5 minute read
Sarasehan “Ngabudayan” Warga Sangiran
agu rakyat tentang buto atau
Lraksasa bermata besar melotot dan rambut lebat awut-awutan serta menakutkan itu terdengar sangat asli dinyanyikan bareng-bareng oleh belasan warga desa. Kesan yang berbeda akan muncul jika kita mendengarkan lagu versi Nella Kharisma dengan musik dangdut koplonya. Di seputaran panggung seni, terdapat tenda-tenda bambu untuk berjualan soto, tempe mendoan, jajan pasar, buah-buahan seperti pisang dan mangga yang memang ditanam sendiri oleh warga dan kebetulan sedang panen raya, hingga kain batik dan kerajinan tangan.
Advertisement
Pasar budaya yang difasilitasi oleh Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi digelar di delapan desa di seputaran situs purbakala Sangiran dan masuk daerah administrasi Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Delapan desa meliputi Krikilan, Ngebung, Bukuran, Manyarejo, Somomorodukuh, Pungsari, Brangkal, Rejosari, dan Dayu. Selain nyanyian dan jejogetan, atraksi yang ditampilkan adalah kesenian tradisional seperti reog dan jathilan serta teater
Ibu bertalu alu -
Syefri Luwis
rakyat. Pasar budaya biasanya digelar saban Minggu meski tidak selalu rutin, namun karena ada kegiatan SangiRUN Night Trail 2021 maka pasar budaya digelar dua hari, 20-21 November 2021.
Di Desa Brangkal Kecamatan Gemolong Sragen, sejumlah warga berpentas drama dengan tema klasik perjuangan rakyat melawan penjajah. Joko Purwanto, seorang pensiunan guru, memerankan pejuang yang gagah berani melawan Belanda, kebetulan Pak Joko ini memang berperawakan tinggi gagah sehingga tanpak cocok. Uniknya, pemeran kapten dari Belanda justru kecil dan pendek. Warga dan pengunjung pun dibikin terbahak-bahak. Pasar budaya hanya riuh dan hidup jika ada kegiatan pendukungan, seperti dikatakan Retno Anjarwati yang siang itu berjualan nasi kuning. “Kalau tidak ada acara, ya biasanya sepi saja di sini. Tetap jualan, tapi ya tidak ada kesenian,” timpal Sutarman, penjual jagung rebus.
Pasar budaya di desa-desa di seputaran Sangiran memang menjadi sarana warga bersarasehan, kumpul-kumpul saling bercerita, kadang-kadang mengeluarkan uneg-uneg, dan tidak jarang memunculkan gagasan demi kemajuan desa. Seperti dikatakan Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, Iskandar Mulia Siregar, guyub dan rukunnya warga desa patut diapresiasi dan dicontoh. “Di tempat lahirnya manusia Jawa ini, warganya guyub dan kompak. Damai,” katanya.
Pernyataan Iskandar itu mungkin perlu ditambah lagi, tidak suka berprasangka. Hal itu kami buktikan ketika bertandang ke rumah seorang kepala dusun. Rumah ternyata kosong dan pintu dibiarkan terbuka dengan anak kunci masih menggantung di induknya di bagian luar. Sepeda motor diparkir di halaman rumah tanpa dikunci leher. Secara iseng kami mengecek beberapa rumah lain, dan ternyata sama. Rumah dibiarkan kosong oleh penghuninya tanpa dikunci. Apakah –mungkin-- karena mereka tadi buruburu datang ke acara pasar budaya?
Warga Penemu Fosil
Tidak hanya antarwarga, keguyuban juga terjalin antara warga dengan para pegawai situs Sangiran yang mayoritas tidak berasal dari Sragen atau Karangayar. Kedekatan warga dengan situs Sangiran berikut para arkeolognya, peneliti, serta pegawai
situs sudah terjalin sejak dulu, hingga warga pun dapat mengidentifikasi secara sederhana dan cepat fosil hewan purba. Warga justru penemu utama fosil-fosil hewan dan manusia purba sejak zaman Hindia Belanda, dan itu wajar karena matapencaharian mereka menuntut untuk selalu berada di sawah dan ladang saban hari. Paleontologis dan geologis GHR von Koenigswald menemukan artefak manusia purba pertama kali di Sangiran pada tahun 1932, dan setelah itu penduduk setempat menemukan fosil rahang kanan manusia purba pada tahun 1936.
Sejak itu, Sangiran terus menunjukkan kekayaannya. Temuan atap tengkorak manusia terakhir tercatat pada tahun 1997, namun fosil-fosil hewan masih saja muncul. Tiba-tiba menyembul gigi hiu di ceruk-ceruk lapisan tanah saat musim hujan. Pernah ditemukan 50 fosil dalam sebulan. Warga penemu fosil pun diberi imbalan sebagai sebentuk apresiasi, daripada mereka menjual secara ilegal. Jika fosil unik dan langka, imbalan bisa mencapai 10 juta rupiah, misalnya fosil kepala gajah. Adapun fosil kepala buaya dihargai 5 juta rupiah. (Kompas, 30 April 2014). Pada tahun 2007, misalnya, warga menemukan gigi buaya, gigi harimau, dan gigi hiu di lapisan tanah yang telah berusia antara 1,8 juta hingga 800.000 tahun lalu, ditemukan di formasi Pucangan. Penemunya, Ngadino di ladangnya di Ngebung, Kalijambe, Sragen. Lalu pada 2014, warga menemukan potongan tengkorak dan rahang gajah purba di daerah Dayu, Sragen.
Hidup Selaras
Kehidupan warga desa, dengan perempuan-perempuan tua yang dalam keseharian mengenakan kain serta kebaya, bukan berarti tidak beririsan dengan modernitas, selain terpengaruh kuat dengan ajaran agama Islam. Saat melihat hampir semua ibu menorehkan gincu di bibir serta mengenakan kain, kebaya, dan jilbab sebagai penutup kepala, saya tidak berpikir terlalu jauh untuk khawatir nilainilai tradisi mereka telah tergerus. Ada banyak alasan orang mengenakan jilbab, tidak sematamata karena alasan fikih. Mereka toh tetap menari dan menyanyi dalam bahasa daerah dengan ritmis, berbaur dengan sesama warga, laki-laki dan perempuan segala usia.
Saya sepakat dengan Risa Permanadeli yang menulis dalam bukunya, Dadi Wong Wadon: Representasi Sosial Perempuan Jawa di Era Modern (2015). Modernitas didefinisikan sebagai representasi kedewasaan Jawa untuk menjaga keselarasan atau prinsip rukun. Pemikiran modernitas tidak memisahkan
atau memutus masyarakat Jawa dari masa silamnya, dari tradisinya.
Mereka tetap menjaga keseimbangan Jawa di dalam kehidupan nyata.
Istirahat sejenak -
Syefri Luwis
Sarasehan ngabudayan warga Sangiran terus berlanjut, hingga datang petang dan beringsut menuju malam. Mereka bertahan karena pasar budaya memang digelar dalam rangkaian “lomba” lari sejauh 25 kilometer untuk memperingati 25 tahun Sangiran ditetapkan menjadi warisan dunia. Namun, mereka pada dasarnya memang hidup dalam jagat yang lambat, tanpa harus peduli dengan jagat ketergesaan di luar sana, yang di dalamya menciptakan celah antara ruang dan waktu, seperti disebut sosiolog Nick Osbaldiston dalam Culture of the Slow: Social Deceleration in an Accelerated World (2013). Waktu tidak sekadar dimampatkan, tapi sudah melampaui batas.
Kami menyimak penuturan Hadi Sriyono (84), warga Desa Ngebung, tentang bagaimana ia dulu frustrasi dengan pekerjaan yang menuntut serba cepat, saat bekerja sebagai pencatat laporan di sebuah lembaga. “Gajinya juga habis untuk membayar kontrakan. Lebih baik kembali ke desa, ha-ha-ha,” kata lelaki yang masih tajam ingatannya itu. Saya kita inilah contoh slow living yang sebenarnya, bukan gerakan slow living seperti disebut Osbaldiston, yang dilakukan orang-orang sebagai reaksi atas hidup yang serba tergesa. Gerakan slow living memang bukan sematamata dilihat dalam kegiatan praksis seperti memasak, menyulam, berjalan, berkebun, dan meditasi, namun pada konsep atau cara pandang untuk menanamkan etika dalam keseharian. Dan, tanpa harus dibikin gerakan, etika itu dapat ditemui dalam kehidupan warga desa. Semoga lestari (Susi Ivvaty, pendiri alif.
id).
Menikmati sore -
Syefri Luwis