Majalah Komunikasi UM Edisi 336 | September - Oktober 2021

Page 34

Rancak Budaya

Memeluk Serayu oleh Novia Anggrain ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah

ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah

Malam itu sedang purnama. Bentuk sempurna bulatan bulan terpantul indah di atas permukaan sungai Serayu. Kilau pantulan itu tertangkap lentik mata Laksmi yang hatinya sedang bungah1) sekali karena khusus malam ini ia akan mendapatkan bayaran tiga kali lipat setelah menari. “Sudah siap, Nduk?” tanya seorang perempuan paruh baya, membuyarkan keterdiaman Laksmi yang sedang memandangi arus sungai Serayu. “Sudah, Mbok,” jawab Laksmi, seraya membubuhkan satu senyum manis dari bibirnya yang masih ranum. Gadis berusia 19 tahun itu memang selalu didampingi oleh simboknya, Darmi, ketika manggung di mana pun. “Ayo turun, Nduk,” Mbok Darmi menyentuh pinggang ramping Laksmi, merapikan sampur kuning yang dililitkan di sana, kemudian menuntun Laksmi menuruni anak tangga menuju panggung. Di pementasan kali ini struktur panggung memang berbeda. Laksmi dan kelompok tayubnya diundang oleh Staatsspoorwegen untuk menghibur para pekerja bangunan yang sudah berbulanbulan mengerjakan proyek pembangunan jembatan rel kereta api jalur Cirebon-Kroya di atas sungai Serayu. Malam itu selepas isya, para pengrawit2) berbondong-bondong menuruni tangga sambil membawa gamelan. Obor-obor serentak dinyalakan untuk mempermudah para pengrawit menata gamelan di atas panggung yang berada di dasar konstruksi. Bentuknya seperti sebuah lubang yang sangat luas –yang memang sengaja dibuat sebagai tiang pancang jembatan kelak. Sementara para penari juga sudah bersiap di samping panggung sambil merapikan baju dan memoles wajah mereka masingmasing. Di atas sana, nampak menirr-menir Belanda duduk di kursi tamu. Wajah mereka nampak berkilat terkena pantulan sinar bulan. Setelah mempersiapkan hampir satu jam lamanya, gamelan mulai ditabuh. Laksmi dan dua teman sebayanya, Gendis dan Marni, mulai masuk ke panggung dan mengambil posisi. Lenggaklenggok pinggul mereka membuat para pengrawit semakin bersemangat menabuh gamelan. Semua anggota kelompok tayub itu berpikir, jika mereka tampil dengan memukau, bisa jadi mereka akan mendapatkan bonus. Bonus yang akan digunakan untuk membeli bibit padi, membeli arit dan cangkul baru, serta membelikan keluarga mereka gulali dan pisang goreng. Wush! Wush! Wush! Di tengah lamunan indah tentang bayaran yang akan mereka dapat, tiba-tiba mereka melihat sekelompok pekerja bangunan meniup semua obor yang menerangi panggung. Seketika, semuanya menjadi gelap. Mereka menyipitkan mata untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di tengah kegelapan. Namun, karena

34 | Komunikasi Edisi 336

letak panggung yang berada di dasar konstruksi, tidak ada secuil pun sinar rembulan yang mampu membantu penglihatan mereka. Di tengah keheranan dan keterkejutan itu, mereka sayup-sayup mendengar suara seperti batu-batu besar tengah digelontorkan dari atas. Dari yang mulanya sayup, suara itu terdengar semakin keras dan bergemuruh. Tubuh seluruh pengrawit dan penari beku seketika. Saat mereka mulai memahami apa yang akan terjadi, semuanya sudah terlambat. Batu-batu besar yang dilemparkan dari atas itu telah menghantam kepala mereka satu per satu. Tanpa sempat berteriak barang sekali saja, malaikat maut sudah menarik nafas terakhir mereka dalam gelap dan bisu. Di atas sana, Projo berdiri di samping seorang meneer Belanda yang mejabat sebagai kepala pembangunan rel kereta api Staatsspoorwegen tersenyum lega. Ia berhasil menyelesaikan tugasnya untuk mencarikan tumbal bagi pembangunan proyek jembatan milik Staatsspoorwegen dengan baik. Ia juga merasa bahwa di alam yang lain sana, kelompok tayub yang ia undang dan kini terkubur hidup-hidup di dasar konstruksi itu hanya sedang berpindah panggung. Ia yakin, Laksmi beserta seluruh anggota kelompok tayub itu kini tengah berpesta bersama di istana Dewi Wuri Ayu Agung3). *** Hingga menjelang Subuh, Pak Nugroho tidak bisa tidur. Bukan karena suara bising kereta api yang lewat di atas jembatan sungai Serayu dekat rumahnya. Sama sekali bukan. Lahir dan tinggal dekat dengan bantaran sungai Serayu membuat ia sudah terbiasa mendengar bising suara kereta dan juga merasakan lantai rumahnya yang serasa ikut bergetar tiap kali ada kereta yang melintas. Sudah ratusan kali, Pak Nugroho berusaha memejamkan matanya. Memaksa dirinya untuk tidur sebab pagi nanti ia harus kembali bekerja. Setiap kali ia mencoba memejam, setiap kali itu pula kata-kata yang dilontarkan Pak Handi kembali terngiang di benaknya. Kalau kamu bisa bujuk si Abi, saya kasih kamu tiket liburan ke Bali. Nanti saya pesankan hotel juga di sana buat kamu dan Abi nginep seminggu. Semua gratis. Seratus juta cukup to buat kuliahnya Abi juga? Kamu bilang anakmu pingin banget kuliah. Kali ini Pak Nugroho mencoba memejamkan matanya lebih rapat lagi, berharap ia bisa tidur barang 30 atau 40 menit sebelum berangkat ke tegalan4). Abi itu pinter, nggak kasihan kamu kalau dia nggak kuliah? Kalau saya sih, ga akan rugi. Kalau kamu nolak tawaran ini, saya tinggal nyuruh Adam ke luar negeri buat liburan biar dia nggak sedih. Selesai urusan. Azan Subuh sudah terlanjur berkumandang. Pak Nugroho


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.