5 minute read
Melihat Indonesia melalui Kecap Cap Sapi
Karya gemilang untuk
Indonesia - Hardian, Prasanti, Prananda
Advertisement
Beberapa mangkuk bubur ayam khas Bandung tersaji di hadapan kami. Bubur beras yang sedikit kental, ditaburi suwiran ayam, kacang kedelai goreng, rajangan halus seledri dan kerupuk berwarna orange. Lembutnya bubur ayam menemani obrolan pagi kami. Tidak lama berselang, salah seorang dari kami memesan tempe mendoan yang disajikan dengan sambal kecap yang khas. Demikian juga kupat tahu pesanan kami disiram bumbu kacang dan kecap.
Unik memang, dalam satu meja, terhidang tiga menu sarapan dengan satu resep utama yang sama, yaitu kecap, penguat rasa yang khas. Makanan boleh berbeda, tapi selera disatukan oleh kecap. Kecap ada dalam semua makanan kesukaan orang Indonesia; soto, bakso, batagor, hingga nasi goreng. Untuk belajar tentang kecap, Komunitas Kolektor Kecap memperkenalkan Bu Marin yang memiliki akses untuk berkunjung ke pabrik kecap tertua kota Bandung, “Kecap Cap Sapi”. Sesampainya di lokasi, kami dihadapkan pada pintu besi tinggi besar berwarna coklat muda menyambut kedatangan kami. Kami takjub karena pintu pabrik relatif terbilang kecil dan muat cukup satu truk saja sehingga muncul pertanyaan apakah kami berada di tempat yang benar.
Namun sewaktu pintu terbuka, senyuman hangat bapak paruh baya, penunjuk jalan, menyambut dan mempersilahkan kami untuk masuk. Ternyata, walaupun gerbang pabrik terbilang kecil hanya muat untuk satu mobil saja, itu adalah pintu menuju ke sebuah courtyard yang merupakan akses menuju pabrik. Area pabrik di dalamnya jauh lebih luas daripada yang terlihat dari jalan besar.
Jauh di ujung jalan masuk terlihat rumah pemilik pabrik yang bersebelahan langsung pintu menuju pabrik. Rumah yang cukup besar itu memiliki dua pilar kokoh di depan pintu utamanya. Dari kejauhan terlihat ada dua orang yang menunggu kami di pintu menuju pabrik. Penunjuk jalan memperkenalkan kami kepada orang yang ternyata adalah Bu Marin dan Pak Herman. Bu Marin, orang yang kami kontak untuk meminta izin berkunjung ke pabrik kecap “Cap Sapi” ini, adalah anak kedua dari pak Herman. Kami pun disambut dengan ramah oleh mereka. Begitu masuk kami langsung mempersilahkan kami masuk ke dalam pabrik dan duduk di kursi-kursi yang sudah tersedia.
Pak Herman sang
pewaris rasa - Hardian, Prasanti, Prananda
Kecap Asli Bandung
Pak Herman mengisahkan bahwa kecap “Cap Sapi” adalah produk asli kota Bandung. “Dulu bapak saya datang dari Tiongkok dan membangun usaha kecap di sini. Dia bikin sendiri, jual sendiri pakai sepeda dari rumah-rumah. Pada tahun 1939, pabrik kecap “Cap Sapi” belum di sini, tapi di daerah Ciateul. Ketika itu masih diproduksi di sekitar rumah yang masih dikelilingi sawah semua dan banyak sapi yang dipakai buat kerja sawah. Itulah yang menjadi inspirasi ayah saya untuk menamai kecap produk kami dengan ”Cap Sapi” .
Arsip pendukung perkataan Pak Herman, seperti bukti pembayaran pajak, masih terdokumentasikan dengan rapi dari era Hindia Belanda, Jepang, hingga hingga awal pemerintahan Indonesia. Satu hal yang luar biasa, satu demi satu bukti pajak dari masa ke masa itu diperlihatkan. Bukti-bukti pajak tersebut ada yang masih bertuliskan bahasa Belanda, ada yang bertuliskan bahasa Jepang serta bahasa Indonesia meski masih menggunakan blangko bertuliskan bahasa Jepang dan penunjuk tahun setelah Indonesia merdeka.
Menarik memang, kunjungan belajar terkait proses pembuatan kecap ini ternyata justru membuka arsip-arsip sejarah yang menunjukkan perpindahan kekuasaan di tanah air. Nyatanya, sejarah kecap jika ditelusuri secara runut dapat menghantarkan kita pada sejarah.
Pabrik yang saat ini kami digunakan merupakan pabrik kedua. Pabrik pertama berlokasi di area Ciateul, lalu pabrik kedua adalah yang di Holis sejak tahun 1970an. “Dulu saat didirikan, perusahaan ini bernama Kong Giap yang artinya karya gemilang. Oleh karena itu kecap ini secara resmi adalah Kecap “Cap Sapi” produksi Karya Gemilang.” ujar pak Herman.
Di dalam pabrik ini di terdapat ruangan tempat pengemasan kecap, terdapat satu kilang dengan empat kran di bawahnya yang memperlihatkan dua orang pekerja dengan tekun mengalirkan kecap dari kilang ke dalam botol. Selain itu juga terdapat beberapa bak stainless untuk menyaring cairan kecap sebelum masuk ke dalam kilang. Selain itu terdapat juga ruang memasak yang berisi empat buah wajan raksasa berdiameter dua meter. Setiap wajan dioperasikan oleh satu orang pekerja yang mengaduk gula aren cair dan dicampur dengan kecap asin untuk menghasilkan kecap manis. Setiap wajan dapat memasak 400 kg gula aren untuk dicampur dengan satu drum kecap asin.
Ternyata di pabrik tersebut terdapat juga ruangan untuk pembuatan kecap asin. Di dalam ruangan tersebut terdapat bak-bak fermentasi kedelai seukuran dua meja pingpong dengan kedalaman sekitar 80 cm.
Bu Marin bercerita, “Alur pembuatan kecap adalah demikian. Pertama, kedelai dicuci bersih, lalu direbus, setelah itu diberi stater- agar kedelai bisa berjamur dan dijemur. Kedelai dibiarkan mengeluarkan jamurnya. Nah jamur yang baik itu berwarna hijau. Dari situ, baru kedelai itu dimasukan ke dalam bak stainless dan dicampur larutan garam. Lalu didiamkan minimal 3 bulan agar kedelai tersebut menjadi tauco, lalu disaring untuk diambil sarinya dan menjadi kecap asin. Sementara sebagian kecap asinnya dimasak dengan gula aren menjadi kecap manis. Jadi sebetulnya tidak ada limbah dari pembuatan kecap karena semua bisa dimanfaatkan”.
Ruangan fermentasi kedelai tersebut seperti green house dengan atap dan dinding transparan sehingga cahaya matahari dapat dengan mudah masuk, serta suhu yang terjaga diantara 40°C-45°C.
Berikutnya, pabrik ini juga memiliki ruangan lain, ruangan-ruangan berwarna hijau, yang berfungsi sebagai penyimpanan stok bahan pembuatan kecap, mulai dari botol bersih, gula aren, kedelai. Di salah satu ruangan-ruangan itu terdapat ruangan penyimpanan kecap-kecap yang sudah siap didistribusikan.
Bu Marin menjelaskan, “Kami hanya menggunakan bahan kualitas terbaik untuk membuat kecap. Gula aren didatangkan langsung dari Sukabumi. gula aren pasti dipilih dulu jangan sampai mengambil gula yang benyek atau sudah hancur. Jadi harus yang masih utuh dan bagus. Garam juga kita pakai garam halus bukan garam krosok yang langsung dari tambak garam, jadi lebih bersih dan standar. Sama seperti kedelai, kita pakai kedelai memang masih impor, pakai kedelai dari Kanada. Sejauh ini kedelai dari Kanada paling bagus kualitasnya, kalo kedelai lokal kualitasnya naik turun, kadang campur jagung, kadang kotor banyak pasir”, ujar bu Marin.
Ternyata, dalam pembuatan sebuah kecap terdapat banyak sekali kebijaksanaan, dari mulai siklus yang hampir sirkular, sehingga semua produk kedelai beserta byproduct dapat dimanfaat. Banyak detail yang harus diperhatikan untuk memastikan kecap manis dengan kualitas terbaik itu tersedia di meja makan konsumen. (Hardian
Eko Nurseto, Universitas Padjajaran; Prasanti Widyasih Sarli dan Prananda Luffiansyah Malasan; Institut Teknologi Bandung )
Proses pembuatan -
Hardian, Prasanti, Prananda