5 minute read

Untaian Doa di Tiap Lembar Tenun Toraja

Memutar unuran, alat pemintal benang

tradisional - Sakti Karuru

Advertisement

Ketika memasuki Desa To’barana’, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan, tamu desa disambut dengan aktivitas perempuan dari berbagai usia yang duduk di dalam rumah kayu yang berpetak-petak sambil bersandar pada pembokoran atau alat penyangga pinggang saat menenun, kedua tangan mereka berayun membentuk untaian kain yang rapi dan indah dengan perpaduan warna khas Toraja.

Sementara itu, perempuan lain terlihat sibuk memutar unuran atau alat pemintal benang tradisional dengan satu tangan sembari tangan yang lain memegang balutan kapas yang akan dibentuk menjadi benang sebagai bahan utama untuk membuat kain tenun.

Tenun ini menjadi cendera mata yang sangat digemari oleh para wisatawan, selain karena perpaduan warna dan motifnya yang unik, proses pembuatannya yang masih dilakukan secara tradisional juga menjadi nilai tambah tersendiri. Kain tenun Toraja pada dasarnya adalah bahan baku utama pakaian, sarung, juga pasappu atau sejenis tutup kepala yang digunakan oleh tokoh-tokoh adat dan keagamaan dalam ritual dan pesta adat Toraja. Kain tenun jenis tertentu bahkan digunakan sebagai penanda status sosial pada pelaksanaan upacara-upacara adat. Tenun Toraja umumnya menggunakan benang pabrikan dan benang hasil pemintalan kapas dan serat daun nanas. Sebelum menggunakan serat nanas, dahulu orang Toraja memanfaatkan serat kulit kayu sebagai bahan utama tenun. Kain yang dihasilkan lebih sering digunakan sebagai pembungkus jenazah karena daya serapnya yang sangat baik. Menurut Michael Frederik Sosang, setelah pedagang dari India dan Gujarat mulai masuk ke Sulawesi Selatan, serat kapas mulai digunakan sebagai campuran serat nanas karena materialnya yang lebih lembut.

Bahan pewarna yang digunakan bersumber dari tumbuh-tumbuhan seperti batang pohon, akar, kulit kayu, serta buah-buahan. Warna merah diperoleh dari daun jati dan daun pacar, warna kuning dari kunyit, warna hijau dari daun pandan, warna cokelat kemerahan berasal dari pohon mahoni, warna cokelat tanah dari biji asam dan warna coklat tua dibuat dari batang pisang yang sudah membusuk. Warna bahan dasar kain adalah warna merah yang berasal dari akar buah mengkudu serta pinang, dan warna hitam diperoleh dari kulit pohon Bilente.

Perempuan-perempuan penenun di desa To’baranna’ menggunakan serat kapas yang dipintal menjadi benang menggunakan unuran yang terbuat dari bambu. Setelah benang diberi pewarna selanjutnya benang disusun dan dirapatkan satu per satu menggunakan balida untuk membentuk motif yang diinginkan. Proses ini dilakukan dengan cara memasukkan benang pakan di antara benang-benang lungsi sampai menyerupai anyaman. Setiap helai benang pakan dimasukkan bolak-balik ke dalam benang lungsi, ditekan naik turun secara bergantian agar jalinan benang semakin rapat untuk menghasilkan kain yang kualitasnya semakin bagus.

Tenun Toraja telah dikenal luas sebagai salah satu bentuk kearifan lokal yang bernilai jual. Meski demikian, hanya sebagian kecil yang memahami fungsi dan makna kain tradisional orang Toraja yang umumnya dipakai pada saat upacara adat atau keagamaan seperti Rambu Solo’ (upacara kedukaan) atau Rambu Tuka’ (upacara syukuran).

Selain tenun, wastra Toraja juga ada yang memakai wax-resist (rintang lilin) dalam teknik pembuatannya. Jenis ini juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam pelaksanaan upacara adat di Toraja. Jenis kain maa’, misalnya, bernilai sakral sehingga kerap hanya dipakai oleh imam adat di Toraja sebagai ikat kepala saat memimpin upacara. Dalam upacara Rambu Solo’, maa’ biasa digunakan untuk membungkus jenazah.

Menenun di Desa To’baranna’-

Sakti Karuru

Jenis kain yang menyerupai maa’ meskipun lebih lebar dan lebih pendek adalah sarita yang memiliki bentuk khas panjang dan sempit, dan umumnya berwarna coklat atau biru tua dan putih. Baik maa’ maupun sarita pada umumnya dilukis dengan tangan menggunakan teknik rintang lilin. Teknik ini merupakan adaptasi lokal dari metode pewarnaan batik dan terkadang menggunakan lumpur – pada kain polos, yang ditenun secara lokal atau, seringkali dibuat dengan mesin dari India.

Umumnya jenis kain ini digunakan sebagai hiasan atau umbul-umbul pada rumah Tongkonan yang akan diupacarakan, karena dianggap sebagai simbol keberkahan. Baik maa’ maupun sarita dianggap sebagai benda pusaka berharga dari nenek moyang orang Toraja, yang diwariskan turun-temurun. Semakin tua umur kain ini, maka semakin bernilai pula kehadirannya dalam setiap upacara adat. Cerita tentang maa’ dan sarita juga seringkali dituturkan dalam narasi lisan serta litani orang Toraja, yang menjadi bukti penting kehadirannya untuk masyarakat adat ini.

Masyarakat Toraja mendokumentasikan sekaligus mentransmisikan narasi kelisanan mereka melalui simbolsimbol dan motif yang kerap dijumpai pada kain tradisional mereka, layaknya hieroglif. Sebagai contoh, beberapa motif dilekatkan pada figur perempuan, seperti motif pa’sekong kandaure yang menjadi simbol kebesaran perempuan Toraja. Motif ini menjadi harapan agar tiap keturunan, anak cucu yang lahir, selalu hidup dalam kebahagiaan. Motif lain yang juga banyak dikenal adalah tau-tau, motif yang menyerupai manusia, sesuai dengan arti tau-tau dalam bahasa Toraja. Tau-tau adalah sebuah replika atau patung orang Toraja yang sudah meninggal dan biasanya diletakkan di sekitar tempat jenazah dimakamkan. Motif tau-tau banyak digunakan oleh para bangsawan Toraja.

Motif kerbau atau pa’tedong menjadi simbol kekuatan, kemakmuran dan kesejahteraan karena perannya sebagai kurban persembahan tertinggi dalam upacara adat. Memiliki kain tenun dengan motif pa’tedong merupakan sebuah kebanggaan karena kehadiran kerbau dalam kehidupan orang Toraja sebagai binatang peliharaan yang umumnya sangat disayangi. Bahkan dalam tradisi lisan passomba tedong nenek moyang kerbau diceritakan bertemu dengan nenek moyang manusia di dalam hutan dan diminta oleh Puang Matua yang dalam agama nenek moyang orang Toraja dipercaya sebagai pencipta dari manusia pertama, tanaman, hewan,

Menenun di Festival Tenun -

Sakti Karuru

bahkan perkakas yang terbuat dari logam untuk memberikan dirinya menjadi kurban persembahan bagi para dewata dan leluhur.

Motif yang paling umum dijumpai pada kain tenun Toraja adalah motif pa’bannang, yaitu motif garis-garis lurus seperti benang. Motif ini dapat ditemukan pada kain tenun pa’borongborong, dimana garis lurus warna-warni memenuhi kain. Sedangkan motif pa’bannang pada kain tenunan pa’miring hanya terdapat di bagian ujung atau pinggiran kain. Garis lurus pada kain tenun menjadi pengingat bahwa setiap manusia setara, sehingga penting untuk dapat hidup berdampingan saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Setiap motif yang berusaha ditampilkan menyampaikan rangkaian cerita yang beragam tentang kehidupan masyarakat termasuk peran dan status si pemakai dalam adat dan tentang harapan dan doa untuk kesejahteraan. Tiap lembaran kain yang ditenun menjadi media untuk merepresentasikan kehidupan sosial serta budaya orang Toraja. Bagi masyarakat adat ini, tenunan bukan hanya sebatas karya seni, lebih dari itu kehadirannya sebagai pengantar pesan kepada generasi mendatang dalam proses interaksi sosial mereka dalam kehidupan adat. (Susia

Kartika Imanuella, Pegiat Pengolaaan Tradisi Lisan Sulawesi Selatan)

Kain sarita menghiasi atap Tongkonan-

Susia Kartika Imanuella

This article is from: