5 minute read

Gringsing, Menenun Keseimbangan

Keterangan: contoh penggunaan Tenun Gringsing di Tenganan Pegringsingan

Foto : Muda-Mudi Tenganan Mengenakan Tenun Gringsing Saat menari Abwang Lemah -Ni Wayan Widayanti Arioka

Advertisement

Jika mendengar kata Bali, yang terlintas di benak adalah panorama alam yang indah dan tradisi yang masih sangat kental. Masyarakat Bali memang masih mengikat diri pada tradisinya, termasuk pada tradisi wastra. Tidak mengherankan jika di beberapa tempat ditemukan kain tenun dengan motif khas yang terinspirasi dari alam. Proses pembuatan tenun ini terikat pada tradisi. Kain Gringsing dari Tenganan Pegringsingan adalah salah satunya.

Bagi masyarakat Tenganan Pegringsingan, menenun bukan sekadar menghasilkan selembar kain untuk penutup tubuh atau kebutuhan fesyen. Kain Gringsing memiliki fungsi khusus dalam tradisi keagamaan di masyarakat Pegringsingan. Tenun ini hadir di sebagian besar rangkaian upacara keagamaan. Dalam beberapa kesempatan, kain Gringsing bahkan menjadi syarat utama dalam upacara.

Sebenarnya, tak hanya motif dalam tenun itu yang mengandung makna keseimbangan tetapi juga warna pada tenun itu sendiri. Warna hitam, merah, dan putih atau kekuningan pada kain Gringsing, melambangkan unsur air, api, dan udara. Ketiga warna itu harus seimbang agar alam dan tubuh terhindar dari sakit.

Menurut hikayat, masyarakat Tenganan Pegringsingan adalah keturunan Wong Paneges yang berasal dari wilayah Kerajaan Bedahulu. Konon, Wong Paneges mewasiatkan pentingnya menjaga keseimbangan kepada keturunannya. Hal ini dimaksudkan agar kehidupan bisa terus berlanjut. Prinsip keseimbangan tersebut disimbolkan dengan tapak dara (tanda tambah) sebagai symbol dalam kehidupan masyarakat. Symbol ini diinsersi dalam motif lubeng, motif dasar tenun Gringsing.

Nama Gringsing sendiri berasal dari kata gering yang artinya sakit dan sing yang berarti tidak. Jadi, gringsing artinya tidak sakit atau terhindar dari sakit. Oleh sebab itu, gringsing juga dipercaya memiliki kekuatan magis sebagai penolak bala. Keyakinan ini tidak hanya dipercayai oleh masyarakat Tenganan Pegringsingan, namun juga daerah-daerah lain di Bali. Oleh karena itu, Masyarakat Bali mensyaratkan hadirnya kain gringsing sebagai penolak mara bahaya.

Sebagai contoh, kain Gringsing motif sanan empeg, yang digunakan dalam upacara tolak bala dan permohonan keselamatan untuk anak tengah sebuah keluarga yang diapit oleh anak pertama dan anak ketiga yang meninggal. Konon, Tenun Gringsing tercipta ketika Dewa Indra sedang mengagumi kecantikan langit di malam hari. Dewa Indra, kemudian, menunjukkan kecantikan bintang-bintang di langit itu kepada Wong Paneges. Itulah yang menjadi inspirasi lahirnya berbagai macam motif tenun Gringsing.

Versi lain meyakini bahwa ketrampilan menenun Gringsing didapat dari Dadong Bungkuk, penenun Gringsing di Bulan. Kepiawaian Dadong Bungkuk inilah yang ditiru masyarakat Grinsing sehingga lahirlah tradisi menenun yang sarat makna itu.

Menenun untuk Keberlanjutan Tradisi

Bagi masyarakat Tenganan Pagringsingan, menenun adalah proses olah rasa dan laku spiritual yang ketat. Gringsing merupakan tenun ikat ganda,

Keterangan : Keseharian Pekak Raji memproses kapas menjadi benang

Foto : Pekak Raji Ni Wayan Widayanti Arioka

yakni benang dihi yang vertikal (bagian lebar kain) maupun benang pakan yang horizontal (bagian panjang kain). Tenun ikat ganda ini memiliki motif yang dihasilkan melalui proses peng-ikat-an dan pewarnaan yang khas. Sebagai infomasi, Ikat ganda merupakan simbol rwabhineda yang berarti bahwa segala sesuatu selalu berpasangan dan saling menyempurnakan.

Tenun Gringsing merupakan hasil dari proses Panjang. Berawal dari dari memintal kapas menjadi benang, mempersiapkan benang menjadi dihi dan pakan, mengikat benang untuk membentuk motif, mewarnai benang, hingga mengawinkan benang dihi dan pakan untuk menjadi selembar kain. Setidaknya, ada delapan belas langkah yang harus dilakukan untuk menghasilkan selembar kain Gringsing. Rangkaian proses panjang dan memakan waktu ini adalah representasi dari pengendalian diri dan kesabaran sebagai laku spiritual.

Proses menenun itu adalah Mebed atau memisahkan serat kapas dari bijinya, nyetet atau memekarkan dan membersihkan kapas, ngulung atau menggulung kapas pada sebuah tangkai bambu, hingga ngantih atau memintal benang menggunakan jantra atau roda kayu silinder yang diputar tangan. Proses memintal benang adalah proses yang penuh kesabaran dan ketelitian. Sering kali, kapas yang dipintal putus di tengah jalan dan perlu disambung kembali agar berkesinambungan.

Bagaimanapun, kain Gringsing adalah kain yang sakral bagi masyarakat Tenganan Pegringsingan. Gringsing diperlakukan dengan sangat hati-hati, bahkan sejak dari masih berupa benang. Pada proses nyikat adalah proses untuk memastikan bahwa semua benang terpisah sebelum proses penenunan dimulai. Proses ini dilakukan seperti menyisir rambut. Benang dianggap layaknya rambut yang perlu disisir dengan hati-hati agar tidak putus. Gerakan nyikat sama seperti menyisir rambut, dari atas ke bawah, dan diulangi berkali-kali sampai benang kering dan tidak ada yang menempel satu sama lain.

Hal ini memperlihatkan bahwa tradisi menenun di Tenganan Pegringsingan terikat pada berbagai aturan yang harus ditaati. Aturan lain adalah proses ngames, yakni proses mewarnai kain menjadi biru. Proses ini tidak boleh dilakukan di dalam wilayah Tenganan Pegringsingan. Proses ngames dilakukan oleh masyarakat di Desa Bugbug, Karangasem.

Selanjutnya, proses merendam benang untuk pewarnaan, baik perendaman pertama maupun perendaman

berikutnya, tidak boleh dilakukan saat kajeng (hari ketiga pada tri wara, siklus waktu tiga harian pada penanggalan Bali).

Melekat pada Tradisi Religi

Salah satu yang unik pada masyarakat Tenganan Pegringsingan adalah bahwa pernikahan yang diharapkan adalah pernikahan yang terjadi di antara warga mereka sendiri. Tetu saja, kain khas Tenganan Pegringsingan merupakan kain yang digunakan sebagai busana utama pernikahan adat. Namun, tidak sekadar mengenakan kain Gringsing, prosesi perkawinan antarwarga di Tenganan Pegringsingan juga melibatkan tradisi tenun yang mereka pelihara. Mahar terbaik bukan berupa uang atau benda mahal lainnya melainkan benang grinsing yang menyimbolkan sambungan tali persaudaraan antara kedua keluarga.

Pengantin perempuan di Tenganan Pegringsingan wajib ngantih (memintal benang) di rumah salah satu keluarga di luar desa Tenganan Pegringsingan. Ritual ini mengandung pesan bahwa kelak sesudah menikah ia harus siap menjadi ibu yang menenun sendiri pakaian anakanaknya.

Masih terkait upacara perkawinan, dalam mebanten kaja, sepasang suami istri yang baru menikah selama setahun terakhir wajib hadir untuk memperkenalkan diri sebagai suami istri kepada Ida Bhatara Sanghyang. Mereka wajib mempersiapkan banten tambahan berupa sepasang kain Gringsing merah dan hitam. Gringsing yang dibawa oleh pasangan ini adalah Gringsing suci yang lembarannya masih berkesinambungan (belum digunting bagian ujungnya) dan belum pernah dikenakan sebagai pakaian. Saat ini, kain Gringsing juga digunakan pada upacara kematian, yakni untuk menutup jenazah. Namun hal ini bukan merupakan keharusan. Pada akhirnya, Gringsing bukan hanya sekedar lembaran kain dengan motifmotif yang menarik dan unik secara etnik namun merupakan proses penuh kesabaran demi mencapai keseimbangan hidup. Keterikatan pada tenun Gringsing adalah keterikatan pada ritual keagamaan dan keterikatan pada kelanjutan tradisi. Upaya revitalisasi diharapkan mampu membuat kain Gringsing tetap lestari di tengah gempuran produksi kain massal dan penggunaan pewarna sintetis.

Pekak Raji, satu-satunya pemintal benang Tenganan Pegringsingan, baru saja wafat pada akhir tahun 2020 lalu. Kepergiannya tentu berpengaruh pada keberlangsungan tradisi memintal benang di Tenganan Pagringsingan. Namun, masyarakat Tenganan Pegringsingan percaya pasti akan ada yang meneruskan ketrampilan memintal benang ini. Ni Wayan Widayanti Arioka,

yayasan Wisnu

Keterangan : proses menenun di Tenganan Pegringsingan

Foto : Proses Menenun - Ni Wayan Widayanti Arioka

This article is from: