5 minute read

Akulturasi Melintas Batas di Desa Paya Dedep

Mungkin sebagian dari kita belum tahu bahwa di Aceh, khususnya di tanah Gayo, budaya Jawa hidup dan bertahan sebagaimana di tempat asalnya, dan makin kaya setelah mengalami akulturasi dengan budaya setempat. Beberapa kabupaten menjadi kantung-kantung pemukiman komunitas Jawa, seperti Aceh Tamiang, Langsa, Aceh Besar, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Singkil. Sebagian dari mereka sudah menetap sejak masa ko-Akulturasi lonial, yang didatangkan untuk bekerja di perkebunan milik orang-orang Eropa. Melintas Sebagian datang pada masa awal kemerdekaan Indonesia, dan sebagian lain mengikuti program transmigrasi di era Presiden Soeharto tahun 1982. Batas di Desa Paya Dedep

Melintas batas dalam budaya Zullubis

Advertisement

Kopi untuk tiap generasi Zullubis

Akulturasi lewat cinta Zullubis

Desa Paya Dedep di Kecamatan Jagong Jeget, Kabupaten Aceh Tengah merupakan satu desa yang muncul dan berkembang karena adanya program transmigrasi. Sebelum dimekarkan, desa ini menjadi bagian dari Desa Paya Tungel, satu dari 7 Unit Penempatan Transmigrasi (UPT) yang ada di Kabupaten Aceh Tengah. Secara geografis, Desa Paya Dedep terletak di kawasan pegunungan dengan ketinggian sekitar 1600 mdpl. Hawa sangat dingin. Kalau kita lihat dari aplikasi Accuweather, suhu udara pada pukul 11.00 hanya 19 derajat celcius di cuaca normal. Pukul 3.00 dini hari, suhunya bisa di bawah 0 derajat. Kalau di Jawa, suhunya kira-kira sama seperti di dataran tinggi Dieng. Suasananya saja yang berbeda. Kalau Dieng terkenal dengan kentangnya, Paya Dedep kondang dengan kopinya.

Kopi memang komoditi unggulan dataran tinggi Gayo, dari Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, hingga ke Gayo Lues. Kalau menurut Q Grader, kopi gayo memiliki karakter aroma dan cita rasa yang khas. Kualitas bijinya sangat sesuai untuk beragam pemrosesan, terutama fermentasi natural. Selain itu, kadar keasamannya juga rendah, sehingga kopi gayo relatif aman dikonsumsi oleh orang-orang dengan masalah lambung. Beragam sayur dan buah seperti jeruk dan pepaya juga tumbuh bagus. Usia komunitas Jawa di Paya Dedep

memang masih terbilang muda, yakni sekitar 40-an tahun atau dua generasi kelahiran, setelah kedatangan pertama. Kenangan akan tempat asal masih melekat dengan kuat, dan masih memiliki keterikatan emosional dengan tempat asal, atau istilahnya belum paten obor.

Adaptatif, Ramah, dan Terbuka

Sama seperti komunitas Jawa lain yang ada di tanah Gayo, komunitas Jawa di Paya Dedep selalu menunjukkan sikap terbuka kepada orang lain. Mereka sudah terbiasa melihat orang luar yang datang berkunjung. Senyum mereka memberikan rasa hangat di dalam hati, dan menjadi selimut di tengah suhu dingin yang menusuk hingga ke tulang. Sungguh kesan yang luar biasa, padahal desa ini bukan termasuk kawasan pariwisata. Disadari atau tidak, sikap ramah dan terbuka ini sebenarnya adalah modal dasar sumber daya manusia ideal, yang jika diramu dengan keindahan alam akan menjadikan Desa Paya Dedep sebagai kawasan ekowisata berbasis budaya. Warga Paya Dedep memiliki ikatan kuat satu sama lain, yang bahkan melebihi hubungan darah. Ikatan ini lahir dari sejarah yang panjang tentang cerita senasib dan sepenanggungan, ketika mereka datang di kapal yang sama, merasakan pahitnya membuka lahan dengan hanya bermodalkan tenaga dan alat seadanya, hingga menjalani kehidupan sesudahnya. Semua itu mengakibatkan terbangunnya ikatan kelompok dengan tingkat kohesi sosial yang sangat kuat, yang oleh sosiolog Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi disebut paguyuban.

Paguyuban yang terbentuk tidak hanya sebatas pada komunitas Jawa saja, tetapi juga dengan suku lain termasuk orang Gayo sebagai penduduk asli. Merujuk Ferdinand Tonnies, model paguyuban seperti ini disebut gemeinschaft by place, atau paguyuban yang muncul karena orang-orang tinggal berdekatan di suatu daerah. Maknanya jauh lebih dalam dari ikatan kelompok berdasarkan hubungan kekerabatan (gemeinschaft by blood), sebab ikatan yang dibangun melampaui berbagai perbedaan identitas kultural seperti suku dan bahkan agama. Ikatan ini juga yang kemudian memunculkan istilah sedulur sak kampung bagi orangorang Gayo dan orang dari suku lain yang tinggal bersama mereka. Saat ini, komunitas Jawa di Tanah Gayo menguasai sedikitnya dua bahasa daerah, yakni bahasa Jawa sebagai bahasa ibu serta bahasa Gayo sebagai bahasa pasar (lingua franca). Bahkan tidak sedikit yang menguasai bahasa Aceh dan bahasa Jamee. Bahasa-bahasa tersebut mereka kuasai untuk dapat berbaur dengan masyarakat setempat, khususnya terkait dengan kegiatan jual-beli yang menjangkau sampai ke luar kabupaten dan provinsi. Bahasa setempat juga dipakai untuk menghormati kebudayaan yang lebih dulu ada. Misalnya, jika mereka sedang berkumpul dan kebetulan di antara mereka ada orang Gayo, mereka akan berbicara dengan bahasa Gayo. Penggunaan bahasa ini mungkin terlihat sederhana, tetapi inilah bentuk sikap toleransi yang ada pada komunitas Jawa di Paya Dedep.

Dentum melintas batas Zullubis

Kopi, persembahan untuk negeri Zullubis

Seni bagi kekayaan jiwa - Zullubis

Akulturasi dan Kawin Campur

Dalam konsep antropologi, setiap kebudayaan yang tinggal berdekatan selama kurun waktu tertentu akan memicu terjadinya proses akulturasi. Secara sederhana, akulturasi ini adalah situasi ketika kebudayaan yang satu mempelajari satu atau beberapa unsur kebudayaan lain dan menjadikannya bagian dari kebudayaannya. Unsur kebudayaan yang dimaksud bisa dalam bentuk tradisi, bahasa, sistem kemasyarakatan, pengetahuan, ritus, religi, serta kesenian. Di desa Paya Dedep, akulturasi antara kebudayaan Jawa dengan Gayo yang telah hidup berdampingan untuk waktu yang lama. Dalam sebuah film pendek berjudul “Jangin” yang dirilis oleh komunitas anak muda bernama Etnis Mountain Signature (EMS), diilustrasikan bahwa akulturasi terjadi dalam wadah seni hingga melampaui batasan kultural yang ada. Pada salah satu cuplikan film, anak-anak keturunan Jawa menari guel dan anakanak Gayo memainkan kesenian reog. Klimaksnya adalah, reog dan guel menari dalam satu panggung dilatarbelakangi oleh bentang alam yang indah sebagai simbolisme keharmonisan antara dua kultur yang berbeda. Kondisi ini menjadi gambaran ideal tentang bagaimana seharusnya kita hidup berdampingan dalam perbedaan.

Akulturasi budaya yang terjadi pada komunitas Jawa di Paya Dedep ini merupakan bukti bahwa setiap manusia memiliki kemampuan resiliensi yang membuat mereka mudah beradaptasi dengan lingkungan. Strategi resiliensi yang mereka lakukan sebenarnya cukup sederhana, yakni dengan memegang peribahasa “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Terbukti, tidak ada konflik yang terdengar di antara mereka sejak tahun 1982.

Dari berbagai proses peleburan di Paya Dedep, kawin campur adalah satu hal yang unik. Kawin campur itu biasanya terjadi antara orang Jawa dengan suku Gayo, namun ada pula orang Jawa yang kawin dengan orang dari suku lain karena merantau lalu kembali ke Paya Dedep. Dalam kawin campur itu, akulturasi terjadi dengan sangat intens. Misalnya ketika akad nikah, kedua pasangan biasanya mengenakan kerawang Gayo sebagaimana lazimnya tradisi yang berlaku di Aceh Tengah. Begitu juga dengan resepsi, para pengantin biasanya akan berganti pakaian sesuai dengan adat masing-masing sebagai simbol bahwa mereka telah mengikat janji hidup di bawah dua nilai yang berbeda. Tak lupa, gagar mayang menjadi saksi bersatunya dua sejoli yang berbeda suku bangsa.

Kawin campur ini menghasilkan generasi baru yang oleh Prof. Usman Pelly disebut sebagai generasi hibrida (hybrid generation). Generasi hibrida adalah kunci untuk mewujudkan masyarakat yang lebih terintegrasi, sebab mereka adalah hasil dari proses akulturasi budaya dalam bentuk yang nyata. Perbedaan identitas tidak hanya hidup di sekitar mereka, tetapi juga mengalir di dalam darahnya. Mereka bukan orang Jawa, bukan pula orang Gayo, tetapi mereka bisa menjadi Jawa dan Gayo. Oleh karena itu, mereka mampu memahami setiap perbedaan sehingga meminimalisir potensi konflik. (Dharma Kelana Putra, BPNB Aceh)

This article is from: