6 minute read

Berburu Bunyi di Tana Humba

Ata Ratu memainkan Jungga -

Mungkin banyak dari kita yang belum mengenal nama tempat di bumi Nusantara yang Bernama Tana Humba. Namun, apabila mendengar nama Pulau Sumba, pasti kita akan langsung mafhum pulau indah nan eksotis dari gugusan pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur itu. Ya, Tana Humba adalah sebutan untuk Pulau Sumba bagi penduduk asli di sana. Selain memiliki keindahan alam, pulau seluas 10.710 kilometer persegi itu menyimpan kekayaan budaya berupa bebunyian yang unik dan hampir tidak dapat ditemui di belahan bumi manapun di dunia ini.

Advertisement

Bunyi di sini bukan sekadar suara tanpa makna, tetapi bunyi yang mengandung nilai estetika dan bahkan nilai magisspiritualitas bagi masyarakat Pulau Sumba. Bebunyian itu melebur ke sendi-sendi kehidupan masyarakat Tana Humba, menjadi bagian dalam keseharian masyarakat. Istilah yang paling umum untuk menggambarkan bunyi-bunyian tersebut adalah “musik tradisional”.

Musik tradisional di Sumba (dan sekitarnya) lebih menonjolkan keindahan unsur vokal dan lirik dibandingkan dengan harmonisasi bunyi dari instrumen atau alat musik. Kondisi itulah yang --bisa jadi-- menjadi penyebab kelangkaan alat musik khas Pulau Sumba. Situasi itu menarik perhatian musikus Ivan Nestorman untuk membentuk Tim Pemburu Bunyi yang bertujuan untuk mengenal lebih dekat sekaligus merekam bebunyian alat musik khas Sumba, agar kekayaan budaya Tana Humba dapat lebih dikenali oleh masyarakat luas, khususnya generasi muda.

Perburuan Pertama: Dungga, Dungga Roro, dan Dungga Kapoha

Perburuan diawali dengan mencari dan menemui para maestro bunyi di Pulau Sumba. Maestro pertama yang ditemui adalah Ndara Katoda, seorang pemain dungga yang lebih dari lima puluh tahun mengakrabi alat musik khas bumi Marapu itu. Kepada Tim Pemburu Bunyi, ia menjelaskan dan mendemonstrasikan penggunaan dungga yang ternyata memiliki berbagai macam varian bentuk dan cara memainkannya. Ndara Katoda menunjukkan tiga alat musik yang biasa ia mainkan yaitu dungga, dungga roro, dan dungga kapoha.

Secara organologi, dungga, dungga roro, dan dungga kapoha dapat digolongkan sebagai alat musik chordophone, yang menghasilkan bunyi dari getaran dawai atau senar yang dipetik maupun digesek. Untuk menghasilkan bunyi yang lebih nyaring, getaran tersebut ditangkap dan digaungkan oleh semacam tabung resonansi yang menyatu dengan badan instrumen.

Ndara Katoda menjelaskan dan mendemonstrasikan alat musik yang selalu ia mainkan. Pertama, maestro ini menujukkan kepiawaiannya dalam bernyanyi sambil memainkan dungga roro. Alat musik ini berbentuk memanjang seperti busur yang terbuat dari bambu ukuran sedang dengan panjang kurang lebih satu meter. Pada bambu ini dibentangkan satu utas dawai dan diikat pada potongan kecil bambu yang dapat diputar untuk mendapatkan frekuensi nada yang diinginkan. Pada bagian bawah terdapat satu batok kelapa yang berfungsi sebagai tabung resonansi yang ditutup dengan kulit binatang.

Cara membunyikan dungga roro adalah dengan menggesek dawai di atas lapisan kulit batok kelapa menggunakan sebuah busur kecil. Sambil bernyanyi menyuarakan lirik-lirik berbahasa Sumba, Ndara Katoda mengapit batang bamboo di antara ibu jari dan jari telunjuk, sedangkan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis secara bergantian menekan dawai pada batang bamboo. Bunyi yang dihasilkan senada dengan lagu yang ia lantunkan. Sementara itu, tangan kiri memegang busur kecil yang digunakan untuk menggesek bagian bawah batang bambu yang berdekatan dengan batok resonansi.

Ndara Katoda kemudian memetik dungga. Sekilas, alat musik ini mirip dengan ukulele dengan tiga utas dawai, namun cara memainkannya bukan

Dungga - Direktorat

Wajah Dungga-

didekap seperti umumnya gitar atau ukulele. Dungga dimainkan dengan cara dipegang berhadapan dengan pemain musik, dan dawai-dawai pada dungga dipetik dengan ibu jari kiri dan kanan untuk menghasilkan nada ritmis, seolah mengajak pendengarnya untuk menari. Tim Pemburu Bunyi tak kuasa menahan kepala untuk bergoyang, menganggukangguk mengikuti irama dungga sang maestro.

Alat musik terakhir adalah dungga kapoha. Berkebalikan dengan dungga yang mengajak pendengarnya untuk bergembira dan menari, dungga katoda ternyata biasa dimainkan untuk menyanyikan lagu-lagu yang sedih atau melankolis. Secara ukuran dan bentuk, alat musik ini mirip dengan dungga roro, namun terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Pertama, ia tidak terbuat dari bambu, tetapi dari kayu padat yang dibentuk memanjang dan sedikit lengkung seperti busur. Kedua, posisi tabung resonansi terbalik dan tidak ditutup, sehingga menyerupai gayung untuk mengambil air. Dan ketiga, ini yang paling unik, yaitu posisi memainkan dungga kapoha ini berkebalikan dengan dungga roro, yakni tangan kanan berperan untuk memetik dawai dan tangan kiri berperan untuk menekan dawai pada batang kayu untuk meghasilkan tinggi-rendahnya nada.

Tidak hanya berhenti disitu, Tim Pemburu Bunyi juga dibuat terkesima dengan penempatan tabung resonansi dibuka tutup dengan cara melonggarkan dan mengencangkan bekapan pemain, sambil memetik dawai. Ndara Katoda menjelaskan bahwa hal itu dilakukan untuk mendapatkan variasi tinggi rendah frekuensi nada dan warna suara. Keberadaan dungga kapoha memang sangat special. Di samping cara memainkannya yang unik, dungga kapoha milik Ndara Katoda ini ternyata merupakan satu-satunya dungga kapoha yang tersisa di Pulau Sumba. Ndara menjelaskan bahwa alat itu ia dapatkan dari ayahnya yang juga pemain dungga.

Ndara Katoda menjelaskan bahwa dia tidak mampu lagi membuat dungga kapoha. Selain karena proses pembuatan yang memakan waktu lama, juga karena bahan pembuatannya sangat sulit didapat, terutama untuk pembuatan tabung resonansi. Tabung itu bukan terbuat dari batok kelapa, melainkan dari semacam buah labu hutan yang kini sudah jarang ditemui di Pulau Sumba. Meskipun begitu, Ndara berharap suatu saat nanti akan ada generasi muda yang mau mempelajari dan merevitalisasi alat musik warisan orangtuanya itu.

Memainkan Dungga -

Ndara Katoda mendemonstrasikan cara memainkan Dungga Kapoha -

Ivan Nestorman (kanan), musikus asal Flores, sedang meneliti bebunyian dari Sumba

Mendengar lagu-lagu sedih diiringi dungga kapoha, juga mengetahui keberadaannya yang nyaris punah, makin membuat hati kami terasa miris.

Perburuan Kedua: Jungga

Berikutnya, kami mendatangi kediaman Ata Ratu, satu-satunya maestro perempuan Jungga di Pulau Sumba. Syair-syair yang dilantunkan dengan iringan Jungga berisi tentang beragam pesan, juga mengajak pendengar untuk menjaga kelestarian adat dan budaya Sumba. Sama seperti dungga, jungga juga dapat digolongkan sebagai alat musik chordophone. Sekilas, alat musik ini mirip dengan gitar atau ukulele, memiliki tabung resonansi yang menyatu badan instrumen dengan empat dawai yang membentang di atasnya.

Jungga yang dikenal oleh masyarakat Sumba Timur ini diadaptasi dari alat musik tradisional juk dari Sabu, satu pulau kecil di selatan gugusan kepulauan Nusa Tenggara Timur. Pertukaran budaya serta perkawinan antar penduduk Sumba dan Sabu berperan dalam memperkenalkan alat musik juk di Sumba, meskipun dengan sebutan lain yaitu jungga. Instrumen itu pun lantas biasa digunakan oleh masyarakat di Sumba untuk mengiringi syair lagu pada aktivitas-aktivitas ritual adat Marapu, seperti pernikahan dan kematian untuk menghidupkan suasana.

Hasil Perburuan: Keunikan Bunyi dan Masa Depan Musik Sumba

Dari perburuan bunyi di Tana Humba ini, didapatlah keunikan bunyi khas Sumba, bahwa alat musik pengiring nyanyian ternyata memiliki peran yang unik. Bunyi dari alat musik bukan berupa harmonisasi nada berupa accord (seperti pada alat musik gitar versi Barat), namun lebih pada iringan unisono, yaitu berbunyi senada dengan nada vokal yang dilantunkan. Selain itu, keterbatasan ketersediaan bahan baku membuat para pembuat alat musik di Sumba mencari alternatif, seperti dawai jungga yang sebelumnya dibuat dengan menggunakan rambut ekor kuda, kini bisa dari tali kopling sepeda motor. Alasannya, selain lebih mudah didapat, bunyi yang dihasilkan juga lebih nyaring. Di sini kita dapat menemukan bahwa keterbatasan ketersediaan bahan baku seharusnya tidak menjadi kendala.

Upaya Tim Pemburu Bunyi dari Indonesia Selatan dalam mencatat, merekam, dan mengarsipkan khazanah musik tradisional tentu berdampak besar bagi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan musik tradisional. Generasi muda jangan sampai melewatkannya

(Denison Wicaksono, Direktorat Perfilman Musik dan Media Baru

Kemdikbudristekdikti).

Foto-foto Koleksi dari Direktorat Perfilman Musik dan Media

This article is from: