalaman, menandai pungkasnya pesta adat ma’a ta’a.
Mempererat Tali Kekeluargaan
Bagi suku Cia-cia, ritual ma’a ta’a menunjukkan pentingnya menjaga silaturahim untuk mengikat erat tali kekeluargaan demi terciptanya persatuan. Dengan penuh semangat dan doa-doa para tetua, tanpa pantang menyerah dan harapan besar untuk kembali bertandang ke kampung halaman, seluruh aktvifitas masyarakat kembali seperti biasanya. Petani kembali bergelut dengan tanamannya, perantau kembali angkat jangkar mengarungi samudera, polisi dan tentara telah bersiap berjagajaga, dan para guru kembali teguh ke sekolah. Budaya ma’a ta’a ini sudah menjadi warisan tertua dari para leluhur yang tetap dijaga dan dilestarikan oleh warga Desa Hendea.
Budaya ma’a ta’a merupakan media komunikasi yang efektif bagi suku Ciacia untuk menjembatani komunikasi antarwarga lintas generasi, terutama dalam mempererat kekeluargaan. Kebudayaan ini sekaligus menjadi media yang efektif digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak luas sebagaimana definisi media dalam pandangan Harfield Cangara (Pengantar Ilmu Komunikasi, 1998: halaman 119).
Media juga merupakan perpanjangan indera manusia, mengutip Marshal Macluhan dalam Dedi Kurnia Syah Putra (Media dan Politik, Menemukan Relasi antara Dimensi Simbiosis Mutualisme, Media dan Politik, 2012: halaman 2). Definisi media tersebut cocok untuk menggambarkan budaya ma’a ta’a sebagai medium komunikasi kepada leluhur dan antarwarga. Semua indera terlibat. (Faishal Hilmy Maulida, M.