7 minute read

RANCAK BUDAYA

Next Article
CURHAT

CURHAT

Memeluk Serayu

oleh Novia Anggrain

Advertisement

ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah

ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah

Malam itu sedang purnama. Bentuk sempurna bulatan bulan terpantul indah di atas permukaan sungai Serayu. Kilau pantulan itu tertangkap lentik mata Laksmi yang hatinya sedang bungah1) sekali karena khusus malam ini ia akan mendapatkan bayaran tiga kali lipat setelah menari.

“Sudah siap, Nduk?” tanya seorang perempuan paruh baya, membuyarkan keterdiaman Laksmi yang sedang memandangi arus sungai Serayu.

“Sudah, Mbok,” jawab Laksmi, seraya membubuhkan satu senyum manis dari bibirnya yang masih ranum. Gadis berusia 19 tahun itu memang selalu didampingi oleh simboknya, Darmi, ketika manggung di mana pun.

“Ayo turun, Nduk,” Mbok Darmi menyentuh pinggang ramping Laksmi, merapikan sampur kuning yang dililitkan di sana, kemudian menuntun Laksmi menuruni anak tangga menuju panggung.

Di pementasan kali ini struktur panggung memang berbeda. Laksmi dan kelompok tayubnya diundang oleh Staatsspoorwegen untuk menghibur para pekerja bangunan yang sudah berbulanbulan mengerjakan proyek pembangunan jembatan rel kereta api jalur Cirebon-Kroya di atas sungai Serayu.

Malam itu selepas isya, para pengrawit2) berbondong-bondong menuruni tangga sambil membawa gamelan. Obor-obor serentak dinyalakan untuk mempermudah para pengrawit menata gamelan di atas panggung yang berada di dasar konstruksi. Bentuknya seperti sebuah lubang yang sangat luas –yang memang sengaja dibuat sebagai tiang pancang jembatan kelak.

Sementara para penari juga sudah bersiap di samping panggung sambil merapikan baju dan memoles wajah mereka masingmasing. Di atas sana, nampak menirr-menir Belanda duduk di kursi tamu. Wajah mereka nampak berkilat terkena pantulan sinar bulan.

Setelah mempersiapkan hampir satu jam lamanya, gamelan mulai ditabuh. Laksmi dan dua teman sebayanya, Gendis dan Marni, mulai masuk ke panggung dan mengambil posisi. Lenggaklenggok pinggul mereka membuat para pengrawit semakin bersemangat menabuh gamelan. Semua anggota kelompok tayub itu berpikir, jika mereka tampil dengan memukau, bisa jadi mereka akan mendapatkan bonus. Bonus yang akan digunakan untuk membeli bibit padi, membeli arit dan cangkul baru, serta membelikan keluarga mereka gulali dan pisang goreng.

Wush! Wush! Wush!

Di tengah lamunan indah tentang bayaran yang akan mereka dapat, tiba-tiba mereka melihat sekelompok pekerja bangunan meniup semua obor yang menerangi panggung. Seketika, semuanya menjadi gelap. Mereka menyipitkan mata untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di tengah kegelapan. Namun, karena letak panggung yang berada di dasar konstruksi, tidak ada secuil pun sinar rembulan yang mampu membantu penglihatan mereka.

Di tengah keheranan dan keterkejutan itu, mereka sayup-sayup mendengar suara seperti batu-batu besar tengah digelontorkan dari atas. Dari yang mulanya sayup, suara itu terdengar semakin keras dan bergemuruh. Tubuh seluruh pengrawit dan penari beku seketika. Saat mereka mulai memahami apa yang akan terjadi, semuanya sudah terlambat. Batu-batu besar yang dilemparkan dari atas itu telah menghantam kepala mereka satu per satu. Tanpa sempat berteriak barang sekali saja, malaikat maut sudah menarik nafas terakhir mereka dalam gelap dan bisu.

Di atas sana, Projo berdiri di samping seorang meneer Belanda yang mejabat sebagai kepala pembangunan rel kereta api Staatsspoorwegen tersenyum lega. Ia berhasil menyelesaikan tugasnya untuk mencarikan tumbal bagi pembangunan proyek jembatan milik Staatsspoorwegen dengan baik. Ia juga merasa bahwa di alam yang lain sana, kelompok tayub yang ia undang dan kini terkubur hidup-hidup di dasar konstruksi itu hanya sedang berpindah panggung. Ia yakin, Laksmi beserta seluruh anggota kelompok tayub itu kini tengah berpesta bersama di istana Dewi Wuri Ayu Agung3) . ***

Hingga menjelang Subuh, Pak Nugroho tidak bisa tidur. Bukan karena suara bising kereta api yang lewat di atas jembatan sungai Serayu dekat rumahnya. Sama sekali bukan. Lahir dan tinggal dekat dengan bantaran sungai Serayu membuat ia sudah terbiasa mendengar bising suara kereta dan juga merasakan lantai rumahnya yang serasa ikut bergetar tiap kali ada kereta yang melintas.

Sudah ratusan kali, Pak Nugroho berusaha memejamkan matanya. Memaksa dirinya untuk tidur sebab pagi nanti ia harus kembali bekerja. Setiap kali ia mencoba memejam, setiap kali itu pula kata-kata yang dilontarkan Pak Handi kembali terngiang di benaknya.

Kalau kamu bisa bujuk si Abi, saya kasih kamu tiket liburan ke Bali. Nanti saya pesankan hotel juga di sana buat kamu dan Abi nginep seminggu. Semua gratis. Seratus juta cukup to buat kuliahnya Abi juga? Kamu bilang anakmu pingin banget kuliah.

Kali ini Pak Nugroho mencoba memejamkan matanya lebih rapat lagi, berharap ia bisa tidur barang 30 atau 40 menit sebelum berangkat ke tegalan4) .

Abi itu pinter, nggak kasihan kamu kalau dia nggak kuliah? Kalau saya sih, ga akan rugi. Kalau kamu nolak tawaran ini, saya tinggal nyuruh Adam ke luar negeri buat liburan biar dia nggak sedih. Selesai urusan.

Azan Subuh sudah terlanjur berkumandang. Pak Nugroho

sudah kehabisan waktu untuk tidur. Akhirnya, ia memilih untuk mengambil air wudu dan mendirikan salat Subuh saja. Ia turunkan kakinya dari ranjang, mencari-cari sandalnya.

“Hehehe, ini, Pak, sandalnya. Tadi Abi pinjem buat ke kamar mandi. Sandal Abi belum ketemu dari semalam,” kata Abi sambil meletakkan sepasang sandal jepit putih di bawah dekat kaki bapaknya.

“Sudah Subuhan, Bi?”

“Sudah, Pak. Ini mau nyuci seragam latihan. Besok seragamnya mau Abi pakai buat latihan di pendopo kabupaten,” jawab Abi sambil menunjukkan seragam paskibraka yang sudah selama seminggu ini membuat wajahnya selalu nampak cerah dan berbunga-bunga. Ia terpilih sebagai wakil dari Kabupaten Banyumas untuk mengikuti tahap seleksi berikutnya di tingkat provinsi. ***

Malam demi malam dilalui Pak Nugroho dengan permasalahan pelik yang sama, yaitu sulit tidur. Diantara sekian banyak keinginan Pak Nugroho yang terasa mustahil diraih, salah satunya adalah membuat Abi menjadi sarjana. Bahkan jika Abi mendapatkan beasiswa untuk kuliah sekali pun, mustahil Abi tidak memerlukan pembiayaan lain untuk makan, tinggal, membeli laptop, membeli buku, membeli printer, dan semua tetek bengek perkuliahan lainnya. Pak Nugroho tahu, ia tidak akan pernah mampu ada di titik itu.

Tawaran Pak Handi, seorang politikus kenamaan di daerahnya terasa sangat menggiurkan. Pak Handi memintanya membujuk Abi untuk mengundurkan diri atau membuat Abi mundur dengan cara apapun, lalu menawarinya 100 juta! Iya, 100 juta yang seumur hidup tidak dibayangkan oleh Pak Nugroho jumlahnya sebanyak apa. Bekerja sampai mati pun, belum tentu ia akan mendapatkan uang sejumlah itu untuk menguliahkan anak semata wayangnya.

Namun, tiap kali ia hendak membuka mulut untuk membujuk Abi, ia tidak kuasa melihat pancaran sinar bangga dan bahagia dari kedua bola mata anak lelakinya itu. Ia pun, sebagai orang tua, merasa sangat bangga. Ia yang hanya seorang petani, pekerja kasar, bukan siapa-siapa, lantas menjadi perbincangan di antara para tetangga dan orang sedaerahnya sebab putranya akan menjalani seleksi paskibraka tingkat provinsi. Beberapa media lokal pernah menghubunginya untuk dimintai wawancara, namun Pak Nugroho menolaknya. Ia tidak ingin jumawa.

Semakin dekat dengan tanggal seleksi, semakin Pak Nugroho tidak bisa tidur sama sekali. Ia harus mengambil keputusan dengan cepat sebelum tenggat waktu yang diberikan Pak Handi habis. Akibatnya, tubuhnya menjadi kurang sehat karena tidak pernah tidur dengan nyenyak. Kantung matanya mulai menghitam. Keriput di sekujur wajahnya menjadi semakin jelas. Kesehatannya menurun dratis, sampai-sampai Abi sering kali terpaksa tidak pergi sekolah karena harus merawat bapaknya.

Keraguan dan peperangan batin itu lantas merenggut nyawa Pak Nugroho secara tiba-tiba. Di suatu pagi, waktu Abi hendak mengembalikan sandal bapaknya selepas ia menunaikan salat Subuh, ia menemukan tubuh bapaknya kaku dengan wajah yang pucat.

“Bapak! Bapak belum lihat Abi pakai seragam ini!”

Raungan Abi menggegerkan tetangga di kanan dan kiri rumahnya. Sontak para tetangga berhamburan datang dan membantu. Pagi itu, persis seminggu sebelum seleksi paskibraka tingkat provinsi Jawa Tengah dimulai, Abi kehilangan bapaknya. ***

“Namamu nggak ada di sini, Mas. Sudah, deh, jangan ngawur. Kamu nggak boleh masuk kalau namamu nggak ada.” Seorang petugas berusaha mengusir Abi dari depan kantor Dinporapar Provinsi Jawa Tengah.

“Bisa minta tolong cek ulang, Bapak? Nama saya tidak mungkin tidak ada. Saya dari Banyumas,” jawab Abi sopan.

“Nih, periksa sendiri, Mas, kalau tidak percaya!”

Petugas itu melemparkan sebuah daftar nama. Abi segera mencari-cari namanya di antara daftar yang ada. Di kolom “Kabupaten Banyumas”, ia menemukan sebuah nama tertulis di sana: Aditama Adam Prasanjaya. Disamping nama itu tertulis nama walinya: Handi Prasanjaya.

Dengan muka pucat dan tubuh yang lemas, Abi mengembalikan daftar nama itu ke petugas seraya berkata dengan lembut dan sopan, “Terima kasih, Pak.”

Petugas itu sebenarnya tidak tega. Tetapi, ia tahu, ia tak bisa berbuat apa-apa selain memandangi punggung Abi yang terlihat berjalan menjauhi kantor Dinporapar dengan langkah putus asa.

Abi kemudian menemukan dirinya sedang bersandar di dinding dekat sebuah warung kaki lima pinggir jalan. Pandangannya kabur. Matanya sudah siap berlinangan air, namun ia mencoba menahannya sekuat tenaga. Ia memandang langit yang sedang mendung dan tiba-tiba saja ia merasa begitu merindukan bapaknya.

Sebuah mobil mewah hitam berpelat merah lewat di depannya. Di dalam mobil itu, Pak Handi sedang girang bukan main. Ia berhasil memasukkan nama anaknya di seleksi paskibraka tingkat provinsi tanpa perlu mengeluarkan 100 juta dari kantongnya.

Sebuah selebaran tertiup angin dan jatuh di dekat kaki Abi. Abi meliriknya, kemudian membaca kata-kata yang tertulis di sana tanpa perlu memungutnya. Yang ia kira selebaran, ternyata adalah sebuah halaman buku yang nampaknya sengaja dirobek. Di halaman robek itu, ada sisa-sisa kalimat bekas robekan yang masih bisa Abi baca dengan cukup jelas: …perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. ***

Air sungai Serayu menciptakan kecipak riak yang cukup besar ketika satu tubuh manusia memutuskan untuk menyatu dengannya. Abi kini bertemu Laksmi. Keduanya menjaga Serayu dari dasar sungai. Dalam kegelapan. Dengan ketenangan.

Sementara, manusia-manusia pongah dan kotor, hidup di atas Serayu. Tapi, Serayu, akan selalu sabar menunggu.

Catatan: 1) bahagia (bahasa Jawa), 2) orang yang memainkan gamelan, 3) diyakini sebagai penguasa gaib di sungai Serayu, 4) tempat menanam jagung dan ketela (ladang)

Penulis adalah kontributor Majalah Komunikasi UM sekaligus pemenang Kompetisi Penulisan Majalah Komunikasi UM

This article is from: