15 minute read

Tabel 2. 4 Tindak Pidana Khusus yang Mengatur Pemerkosaan

objek (Pasal 11 UU Pornografi)

Melakukan perbuatan cabul kepada orang

Advertisement

tidak berdaya

(Pasal 290 KUHP) Pengusaha wajib menjaga kesusilaan dan keamanan di tempat kerja yang mempekerjakan perempuan antara pukul 23.00 sampai 07.00 (Pasal 76 ayat (3) huruf B UU Ketenagakerjaan)

Kekhususan pertama adalah berkaitan dengan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Pasal 76E UU Perlindungan Anak Indonesia melarang perbuatan cabul terhadap anak (orang yang belum berusia 18 tahun) yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, pemaksaan, tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau bujukan. Sedangkan, di Inggris serangan seksual yang dilakukan terhadap anak 13

Voyeurisme (Pasal 377BB Penal Code Singapura)

Mengekspos

kelamin kepada orang lain tanpa persetujuan (Pasal 377BF Penal Code Singapura)

Sexual grooming anak di bawah 16 tahun (Pasal 376E Penal Code Singapura) Voyeurisme (Pasal 67 & 67A Sexual Offences Act 2003)

Mengekspos

kelamin kepada orang lain untuk membuatnya merasa khawatir dan tertekan (Pasal 66 Sexual Offences Act 2003) Menyebabkan aktivitas seksual tanpa persetujuan (Pasal 4 Sexual Offences Act 2003)

tahun akan mendapat pemberatan pemidanaan.32 Dalam Pasal 76E UU Perlindungan Anak maupun Pasal 7 Sexual Offences Act 2003, hubungan antara anak yang menjadi korban dengan pelaku tidak dispesifikan. Artinya, bisa saja pelaku melakukan tindakan pelecehan seksual kepada anak yang ditemuinya di taman dan kemudian dipidana atas dasar kedua pasal tersebut.

Berkaitan dengan itu, Indonesia mengatur secara khusus perbuatan cabul yang dilakukan oleh pelaku kepada anak yang memiliki hubungan dengannya. Pasal 294 KUHP berbunyi:

“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Di Inggris, pengaturan yang mirip dengan itu terdapat dalam bagian “Familial Child Sex Offences” dalam Sexual Offences Act 2003. Di sana diatur mengenai “aktivitas

seksual dengan anggota keluarga anak” dan “penghasutan anggota keluarga anak untuk

melakukan aktivitas seksual”. Namun, karena di dalam unsurnya tidak diatur mengenai

“menyebabkan pelecehan” atau “serangan seksual” yang merupakan unsur-unsur utama pelecehan seksual di Inggris, maka perbuatan yang diatur di sana tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari tindak pidana pelecehan seksual.

Selanjutnya, masih berkenaan dengan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, Singapura dan Inggris sama-sama memiliki kekhususan tentang komunikasi seksual. Dalam Penal Code Singapura dikatakan bahwa siapapun orang yang berusia di atas 18 tahun (A), akan dianggap berbuat kejahatan apabila demi mendapatkan kepuasan seksual, atau demi menyebabkan penghinaan, kekhawatiran, dan tekanan kepada orang lain (B), dengan sengaja A berkomunikasi yang bersifat seksual dengan B. Pada saat komunikasi tersebut, B berusia di bawah 16 tahun dan A tidak secara beralasan percaya bahwa B berusia 16 atau di atas 16 tahun.33 Sedangkan, di Inggris unsur-unsur deliknya sama persis dengan yang ada di Singapura, namun bagian “demi

32United Kingdom, Sexual Offences Act 2003, Pasal 7. 33Singapura, Penal Code, Pasal 376EB (1) states that “Any person of or above 18 years of age (A) shall be guilty of an offence if for the purpose of obtaining sexual gratification or of causing another person (B) humiliation, alarm, or distress, A intentionally communicated with B; the communication is sexual; at the time of the communication, B is below 16 years of age; and A does not reasonably believe that B is of or above 16 years of age.”

menyebabkan penghinaan, kekhawatiran, dan tekanan” tidak termasuk.34 Dengan tidak adanya unsur tersebut, maka dapat dikatakan bahwa komunikasi seksual terhadap anak di bawah umur di Inggris tidak tergolong ke dalam tindak pidana pelecehan seksual, meski masuk ke dalam tindak pidana kekerasan seksual.

Kekhususan kedua berkaitan dengan pornografi. Salah satu faktor yang mempengaruhi pelecehan seksual adalah pornografi. Melalui tontonan media pornografi, tanpa disadari akan membawa pengaruh terhadap sikap seseorang dengan lawan jenis yang sering disebut dengan pelecehan seksual.35 Terdapat hubungan yang erat antara pornografi dengan pelecehan seksual. Diakibatkan tersebar luasnya kontenkonten pornografi, dapat terjadi perbuatan pelecehan seksual, seperti korban dikirimi pesan teks yang tidak senonoh, gambar atau video yang membuat tidak nyaman, gambar atau video yang menampilkan pornografi, ajakan untuk live streaming atau membicarakan hal tidak senonoh, diunggahnya hal-hal buruk tentang korban tanpa sepengetahuannya, dan korban dikirimi tautan berisi konten pornografi.36

Pasal 6 UU Pornografi Indonesia melarang setiap orang untuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi kecuali yang diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Larangan tersebut akan mendapat hukuman yang lebih berat jika dilanggar dengan melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek.37 Pornografi yang dimaksud adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.38 Selain itu, terdapat juga peraturan dalam UU ITE yang melarang setiap orang untuk dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

34Sexual Offences Act 2003, Pasal 15A. 35Immanuel Meliana Widyastuti, “Hubungan antara persepsi terhadap pornografi dengan sikap pelecehan seksual pada remaja,” (Skripsi Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, Surabaya, 2007). 36Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, “Waspada Ancaman Terselubung Kejahatan Seksual bagi Anak di Internet,” https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2793/waspada-ancaman-terselubung-kejahatan-seksualbagi-anak-di-internet, diakses 20 Mei 2021. 37Indonesia, Undang-Undang Pornografi, UU No.44 Tahun 2008, LN No.181 Tahun 2008, TLN No. 4928, Ps. 11. 38Ibid., Ps. 1 angka 1.

muatan yang melanggar kesusilaan.39 Di sisi lain, Pasal 377BE Penal Code Singapura mengatur mengenai pendistribusian atau ancaman pendistribusian foto atau rekaman intim seseorang tanpa persetujuan dari orang tersebut. Jika korban berusia di bawah 14 tahun, maka pelaku wajib dijatuhkan hukuman penjara. Lebih jauh, foto atau rekaman intim yang dimaksud adalah yang mengandung daerah genital atau anal, payudara (jika korban dalah perempuan), baik telanjang atau ditutupi oleh pakaian, serta yang mengandung korban melakukan hal privat. Termasuk juga ke dalam foto atau rekaman intim adalah wajah seseorang (korban) yang diedit ke dalam gambar di mana wajah korban disatukan dengan badan yang sedang melakukan kegiatan seksual, sehingga terlihat di gambar itu bahwa korban yang sedang melakukan kegiatan seksual.40

Jika di Indonesia dan Singapura diatur mengenai pornografi/foto atau rekaman intim baik bagi orang dewasa maupun anak, pengaturan di Inggris hanya mencakup anak saja. Di bawah Pasal 1(1) Protection of Children Act 1978 milik Inggris, disebutkan bahwa merupakan sebuah kejahatan apabila seseorang:

a. Mengambil, atau mengizinkan untuk diambil, atau membuat foto tidak senonoh atau foto semu seorang anak; atau b. Menyebarkan atau menunjukkan foto tidak senonoh atau foto semu tersebut; atau c. Memiliki foto tidak senonoh atau foto semu, dengan pandangan untuk didistribusikan atau ditunjukkan oleh dirinya sendiri atau orang lain; atau d. Mempublikasikan atau menyebabkan dipublikasikan iklan apapun yang cenderung dipahami iklan tersebut menyampaikan bahwa pengiklan mendistribusikan atau menunjukkan foto tidak senonoh atau foto semu, atau bermaksud untuk itu.

Kekhususan selanjutnya hanya diatur di Singapura dan Inggris, yakni voyeurisme dan exposure. Pertama, berkenaan dengan voyeurisme. Pada dasarnya voyeurisme adalah tindakan mengintip di jendela untuk tujuan menonton orang yang tidak mencurigakan (biasanya perempuan) yang menanggalkan pakaian, sudah telanjang,

39Indonesia, Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No.19 Tahun 2016, LN No.251 Tahun 2016, TLN No. 5952, Ps. 45 40Singapura, Penal Code, Pasal 377BE.

atau yang terlibat dalam tindakan seksual.41 Berdasarkan Pasal 377BB Penal Code Singapura, maka perbuatan yang dapat dihukum karena merupakan voyeurisme:42

a. Dengan sengaja memperhatikan seseorang (korban) melakukan hal privat tanpa persetujuan orang tersebut. Contoh: Mengintip orang yang sedang mandi di kamar mandi.

b. Mengoperasikan peralatan untuk memungkinkan pelaku atau orang lain memperhatikan seseorang (korban) melakukan hal privat, tanpa korban setujui, baik hal privat tersebut direkam atau tidak. c. Dengan sengaja merekam seseorang (korban) melakukan hal privat tanpa persetujuannya. Contoh: Merekam seseorang yang sedang mengganti bajunya melalui celah kosong di atas ruang kamar mandi. d. Mengoperasikan peralatan, seperti melalui ponsel, untuk memungkinkan pelaku atau orang lain untuk memperhatikan bagian intim seseorang (korban), seperti alat kelaminnya, atau payudara, bokong, yang tanpa pengoperasian alat tersebut tidak akan dapat diperhatikan. Hal itu dilakukan tanpa persetujuan korban, baik bagian intim korban direkam atau tidak. e. Merekam gambar bagian intim seorang (korban) yang pada umumnya tidak terlihat (tidak terbuka), tanpa persetujuan dari korban. f. Memasang peralatan, seperti kamera, atau membuat atau mengadaptasi sebuah struktur atau bagian dari kamera, seperti memposisikan jendela dan/atau gorden kamar seseorang (korban), untuk memungkinkan pelaku atau orang lain melakukan perbuatan yang disebutkan pada poin 1-5.

Sedangkan, di Inggris seseorang dianggap bersalah atas voyeurisme apabila mereka melakukan beberapa perbuatan:43

a. Apabila dengan tujuan mendapat kepuasan seksual, seseorang (A) memperhatikan orang lain (B) melakukan hal privat, dan A tahu bahwa B itu tidak setuju untuk diperhatikan demi kepuasan seksualnya.

41William L. Marshall, “Adult Sexual Offenders,” Comprehensive Clinical Psychology Vol. 9 (1998), hlm. 408. 42Singapore Legal Advice, “Crime of Voyeurism in (Penalties and Defences),” https://singaporelegaladvice.com/law-articles/crime-voyeurism-singapore-penalties-defences/, diakses 21 Mei 2021.

43Sexual Offences Act 2003, Pasal 67 & 67A.

b. Apabila A mengoperasikan peralatan dengan maksud memungkinkan orang lain memperhatikan, untuk tujuan mendapatkan kepuasan seksual, B melakukan hal privat, dan A tahu bahwa B tidak setuju atas perbuatannya itu. c. Apabila A merekam gambar B melakukan hal privat dengan tujuan A atau orang lain akan, untuk tujuan mendapatkan kepuasan seksual, melihat gambar B melakukan hal privat tersebut, dan mereka tahu kalau korban tidak setuju akan perbuatannya itu. d. Apabila A, demi memungkinkan dirinya melakukan kejahatan pertama memasang peralatan, atau mengkonstruksi atau menyesuaikan struktur atau bagian dari sebuah struktur suatu hal. e. Apabila A mengoperasikan alat di bawah pakaian B dengan maksud memungkinkan A atau orang lain—untuk tujuan kepuasan seksual serta menimbulkan penghinaan, kekhawatiran, atau tekanan bagi B—mengobservasi alat kelamin atau bokong B, atau pakaian dalam B yang menutupinya, yang mana bila A tidak melakukannya, hal-hal tersebut tidak akan terlihat. f. Apabila A merekam gambar di bawah pakaian B, gambar itu berisikan alat kelamin atau bokong B, atau pakaian dalam B yang menutupinya, yang mana bila

A tidak melakukannya, hal-hal tersebut tidak akan terlihat, dengan maksud A atau orang lain akan melihatnya demi mendapatkan kepuasan seksual serta menimbulkan penghinaan, kekhawatiran, atau tekanan bagi B, di mana B tidak memberikan persetujuannya atas perbuatan itu dan A tidak memiliki alasan rasional untuk mempercayai bahwa B setuju akan perbuatannya itu. Dari kedua peraturan tersebut, maka dapat dilihat bahwa kurang lebih unsur dari perbuatan voyeurisme di Singapura dan Inggris adalah sama.

Kedua, berkenaan dengan exposure. Menurut Pasal 377BF Penal Code Singapura, seseorang (A) dengan tujuan mendapat kepuasan seksual atau demi menyebabkan orang lain (B) penghinaan, kekhawatiran, dan tekanan, dengan sengaja mengekspos alat kelamin A supaya B dapat melihatnya tanpa persetujuan B. Termasuk juga dalam kejahatan ini apabila A dengan tujuan yang sama dengan sengaja mendistribusikan foto alat kelamin A atau alat kelamin orang lain kepada B supaya B dapat melihatnya tanpa persetujuan B.44 Sedangkan, di bawah Pasal 66 Sexual Offences Act 2003 Inggris, seseorang dianggap melakukan kejahatan exposure apabila dia

44Singapura, Penal Code, Pasal 377BF.

dengan sengaja mengekspos alat kelaminnya dengan maksud orang yang melihatnya akan merasa khawatir dan tertekan.45

Terakhir, terdapat pula kekhususan-kekhususan tindak pidana pelecehan seksual yang hanya diatur di negara-negara tertentu. Pertama, di Indonesia diatur mengenai pelecehan seksual yang berbentuk perbuatan cabul kepada orang pingsan atau tidak berdaya. Menurut H.A.K Moch. Anwar, jenis kejahatan itu dilakukan dengan penggunaan berbagai jenis obat bius atau narkotika yang mengakibatkan orang itu pingsan atau tidak berdaya. Keadaan pingsan atau tidak berdaya itu dapat terjadi karena memang korban dalam keadaan sakit atau korban dibuat pingsan atau tidak berdaya oleh pelaku.46 Kekhususan selanjutnya yang hanya ada di Indonesia tetapi tidak ada di Singapura dan Inggris:47

“Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib: a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja”

Kedua, di Singapura diatur mengenai sexual grooming. Sebenarnya, sexual grooming tidak secara khusus termasuk ke dalam tindak pidana kekerasan seksual. Namun, perbuatan yang diartikan sebagai bertemunya seseorang yang sudah lebih dari 18 tahun (A) dengan seseorang di bawah 16 tahun (B), setelah pernah bertemu/berkomunikasi setidaknya sekali sebelumnya, yang mana dalam pertemuan itu dilakukan tindak pidana kekerasan seksual oleh A kepada B.48 Salah satu tindak pidana kekerasan seksual yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah pelecehan seksual. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa sexual grooming ini di bawah hukum Singapura merupakan bagian dari tindak pidana kekerasan seksual.

Ketiga, di Inggris diatur mengenai “causing sexual activity without consent”, di mana diatur bahwa seseorang (A) melakukan kejahatan apabila dia dengan sengaja membuat orang lain (B) terlibat dalam sebuah kegiatan yang bersifat seksual, di mana B tidak memberikan persetujuan akan itu dan A tidak memiliki alasan logis untuk percaya bahwa B setuju akan itu.49 Persetujuan yang dimaksud adalah yang diberikan

45Sexual Offences Act 2003, Pasal 66. 46H. A. K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Jilid 2, (Bandung: Alumni, 1981), Hlm. 232. 47Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No.13 Tahun 2003, LN No.39 Tahun 2003, TLN No. 4928, Ps. 11. 48Singapura, Penal Code, Pasal 376E. 49Sexual Offences Act 2003, Pasal 4.

orang yang memiliki kebebasan dan kapasitas untuk membuat pilihan.50 Di dalam nota penjelasan Sexual Offences Act 2003, diberikan contoh dari tindak pidana ini: seseorang memaksa orang lain untuk memasturbasikan orang ketiga.51 Unsur-unsur seperti tidak ada persetujuan yang berujung pada pemaksaan ini cenderung akan menyebabkan pelecehan, yang mana merupakan unsur dari tindak pidana pelecehan seksual di Inggris.

2. Pemerkosaan

Pemerkosaan dapat terjadi, baik di masa damai maupun dalam konflik. Dalam banyak kasus, pemerkosaan dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dan anak perempuan, meskipun laki-laki dan anak laki-laki juga dapat menjadi korban pemerkosaan.52 Pemerkosaan secara global masih kurang dilaporkan dan tidak diselidiki serta dituntut secara memadai, dan sering kali pelakunya tidak dimintai pertanggungjawaban.53

Di sebagian besar negara, pemerkosaan dianggap sebagai kejahatan dan didefinisikan sebagai tindakan penetrasi yang terjadi dengan paksaan, atau dalam konteks koersif seperti penahanan dan/atau tanpa persetujuan dari satu atau lebih individu yang terlibat.54 Apa yang dimaksud dengan penetrasi, jenis kelamin korban dan pelaku dan konteks di mana penetrasi ini terjadi adalah elemen yang sering berbeda antara kerangka hukum domestik dan internasional.55 Di beberapa negara, undangundang yang relevan secara ketat mendefinisikan pemerkosaan sebagai penetrasi vagina

50Ibid., Pasal 74. 51United Kingdom, “Sexual Offences Act 2003: Explanatory Notes,” https://www.legislation.gov.uk/ukpga/2003/42/notes/division/5/1/4, diakses 25 Juni 2021. 52African Commission on Human and Peoples’ Rights (ACHPR), “Guidelines on com- bating sexual violence and its consequences in Africa”, Niamey, 2017. Pedoman tersebut menekankan bahwa "Kekerasan seksual [termasuk pemerkosaan] juga mempengaruhi laki-laki dan anak laki-laki, dan dapat mengambil bentuk tertentu, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi kejantanan atau keluguan korban seperti yang dirasakan pelaku. Seperti kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan kekerasan seksual terhadap laki-laki dan anak laki-laki sering digunakan sebagai sarana untuk mendominasi, mensubordinasi atau mempermalukan korban dan/atau kelompok di mana korban berasal. Karena stereotip yang terkait dengan maskulinitas, laki-laki dan anak laki-laki korban kekerasan seksual menghadapi tantangan tertentu. dalam melaporkan kekerasan tersebut dan menerima bantuan yang sesuai. Fenomena ini sebagian besar masih kurang terdokumentasi" (paragraf 3(2)(c)). 53 Contohnya di Prancis, sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2016 mengungkapkan bahwa satu dari lima perempuan menjadi korban pemerkosaan, atau percobaan pemerkosaan. Sekitar 1 di 10 perempuan korban perkosaan mengajukan pengaduan dan hanya 1% dari pengaduan tersebut mengarah pada keyakinan pelaku N. Bajos, D. Rahib and N. Lydié, Baromètre santé 2016, Genre et sexualité, 2018, https://www.santepubliquefrance.fr/determinants-de-sante/sante-sexuelle/documents/enquetesetudes/barometre-sante-2016.-genre-et-sexualite diakses pada tanggal 3 Juni 2021. 54 D. Llanta, La protection de l’individu contre les violences sexuelles : de la prévention à la réparation au sein de l’ordre ju- ridique international et des systèmes nationaux, PhD Thesis, University of Perpignan Via Domitia (France), hlm. 318-336. 55 Ibid.

oleh penis. Ini membatasi karena tidak termasuk tindakan lain yang menurut standar internasional merupakan pemerkosaan, termasuk penetrasi anal dan oral, dan tidak termasuk penetrasi vagina dengan benda-benda, seperti tongkat atau senjata, atau oleh bagian tubuh lain selain penis, termasuk misalnya. tangan.56 Undang-undang semacam itu juga gagal untuk mengakui laki-laki dan anak laki-laki sebagai calon korban pemerkosaan.57

Tabel 2. 3 Pemerkosaan

Pemerkosaan

Negara

Aspek Perbandingan Indonesia Singapura Inggris

Definisi Definisi pemerkosaan di Indonesia dapat dilihat dari unsurunsur deliknya Unsur Perkosaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang perempuan bersetubuh dengannya di luar perkawinan (Pasal 285 KUHP) Definisi perkosaan di Singapura dapat dilihat dari unsurunsur deliknya

Ketika seorang pria dengan penisnya menembus vagina, anus, dan mulut orang lain tanpa persetujuannya (Pasal 375 Penal Code Singapura). Definisi perkosaan di Inggris dapat dilihat dari unsurunsur deliknya

Ketika seorang dengan penisnya menembus vagina atau lubang tubuh lainnya orang lain selain vagina seperti, anus dan mulut, tanpa persetujuannya (Pasal 1 Sexual Offences Act 2003).

Pada uraian sebelumnya telah diuraikan mengenai unsur-unsur dan definisi terkait perkosaan, yakni, di Indonesia definisi perkosaan memiliki unsur-unsur persetubuhan, di luar perkawinan, dan kekerasan atau ancaman kekerasan. Selanjutnya baik di Singapura maupun Inggris sama-sama memiliki unsur-unsur penetrasi seksual yang mencakup penetrasi vagina, mulut, dan anus, ke penis atau alat atau benda tanpa persetujuan. Kemudian, terdapat berbagai macam tindak pidana khusus yang mengatur terkait perkosaan. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:

56 Ibid. hlm. 320-323. 57 Lihat analysis conducted by the Refugee law Project on domestic legislation on rape against men and women: Refugee Law Project, Plan UK, War Child (Chris Dolan), Into the mainstream : addressing sexual violence against men and boys in conflict, A briefing paper prepared for the workshop held at the Overseas Development Insti- tute, 2014, p. 5-6, at http://www.refugeelawproject.org/files/briefing_papers/.

Tabel 2. 4 Tindak Pidana Khusus yang Mengatur Pemerkosaan

Negara

Aspek Perbandingan Indonesia Singapura Inggris

Kekhususan Perkosaan dalam rumah tangga dalam hubungan suami atau isteri (Pasal 46 UU PKDRT) Perkosaan dalam

hubungan suamiisteri atau

perkawinan yang sah (Pasal 375 (4) Penal Code Singapura) Tidak ada pengaturan tertulis, namun terdapat dalam yurisprudensi kasus R v. R yang memutuskan bahwa setiap aktivitas seksual nonkonsensual, bahkan dalam pernikahan adalah bentuk pemerkosaan.

Perkosaan dalam rumah tangga terhadap orangorang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana hubungan suami, isteri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (Pasal 46 PKDRT)

Perkosaan terhadap anak (Pasal 287 ayat (1), 288 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) KUHP, Pasal 76D jo. Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Anak) Penetrasi seksual terhadap cucu, anak, saudara, setengahsaudara, ibu atau nenek (apakah hubungan tersebut melalui atau tidak melalui pernikahan yang sah) dengan atau tanpa persetujuan (Pasal 376G Penal Code Singapura)

Perkosaan dengan

anak di bawah

umur (perempuan yang belum mampu untuk kawin (Pasal 375 (3) Penal Code Singapura) Penetrasi seksual dalam hubungan keluarga (Pasal 25 (6) dan 27 serta Pasal 64 Sexual Offences Act 2003)

Pemerkosaan seorang anak di

bawah 13 tahun

(Pasal 5 Sexual Offences Act 2003)

This article is from: