6 minute read

Tabel 2. 12 Pemaksaan Perkawinan

peraturan yang ada di Indonesia. Di Indonesia, perbudakan seksual diartikan dalam dua kacamata, yakni sebagai eksploitasi dan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam pengertian eksploitasi menurut UU PTPPO, pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan terhadap fisik, seksual, atau organ reproduksi seseorang merupakan bentuk-bentuk dari eksploitasi. Dari sana dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tindak pidana perbudakan seksual merupakan bagian dari eksploitasi yang menjadi salah satu tujuan perdagangan orang.110 Di dalam penjelasan umum UU PTPPO juga disebutkan bahwa perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Maka dari itu, pelaku perbudakan seksual dapat dipidana berdasarkan Pasal 2 UU PTPPO yang berbunyi:

(1)Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2)Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Advertisement

Kemudian, perbudakan seksual dalam pengertiannya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan setidaknya harus memenuhi tiga unsur: (1) dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas, (2) atau sistematik, (3) yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.111 Jika didasarkan pada unsur-unsur tersebut, maka pasal ini tidak bisa menjerat perbudakan seksual yang dilakukan secara pribadi/individu. Hanya perbudakan seksual yang memakan banyak korban penduduk sipil dan dilakukan secara meluas serta sistematis saja yang dapat dipidana oleh ketentuan ini.

Selain itu, dalam peraturan perundang-undangan Indonesia juga diatur mengenai tindak pidana perbudakan seksual yang menjadikan anak sebagai korbannya. Lebih

110Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720, Ps. 1 angka 1 dan 7. 111Indonesia, Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000, LN No. 208 Tahun 2000, Ps. 9.

tepatnya, dalam UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa siapapun dilarang untuk menempatkan anak ke dalam pekerjaan terburuk, salah satunya perbudakan. Jadi, mereka yang melakukan perbudakan seksual kepada anak dapat dipidana dengan pasal ini. Namun, implikasi lainnya adalah sang anak harus dalam kondisi “bekerja” di tempat kerja,112 jika perbudakan seksual itu dilakukan di luar “tempat kerja”, maka

korban anak tidak dapat terlindungi. Sebagai catatan, UU Ketenagakerjaan tidak merincikan dalam kondisi apa seseorang dikatakan bekerja dan tempat seperti apa yang dikatakan sebagai tempat kerja.

Selanjutnya, di Singapura, mirip seperti Indonesia, pengaturan perbudakan seksual masuk ke dalam undang-undang mengenai perdagangan orang, lebih tepatnya Prevention of Human Trafficking Act of 2014. Pasal 2 undang-undang tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “eksploitasi” berarti eksploitasi seksual,

kerja paksa, perbudakan atau praktik apa pun yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ.113 Dengan begitu diketahui bahwa perbudakan seksual di Singapura merupakan bagian dari eksploitasi. Oleh karena itu, mereka yang melakukan perbudakan seksual dapat dipidana dengan Pasal 3 ayat (1) Prevention of Human Trafficking Act of 2014 yang berbunyi:

“Any person who recruits, transports, transfers, harbours or receives an individual (other than a child) by means of — (a)the threat or use of force, or any other form of coercion; (b)abduction; (c)fraud or deception; (d)the abuse of power; (e)the abuse of the position of vulnerability of the individual; or (f) the giving to, or the receipt by, another person having control over that individual of any money or other benefit to secure that other person’s consent, for the purpose of the exploitation (whether in Singapore or elsewhere) of the individual shall be guilty of an offence.”114 Kejahatan yang dirumuskan pada pasal di atas disebut tindak pidana perdagangan orang. Ayat (2) peraturan tersebut kemudian merumuskan tindak pidana perdagangan

73.

113Prevention of Human Trafficking Actof 2014, Pasal 2. 114Terjemahan bebas: Setiap orang yang merekrut, mengangkut, memindahkan, menampung atau menerima seseorang (selain anak) dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan, atau segala bentuk pemaksaan lainnya; penculikan; penipuan; penyalahgunaan kekuasaan; penyalahgunaan posisi kerentanan individu; atau pemberian kepada, atau penerimaan oleh, orang lain yang memiliki kendali atas individu tersebut atas uang atau manfaat lain untuk menjamin persetujuan orang lain tersebut, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut telah melakukan kejahatan.

112Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2003, Ps.

orang dengan korban anak, di mana pidana yang dikenakan kepada pelaku nantinya akan lebih besar.

Berbeda dengan Indonesia dan Singapura yang tidak memiliki peraturan khusus mengenai tindak pidana perbudakan, Inggris memilikinya. Modern Slavery Act 2015 merumuskan tindak pidana perbudakan sebagai ‘jika seseorang membutuhkan orang

lain untuk melakukan paksa atau kerja wajib dan keadaan sedemikian rupa sehingga orang tersebut tahu atau seharusnya mengetahuinya bahwa orang lain tersebut diharuskan untuk melakukan kerja paksa atau kerja wajib’.115 Dalam nota penjelasan Modern Slavery Act 2015 dijelaskan bahwa perbudakan mengambil beberapa bentuk, termasuk eksploitasi seksual, kerja paksa dan pembantu rumah tangga, dan korban datang dari semua lapisan masyarakat.116

7. Penyiksaan Seksual

Perjanjian internasional yang berkaitan dengan penyiksaan adalah Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, selanjutnya disebut Konvensi Menentang Kekerasan, yang terbentuk sejak tahun 1984. Penyiksaan didefinisikan secara sedikit berbeda-beda antara satu bidang hukum dan lainnya (hukum hak asasi manusia, hukum humaniter internasional, hukum pidana internasional).117 Meski begitu, terdapat kesamaan di antaranya dalam hal unsur esensial tindakan penyiksaan. Sebuah tindakan/perbuatan dikatakan sebagai penyiksaan apabila: (a) dengan sengaja menimbulkan kerusakan yang parah; dan (b) dilakukan untuk tujuan yang dilarang (mencari informasi, degradasi, penghinaan, hukuman, diskriminasi dan sebagainya).118

Penyiksaan seksual merupakan perbuatan menggunakan kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk penyiksaan, terutama terhadap tahanan perempuan. Perbuatan yang termasuk ke dalam penyiksaan seksual yakni seperti ditelanjangi paksa, penghinaan verbal, meraba payudara dan kelamin, penyisipan benda ke alat kelamin,

115Modern Slavery Act of 2015, Pasal 1. 116United Kingdom, “Modern Slavery Act of 2015: Explanatory Notes,” https://www.legislation.gov.uk/ukpga/2015/30/notes, diakses 26 Juni 2021. 117Dewulf, The Signature of Evil: (re)defining Torture in International Law, (Intersentia, 2011), hlm. 44-

46.

118Sarah Fulton, Redress for Rape: Using International Jurisprudence on Rape as a Form of Torture or Other Ill-Treatment, (London: REDRESS, 2013), hlm. 45–55.

hingga pemerkosaan berulang oleh banyak orang.119 Dari hasil penelitian International Rehabilitation Council for Torture Victims (“IRCT”), bentuk penyiksaan seksual lain yang pernah dialami korban mencakup: sengatan listrik, pemotongan, atau penusukan alat kelamin; pemaksaan sterilisasi; dan pemaksaan prostitusi atau perbudakan seksual.120

Salah satu kecenderungan utama dari penyiksaan seksual adalah ia sering terjadi bersamaan dengan tindakan penyiksaan lainnya, terutama dalam konteks interogasi. Misalnya, seorang tahanan perempuan saat dimintai keterangan sering kali ditelanjangi dan dilecehkan secara seksual, di mana pada saat bersamaan mereka juga dipukul, ditendang, disetrum, atau lainnya.121 Berikut dipaparkan perbedaan perumusan pengaturan definisi dan unsur penyiksaan seksual di Indonesia, Singapura, dan Inggris:

Tabel 2. 11 Penyiksaan Seksual

Penyiksaan Seksual

Negara

Aspek Perbandingan Indonesia Singapura Inggris

Definisi Peraturan di Indonesia tidak memberikan definisi. Seseorang dikatakan menyebabkan “sakit” apabila dia menyebabkan rasa sakit, penyakit, atau kelemahan tubuh kepada orang lain dan menyebabkan orang itu tidak sadar/bawah sadar (Pasal 319 Penal Code Singapura) Peraturan di Inggris tidak ada memberikan definisi.

Unsur Tidak ada pengaturannya Menyebabkan “sakit” supaya orang lain memberikan pengakuan, informasi, atau Pejabat publik atau orang yang bertindak dalam kapasitas resmi dengan sengaja

119Centro De Derechos Humanos Miguel Agustin Pro Juarez A.C., “Sexual torture of women in Mexico: Alternative report presented in June 2018 to the CEDAW Committee,” hlm. 2. 120International Rehabilitation Council for Torture Victims, Sexual Torture: An insight into needs-based rehabilitation, Data in the Fights Against Impunity, (Copenhagen: IRCT, 2017), hlm. 9. Lihat: https://issuu.com/irct/docs/thematic_report-2017-sexual_torture. 121Annie Pohlman, “Sexual Violence as Torture: Crimes against Humanity during the 1965–66 Killings in Indonesia,” Journal of Genocide Research 19:4 (2017), hlm. 580.

This article is from: