Rancak Budaya
Nanti Kita Tanyakan pada Bunda
ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah
oleh Maulidiyah Amaliyah
S
iang itu matahari tampak merajuk kepada langit. Ia menutupi dirinya dengan gumpalan-gumpalan awan putih di sekeliling, berupaya menyembunyikan diri agar tidak ditemukan oleh siapapun itu. Langit pun merestui. Bumi menggelap beserta isinya. Bangunan megah bersepuh emas dan bertopang pilar-pilar bergaya romawi itu masih ramai dijejali sekerumunan legam yang bergumul bagai semut. Cuaca mendung tak mengalahkan keantusiasan mereka dalam memenuhi undangan duka dari teman ataupun petinggi mereka. Pelataran beraspal dilindas berkali-kali oleh sekerumunan roda empat yang berjejer rapi. Bendera kuning berkibar-kibar di sana, melambai dengan sedih setiap pelayat yang melewatinya. Dan di sana pula berdirilah seorang pria dengan tongkat di tangan kanannya dan rambut yang telah memucat seutuhnya. Mata sayunya menatap setiap kepergian satu per satu kenalannya seraya mengulum senyum tak secerah hari itu. Namanya Jagad. Ia tidak tahu apakah dengan melihat kepergian orang-orang itu membuatnya semakin lega karena telah menyelesaikan proses pemakaman belahan hatinya. Karena sebetulnya masih tersisa kekosongan yang tidak bisa ia penuhi kembali. Barangkali itu karena kepergian
34 | Komunikasi Edisi 326
istri tercintanya, tapi itu tidak sepenuhnya karena ia juga telah kehilangan buah hatinya. Bukan hanya satu melainkan ketiga orang tersayangnya. Sebuah sapaan yang terdengar di telinganya, membawa kedua matanya bersirobok dengan tatapan iris cokelat muda. “Oh, Nak Paradigma. Bagaimana kabarmu?” Paradigma tersenyum sekenanya, “Baik. Anda sendiri?” Jagad hanya tersenyum. Setelah kehilangan buah hati dan istri tercintanya, apakah pantas ia membohongi pemuda itu dengan mengatakan bahwa saat ini ia baik-baik saja? Dan sungguh adalah waktu yang tepat bagi Paradigma untuk muncul di hadapannya karena yang Jagad butuhkan saat ini hanyalah teman bicara. Atau mungkin seorang pendengar yang baik. “Mari, Nak. Aku ingin berbincang sebentar denganmu.” Pemuda bersurai hitam itu mengernyitkan kening, namun ia tetap mengekor di belakang Jagad yang berjalan tertatih dengan menggunakan tumpuan pada tongkatnya. Di setiap sela langkah kakinya, Jagad menyapa dan tersenyum lembut sambil lalu kepada sisa pelayat yang berpamitan pulang. Ia lalu menghantarkan Paradigma menuju ruang keluarga dan mempersilakannya duduk. Paradigma hanya menganggukkan kepala. Ia kembali terfokus kepada pernakpernik yang menghiasi ruangan ini semen-
jak pertama kali langkah kakinya menjejak lantai bagian ruangan ini. Memang sudah puluhan kali ia berkunjung ke rumah atasannya ini, akan tetapi tak sekalipun ia diberi kesempatan untuk berdiri di tengah hamparan kilauan emas di sini. “Nak Paradigma, duduklah.” Tubuh Paradigma berjengit sekilas. Ia menoleh ke sumber suara sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Terima kasih, Pak.” Lalu ia mendudukkan diri di atas sofa merah marun ruang keluarga. Ruangan ini sama halnya seperti ruang keluarga pada umumnya. Hanya saja di setiap sisi dindingnya dipenuhi oleh pigura berisi piagam penghargaan dan medalimedali emas. Sementara lemari kayu di samping teve terisi piala-piala kemenangan yang berdiri kokoh. Saat itu yang terlintas di benak Paradigma hanyalah sebuah rasa kagum yang tak terperi. “Monggo, Ndoro.” Jagad tersenyum kepada asisten rumah tangganya setelah ia mengenyakkan diri di atas sofa. Tatapannya beralih kepada Paradigma yang tampak terperangah takjub. “Ah, aku baru ingat kalau ini pertama kalinya kau kemari.” Paradigma menganggukkan kepala. “Apa kau terheran-heran dengan kilau emas dan pigura itu?” tanya Jagad. “Daripada terheran-heran, lebih tepatnya saya kagum dengan pencapaian ini.” “Aku sendiri juga kagum dengan penca-