11 minute read
Sawakka, Berkebun dan Bersyukur di Talaud
Horja Siluluton
Upacara Kematian Batak Angkola
Advertisement
Anak laki-laki yang memakai Happu atau mahkota Raja Batak Angkola adalah cucu pertama mendiang yang dibuatkan horja siluluton. Pepatah Batak Angkola berkata, habang halihi tinggal tungko atau telah terbang elang tinggallah tungkai - Andian Siregar Siagian
Ketika ada seseorang yang meninggal dalam masyarakat adat Batak Angkola maka mereka berkata, “habang halihi tinggal tukko” (terbanglah elang tinggal tonggak). Ritual kematian masyarakat yang tinggal di wilayah Tapanuli Bagian Selatan itu sudah ada sejak Ompu Palti Raja Siregar, Raja Angkola – Sipirok. Ritual tersebut berlanjutkan ke keturunannya yang kemudian tersebar di Parau Sorat, Baringin, Sipirok Godang. Ketika itu masyarakat yang mendiami lembah gunung Sibualbuali itu masih menganut keyakinan Ha – sipelebeguon (animisme). Masyarakat Batak Angkola yang kemudian mayoritas beragama Islam mengubah upacara adat yang
dikenal dengan istilah gaja lumpat tersebut menjadi horja siluluton (pesta kemalangan) yang dilangsungkan ketika seseorang meninggal dunia. Orang Batak Angkola meyakini bahwa pada saat seseorang meninggal maka sudah selesai tugas dunia.
Kata siluluton memiliki arti duka cita. Dengan demikian, horja siluluton berarti aktivitas berkaitan dengan kemalangan, seperti kematian, membangun kuburan, memindahkan kuburan. Fokus diskusi dibatasi hanya pada upacara kematian. Secara adat, orang Batak Angkola ketika ada kematian melaksanakan tradisi sebagai berikut; membunyikan tawak-tawak, ogung dan tabuh untuk memberitahukan warga huta atau luat bahwa ada kerabat mereka yang meninggal. Keluarga orang yang meninggal selanjutnya memotong kerbau (nabontar/longa tinuktung). Untuk diperhatikan, pemotongan kerbau baru dapat dilaksanakan apabila yang meninggal itu ketika berumah tangga sudah diadati atau dipestakan secara adat.
Pelaksanaan adat siluluton tidak akan pernah terlepas dari sistem kekerabatan dalihan natolu. Penyembelihan nabontar (kerbau) bukan hanya simbol bahwa yang meninggal sudah memasuki tujuan hidup tertinggi; hasangapon melainkan juga petanda kesedihan. Tulan riccan (daging paha) kerbau yang disembelih secara khusus untuk menghormati kematian tersebut akan diserahkan secara adat oleh kahanggi (kerabat seketurunan) dan anak boru (pengambil istri) yang meninggal kepada mora (pemberi istri). Penyerahan tulan riccan tersebut adalah pengganti kata bahwa anak borunya (pengambil istri dari pihaknya) sudah meninggal dan anak perempuan atau saudara perempuannya sudah menjanda. Ritual ini dimulai dengan musyawarah keluarga yang disebut tahi ni suhut na dialap tahi ni kahanggi ditungkoli anak boru dohot di tuai morana. Seusai musyawarah pertama, tuan rumah dan kerabatnya wajib mengundang raja-raja dengan perantara sembah sirih dan berita sirih yang mengabarkan bahwa akan dilangsungkan sidang adat yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung. Pada persidangan adat, Raja Panusunan Bulung akan mempertanyakan maksud dan tujuan keluarga mengundang raja dan menanyakan kenapa ada hombung dan roto di sekitar rumah yang kemalangan tersebut. Raja juga bertanya mengenai gelar adat orang yang meninggal agar nanti dapat ditabalkan kepada cucu laki-laki pertama dari anak laki-laki almarhum. Lahanan atau syarat utama dari pelaksanaan ritual ini adalah kerbau yang akan dipotong dan disuguhkan kepada Raja dan masyarakatnya.
Sebelum jenazah dibawa ke pekuburan terlebih dahulu dilaksanakan acara “manariakkon”, yaitu membacakan riwayat dan kebaikan-kebaikan mendiang. Manariakkon “habang halihi tinggal tukko” - Andian Siregar Siagian
Rombongan prajurit mengawal cucu pertama mendiang menuju pemakaman. Sepulang dari pemakaman sang cucu akan langsung ditabalkan dengan nama raja yang sama dengan mendiang oppungnya - Andian Siregar Siagian
Kendaraan Menuju Alam Atas
Pelaksanaan ritual adat siluluton dilakukan sesakral mungkin. Dalam ritual horja siluluton dalam masyarakat Batak Angkola adalah keberadaan hombung dan roto. Penghormatan yang diberikan kepada seseorang yang meninggal dalam suasana keadatan sayur matua bulung adalah pada saat menuju pemakaman jenazah diletakkan di atas roto (roppan) yaitu semacam meja yang bertiang empat setinggi 0, 50 cm.
Kerabat mendiang memberangkatkan jenazah di dalam hombung (keranda) yang dilengkapi roto (penutupnya secara lengkap). Masing-masing roto mengikuti hombung yang sesuai dengan tingkatan dan derajat jenazah. - Andian Siregar Siagian
Hombung adalah peti penutup jenazah yang dibuat dari kayu yang diberi ukiran angkola dihiasi dengan ulos angkola dan dililiti kain merah putih dan hitam. Sedangkan roto adalah keranda jenazah yang terbuat dari bambu. Hombung bukan hanya penutup semata tetapi menjadi penanda khas. Hombung dan roto ini mempunyai 3 macam tingkatan:
1. Roto gobak satu paket dengan hombung manusun/hombung manolon, 2. Roto payung satu paket dengan hombung rapotan, 3. Roto gaja lumpat satu paket dengan hombung rapotan
Penggunaan roto tersebut disesuaikan dengan status terakhir orang yang meninggal. Roto gobak atau keranda selimut diberikan kepada orang dari kalangan biasa yang diakhir hidupnya mempunyai keturunan yang mampu menyembelih seekor kerbau untuk pesta kemalangan orang tua mereka. Roto payung diberikan kepada orang yang berasal dari keturunan raja-raja huta atau raja-raja luat yang memimpin kampung atau wilayah kecamatan di tempat mereka tinggal.
Roto pada tingkatan tertinggi adalah roto gaja lumpat yang diberikan kepada orang yang meninggal berasal dari keluarga yang telah memotong tujuh kerbau sepanjang tujuh keturunan berturut-turut dari nenek moyangnya, sudah lanjut usia, semua anaknya sudah selesai adat (menikah), sering mengikuti upacara adat baik besar maupun kecil di dalam kampung atau diluar kampung, pendopo pemakaman sudah dipersiapkan. Sebagaimana ritual lainnya, ritual horja siluluton ini mempersyaratkan perlengkapan upacara sepanjang adat atau surat tumbaga holing upacara tersebut, yaitu; kerbau, payung rarangan (payung adat berwarna kuning yang dikembangkan tepat di depan rumah duka dan pada saat jenazah diberangkatkan ke pemakaman paying tersebut digunakan oleh cucu raja orang yang meninggal tersebut.
Selanjutnya, pedang dan tombak untuk menjaga raja, tuku atau happu yang dikenakan cucu raja, haronduk (tempat sirih) yang dilapisi kain berwarna kuning untuk tempat daun sirih, bendera merah putih yang didirikan tepat didepan halaman rumah duka yang melambangkan kewarganegaraan Indonesia, bendera adat yang tiangnya dari bambu yang tidak dipotong ujungnya agar lekukan bambu tersebut
bisa menghadap rumah duka yang melambangkan duka cita, ulos sadum Angkola atau abit godang, doal (gong kecil), uang receh, dan beras kuning. Sebelum jenazah diberangkatkan ke pemakaman masih ada acara yang disebut manariakkon (pidato) dari pihak keluarga. Pada kesempatan itu dilaksanakan juga pembacaan jujur ngolu (daftar riwayat hidup) jenazah oleh unsur dalihan natolu, pemerintah setempat, pemuka agama, raja-raja, dan ditutup dengan pidato Raja Panusunan Bulung. Raja Panusunan Bulung (raja wilayah adat tempatan) dalam pidatonya menjelaskan satu-persatu makna perlengkapan sepanjang adat yang dihadirkan dalam ritual ini dan mengumumkan pemberian gelar turunan kepada cucu almarhum. Selanjutnya, Raja Panusunan Bulung memerintahkan pengangkat jenazah agar maju ke depan dan ke belakang tujuh kali. Itu adalah perlambang agar segala perselisihan dan perbuatan menyakitkan hati yang belum diselesaikan semasa hidup, dapat disudahi.
Bersamaan dengan prosesi maju dan mundur tujuh kali tersebut, anak boru atau pihak pengambil istri dari jenazah akan menebar uang receh yang sudah dicampur dengan beras kuning sebagai perlambang dari penggantian utang-piutang almarhum yang belum selesai semasa hidupnya. Pidato Raja Panusunan Bulung ditutup dengan meneriakkan kata horas sebanyak tiga kali disertai pemukulan doal (gong kecil) sebanyak-banyaknya dalam hitungan ganjil. Selanjutnya, jenazah diserahkan kepada pihak pemuka agama untuk dimakamkan. Upacara adat dilanjutkan kembali setelah rombongan pengantar jenazah kembali dari pekuburan, yakni penabalan gelar turunan dari orang yang meninggal kepada cucu laki-laki tertuanya. Upacara ini dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung dan didampingi oleh Raja Pangondian dan raja-raja lain. Penabalan gelar merupakan pertanda berakhirnya upacara adat tersebut dan gelar pun dinyatakan sah sepanjang adat. Ritual ini memang merupakan perwujudan dari nilai budaya level tertinggi yaitu hasangapon atau kebertuahan. Horja siluluton dilaksanakan untuk merayakan daur hidup terakhir Orang Batak Angkola, yaitu kematian. (Andian Siregar Siagian, Pemuda
pemerhati Adat dan Kebudayaan
Batak Angkola)
Masyarakat setempat ikut mempersiapkan hombung atau keranda yang akan membawa jenazah mendiang ke kuburannya - Andian Siregar Siagian
Pemandangan Talaud - shutterstock_1839399103 – Obet Semuel - https:// www.shutterstock.com/g/Obet+Semuel
Masyarakat Talaud adalah suatu kelompok masyarakat yang secara historis kultural mendiami gugusan kepulauan di bibir pasifik yang dikenal dengan pulau-pulau di Kabupaten Kepulauan Talaud, sebagai pulau terluar di atas Sulawesi Utara yang merupakan beranda NKRI, berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. Mereka telah hadir kira-kira 4.000 tahun sebelum Masehi. Nama Talaud dalam bahasa daerah disebut “taloda” yang berasal dari dua kata, yaitu kata “talo” adalah nama orang yang berasal dari Talaud, dan kata “oda” adalah nama isterinya yang berasal dari pulau Mindanao, Filipina. Keduanya digabungkan menjadi “taloda” dan menjadi nama anak keturunan mereka berdua. Berkembang juga cerita bahwa nama “Talaud” berasal dari akar kata “melaude” yang berarti jauh ke laut, mendapat awalan “ta” yang berarti tidak, sehingga Talaud berarti tidak jauh dari Laut. Talaud bisa juga berasal dari akar kata “tau” ditambah dengan “led (laude)”, tau artinya orang, led (laude) artinya lautan, sehingga talaude berarti orang lautan atau samuderawan. Talaud sering juga disebut dengan Porodisa. Kata “porodisa” berasal dari bahasa Portugis “paradise” yang berarti surga, konon ketika Portugis datang ke Talaud mereka mellihat keindahan Talaud yang sangat mempesona, tetapi karena masyarakat setempat tidak dapat melafalkan dengan baik maka mereka menyebutnya dengan porodisa. Tetapi ada pula yang mengartikan bahwa porodisa itu berasal dari bahasa Talaud sendiri yakni dari kata porrossa, dissa. Kata “porrossa” berati potong, pancung, sementara kata “dissa” berarti serang sehingga porodisa sebuah kata yang diucapkan dengan lantang dan nyaring untuk memberi semangat kepada orang Talaud untuk maju menyerang bangsa portugis yang ingin menjajah Talaud.
Adat Cocok Tanam
Kepatuhan warga masyarakat Talaud kepada adat dan pemuka-pemuka adat atau tokoh masyarakat lainnya masih sangat kuat. Mereka menyakini bahwa sebuah pelanggaran adat akan menimbulkan akibat yang akan ditanggung mereka dan bisa mendatangkan malapetaka berupa sakit, kematian, bencana alam, atau kegagalan dalam penghasilan perekonomian. Sawakka adalah tradisi lisan masyarakat Talaud yang diceritakan secara turuntemurun oleh pemimpin adat yang disebut Ratumbanua atau inangu Wanua atau Timaddu Ruanganna. Tradisi lisan dituturkan dalam upacara adat sebagai puncak dari rangkaian kegiatan pekerjaan bercocok tanam setelah upacara adat malintukku halele, malintukku wualanna, manimbullah sasuanna, dan mallano sasuanna. Sawakka merupakan ungkapan syukur yang dilakukan oleh mereka yang telah bekerja keras, mengalami pertolongan Tuhan selama bekerja,
menerima hasil dari kerja keras yang dilakukan dan pada akhirnya menyadari bahwa semua itu merupakan berkat Tuhan.
Keseluruhan rangkaian ritual cocok tanam ini terbagi dalam tahap-tahap yang masing-masing ditandai oleh upacara adat.
Upacara Adat Malintukku Halele.
Upacara adat malintukku halele atau menurunkan parang merupakan upacara adat yang biasa dilakukan ketika masyarakat akan memulai membuka dan menyiapkan lahan untuk ditanami, bisa dilakukan secara sendiri namun biasanya banyak dilakukan secara berkelompok (ma’ariu). Parang menjadi simbol dari aktivitas membuka lahan, sehingga perlu diupacarakan dan didoakan agar diberkati Tuhan dan terhindar dari kecelakaan selama bekerja.
Upacara Adat Malintukku Wualan
Upacara adat malintukku wualan atau menurunkan benih/bibit, merupakan kegiatan lanjutan setelah masyarakat selesai membuka dan mempersiapkan lahan untuk ditanami. Tahapan berikutnya masyarakat akan menanami lahan dimaksud dengan benih/bibit yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Upacara adat ini mengandung makna permohonan kepada Yang Maha Esa agar benih/ bibit yang akan ditanam dapat bertumbuh dengan baik dan pada akhirnya menghasilkan panen yang berlimpah dan memberikan kemakmuran.
Upacara Adat Manimbullah Sasuanna
Upacara adat manimbullah sasuanna atau mengasapi/ menyehatkan tanaman, yang merupakan upacara adat yang dilakukan dalam proses pemeliharaan tanaman agar tanaman boleh tumbuh dengan subur dan memberikan hasil yang berlimpah. Upacara ini biasanya dilakukan beberapa waktu setelah tanaman sudah mulai tumbuh, dimana masyarakat akan membakar sesuatu disekitar tanaman dengan maksud dan keyakinan bahwa asap memberikan dampak kesuburan bagi tanaman yang telah ditanam dan mulai tumbuh.
Merayakan Sawakka – Clartje Awulle
Upacara Adat “Mallano Sasuanna”
Upacara adat malanno sasuanna atau memohon doa agar tanaman terhindar dari penyakit, merupakan upacara adat yang dilakukan selama proses pemeliharaan dan menunggu panen tiba. Penyakit bisa saja menyerang tanaman yang telah mulai tumbuh sehingga melalui upacara adat ini masyarakat memohon perlindungan Tuhan agar tanaman yang telah mereka tanam mendapat perlindungan dan menghasilkan panen yang berlimpah.
Bersyukur Lewat “Sawakka”
Setelah seluruh ritual cocok tanam itu berakhir, dimulailah sawakka atau upacara syukur selesai panen sebagai suatu ucapan syukur kepada Tuhan Penguasa atas perolehan hasil panen. Dalam ritual ini Ratumbanua selaku pemimpin adat menyampaikan doa syukur sebagai sebuah ungkapan terima kasih yang dalam karena Tuhan telah menjawab doa mulai dari pembukaan lahan, penanaman bibit, pemeliharaan dan panen serta Tuhan telah melindungi masyarakat petani selama bekerja melalui kesehatan, kekuatan dan kemampuan. Biasanya pemimpin agama dalam hal ini pendeta, pastor atau penatua juga diberikan kesempatan juga untuk memanjatkan doa syukur kepada Tuhan. Upacara adat sawakka diikuti oleh seluruh masyarakat sebagai ungkapan syukur seluruh masyarakat kepada Tuhan karena telah menganugerahkan berkat secara berkelimpahan sehingga suasana yang tampak adalah suasana penuh sukacita, persaudaraan, dan perdamaian. Hal ini ditunjukkan dengan seluruh masyarakat membawa makanan dari rumah masing-masing (saruwenten) dan berkumpul menjadi satu di dalam losoh (tenda besar) yang didirikan secara bersama di tanah lapang dan siap mengikuti upacara adat.
Dalam upacara adat ini diletakkanlah sebuah ba’aa, yaitu ketupat besar yang dianyam berbentuk burung “asiare” (elang), sebagai lambang kemakmuran yang telah diterima melalui hasil panen. Ratumbanua selaku pemimpin adat akan melakukan ritual pemotongan
ba’aa dan dilanjutkan dengan menikmati makanan yang telah dibawah dari rumah masing-masing untuk disantap bersama. Melengkapi sukacita, dalam upacara adat tersebut biasanya ditampilkan rangkaian tari-tarian yang berkisah tentang saat membuka ladang, menanam padi, memelihara dan memetik hasil sebagai ungkapan syukur.
Lagu-lagu daerah Talaud sebagai sebuah identitas budaya juga dinyanyikan melengkapi sukacita dalam upacara syukur. Beberapa lagu daerah Talaud yang populer adalah lagu-lagu pujian terhadap daerah, antara lain Lembungu Rintulu, Porodisa I’lellare’, Su’ Bowon’ Manu Darua, Tuta Mandassa, Eh Apa Lodda Sia, Passaran’nu Indonesia, Oh Taloda Inariadi, dan Tahaloang Tomdolana. Lagu-lagu tersebut menggambarkan pujian dan pujaan terhadap tanah kelahiran dan rasa cinta orang Talaud terhadap tanah Talaud.
Lagu-lagu ini mengisahkan bahwa ketika mereka pergi, tanah Talaud selalu akan diingat dan tidak terlupakan. Hal ini memberikan satu gambaran bahwa pengaruh eksternal tidak menggoyahkan identitas Talaud, tetapi justru mendorong pelestarian budaya setempat. Ini adalah perwujudan ketahanan budaya yang harus dipupuk dan dilestarikan dalam rangka menggulirkan pemajuan budaya Indonesia (Clartje S.E.Awulle, Donna
Sampaleng, Mayske Rinny Liando: Dosen asal Sulut)
Masyarakat Talaud merayakan Natal dan Sawakka bersama-sama – Clartje Awulle
Perayaan Sawakka di Talaud – Clartje Awulle