5 minute read

Ketika Kuno dan Kini Berkongsi di Gedung Filateli

Dari Kolektor jadi makin tersohor -

Syefri Luwis

Advertisement

Gedung Filateli Jakarta di Jalan Pos Pasar Baru kini menjadi bagian dari Pos Bloc, setelah didandani menjadi semacam balai kota, tempat insan urban kumpul-kumpul dan jajan. Bangunan cagar budaya kelas A yang merupakan aset PT Pos Indonesia itu kini riuh dan hidup. Di Pos Bloc seluas 2400 meter persegi tersebut terdapat warung kopi, warung nasi, warung seni, hingga “warung” rekreasi dan relaksasi. Di sana juga dihelat beragam kegiatan, mulai diskusi buku hingga peragaan busana. Merevitalisasi atau menghidupkan kembali bangunan yang didirikan pada tahun 1923 itu tentu membutuhkan perencanaan dan kurasi yang akurat, selain juga kemauan dan tekad pemilik gedung.

Mengapa membutuhkan tekad? Karena merevitalisasi gedung cagar budaya harus memenuhi sejumlah rambu seperti tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, satu di antaranya tidak boleh mengubah bentuk asli luar bangunan. Revitalisasi yang berarti menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi tentang cagar budaya juga harus memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, memfungsikan gedung bersejarah menjadi ruang kekinian kerap memunculkan kekhawatiran, apakah lambat laun nilai da muatan sejarah itu akan hilang? Apakah cagar budaya itu nantinya hanya akan menjadi lokasi menarik untuk foto-foto yang instagramable?

Kita tahu bahwa cagar budaya, merujuk UU Cagar Budaya, adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau air yang perlu dilestarikan

keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Maka itu, mengubah beberapa hal saja membutuhkan banyak pertimbangan.

Retail Budaya

Kami berbincang dengan salah satu pendiri Pos Bloc, Handoko Hendroyono, pakar jenama dan produser film yang sebelumnya telah merevitalisasi bangunan lawas aset Perum Peruri menjadi M Bloc Space di Jakarta Selatan. “Kami sangat mengerti dan sepakat dengan aturan ketat menganai pemanfaatan cagar budaya. Sebelum membuka Pos Bloc, kami, tim saya dan PT Pos juga mengikuti beberapa kali sidang dengan tim cagar budaya dan sejarawan,” tutur Handoko di satu gerai di Gedung Filateli Jakarta, pada November 2021.

Bagi Handoko, museum atau cagar budaya pada hari ini harus menjadi satu dengan retail. Dengan pola berpikir jangka panjang, bangunan-bangunan bersejarah bisa menjadi balai kota, seperti yang sudah terjadi di hampir seluruh negara. “Termasuk negaranegara di Asia Tenggara yang Indonesia sebetulnya tidak kalah, yaitu Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Maka itu, ketika PT Pos menawarkan, kami sambut. Sama seperti di M Bloc, kami juga ditawari oleh Peruri dua tahun lalu,” imbuhnya.

M Bloc Place sebagai ruang kreatif kaum urban yang dibuka pada 26 September 2019 memang langsung sensasional. Pertunjukan musik dari grup-grup indie hadir saban hari dan memuncak pada Desember saat dihelat 23 hari pentas musik. Handoko menyebut omset mencapai Rp 20 miliar di tiga bulan pertama setelah dibuka. Yang mulanya adalah gedung mangkrak yang menyatu dengan perumahan dan pabrik, akhirnya menjadi tempat nongkrong yang asyik. M Bloc dan Pos Bloc menjadi satu contoh penerapan wirausaha budaya (culturepreneurship) dan wirausaha kreatif creativepreneurship.

Handoko Hendroyono

- Syefri Luwis

Mendengar cerita

maestro - Syefri Luwis

Di tengah tak bikin jengah - Syefri Luwis

Pesona Masa Lalu di Masa Kini

Di masa kini, ketika zaman bergerak sedemikian kencang dan semua orang seolah dituntut untuk selalu berpenetrasi dengan teknologi, masa lalu –konon— justru laku dijual. Orang membutuhkan keseimbangan di dalam hidup. Pada saat dunia di sekitar berputar sedemikian cepat, orang membutuhkan rem, untuk melambatkan langkah. Pada saat modernitas mengepung, sebagian di antara kita ingin kembali ke kehidupan tradisional. Akselerasi melahirkan deselerasi. Percepatan melahirkan perlambatan. Ketika dunia membicarakan kekinian, orang pun merindukan kekunoan.

Ketika kekinian berpadu dengan kekunoan, pesonanya seperti tampak pada keriuhan di Pos Bloc pada November 2021. Sejumlah pengunjung mencecap es krim gelato, bersandar di tiang gedung yang umurnya hampir 100 tahun. Beberapa perempuan muda dengan busana kasual dan jaket bermerek internasional berfoto di depan pintu bergaya klasik. Para pesepeda melepas lelah dan ngobrol di depan Via Bata Via, satu gerai yang menjual barangbarang lawas dan antik.

Sambil makan spaghetti, pengunjung Pos Bloc dapat menikmati arsitektur kolonial Belanda yang dibangun ketika Indonesia dikuasai Belanda sejak awal abad ke-17 sampai tahun 1942. Ciri paling menonjol arsitektur kolonial, menurut Djoko Soekiman dalam Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni sampai Revolusi (2011) adalah fasad dan denah bangunan yang simetris serta gerbang masuk dengan dua daun pintu.

Pos Bloc telah menandatangani tiga kontrak dengan PT Pos untuk merevitalisasi tiga gedung pos lama yang saat ini “mangkrak” dengan pola partnership, yakni di Jakarta, Medan, dan Surabaya. PT Pos Indonesia memang kaya aset bernilai sejarah, mengingat jejak keberadaanya yang panjang sejak didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff dengan nama Kantor Pos Batavia pada 26 Agustus 1746, yang juga kantor pos pertama Hindia Belanda (merujuk

Kotak - Syefri Luwis

catatan di Museum Pos Bandung). Saat ini terdapat sekitar 3900-an bangunan pos di hampir semua kota yang butuh dihidupkan kembali.

Mendekatkan museum dan gedung bersejarah dengan milenial akan menghidupkan ekosistem pos Indonesia yang namanya kurang akrab di telinga Generasi Y dan Z sebagai ”warga asli” internet. Pos Bloc menjadi branding yang luar biasa bagi pos. Menurut Handoko, citra baik PT Pos Indonesia turut terangkat karena mewadahi jenamajenama lokal yang membutuhkan ruang kreatif untuk berjualan. Perannya tidak seperti kementerian yang menfasilitasi usaha kecil sebagai unit usaha yang harus dibantu, namun memberi etalase terhormat untuk jenama lokal.

Bisnis kultur dapat berkembang dan ekosistemnya tumbuh karena keterlibatan publik, sehingga menjadi ikon kota dan tujuan pariwisata. Kecil tapi hidup, terus berdenyut. Tidak perlu anti dengan retail kultur, asalkan kita tidak menafikan nilai-nilai budaya di dalamnya. Gedung Filateli Jakarta akan tetap megah dan klasik, tidak hilang jejak dan nilai sejarahnya (Susi Ivvaty, Majalah

Indonesiana).

Berbagi dengan pejalan kaki -

Syefri Luwis

Ruang untuk dikunjungi - Syefri Luwis

Berkongsi di Filateli -

Syefri Luwis

This article is from: