5 minute read
Keris-Keris Kalis di Padepokan Brojobuwono
ara di baselan -
Syefri Luwis
Advertisement
Journey semi jurnalistik yang tim Indonesiana lakukan di sekitar Solo, Sangiran, dan Karanganyar ternyata bukan hanya menghasilkan laporan napak tilas manusia Jawa melainkan juga laporan terkait sebuah tempat penyimpanan memori kolektif bangsa dalam bidang keris. Setelah hampir satu jam menelusuri jalan utama Solo – Karanganyar, mobil yang mengangkut rombongan Majalah Indonesia berbelok ke jalan desa yang lebih sempit. Sekilas sempat terbaca sebuah tulisan kecil yang memberi tahu bahwa rombongan sudah memasuki Desa Wonosari. Ada yang khas dengan desa-desa yang ada di kecamatan Gondangrejo ini, yaitu gugusan pohon jati yang ditanam oleh masyarakat tempatan.
Sekitar 200 meter dari jalan utama kecamatan Gondangrejo, mobil berhenti di sebuah lapangan kecil yang dapat memuat 2-3 minibus. “Kita sudah sampai, Bapak dan Ibu. Bangunan yang ada di depan kanan kita itu adalah museum keris Brojobuwono.” Sopir minibus yang membawa kami mempersilakan kami turun dan mengarahkan kami menuju bangunan berbentuk rumah joglo yang ada di sebelah kanan depan kami. Ya! Rombongan kami sudah berada di Padepokan Brojobuwono, sebuah museum keris yang terletak di Desa Wonosari, Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sekilas tidak ada yang istimewa ketika kami memasuki ruang koleksi museum sebelum ada penjelasan dari Kristanto bahwa keris tertua yang ada di dalam museum tersebut adalah keris yang berasal dari abad ke-VII masehi. Menurut keterangan yang diberikan oleh Kristanto, keris-keris yang ada terbuat dari campuran besi, baja dan nikel. Meskipun demikian, terdapat sebuah keris yang dianggap sebagai masterpiece museum yang berlokasi di lingkungan perumahan yang sangat asri itu. Masterpiece tersebut bernama Ki Naga Minulya yang dinyatakan terbuat dari batu meteorit yang pembuatannya perlu penanganan khusus. Bagaimana tidak, untuk membuat keris yang berbahan besi, baja, dan nikel saja perlu pembakaran hingga mencapai 30000C, bagaimana dengan keris khusus yang sangat
mahal harganya itu. Selidik punya selidik, koleksi yang bernilai tinggi dan langka tersebut ternyata adalah milik seorang Empu yang bernama Basuki Teguh Yuwono yang sebenarnya juga pemilik rumah yang menjadi museum langka tersebut. Sebagai informasi tambahan, seluruh koleksi yang terdapat di dalam museum khas tersebut adalah hasil “perburuan” keris yang dilakukan oleh Basuki Teguh Yuwono ke seantero Nusantara.
Baselan: Museum Hidup Keris
sambil berkeliling mengapresiasi koleksi luar biasa yang dipajang di dalam lemari-lemari kaca kami masih membayangkan betapa sulitnya mengolah bahan dasar hingga menjadi keris. Padahal, terdapat ratusan keris dari berbagai zaman dan era sekarang terkoleksi secara apik dan terpelihara dengan baik di padepokan tersebut. Sambal mengamati keris-keris koleksi Brojobuwono, kami membayangkan betapa panasnya kondisi di sekitar tungku pembakaran bahan mentah calon keris tersebut dulunya. Karena bukan hanya meteor, material dasar keris-keris tersebut bahkan ada yang berasal dari batu meteor. Bayangan masa lalu tersebut tibatiba buyar demi mendengar sebuah sapaan yang halus tapi berwibawa. “Selamat pagi, Bapak dan Ibu. Jika berkenan silakan mampir ke baselan. Mpu dan panjak sedang nempa sekarang. Monggo, mumpung masih pagi dan para panjak masih sangat bertenaga memukulkan palu pada bilah keris.” Kata seseorang berselempang kain putih tanpa baju. Seseorang berlilitkan kain putih tersebut bernama Sardi. “Saya adalah panjak yang bertugas di baselan atau dapur pembuatan keris.” Pak Sardi memperkenalkan diri dan profesinya kepada kami. Panjak adalah asisten Mpu. Sedangkan Mpu, sebagaimana kita tahu, adalah ahli pembuat keris. Salah satu Mpu yang sangat termahsyur adalah Mpu Gandring yang menciptakan keris sakti yang digunakan oleh Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung. Pak Sardi, sang panjak, memandu kami menuju besalen atau ruang workshop atau bengkel pembuatan keris yang terdapat bagian belakang museum. Di besalen itu ternyata sudah ada tiga orang berpakaian yang sama dengan Pak Sardi. Salah seorang di antaranya berada di dekat tungku pembakaran. Orang tersebutlah yang bertugas membakar baku sebelum menjadi bilah keris dan kemudian meletakkannya di atas bantalan untuk dipukul pakai palu oleh panjak yang lain. Kami memperhatikan betapa aktivitas menempa yang terjadi di baselan itu membawa kesan tengah berada pada suasana lampau di Tanah Jawa. Apalagi di dinding besalen banyak terpajang supit, sejenis tang panjang, yang digunakan untuk menjepit bilah bakal keris pada saat dibakar. Proses penempaan bukan perkara yang mudah oleh karena itu panjak yang bertugas membakar bilah harus berkonsentrasi mengontrol besarkecilnya bara api untuk memastikan tingkat kepanasanmya. Meskipun hanya sebuah tungku, tempat pembakaran tetap menjadi perhatian pengelola. Untuk menambah daya Tarik tempat pembakaran diberi hiasan berupa ukiran kepala kala (raksasa) dan ketika proses
Warisan dari abad IX -
Syefri Luwis
pembakaran berlangsung terlihat percikapan bunga api membubung melontarkan abu bekas pembakaran arang. Panjak juga harus memastikan bahwa kedua bilah keris mendapat penanganan yang sama sehingga perlu dibolak-balik dalam bara api. Bilah keris tersebut sesekali dicelupkan ke dalam cawan batu berisi cairan tertentu secara berulangulang tentu untuk mendapatkan keris dengan mutu tinggi.
Museum dan Transfer of Knowledge
Selain panjak dan rombongan Indonesiana, di baselan itu hadir tiga orang perempuan muda yang sangat antusias memperhatikan jalannya proses penempaan. Salah seorang di antara ketiga perempuan muda tersebut bernama Yuni Listiani, mahasiswi Program D4 Keris dan Senjata Tradisional, Program Studi Kriya Seni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Surakarta. Pada tahun keempat perkuliahannya justru lebih banyak ia habiskan di Padepokan Keris Brojobuwono ini. Setelah sejenak larut dalam hiruk pikuk dan kelakar bersama pengunjung, Yuni kemudian undur diri lalu duduk di sebuah pojok di sebelah kiri ruang baselan. Mahasiswa yang berasal dari luar Surakarta tersebut kembali menangani tugas akhirnya. Ia nampak sedang natah atau memperkuat hiasan pada keris buatannya tersebut.
Yuni menjelaskan bahwa ia telah menjalani proses pembuatan keris itu selama enam bulan. Menurutnya, proses pembuatan keris itu dimulai dari natah awal yaitu membuat pahatan. Selanjutnya, ia melakukan proses nempa atau membuat bilah yang ia lakukan dengan tenaganya sendiri, meskipun tentu saja dengan bantuan para panjak dan mpu yang menjadi pembimbing. Proses nempa ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai pada proses penyatuan bilah dengan gagang. Pada gilirannya, proses nyangklang atau mengasah juga berlangsung sampai tiba waktunya ngamal atau merendam keris di dalam lumpur dan garam. Proses panjang tersebut berakhir ketika keris masuk proses warangi atau diberi cairan arsenik dan air jeruk agar pamornya muncul. Salah satu keunggulan keris adalah pamornya yang bagus.
Ternyata, sebilah keris tercipta dari proses yang demikian panjang dan rumit. Demikian juga Ki Naga Minulya yang tampak paling berwibawa di antara keris-keris lainnya di Brojobuwono adalah hasil dari sebuah proses pembelajaran pembuatan keris yang telah berlangsung lama di Indonesia. Nasib baik masih ada museum keris Brojobuwono yang tidak hanya menyimpan koleksi tetapi juga memproduksi dan mewariskan pengetahuan perkerisan kepada generasi muda Indonesia.
(Alfian S. Siagian: Awak Majalah Indonesiana).
Bersama menempa -
Syefri Luwis