1 minute read
PUISI
Sekali Lagi di Hendrakila
Oleh Novia Anggraini
Advertisement
ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah Ia mendengar desau angin, selisik daun, dan suara rumput ranum yang tergores ruas benang. Ia melihat sebuah selendang: indah dan panjang, dilenggangkan di pinggang; persis sayap merpati yang baru saja selesai dikepakkan -- pulang ke peraduan. Ia menengok dan tahu bahwa Supraba turun jauh dari Suralaya hanya untuknya. Ia tahu, perempuan itu, menguntai segala yang indah dan manis untuk didengungkan di telinganya. Namun, ia memilih untuk tetap membatukan diri bahkan jika hari ini dewata murka dan memutuskan untuk menghancurkan Hendrakila dengan mengirimkan gempa besar yang akan membunuhnya dalam sekali goncangan. Di detik itu, Supraba baru menyadari bahwa semesta begitu tega membiarkannya terluka. Bahkan, ketika ruas jemarinya, ia sapukan ke dada bidang laki-laki itu, Arjuna, tidak akan menoleh barang sesentipun. Dari dada turun ke perut, lalu ke lutut, menuju betis; Supraba membenci bagaimana Sang Hyang Wisnu mencipta rupa sesempurna itu. Ketika langit mulai meredup dan senjakala memerahkan bumantara yang agung, Supraba melingkarkan lengannya sedetik ke punggung Arjuna. Jelita itu berbisik pada dirinya sendiri: di antara semua angan dan ingin yang tidak bisa kumiliki, kenapa salah satunya harus kau, Arjuna? Lalu, ia menarik selendangnya, mengedipkan mata untuk yang terakhir kalinya. Dipandanginya punggung Arjuna hingga seluruhnya lenyap ditelan petang dan patah. Malam itu, dingin menjadi pelan. Ingin menjadi muskil. Dan, satu-satunya yang ia harap hanya: bisa menatap punggung lelaki itu. Sekali lagi saja.